• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERKEMBANGAN PENYELESAIAN TANAH GARAPAN

C. Masa Sekarang

Dalam kenyataannya, Hak Guna Usaha merupakan hak atas tanah yang mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini disebabkan perkembangan

dunia usaha semakin pesat, seiring dengan adanya kebijakan Pemerintah mengembangkan dunia usaha di bidang agrobisnis dan agroindustri, maka salah satu persyaratan yang harus tersedia adalah adanya tanah luas yang mendukung lokasi usaha tersebut. Oleh karena itu, adanya Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, maka dapat memberikan kemudahan kepada pemegang Hak Guna Usaha untuk mendapatkan atau melakukan perpanjangan apabila jangka waktu Hak Guna Usaha berakhir.62

Setelah berakhirnya jangka waktu Hak Guna Usaha dalam waktu 35 tahun dengan perpanjangan 25 tahun atau seluruhnya berjumlah 60 tahun, maka Hak Guna Usaha akan hapus demi hukum. Hapusnya Hak Guna Usaha ini bukan berarti tidak dapat diperbaharui. Sesuai dengan ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, bahwa Hak Guna Usaha yang telah berakhir atau hapus tersebut dapat di perpanjang kembali.63

Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, yang dimaksud dengan pihak lain ini adalah warga Negara Indonesia, jadi tidak dapat diberikan kepada orang asing, akan tetapi bagi badan-badan hukum yang bermodal asing mungkin dapat diberikan dengan pembatasan yang disebutkan dalam Pasal 55 UUPA (Hak Guna Usaha hanya terbuka kemungkinannya untuk diberikan kepada badan-badan hukum yang untuk sebagian atau seluruhnya bermodal asing jika hal ini diperlukan oleh Undang-Undang yang mengatur pembangunan nasional semesta

62Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta : Sinar Grafika, 2007, hal 112.

63

berencana). Menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, bahwa untuk keperluan perusahaan-perusahaan modal asing dapat diberikan tanah dengan Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai menurut peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.64

Negara bukan pemilik (owner) tanah, tetapi di dalam kedudukannya sebagai personifikasi rakyat/bangsa Indonesia mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu. Untuk melaksanakan kewenangannya, Negara mempunyai kewajiban untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan umum dan perseorangan, termasuk kepentingan pemegang Hak Guna Usaha. Adanya pembatasan jangka waktu Hak Guna Usaha tersebut memungkinkan Negara/Pemerintah secara berkala melakukan pengawasan apakah keseimbangan tersebut masih dapat dipertahankan.65

Apabila Hak Guna Usaha tersebut berakhir dan tidak diperpanjang lagi oleh pemegang hak nya atau tidak diberikan lagi perpanjangan oleh Pemerintah di sebabkan beberapa hal, misalnya tidak sesuai lagi dengan rencana penggunaan tanahnya atau diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, maka Pemerintah akan menetapkan tanah tersebut sebagai tanah Negara yang akan di distribusikan kepada rakyat dan kepentingan lain yang mengkehendaki sesuai ketentuan yang berlaku.

Redistribusi tanah pada umumnya dilatar belakangi oleh suatu keadaan dimana terdapat sebagian besar tanah pertanian dimiliki oleh beberapa orang saja,

64G. Kartasapoetra,Masalah Pertanahan di Indonesia, Jakarta : PT Rineka Cipta, 1992, hal 8. 65

Maria S W Sumarjono,Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta : Penerbit buku Kompas, 2001, hal 94.

tanah-tanah bekas perkebunan dan lain-lain, dan ini terjadi terutama di Negara- Negara berkembang yang tekanan penduduknya pada umumnya sangat tinggi dan fasilitas industri untuk menampung kelebihan penduduk pedesaan terbatas.66

Secara prakteknya, selama ini telah begitu banyak tanah pertanian/perkebunan diredistribusikan kepada para petani penggarap/buruh tani dengan pembayaran uang ganti rugi kepada Negara dengan pelunasan jangka panjang (15 tahun). Karena administrasi belum berjalan begitu baik sehingga banyak hambatan yang dialami terutama pada waktu menjelang tahun 1965 dan beberapa tahun sesudah itu, maka pembayaran uang ganti rugi kepada Pemerintah dan Pemerintah kepada ex pemilik tanah sampai saat ini belum rampung. Sehingga perlu adanya pengawasan ketat dari aparat agraria kabupaten/kotamadya terhadap tanah-tanah yang sudah diredistribusikan terutama yang belum dilunasi uang ganti ruginya harus di indahkan.67

Redistribusi tanah pertanian/perkebunan tersebut terkecuali terjadi juga pada areal perkebunan di Sumatera Utara termasuk pada areal PTPN II, namun pembagian tanah tersebut tidak berjalan mulus baik menyangkut ganti rugi kepada bekas pemegang hak, pembayaran ganti rugi (harga) tanah kepada Negara, sampai kepada pendaftaran tanah, sehingga banyak ditemukan ketidakpastian hukum atas pemilikan/penggarapan tanah tersebut hingga saat ini.

66

H. Affan Mukti,Pembahasan Undang-Undang Pokok Agraria, Medan : Usupress, 2010, hal 50.

67

Tidak adanya kepastian hukum sebagai pengaruh era reformasi mengakibatkan adanya tindakan masyarakat yang bertentangan dengan hukum sehingga perusahaan perkebunan menjadi korban karena lahan tanah perkebunan diambil oleh masyarakat dengan berbagai dalih antara lain klaim Hak Ulayat, Penggarapan, Tuntutan Perkembangan Kota dengan Perubahan Tata Ruang dan Tuntutan lainnya, termasuk pada areal PTPN II. Klaim terhadap hak ulayat ini antara lain disebabkan areal perkebunan PTPN II ini umumnya berada di wilayah etnis melayu dan dahulu tanah PTPN II adalah tanah hak ulayat (masyarakat adat melayu)68.

Hak ulayat masih diakui adanya, namun hak tersebut tidak dapat dibenarkan untuk menghalang-halangi pemberian hak guna usaha dan tidak dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayat menolak begitu saja karena kepentingan masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih luas.69

Tentang pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat, UUPA tidak memberikan kriteria. Boedi Harsono menyebutkan alasan para perancang dan pembentuk UUPA untuk tidak mengatur tentang hak ulayat karena pengaturan hak ulayat, baik dalam penentuan kriteria eksistensi maupun pendaftarannya akan melestarikan keberadaan hak ulayat, sedangkan secara alamiah terdapat kecenderungan melemahnya hak ulayat. Dalam kenyataannya ketiadaan kriteria persyaratan eksistensi hak ulayat

68

Ediwarman,Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003, hal 193.

69

merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap marjinalisasi hak masyarakat hukum adat.70

Salah satu hasil dari reformasi yang telah terjadi yakni munculnya situasi dimana masyarakat tidak punya rem menggunakan dan malah menguasai tanah yang bukan miliknya, karena mereka menganggap secara sah bahwa secara syarat formal hukum yang mereka tau di tanah itu melekat hak mereka secara terus menerus tanpa menghiraukan hukum tanah yang mereka anggap telah memporak porandakan hak mereka tanpa menyadari bahwa hukum itu memberikan keadilan bagi penggunanya. Bila seandainya masyarakat melepaskan diri dari aturan pertanahan yang ada bisa jadi lebih parah dan lebih kacau. Sebab pada prinsipnya tidak ada aturan yang menyengsarakan rakyat.71

Hingga kini perbuatan melawan hukum ini terpaksa diselesaikan dengan berdamai, yaitu dengan pemberian ganti-rugi atas tanaman yang telah ditanam secara tidak sah oleh si penyerobot. Untuk mencegah perluasan perbuatan semacam ini diharapkan dengan sangat agar pihak yang berwenang dapat bertindak dengan tegas terhadap pihak yang mengadakan perbuatan hukum tersebut.72

Perkembangan penyelesaian tanah garapan masyarakat belakangan ini baik disebabkan oleh adanya klaim atas tuntutan hak ulayat, adanya tanah redistribusi

70

Maria S. W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, Jakarta : Buku Kompas, 2008, hal 171.

71

Muhammad Yamin,Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003, hal 47.

72

Sunarjati Hartono, Beberapa Pemikiran Kearah Pembaharuan Hukum Tanah¸ Bandung : Alumni, 1978, hal 83.

yang tidak tuntas, adanya tindakan penguasaan/pendudukan secara tidak sah oleh masyarakat atas tanah perkebunan dan lain-lain sebab telah menimbulkan persoalan yang rumit saat ini ditambah lagi ketidak tegasan Pemerintah dalam menerbitkan ijin pelepasan asset atas tanah-tanah yang tidak diperpanjang HGU nya sesuai dengan ketentuan dalam SK KBPN Nomor 42/HGU/BPN/2002.

Berdasarkan Surat Keputusan KBPN Nomor 42/HGU/BPN/2002 menyatakan bahwa terhadap areal Eks HGU yang tidak diperpanjang maka penyelesaian tersebut diserahkan kepada Gubernur Sumatera Utara untuk mengatur P4T yaitu mengatur penguasaan, pemilikan, penggunanaan dan pemanfaatan tanah setelah mendapat ijin pelepasan asset dari Menteri yang berwenang. Hingga saat ini belum ada ijin pelepasan asset dari Menteri yang berwenang sehingga Gubernur belum dapat mendistribusikan baik dalam hal ini kepada tuntutan rakyat, garapan rakyat, rumah pensiunan karyawan dan bahkan RUTR/RUTW.73

Agar penanganan tanah garapan pada areal Eks HGU PTPN II tersebut dapat diselesaikan dari pada menunggu ijin pelepasan asset dari Menteri yang berwenang, sesungguhnya Gubernur Sumatera Utara harus berperan aktif dengan cara membentuk kelompok kerja untuk meneliti kembali dengan melakukan penelitian langsung ke lapangan apakah sesuai nama-nama rakyat penggarap yang dilindungi oleh Undang-Undang dengan identitas penggarap berdasarkan dokumen-dokumen yang sah seperti salah satunya SIM (Surat Izin Menggarap) yang ada di lapangan

73

Wawancara dengan Hasinuddin, selaku bagian Kepala Seksi Pengaturan Tanah Pemerintah Kanwil Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara, tanggal 05 Februari di Kanwil Badan Pertanahan Nasional, Medan.

serta bukti-bukti yang konkrit yang benar-benar menyatakan bahwa si pemegang hak memperoleh ijin menggarap pada masa itu, namun kenyataan dilapangan yang ditunjukan hanyalah fotocopy-fotocopy, jika sesuai dan akurat data-data di lapangan maka tanah tersebut dapat dikeluarkan dari areal Eks HGU PTPN II dan apabila tuntutan garapan tersebut ternyata penggarap yang tidak dilindungi oleh Undang- Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 maka tuntutan tersebut ditolak dan penggarap tersebut diperintahkan oleh aparat untuk meninggalkan areal Eks HGU PTPN II. Selanjutnya tanah yang dimohonkan menjadi tanah yang dikeluarkan dari areal HGU PTPN II antara lain apabila tanahnya atau obyeknya maupun subyeknya (penggarap) maupun ahli waris penggarap dilindungi oleh Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 sedang ijin pelepasan asset dari Menteri yang berwenang jika dikeluarkan harus ada kejelasan kepada siapa tanah tersebut diberikan, sebab penerbitan ijin pengeluaran dari asset oleh Menteri yang berwenang tanpa terlebih dahulu adanya penelitian kepada siapa yang berhak justru akan menimbulkan bentrok fisik antar pihak-pihak yang menginginkan tanah areal Eks HGU PTPN II tersebut.

Menurut Muhammad Zamkani, selaku Deputi Bidang Usaha Industri Primer Kementerian BUMN, makna pelepasan asset lahan tersebut juga belum ada persamaan persepsi, sebab menurut versi Kementerian BUMN, jika HGU habis maka tidak serta merta lahan itu menjadi milik masyarakat atau milik Negara cq.Pemda. Jika PTPN II sebagai pihak lama yang mengelola nya masih mau, maka HGU diperpanjang lagi untuk PTPN II. Namun tidak dipungkiri, jika sudah ada putusan Pengadilan yang memerintahkan lahan itu dilepaskan, maka Kementerian BUMN

juga melepaskannya, akan tetapi kewenangan pelepasan asset tersebut harus melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan setiap jajaran direksi juga sudah mempersiapkan solusi, serta harus berhati-hati karena menyangkut tanggung jawab menjaga asset. Menurut Sekretaris Utama Badan Pertanahan Nasional (BPN) Managam Manurung, bahwa lahan di PTPN II sudah tidak lagi menjadi ranah BPN untuk memproses penyelesaiannya, sebab pihak BPN sudah memutuskan tidak lagi memperpanjang HGU untuk PTPN II di lahan-lahan yang bermasalah, dan hal tersebut dibenarkan oleh Kementerian BUMN telah menerima surat permintaan pelepasan asset. Akan tetapi Kementerian BUMN belum mau melepaskan asset, samping itu BUMN belum puas dengan hasil pemetaan Tim Khusus yang dibentuk oleh Gubsu Gatot Pujo Nugroho berdasarkan SK Gubsu tanggal 23 September 2011 sebab PTPN II itu sendiri tidak masuk dalam tim tersebut.74

Gubsu Gatot Pujo Nugroho bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FKPD) menyerahkan sejumlah dokumen diantaranya permohonan pelepasan asset atas tanah 5.873.06 Ha eks PTPN II serta menyerahkan hasil kerja Tim Khusus Penanganan Areal eks HGU PTPN II yang dibentuk FKPD Plus pada September 2012, yang tugas Tim Khusus tersebut adalah mengiventarisasi tanah eks HGU PTPN II sekaligus juga melaporkan tentang HGU yang telah diperpanjang dan hasil tersebut dilaporkan ke Menteri BUMN.

74 BUMN Ogah Lepas Lahan Eks HGU PTPN, http://sumutpos.co/2012/05/34736/bumn-

Berbagai langkah telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara terkait dengan permasalahan eks HGU PTPN II yang sudah cukup panjang sejak tahun 1999 sampai sekarang, namun kemajuan yang telah dilakukan terlihat pada tahun 2010 hingga 2012 setelah terbentuknya tim khusus yang menangani tentang pemetaan atas tanah-tanah yang saat ini di atas lahan eks HGU. Dalam hal ini Gubernur juga meminta kepada Menteri BUMN sesuai ketentuan yang diatur oleh Keputusan Kepala BPN bahwa lahan-lahan eks HGU yang habis masanya sebelum diberikan peruntukannya harus secara langsung dilepas oleh Menteri BUMN yang kemudian diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sesuai peruntukannya. Langkah-langkah yang telah dilakukan Gubernur bersama FKPD dan Tim disambut baik oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan, karena upaya yang dilakukan tersebut adalah bertujuan untuk mencari win-win solution yang terbaik bagi kepentingan masyarakat. Akan tetapi hingga saat ini, belum ada penyelesaian yang tuntas mengenai masalah tanah Eks HGU PTPN II tersebut.75

Sementara itu, salah satu pihak yang mengajukan tuntutan dan penggarapan atas areal PTPN II dengan klaim hak ulayat adalah Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) menurut pendapat Buyung salah satu penggarap Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia pada awalnya areal Kebun Helvetia keseluruhannya adalah tanah perkampungan. Menurut beliau bahwa dalam Undang- Undang Dasar 1945 dalam Pasal 33 ayat (3) menyatakan bumi dan air serta kekayaan 75Sengketa Lahan Sumut : Konflik Lahan Bekas HGU PTPN II Agar Dituntaskan Secara

Persuasif,http://www.bisnis-kepri.com/index.php/2013/02/sengketa-lahan-sumut-konflik-lahan-bekas- hgu-ptpn-2-agar-dituntaskan-secara-persuasif/, diakses hari Sabtu tanggal 16 Maret 2013.

alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, hal ini menurut Buyung bahwa UUD 1945 tanah yang dimaksud bukan milik Negara namun diplesetkan seakan-akan menjadi tanah Negara, padahal sesungguhnya tanah tersebut pada awalnya sebelum merdeka rakyat yang lebih dulu menguasai tanah tersebut, sehingga menjadi sengketa dikarenakan Pemerintah menguasai tanah rakyat. Maka bagi rakyat penunggu di areal tersebut menuntut agar tanah ulayat mereka dikembalikan yang telah diambil oleh pihak perusahaan. Sebab menurut rakyat penunggu bahwa Pemerintah tidak mempedulikan nasib rakyat yang asli penduduk pribumi yang dahulu di jaman Belanda diakui hak- haknya untuk bercocok tanam dan sebelum perang dunia II adanya sebuah perjanjian akta konsesi dengan Sultan atas nama rakyat.

Pada awalnya tanah tembakau ini berupa tanah djaluran76, menurut Buyung dahulu setelah masa panen tembakau maka tanah dilepas lalu rakyat di ijinkan untuk mengelola tanah sehabis panen tembakau tersebut untuk menanam tanaman semusim selama 1 tahun setelah itu dihutankan kembali selama 7 tahun (sistem rotasi) namun sistem ini telah berhenti sekitar tahun 1975. Pemerintah tidak memberi ijin kepada rakyat untuk bercocok tanam kembali sebab pihak perkebunan menanam tanaman 76Tanah Djaluran juga perwujutan dari hak ulayat dari pada masyarakat hukum yang terdapat

di Sumatera Timur khususnya. Timbulnya tanah djaluran berhubung karena para konsesionaris (dahulu disebut para saudagar) ingin mengetahui dan meletakkan dasar serta dipertegas hak ulayat dari pada masyarakat hukum tersebut. Hal ini dapat dimengerti karena para ondernemer ketika itu tidak biasa dengan hukum adat kita (yang tidak tertulis) maka dalam model akta 1877, model aktaa 1878,1884 dan 1892 menjelaskan dan mempertegas hak rakyat tanah-tanah yang dahulu termasuk hak ulayat kampungnya baik atas penanaman pohon,buah-buahan untuk rakyat, tetapi lebih bersifat bahwa tanah djaluran bukan persetujuan antara raja-raja Sumatera Timur dengan para ondernemer akan tetapi dengan persetujuan pemerintah Belanda yang hanya bersifat deklaratif saja dari pada hukum adat dalam bidang pertnahanan.

tebu setelah habis panen tembakau, hingga pada akhirnya rakyat penunggu menuntut atas tanah ulayat mereka apalagi terlebih rakyat penunggu ini mayoritas adalah bertani. Negara Indonesia merupakan negara agraris, sehingga bagi rakyat penunggu hanya bertumpu pada tanah.

Pengacara demi pengacara telah dibentuk oleh pihak rakyat penunggu untuk melakukan penyelesaian sengketa tanah garapan pada areal Kebun Helvetia. Namun hingga saat ini menurut Buyung penanganan sengketa tanah garapan tersebut tidak terselesaikan sebab adanya pihak-pihak yang berkepentingan memanfaatkan situasi sehingga menjadi alasan bahwa daerah Sumatera Utara sudah tidak kondusif disebabkan tidak terselesainya permasalahkan tentang sengketa tanah garapan pada areal Kebun Helvetia.77

77Wawancara dengan Buyung selaku pemangku adat Masyarakat Adat di bawah Badan

Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia Sumatera Utara, pada tanggal 22 Maret 2013 di kediaman Buyung pemangku Masyarakat Adat di bawah Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia.

Dokumen terkait