• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PERKEMBANGAN BENTENG VREDEBURG MASA

C. Masa Pemerintahan Kolonial

Yogyakarta pada masa pemerintahan kolonial, Pemerintahannya diatur berdasarkan kontrak politik, dan mempunyai kedudukan istimewa. Sesuai dengan sistem pemerintahan kerajaan yang berlaku di Yogjakarta, serta ikatan kebudayaan yang ada; menyebabkan raja (Sultan) secara langsung tidak menjalankan pemerintahnya sendiri, sedang untuk pelaksanaan pemerintahanya diserahkan kepada patih. Dengan demikian, semua kegiatan pemerintahan dalam kerajaan berpusat dan dijalankan oleh patih, namun sultan tidak kehilangan otoritas kekuasaanya dalam kerajaan. Sistem pemerintahan ini jelas kurang sesuai dengan prinsip demokrasi.21

Revolusi kemerdekaan Indonesia berusaha untuk mengerakan prinsip demokrasi dalam semua tatanan pemerintahan sehingga pemerintahan di Yogyakarta pun tidak lepas dari usaha demokratisasi itu. Analisis yang paling umum menunjukan

20

S.Margana, Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 23.

21Tri Yuniyanto. 1988. “

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa

Yogyakarta Tahun 1950-1957 Otonomi dan Demokratis Pemerintahan Yogyakarta”. Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS.

bahwa dalam masyarakat yang mengalami revolusi, mesti terdapat aspek kesinambungan dan ketidaksinambungan dalam jenis kelembagaanya. Bahwa dimensi ketidaksinambungan itu misalnya pertama, terdapat pada elite penguasa, serta prestige di berbagai bidang kelembagaan. Kedua, terdapat perubahan dalam penataan berbagai bidang kelembagaan baik itu perubahan keorganisasian dalam lingkup unit-unit utama, misalnya dalam bidang politik terjadi pergantian rezim; maupun perubahan makna bidang kelembagaan.22

Yogyakarta berdiri dua Kekuasaan Pemerintahan, yaitu Pemerintahan Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualam. Baik Kasultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualam Pemerintahanya diatur menurut garis hukumnya sendiri, namun kedudukanya sangat ditentukan oleh kontrak politik.23 Dengan demikian kedua pemerintahan tersebut tidak lepas dari campur tangan pemerintah Belanda, sebab kontrak politik tersebut dibuat berdasarkan persetujuan antara penguasa Kasultanan maupun Pakualam dengan pemerintah kolonial Belanda.24

Kekuasaan penuh atas kerajaan berada di tangan raja. Sultan memegang otoritas kekuasaan atas daerah dan rakyatnya berdasarkan kontak politik. Sultan mempunyai kedudukan sentral baik pada bidang sosial maupun kultural, sehingga

22

Ibid.

23

Soedomo Bandjaransari, Sejarah Pemerintah Kota Yogyakarta, (Yogyakarta: Djawatan Penerangan Kota Pradja, 1952). hlm. 5.

24

Ibid,. hlm. 3

30

wajar jika pemerintah kerajaannya diatur secara terpusat dengan sifat yang otokratis.25

Struktur pemerintahan kerajaan di Yogyakarta dibagi dua secara terpisah, yaitu pemerintahan keraton disebut parentah jero dan pemerintahan luar keraton disebut parentah jaba.26 Ada perbedaan yang tegas antara keduanya. Parentah jero tugasnya adalah mengurus upacara dan ritus kraton, melayani kepentingan pribadi sultan dan keluarganya, serta bertindak sebagai penghubung antara sultan dengan pemerintahan luar. Pemerintahan keraton ini dikepalai oleh para pangeran kerabat raja. Parentah jaba, tugas utamanya adalah dalam bidang pemerintahan pada umumnya, dibawah kekuasaan patih sultan.27

Patih merupakan pelaksana kegiatan pemerintahan pada umumnya, dalam arti bahwa pelaksanaan kegiatan pemerintahan kerajaan menjadi tanggung jawab patih. Dibawah patih terdapat delapan bupati nayaka beserta pejabat-pejabat birokrasi lain dibawahnya sebagai pelaksana pemerintahan di daerah, mereka mempertanggung jawabkan pelaksanaan pemerintahan kepada patih.28

Struktur berokrasi tersebut, walaupun resminya besifat hirarkhis, sesungguhnya terjadi kelompok-kelompok hubungan hamba tuan yang berlapis-lapis. Setiap pejabat mngumpulkan setiap kelompok orang yang bergantung kepadanya,

25

Darmosugito., Sedjarah Kota Yogyakarta, (Yogyakarta: Panitia Peringatan, 1956), hlm. 8.

26

Selo Soemarjan,. Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1986), hlm. 34. 27 Ibid. 28 Ibid,. hlm 26. commit to user

mengikuti model raja. Nasib para kawula itu berhungan erat dengan sukses tidaknya gusti mereka. Birokrasi yang paternalistik demikian, menurut kesetiaan dan kepatuhan tanpa syarat dari rakyat kepada penguasa. Hubungan yang wajar antara rakyat dan penguasa, anatara pemerintah dan yang diperintah tidak diterima karena keterpaksaan, melainkan sebagai sesuatu yang telah ditakdirkan.

Patih dan bupati dengan demikian, mempunyai kedudukan yang menentukan dalam kegiatan politik dan pemerintahan kerajaanya, baik di pusat maupun di daerah . Kedudukan ini sebagai alasan kuat bagi pemerintah kolonial Belanda untuk mencampuri politik dan pemerintahan kerajaan, melalui jalur birokrasi tersebut akibat langsung dari campur tangan itu, diantaranya adalah menempatkan kedudukan patih yang serba sulit dalam kegiatan pemerintah kerajaan.29

Kedudukan patih yang dilemmatis dapat membahayakan kelangsungan perintahan kerajaan, sebab tergantung pada dua pemerintahan yang berbeda, yaitu pemerintahan Kasultanan dan pemerintah kolonial Belanda. Fungsi ganda disatu pihak harus tetap menjaga loyalitasnya kepada kasultanan, dipihak lain juga harus loyal kepada Pemerintah Kolonial Belanda.30

Benteng Vredeburg merupakan peninggalan Kolonial Belanda meski dalam bentuk yang sangat sederhana seiring dengan perkembangan waktu benteng tetap terus berdiri dan difungsikan. Sejak berdirinya VOC praktek monopoli dagang dan aktifitas kolonial mulai terjadi di nusantara. Hal ini menyebabkan gejolak di berbagai

29 Darmosugito,. Op Cit., hlm. 20. 30 Ibid,. hlm, 37. commit to user

32

daerah karena praktek monopoli VOC sering mengakibatkan selisih paham antara VOC dan pengusaha lokal.

Masa itulah menjadi titik awal dari masa penjajahan di Indonesia oleh Belanda. Pemaksaan kehendak terjadi dimana-mana. Perjanjian-perjanjian dengan penguasa lokal bermunculan dengan berbuntut pada penguasaan wilayah dan monopoli kegiatan dagang oleh VOC. Politik pecah belah dan adu domba selalu menjadi andalan VOC dalam mengintervensi Pemerintahan lokal. Memanfaatkan konfliks intern menjadi kebiasaan VOC dalam meraih keuntungan demikianlah yang terjadi sehingga wilayah kerja yang harus diampu dan jumlah pegawai VOC semakin besar. Hal ini menjadikan beban keuangan persekutuan dagang tersebut semakin berat ditambah lagi banyaknya pejabat VOC yang melakukan koropsi untuk kepentingan sendiri keadaan tersebut berlangsung berlarut-larut.31

Seiring dengan perkembangan yang terjadi di Eropa rakyat Belanda menginginkan keamanan negerinya langsung dibawah lindungan perancis. Maka Belanda diubah dari bentuk Republik mejadi Kerajaan dengan pengangkatan Luis Napoleon sebagai Raja Belanda sehingga memberikan dampak perkembangan politik belanda yang telah menanamkan benih-benih imperialisme mulai tergantikan oleh pendatang baru yaitu pasukan Inggris yang kemudian memerintah di nusantara.32

Untuk kedua kalinya Belanda menjadi tuan di negeri jajahan nusantara hal ini terjadi karena ditandatanganinya Kongres Wina yang menyatakan bahwa Negara

31

Djamal Masudi., Yogyakarta Bentang Proklamasi, (Jakarta: Barahmus DIY Perwakilan Jakarta, 1985), hlm 17.

32

Ibid.

mana saja yang terlibat dalam perang Napoleon harus mengembalikan kondisinya, karena itulah maka Inggris mengembalikan nusantara kepada Belanda selanjutnya nusantara berada di bawah jajahan Belanda yang ke dua kalinya.

Hingga menyusul datangnya pasukan pendudukan Jepang di Indonesia diawali dengan penyerahan pasukan Belanda terhadap Jepang Indonesia berada di bawah pendudukan Jepang yaitu fungsi system pemerintahan militer segera dijalankan yaitu praktek kerja paksa untuk pembuatan instalasi militer terjadi dimana- mana sehingga rakyat banyak menjadi korban.33

Peristiwa-peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa politik pada kurun waktu tersebut tidak dapat dilepaskan dari kekuatan Militer dan didominasi oleh Militer. Terkait dengan hal tersebut maka keberadaan benteng vredeburg di Yogyakarta yang telah ada dan berfungsi utama sebagai Aktifitas Militer yang memiliki banyak peran baik pada masa penjajahan Belanda, Inggris, Jepang sehingga dengan demikian benteng vredeburg menjadi saksi sejarah.

Benteng Vredeburg dikenal nama loji di Yogyakarta yang semuanya adalah bangunan peninggalan masa kolonial. Loji-loji tersebut antara lain loji gede atau loji besar yaitu Benteng Vredeburg. Loji cilik (loji kecil) yaitu komplek perumahan Belanda yang terletak di sebelah timur Benteng Vredeburg, loji kebon adalah Gedung Agung, dan loji setan.34

33

Buletin Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta tahun 2009. Koleksi Benteng Vredeburg Yogyakarta

34

Ibid.

34

Mengenai sejarah perkembangan loji gedhe (loji besar) yaitu Benteng Vredeburg, tidak dapat dilepaskan dari sejarah berdirinya Kasultanan Yogyakarta. Karena pada hakekatnya berdirinya Loji tersebut adalah sebagai dampak perkembangan Kasultanan Yogyakarta.

Bagi VOC pertumbuhan kerajaan Surakarta setelah perjanjian Giyanti bukan hal yang perlu dikawatirkan karena sudah sepenuhnya berada dibawah kekuasaan VOC. Namun berbeda dengan kasultanan Yogyakarta yang berada di bawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi yang selamanya menentang dan melawan VOC. Kepadanya perlu diadakan pendekatan insentif dan pengawasan. Untuk tugas ini VOC menunjuk petugas khusus yang berperan sebagai koopman (jabatan hirarki VOC yang mengurusi perdagangan) dan opperhofd (komando VOC sebagai wakil VOC yang ditempatkan di dalam istana kasultanan).35

Untuk tugas ini VOC menunjuk Kapten Cornelis Donkel.untuk kepentingan- kepentingan politik VOC perlu diangkat seorang residen dengan konsekuensi harus dibuatkan pula kantor residen (gedung kepresidenan). Hal ini untuk mengimbangi kewibawaan kasultanan. Namun sebelum gedung karesidenan itu berdiri terlebih dulu dibangun sebuah benteng. Oleh karena itu maka mulailah dibangun sebuah benteng VOC di Yogyakarta.36

35

Tashadi., Sejarah Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, (Yogyakarta: Depdikbud, 1994), hlm. 3

36

Ibid.

Pada masa awal Pemerintahan Sultan Hamengku Buana I, Kasultanan Yogyakarta dibawah naungan residen pertama yaitu Cornelis Donkel. Sesuai dengan kesepakatan Donkel dengan Sultan, maka kasultanan Yogyakarta akan menyediakan kayu dan tenaga kerja. Sedangkan VOC akan memberikan ganti rugi atas kayu yang disetorkan dengan nilai yang di terapkan sebelumnya. Pekerja yang melakukan pekerjaan pembangunan benteng diatur menurut kerja wajib atau bekerja untuk raja. Menurut Nicolaas Hartingh, Gubernur Pantai Utara Jawa di Semarang, tahun 1761 benteng VOC yang ada di Yogyakarta masih berupa tembok tanah yang diperkuat dengan tiang tiang kayu pohon kelapa dan pohon aren, sedangkan bangunan bangunan yang ada di dalam benteng hanya dari kayu atau dari bambu dan beratap ilalang sehingga mudah sekali terbakar. Karena itulah maka Willem Hendrik van Ossenberch penganti Harting mohon kepada Sultan agar benteng VOC diperkuat dengan bata yang kuat agar lebih menjamin keselamatan Sultan, permintaan itu disanggupi oleh Sultan dan diharapkan akan selesai tahun ittu juga. Namun pada kenyataannya tahun 1767 pembangunan baru dimulai dibawah pengawasan Ir.frans Haag.37

Apa yang dilakukan oleh Willem Hendrik van Ossenberch tersebut sangat beralasan. Hal ini didukung oleh keadaan bahwa garnisum VOC di Keraton Yogyakarta sangat memerlukan benteng-benteng yang permanen. Saat permohonan Willem Hendrik Van Ossenberch disampaikan kepada Sultan kondisi benteng VOC

37

Suhardjo., Penelitian Bidang Sejarah Rencana Pelestarian Dan

Pengembangan Benteng Vredeburg, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1979), hlm. 20.

36

sama sekali tidak layak disebut benteng, karena bangunan yang ada terbuat dari kayu dan tidak ada yang terbuat dari batu bata.38

Dalam perkembangannya pembangunan benteng tidak selancar yang diharapkan. Pada tahun 1771 pembangunan benteng di Yogyakarta tersebut belum banyak mengalami kemajuan seperti yang dilaporkan oleh Johannes Vos (pengganti Van Ossenberch).

Kondisi benteng masih belum juga selesai saat itu pembangunan Yogyakarta sedang dilaksanakan dengan giat, seperti yang dilaporkan oleh J.R. Van der Burg (pengganti Johannes Vos) pada tahun 1772 sampai tahun 1774 pembangunan benteng di Yogyakarta berjalan sangat lambat. Sultan HB I sibuk sendiri bersama rakyatnya dalam pembangunan proyek proyeknya sendiri (pembangunan istana dan pendukungnya). Hal ini menyebabkan adanya kekurangan tenaga kerja dalam pembangunan benteng di Yogyakarta.39

Tahun 1776 di Yogyakarta sudah memasuki tahapan finishing dan penyempurnaan. Namun demikian Residen Yogyakarta Van Rhijn diperintahkan untuk mendesak sultan agar menyelesaikan benteng secepat mungkin. Proyek proyek Sultan HB I dengan pembangunan istananya dan juga proyek proyek putra mahkota dianggap menjadi penyebab terhambatnya pembangunan benteng, dan akhirnya bangunan benteng sudah terwujud meski masih belum sempurna. Johannes Siberg selaku gunernur pantai utara jawa melaporkan bahwah dalam pembangunan benteng

38 Ibid. 39 Ibid., hlm. 21. commit to user

tersebut rumah komandan belum selesai dan beberapa gedung masih belum diberi langit langit. Untuk menyemangati agar pengerjaan benteng cepat selesai, maka VOC meminjamkan uang kepada Sultan HB I sebanyak 10.000 real. Sebagai tanggapan untuk menyenangkan hati Gubernur Jendral dan Dewan Hindia, Sultan HB I menyatakan telah memerintahkan Patih Danureja untuk mempercepat pembangunan benteng. Selanjutnya pada tahun 1785, setelah mengadakan kunjungan ke kraton- kraton, Johanes Sieberg mengirim berita ke Batavia bahwah kondisi pembangunan benteng di Yogyakarta sudah hampir selesai dan mutunya sangat baik. Pada saat itu pula benteng diresmikan oleh Johannes Sieberg yang saat itu menjabat gubernur pantai timur laut jawa. VOC kemudian memberi nama benteng tersebut dengan nama Rustenburg atau tempat beristirahat (rusten) dalam arti menjaga ketenangan (rust) sehingga dikenal sebagi Benteng Peristirahatan.40

Bangunan Rustenburg ini terbuat dari kayu jati yang disetorkan oleh Kasultanan Yogyakarta dari hutan hutan jati Gunung Kidul dan Madiun. Di dalam benteng itu pula ditempatkan pasukan VOC berkekuatan kurang lebih 100 orang tentara di bawah pimpinan seseorang kapten atau letnan. Setelah Benteng Rustenburg berdiri pimpinan VOC di Yogyakarta waktu itu yaitu Residen Van Rhijn tinggal di dalam benteng.

Johannes Sieberg masih menganggap bahwa pembangunan benteng di Yogyakarta tidak sukses, Jan Greeve melaporkan bahwa keterlambatan penyediaan kayu menyebabkan sebagian pekerjaan kayu dalam pembangunan benteng di Yogyakarta dihentikan. Baru ketika Jan Greeve berkunjung ke Yogyakarta kembali ke Yogyakarta dia mendapaati benteng dalam keadaan

40

Ibid., hlm. 22-23

38

sangat bersih dan teratur dengan baik, benteng Yogyakarta dari masa pemerintahan Sultan HB I dikirim oleh Residen Yogyakarta bahwa rakyat mancanegara telah menghabiskan waktu Sembilan puluh hari bekerja di benteng, yang kemudian dikatakan sudah mendekati penyelesaian. Jika dicermati pembngunan benteng VOC di Yogyakarta berjalan sangat lambat. Hal ini terjadi karena adanya ketidak siapan sultan atas bahan dan tenaga yang dulu dijanjikannya. Sebenarnya hal itu adalah merupakan politik sultan yang tidak mau benteng itu dibangun. Barangkali sultan sudah mempertimbangkan untung dan ruginya dengan keadaan garnisun VOC yang kuat di kota Yogyakarta.41

Sikap tidak suka terhadap keberadaan benteng itu juga ditunjukan oleh putra mahkota Kasultanan Mataram yang bernama R.M. Sundoro (kelak menjadi Sultan Hamengkubuwana II). Dengan segala upaya melakukan segala tindakan yang dapat menghambat pembangunan benteng di Yogyakarta. Meski hal itu telah diperingatkan oleh VOC, namun sikap bencinya terhadap bangsa asing tersebut tidak pernah padam. Usaha melindungi istana dari keberadaan benteng Belanda di Yogyakarta terus dilakukan. Pada tahun 1785 R.M. Sundoro meminta izin ayahnya (Sultan Hamengkubuwana I) untuk memperkuat pertahanan kraton Yogyakarta dalam menghadapi benteng VOC yang berada di depan kraton. Setelah memperoleh izin dari ayahnya, beliau memerintahkan pembangunan tembok baluwarti yang mengelilingi alun alun baik utara maupun selatan kraton Yogyakarta. Dibagian depan bangunan ini diperkuat dengan pemasangan 13 buah meriam. Senjata ini diarahkan kedepan menghadap benteng Rustenburg. Pembangunan itu terus berlangsung hingga RM Sundoro naik tahta menjadi Sultan Hamengkubuwono II.42

41

Buletin Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta., Op Cit

42

Nani Mulyani 50 Tahun Indonesia Merdeka., (Jakarta: Citra media Persada, 1995). hlm. 26

Pada waktu benteng VOC tersebut dibangun setiap hari Sultan Hamengkubuwono selalu menengok pelaksanaan pembangunan benteng. Setelah pembangunan benteng itu selesai tempat penjagaan yang berjumlah empat di tiap sudut benteng oleh Sultan masing masing diberi nama Jayawisesa untuk sebelah barat laut, jayaprayitna untuk sebelah tenggara, jayapurusa untuk sebelah timur laut dan jayaprakosaningprang di sebelah barat daya.43

Benteng berkembang dan dimanfaatkan oleh VOC. Seiring dengan berjalannya sejarah perubahan demi perubahan terjadi, setelah itu benteng berada dalam kekuasaan Bataavsche Republiek (Republik Bataf) dibawah Gubernur Van Den Berg diambil alih oleh Koninklijk Holland (kerajaan Belanda) dibawah Gubernur Daendels. Hal ini karena Napoleon Bonaperte diangkat sebagai kaisar Perancis, sedangkan Louis (Lodewijk) Napoleon diangkat sebagai raja Belanda yang waktu itu menjadi jajahan Perancis.44

Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels memegang pemerintahan di Jawa, atas Intruksinya:

Pemerintahan Eropa di pusat pusat kerajaan jawa harus diperkuat baik secara fisik maupun secara non fisik. Secara fisik, Daendels memperkuat kehadiran kekuatan Eropa dengan mengerahkan pasukan. Sementara itu secara nonfisik Daendels membuat peraturan yang meningkatkan wibawa pemerintah Belanda di mata raja-raja Jawa. Dalam upaya mewujudkan kekuatan politik Eropa di Vorstenlanden, Daendels memerintahkan pembangunan rumah residen. Residen diubah menjadi minister sebagai wakil pemerintah Belanda. Sesuai dengan kedudukanya, Daendels mengeluarkan instruksi agar minister tidak tinggal lagi di dalam benteng. Untuk itu, harus dibangun sebuah kompleks

43 Ibid. 44 Ibid. hlm 29. commit to user

40

rumah yang megah dan luas agar setara dengan status minister. Lokasi yang dipilih adalah sebuah lahan tepat di depan benteng Rustenburg. Bangunan tersebut dijadikan bukan hanya sebagai tempat tinggal minister tetapi juga sebagi tempat menginap Gubernur Jenderal bila berkunjung ke Yogyakarta. Pasukan yang berada di dalam benteng Rustenburg juga diserahi tanggungjawab untuk menjaga keselamatan minister.45

Mengenai bangunan yang diperuntukan bagi minister tersebut bangunan tua yang sudah ada pada tahun 1722. Karena kondisinya yang cukup parah maka harus terlebih dulu diadakan pemugaran. Pemugaran dilakukan secara bertahap dan diperkirakan akan selesai sempurna selama kurang lebih 30 tahun. Perbaikan pertama kali dilaksanakan pada tahun 1824 baru selesai pada tahun 1832 dengan arsitek seorang Belanda yang bernama A.Payen. bangunan yang berada disebuah pekarangan yang luas tersebut dikenal dengan Loji Kebon (Tuin Logie).

Dibidang pertahanan Deandels juga memperkuat posisi pasukan. Benteng Rustenburg yang terbuat dari kayu tidak lagi layak untuk menjadi symbol kekuatan militer pemerintah Belanda. Atas intruksinya benteng itu diubah menjadi bangunan batu dengan bentuk segi empat. Pada setiap sudutnya dibangun sebuah kubu tempat penjagaan para petugas jaga dengan lubang menembak. Benteng baru ini dibangun lebih tinggi dan dinding lebih tebal bisa untuk mengawasi lingkungan sekitar benteng tetapi juga dapat langsung melihat langsung kompleks Kraton Yogyakarta. Secara startegis benteng ini bisa menjadi ancaman bagi Kraton Yogyakarta karena meriam

45

Ibid.

meriam yang ditempatkan di dalam benteng bisa diangkat keatas dengan jangkauan tembak mencapai bagian dalam keraton.46

Oleh Daendels, benteng ini namanya diganti menjadi Vredeburg yaitu benteng Perdamaian mengenai perubahan nama dari Rustenburg menjadi Vredeburg menurut Suharjo Hatmosuprobo menjelaskan:

Terjadi setelah benteng dipugar dari kerusakan akibat gempa yang terjadi di Yogyakarta bangunan benteng Vredeburg mulai dibangun awal pembangunan keraton Kasultanan Yogyakarta dimana Benteng Vredeburg berdiri dimana tidak jauh dari lokasi keraton yang hanya sekitar satu jarak tembak meriam waktu itu, sedangkan waktu itu lokasi pembangunan keraton adalah sebuah hutan merupakan tempat pemukiman orang Belanda di Yogyakarta yang pertama merupakan prasarana perlindungan dan fasilitas pemukiman orang- orang Belanda.47

Pemukiman orang orang Eropa diluar benteng tumbuh pada permulaan abad 19, kaum bangsawan istana mulai ada menyewakan tanah jabatannya (pelunguh atau oponage) kepada orang orang asing untuk membuka perkebunan.

Orang orang eropa yang bermukim diluar benteng tersebut pada umumnya adalah para perwira kompeni yang telah pensiun, mereka berganti profesi menjadi pengusaha perkebunan antara lain Andries Claring, Joh Jansen, Pieter Wieseman, Baumargaten, de Ceuvalaire, J. Raaf, Wendeling, Emmen, Schlk, Weijnschenk, Dom dan sebagainy. Mereka menjadi penduduk Yogyakarta dari golongan Eropa yang tertua dan merupakan kelompok yang eksklusif yang mengadakan hubungan kekerabatan satu sama lain. Nama-nama yang tertera pada batu nisan di makam Eropa

46

Darsiti Soeratman., Kehidupan Dunia Keraton Yogyakarta, (Yogyakarta: Tamansiswa, 1989), hlm. 36.

47

Ibid.

42

yang dahulu terletak disebelah timur pasar Beringharja menunjukan hubungan kekerabatan dengan mereka. Nama nama itu antara lain: Wiesemen-Klaring, Klaring- Emmen, Emmen-Schalk, Schalk-Kraag, Kraag-Wejindom.48

Komplek perkampungan orang-orang Eropa yang pertama terletak di sebelah timur Benteng Kompeni. Kampung tersebut terkenal dengan nama loji cilik atau loji kecil untuk membedakan perkampungan orang-orang Eropa didalam Benteng Vredeburg yang terkenal dengan nama loji gedhe atau loji besar. Dalam perkembangannya perkampungan orang Eropa tersebut meluas ke daerah sebelah timur sungai code yang bernama kampung Bintaran.49

Permulaan abad-20 dibuka perkampungan baru bagi orang Eropa disebelah utara kota perkampungan tersebut dinamakan kota baru. Dibangunnya kota tersebut diperkirakan waktunya tidak terpaut jauh dengan adanya pendirian pabrik-pabrik gula di Pleret maupun di Cebongan. Para administrator pabrik gula sebagian besar orang Belanda, sehingga selama bertugas mereka membutuhkan tempat hunian khusus. Oleh pemerintah pada waktu itu dipilihkan kawasan yang dikenal dengan kota baru. Disebut kota baru karena merupakan kawasan yang dibangun baru, kawasan tersebut mnemenuhi persyaratan sebuah kota dengan fasilitas jalan bangunan fisik berupa

48

Suryo Haryono., Monumen Perjuangan Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: Depdikbud, 1987), hlm 40

49

Wawancara dengan Suseno tanggal 19 Februari 2012 commit to user

perkantoran, sekolah, lapangan olah raga, rumah sakit, taman, termasuk gereja sebagai tempat ibadah dikenal sebagai tempat para atministratur Belanda.50

Pemukiman orang belanda dikenal dengan kidul loji terletak diselatan benteng, waktu itu Residen Van Rhijn berhasil meminta tanah kepada Sultan Hamengkubuwana I sebagai tempat perumahan orang-orang Eropa. Setelah di ijinkan tanah tersebut dibangun dilokasi tersebut sebagai kompleks pemukiman Eropa. Berhadapan dengan benteng vredeburg adalah Gedung Agung yang dulu dikenal

Dokumen terkait