• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hambatan-Hambatan Hukum Dalam Penyelesaian Tanah Garapan Pada Areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia : Atas Adanya SK KBPN Nomor 42/HGU/BPN/2002

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hambatan-Hambatan Hukum Dalam Penyelesaian Tanah Garapan Pada Areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia : Atas Adanya SK KBPN Nomor 42/HGU/BPN/2002"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

CHRISTINA CAROLYN

107011071/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

CHRISTINA CAROLYN

107011071/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Nama Mahasiswa : CHRISTINA CAROLYN Nomor Pokok : 107011071

Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum) (Abdul Rahim Lubis, SH, MKn)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

(5)

Nama : CHRISTINA CAROLYN

Nim : 107011071

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : HAMBATAN-HAMBATAN HUKUM DALAM

PENYELESAIAN TANAH GARAPAN PADA AREAL EKS HGU PTPN II KEBUN HELVETIA : ATAS ADANYA SK KBPN NOMOR 42/HGU/BPN/2002

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri

bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena

kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi

Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas

perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan

sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :CHRISTINA CAROLYN

(6)

Utara. Status hak atas tanah yang dikuasai dan diusahakan adalah Hak Guna Usaha yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1996. HGU dari segi sejarahnya berasal dari konsep Hak Barat yaitu Hak Erfpacht yang diatur dalam Buku II KUHPer kemudian diadopsi dalam Undang-Undang Pokok Agraria dengan nama HGU selain itu dikenal Hak Konsesi yang khususnya di daerah Swapraja seperti di wilayah Kesultanan Deli di Residen Sumatera Timur yang sekarang dengan nama PTPN II. Awal penggarapan terjadi pada masa Pemerintahan Jepang di Indonesia, dimana pada saat itu karena menimbulkan keadaan darurat dalam persediaan pangan sehingga tanah-tanah perkebunan di usahakan oleh rakyat, maka sejak saat itu penggarapan semakin bertambah.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang diperoleh adalah data sekunder yang diperoleh dari sumber kepustakaan, serta data di dukung informan pada PT Perkebunan Nusantara II Kebun Helvetia, Badan Pertanahan Nasional dan Buyung selaku pemangku masyarakat adat Melayu Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sesuai dalam SK KBPN Nomor 42/HGU/BPN/2002 dalam diktum 3 dan 4 yang menyatakan bahwa pengaturan, penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah diserahkan kepada Gubernur Sumatera Utara dan kemudian akan di distribusikan sesuai peruntukannya sebelum adanya ijin pelepasan asset dari Menteri terkait. Hambatan-hambatan hukum dalam penyelesaian tanah garapan pada areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia ada hambatan yuridis yang terkait dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang perkebunan, Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 jo Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disamping tu adanya hambatan kelembagaan maupun hambatan budaya/sosiologis yang hingga saat ini sehingga menyebabkan penyelesaian tanah garapan pada areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia tidak tuntas.

(7)

land rights controlled and managed by this company is regulated in the Land Law and Law No. 40/1966. From the historical point of view, the Leasehold was originated from the Western rights or erfpracht rights, regulated in Book II of KUHPer and later adopted in the Land Law which was called Leasehold. Besides that, there was also the Leasehold in the autonomous area such as in Deli Sultanate, East Sumatera Residency, which is now known as PTPN II. The work on the land occurred during the Japanese occupation in Indonesia when there was an emergency in food supply so that people began to work on the estate land; since then, the work on land has become increasing.

The research used descriptive analytic method with judicial normative and judicial empirical approach. The data were secondary data from library research, supported by information from informants at PT Perkebunan Nusantara II, Helvetia Plantation, and the National Land Agency, including Buyung, the head of Melayu adat community of the Indonesian Tillers’ Resistance Body (BPRPI).

The result of the research showed that, according to SK KBPN No. 42/HGU/BPN/2002, dictums 3 and 4, it is stated that the management, the control, the ownership, and the use of land is handed over to the governor of North Sumatera and will be distributed to the appropriate persons before there is the discharge from the related Minister. There have been legal problems in settling crop land in the area of Ex-Leasehold of PTPN II, Helvetia Plantation, related to Law No. 18/2004 on Plantation, Land Law No. 54/1960, in conjunction with Law No. 40/1996 on Leasehold, and Law No. 26/2007 on Layout. Besides that, there have also been institutional and cultural/sociological problems so that the problems of crop land in the area of Ex-Leasehold of PTPN II, Helvetia Plantation, are not settled.

(8)

di Pascasarjana Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara Medan dan yang telah menuntun hamba Nya sehingga penulisan tesis

ini dapat penulis selesaikan dengan baik

Adapun judul yang diangkat Penulis adalah :

“HAMBATAN-HAMBATAN HUKUM DALAM PENYELESAIAN TANAH GARAPAN PADA AREAL EKS HGU PTPN II KEBUN HELVETIA : ATAS ADANYA SK KBPN NOMOR 42/HGU/BPN/2002”. Penulis sangat menyadari bahwa sepenuhnya ketidaksempurnaan dalam menyelesaikan Penulisan

Tesis ini, yang disebabkan keterbatasan penulis dalam melakukan penjabaran

data-data yang diperlukan dalam penulisan tesis ini.

Hingga akhirnya dalam penyelesaian tesis ini, penulis mendapatkan sangat

banyak dukungan, masukan serta doa dari berbagai pihak yang mungkin tidak dapat

penulis jabarkan satu persatu. Namun pada kesempatan ini penulis ingin

menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN, Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH., CN., M.Hum dan Bapak Abdul Rahim Lubis, SH., M.Kn,

selaku dosen pembimbing, demikian juga kepada BapakNotaris Dr. Syahril Sofyan, SH., M.Kn, dan Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH., MS, selaku dosen penguji, atas kesediaan memberikan bimbingan, arahan maupun petunjuk kepada penulis,

sejak proposal sampai selesainya penyelesaian tesis ini.

Selanjutnya penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H,M.Sc (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

(9)

Studi Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH., CN., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn)

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu

kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.

6. Kepada semua rekan-rekan seangkatan mahasiswa Magister Kenotariatan

(M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang tidak dapat

disebut satu persatu dalam kebersamaannya mulai masa studi sampai pada

penulisan dan penyelesaian tesis ini.

Terutama kepada kedua Orangtua Penulis Ir SM Siahaan dan E Hutabarat serta kedua

adik penulis Paulus Salomo Siahaan dan Samuel Hasudungan Siahaan yang telah

memberikan kasih sayang dan nasihat sehingga Penulis selalu termotivasi untuk

mencapai cita-cita Penulis.

Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat dan berguna serta dapat

memberikan sumbangsih dalam kasanah ilmu pengetahuan,

Akhir kata penulis ucapkan terimakasih.

Medan, Agustus 2013 Penulis

(10)

Nama Lengkap : Christina Carolyn Siahaan

Tempat/Tanggal lahir : Palu / 26 Februari 1988

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Komplek Pondok Surya blok 1 nomor 28 Helvetia

Medan

II. IDENTITAS KELUARGA

Nama Ayah : Ir Sahat Marulitua Siahaan

Nama Ibu : Esther Tiominar Hutabaraat

Nama Adik : Paulus Salomo Siahaan

Nama Adik : Samuel Hasudungan Siahaan

III. RIWAYAT PENDIDIKAN

TK Negeri Pembina Medan : Tamat Tahun 1994

SD Methodist I Medan : Tamat Tahun 2000

SMP Methodist I Medan : Tamat Tahun 2003

SMA Swasta Santo Thomas II Medan : Tamat Tahun 2006

S1 Fakultas Hukum Universitas SumateraUtara : Tamat Tahun 2010

S2 Program Studi Magister Kenotariatan

(11)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 15

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 15

E. Keaslian Penelitian... 16

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 17

G. Metode Penelitian... 21

BAB II PERKEMBANGAN PENYELESAIAN TANAH GARAPAN PADA AREAL EKS HGU PTPN II KEBUN HELVETIA ... 26

A. Masa Pemerintahan Belanda ... 26

B. Masa Pemerintahan Jepang ... 29

C. Masa Sekarang ... 29

BAB III BENTUK PENYELESAIAN TANAH GARAPAN PADA AREAL EKS HGU PTPN II KEBUN HELVETIA ... 41

A. Upaya Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan ... 41

B. Pola Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan... 47

C. Pola Penyelesaian Pada Areal Perkebunan ... 52

(12)

B. Hambatan Kelembagaan ... 113

C. Hambatan Budaya/Sosiologi ... 122

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 126

A. Kesimpulan ... 126

B. Saran ... 127

(13)

Utara. Status hak atas tanah yang dikuasai dan diusahakan adalah Hak Guna Usaha yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1996. HGU dari segi sejarahnya berasal dari konsep Hak Barat yaitu Hak Erfpacht yang diatur dalam Buku II KUHPer kemudian diadopsi dalam Undang-Undang Pokok Agraria dengan nama HGU selain itu dikenal Hak Konsesi yang khususnya di daerah Swapraja seperti di wilayah Kesultanan Deli di Residen Sumatera Timur yang sekarang dengan nama PTPN II. Awal penggarapan terjadi pada masa Pemerintahan Jepang di Indonesia, dimana pada saat itu karena menimbulkan keadaan darurat dalam persediaan pangan sehingga tanah-tanah perkebunan di usahakan oleh rakyat, maka sejak saat itu penggarapan semakin bertambah.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang diperoleh adalah data sekunder yang diperoleh dari sumber kepustakaan, serta data di dukung informan pada PT Perkebunan Nusantara II Kebun Helvetia, Badan Pertanahan Nasional dan Buyung selaku pemangku masyarakat adat Melayu Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sesuai dalam SK KBPN Nomor 42/HGU/BPN/2002 dalam diktum 3 dan 4 yang menyatakan bahwa pengaturan, penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah diserahkan kepada Gubernur Sumatera Utara dan kemudian akan di distribusikan sesuai peruntukannya sebelum adanya ijin pelepasan asset dari Menteri terkait. Hambatan-hambatan hukum dalam penyelesaian tanah garapan pada areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia ada hambatan yuridis yang terkait dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang perkebunan, Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 jo Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disamping tu adanya hambatan kelembagaan maupun hambatan budaya/sosiologis yang hingga saat ini sehingga menyebabkan penyelesaian tanah garapan pada areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia tidak tuntas.

(14)

land rights controlled and managed by this company is regulated in the Land Law and Law No. 40/1966. From the historical point of view, the Leasehold was originated from the Western rights or erfpracht rights, regulated in Book II of KUHPer and later adopted in the Land Law which was called Leasehold. Besides that, there was also the Leasehold in the autonomous area such as in Deli Sultanate, East Sumatera Residency, which is now known as PTPN II. The work on the land occurred during the Japanese occupation in Indonesia when there was an emergency in food supply so that people began to work on the estate land; since then, the work on land has become increasing.

The research used descriptive analytic method with judicial normative and judicial empirical approach. The data were secondary data from library research, supported by information from informants at PT Perkebunan Nusantara II, Helvetia Plantation, and the National Land Agency, including Buyung, the head of Melayu adat community of the Indonesian Tillers’ Resistance Body (BPRPI).

The result of the research showed that, according to SK KBPN No. 42/HGU/BPN/2002, dictums 3 and 4, it is stated that the management, the control, the ownership, and the use of land is handed over to the governor of North Sumatera and will be distributed to the appropriate persons before there is the discharge from the related Minister. There have been legal problems in settling crop land in the area of Ex-Leasehold of PTPN II, Helvetia Plantation, related to Law No. 18/2004 on Plantation, Land Law No. 54/1960, in conjunction with Law No. 40/1996 on Leasehold, and Law No. 26/2007 on Layout. Besides that, there have also been institutional and cultural/sociological problems so that the problems of crop land in the area of Ex-Leasehold of PTPN II, Helvetia Plantation, are not settled.

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang.

Kewenangan pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan tumbuh dan

mengakar dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 kemudian ditunaskan

secara kokoh dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang

Pokok Agraria (UUPA).1

Secara Konstitusional Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 33 ayat (3)

telah memberikan landasan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung

di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat.2

Pada dasarnya UUPA bertujuan meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan

hukum Agraria yang merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan

dan keadilan rakyat ini serta menciptakan ketertiban rakyat tani dan kepastian hukum

dalam hal penguasaan dan pengusahaan atas hak- hak Agraria.3

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengatur antara lain hak atas tanah

yang dalam pasal 6 UUPA disebutkan tanah tersebut mempunyai fungsi sosial yang

mengkehendaki supaya hak atas tanah yang dipunyai oleh seseorang atau badan

1 Muhammad Yamin, Abd.Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Bandung : Penerbit

Mandar Maju, 2010, hal 1.

2Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya,

Bandung : Alumni, 1993, hal 1.

3Muhammad Yamin,Abd.Rahim,Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria. Medan: Pustaka

(16)

hukum tidak boleh dipergunakan secara semata-mata untuk kepentingan pribadi

dengan sewenang-wenang tanpa menghiraukan kepentingan masyarakat ataupun

dengan mentelantarkan tanah tersebut sehingga tidak ada manfaatnya dan akan

merugikan masyarakat.4

UUPA masih sangat memerlukan berbagai peraturan pelaksanaan lainnya

namun peraturan pelaksanaan tersebut sangat lambat pembuatannya. Politik Agraria

belum dijalankan dan belum dibuat penjabaran dari dasar hukumnya.5

Politik Agraria adalah suatu kebijaksanaan yang dianut oleh suatu pemerintah

Negara dengan ruang lingkup tanah dengan tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan

dan kemakmuran rakyat atau tanah tersebut hanya dipandang sebagai produksi

semata-mata tanpa menghiraukan kesengsaraan yang diderita oleh rakyat dalam suatu

Negara.6

Hanya saja politik agrarian di Indonesia harus dapat mewujudkan fungsi

bumi, air dan ruang angkasa untuk mencapai sebesar-besarnya bagi kemakmuran

rakyat serta harus dapat mengamalkan Pancasila sebagai asas kerohanian Negara dan

cita-cita bangsa seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, termasuk

yang dijabarkan di dalam UUPA khususnya ketika membicarakan hak atas tanah.7

Hak atas tanah yang dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria adalah

adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat

4K Wantjik Saleh,Hak Anda Atas Tanah, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1977 , hal 16. 5

Moh. Mahfud MD,Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta : Gama Media, 1999, hal 118.

6Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia) Jilid I, Jakarta : Prestasi

Pustakaraya, 2004, hal 46.

7

(17)

diberikan kepada dan dijumpai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama

dengan orang-orang lain serta badan hukum.8

Tanah dalam perspektif hubungannya dengan orang dan badan hukum yang

memerlukan jaminan kepastian hukum akan haknya. Yang dimaksud kepastian

hukum tidak lain adalah kepastian akan perlindungan hukum terhadap hak atas tanah

yang bersangkutan, yaitu perlindungan terhadap hubungan hukumnya serta

perlindungan terhadap pelaksanaan kewenangan haknya. Dalam hubungan dengan

tanah, kepastian hukum berkaitan dengan kepastian mengenai letak dan batas-batas

tanah yang telah dilekati hak dimaksud. Hal ini berarti bahwa setiap hak tanah

dituntut kepastian mengenai subyek, obyek serta pelaksanaan kewenangan hak.

Ketika tidak ada kepastian hukum hak atas tanah maka masih terjadi masalah

pertanahan.9

Masalah pertanahan saat sekarang ini cukup mendapat perhatian dan boleh

dikatakan menjadi salah satu isu nasional yang dapat menjadi bahan pembicaraan dari

berbagai kalangan masyarakat, baik kalangan masyarakat awam maupun kalangan

masyarakat intelektual termasuk di dalamnya masalah tanah yang dilihat dari

teritorialnya yaitu di pedesaan dan perkotaan. Masalah pertanahan di perkotaan pada

dasarnya disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan akan tanah, sementara di lain

pihak luas tanah yang tersedia tidak bertambah, sehingga timbul konflik penguasaan

8

B.F. Sihombing,Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Jakarta : PT Toko Gunung Agung Tbk, cetakan kedua, Juni, 2005, hal 5.

9 Rusmadi Murad, Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan, Rangkaian Tulisan dan Materi

(18)

dan penggunaan tanah yang tidak jarang diselesaikan melalui jalan kekerasan.

Perbincangan tentang masalah pertanahan ini juga dapat kita lihat dalam berbagai

media maupun forum, seperti berbagai pendapat maupun kasus yang dimuat dalam

media cetak maupun elektronik, pembicaraan dalam forum diskusi, sambung rasa

maupun forum-forum seminar yang semuanya dimaksudkan untuk menata dan

mengatasi permasalahan yang timbul dalam bidang pertanahan.10

Sifat dari suatu sengketa pada umumnya adalah berawal adanya suatu

pengaduan yang mengandung pertentangan hak atas tanah maupun hak-hak lainnya

atas suatu kesempatan atau prioritas atau adanya suatu ketetapan yang berakibat

merugikan dirinya dan hingga pada akhirnya penyelesaian sengketa tersebut

senantiasa harus memperhatikan/selalu mendasarkan kepada peraturan yang berlaku,

menegakkan keadilan serta penyelesaian tersebut diusahakan harus tuntas.11 Seperti

halnya dengan sengketa hak atas tanah perkebunan.

Sengketa hak atas tanah perkebunan adalah bagian dari sengketa hak atas

tanah secara umum, yang melibatkan berbagai persoalan yang melatarbelakangi

timbulnya sengketa tersebut. Setiap sengketa tanah perkebunan memerlukan cara

penyelesaiannya, baik dengan cara litigasi maupun non litigasi. Penyelesaian dengan

cara non litigasi adalah penyelesaian yang mempunyai spesifikasi yakni penyelesaian

10Hasim Purba,dkk, Sengketa Pertanahan dan Alternatif Pemecahan, Studi Kasus di

Sumatera Utara, Medan : CV. Cahaya Ilmu, 2006, hal 1.

11Rusmadi Murad,Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Bandung : Penerbit Alumni,

(19)

untuk mendapat kepastian hukum dengan cara murah, efisien, lebih cepat dan

menguntungkan kedua belah pihak.12

Pada umunya suatu sengketa hak atas tanah meliputi beberapa macam antara

lain mengenai status tanah, siapa-siapa yang berhak, bantahan terhadap mengenai

bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak atau pendaftaran dalam

buku tanah dan sebagainya.13Salah satu sengketa hak atas tanah yang menyangkut

dalam hal ini yang menjadi obyek penelitian adalah sengketa tanah yang terjadi pada

areal perkebunan PT.Perkebunan Nusantara II (PTPN II).

PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II), sebagai Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) bergerak dibidang usaha perkebunan yang areal tempat usahanya sebagian

besar berada di Sumatera Utara. Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang

perkebunan, maka status hak atas tanah yang dikuasai dan diusahakannya dengan

ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 40

Tahun 1996, adalah Hak Guna Usaha (HGU).14 Sementara ditinjau dari sejarahnya

PT Perkebunan Nusantara II merupakan gabungan dari bekas PT Perkebunan II dan

bekas PT Perkebunan IX.15

12Solih Muadi, Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Dengan Cara Litigasi Dan Non

Litigasi, Jakarta :Prestasi Pustakaraya, 2010, hal 8.

13Ali Achmad Chomzah, Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian Sengketa Hak atas Tanah.

Seri Hukum Pertanahan IV Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah, Jakarta : Prestasi Pustaka, 2003, hal 29.

14Hasim Purba,dkk,Op.Cit, hal 84.

15Bahan Ekspos Kepala BPN Propinsi Sumatera Utara selaku Ketua Panitia B “Plus” tanggal

(20)

Dalam pembicaraan mengenai tanah PTPN II, pada zaman dahulu dalam

operasional pengusahaannya adalah penanaman komoditi tembakau atau yang

terkenal dengan tembakau Deli. Dalam kultur penanamannya, pernah diberlakukan

tanaman sela berupa padi dan palawija setelah panen tembakau sebelum dihutankan

dan dirotasi kembali penanaman tembakau berikutnya. Orang yang melakukan

penanaman tersebut adalah penduduk di sekitar perkebunan yang disebut Rakyat

Penunggu sedangkan tanah bekas panen tembakau yang diolah Rakyat Penunggu

dalam satu musim tersebut dinamakan tanah jaluran.

Sejak perkebunan kolonial beroperasi sampai runtuhnya pemerintah Belanda

di Sumatera Timur, Rakyat Penunggu tetap memperoleh tanah jaluran. Tanah jaluran

tersebut ada yang berpendapat merupakan satu perwujudan dari hak ulayat dari pada

hukum yang terdapat khususnya di Sumatera Timur. Namun setelah kekuasaan

Belanda runtuh kemudian digantikan Jepang peluang Rakyat Penunggu untuk

mendapat tanah jaluran mulai terganggu.16 Sehingga rakyat penunggu telah merasa

hak hidup mereka telah dihilangkan sebab sesuai akta konsesi hak-hak rakyat tersebut

yaitu hak ulayatnya telah tercermin di dalamnya dengan disebutnya hak dari rakyat

penenggal (penunggu) atas tanah jaluran dimana mereka berhak menanami tanah

jaluran itu dengan tanaman pokok setelah selesai panen tembakau.17 Penggabungan

16 Budi Agustono, Muhammad Osmar Tanjung dan Edy Suhartono, Badan Perjuangan

Rakyat Penungggu Indonesi vs PTPN II Sengketa Tanah di Sumatera Utara,Bandung : Yayasan Akatiga, Juli, 1997, hal 2 & hal 3.

(21)

Negara Sumatera Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia menimbulkan

akibat-akibat langsung bagi perjuangan Agraria.18

Awal penggarapan terhadap areal perkebunan di Sumatera Timur ini terjadi

sejak pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Dimana pada saat itu pemeritah

penduduk Jepang dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan maupun sebagai akibat

perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia yang menimbulkan keadaan darurat

dalam soal persediaan pangan, sehingga banyak rakyat mengusahakan tanah-tanah

perkebunan. Maka sejak saat itu penggarapan atas areal perkebunan di Sumatera

Timur mulai berkembang.19

Tanah garapan ialah hubungan antara penggarap dengan sebidang tanah

Negara baik berdasarkan surat-surat keputusan (bukan pemberian hak atas tanah),

surat izin, atau surat-surat lain, maupun yang tidak berdasarkan sesuatu surat

pemberian termasuk dalam pengertian garapan ini.20 Dalam UUPA tidak mengatur

adanya tanah garapan karena tanah garapan bukan status hak atas tanah. Dalam

peraturan Perundang-Undangan terdapat istilah tanah garapan yaitu tanah tanpa ijin

pemilik/kuasanya dan pendudukan tanah tidak sah.21

Akibat kekurangan pangan di Sumatera Timur ini memaksa banyak

tanah-tanah perkebunan dialihkan kepada penggunaan-penggunaan lain. Pembukaan lahan

baru meluas di beberapa tempat. Tanah-tanah dimaksud diberikan kepada petani yang

18Karl J Pelzer,Sengketa Agraria,Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1991, hal 74. 19Bahan Ekspos Kepala BPN Propinsi Sumatera Utara,Op.Cit, hal 2.

(22)

tidak mempunyai tanah. Dengan demikian banyak tanah-tanah perkebunan yang telah

digarap, baik oleh masyarakat maupun buruh-buruh perkebunan itu sendiri.22

Pemanfaatan tanah kosong untuk tanaman pangan dimana tanah yang sudah

diperoleh penguasaannya tetapi belum dipergunakan sesuai dengan sifat dan tujuan

pemberian haknya wajib dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk menanami

tanah kosong dengan tanaman pangan dengan terlebih dahulu membuat atau

menandatangani perjanjian dan perjanjian tersebut dapat diputuskan sewaktu-waktu

apabila pihak perusahaan sebagai pemilik membutuhkan tanah tersebut dan kepada

penggarap wajib mengembalikan dan menyerahkan kembali tanah yang dipinjami

tersebut kepada perusahaan dalam keadaan baik dan tidak menuntut ganti rugi atau

kompensasi dalam bentuk apa pun. Perjanjian tersebut ditandatangani untuk jangka

waktu 1 (satu) tahun dan dapat dilanjutkan lagi atau diperpanjang untuk waktu yang

sama berdasarkan persetujuan tertulis dari perusahaan.23

Perubahan pemerintahan Jepang kearah pembentukan pemerintah baru telah

memungkinkan rakyat-rakyat petani untuk menduduki tanah-tanah perkebunan milik

Belanda yang ditinggalkan oleh pemiliknya dan menjadi terlantar. Tanah-tanah

perkebunan terlantar tersebut kemudian kembali diduduki oleh rakyat petani sebagai

bukti nyata kehendak rakyat petani untuk memiliki tanah, karena tanah adalah alat

produksi mereka.24

22

Syafruddin Kalo, Kapita Selekta Hukum Pertanahan, Studi tanah Perkebunan di Sumatera Timur, Medan : USUpress, 2005, 60.

23

D Soetrisno,Tata Cara Perolehan Tanah Untuk Industri¸ Jakarta : PT Rineka Cipta, 2004, hal 29.

24

(23)

Berapa luas tanah perkebunan yang diduduki rakyat beserta berapa jumlah

orang yang menduduki tidak dapat diketahui dengan pasti. Agar tidak terjadinya

penggarapan secara liar secara terus menerus sekaligus memberikan kepastian hukum

hak-hak atas tanah oleh rakyat dan perkebunan maka dikeluarkan Undang-Undang

Darurat Nomor 8 Tahun 1954 kemudian diubah dan ditambah dengan

Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1956 tentang penyelesaian pemakaian tanah

perkebunan oleh rakyat.25

Untuk mengatasi semakin meningkatnya pemakaian tanah-tanah tanpa izin

yang berhak atau kuasanya, maka oleh pemerintah dengan Undang-Undang Nomor

51 Prp Tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau

kuasanya, yang dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 ditetapkan menjadi

Undang-Undang. Karena tanah pada saat itu dibutuhkan, pemerintah Jepang terpaksa

mengeluarkan beberapa instruksi penggunaan tanah, terutama tanah-tanah pertanian,

antara lain:26

a. Agar tanah-tanah pertanian ditingkatkan produksinya terutama tanaman pangan

untuk kepentingan perang.

b. Hutan-hutan boleh digarap untuk perkebunan, tanpa memperdulikan akibatnya

terhadap lingkungan.

25Chadidjah Dalimunthe,Politik Agraria Nasional Terhadap Hak – Hak Atas Tanah, Medan:

Yayasan Pencerhan Mandailing, 2008, hal 18.

26 Chadidjah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform Di Indonesia Dan Permasalahannya,

(24)

c. Tanah-tanah perkebunan yang diterlantarkan (karena rotasi) bebas untuk digarap

rakyat untuk pertanian pangan, sehingga penggarapan tanah-tanah perkebunan ini

sampai dengan sekarang susah diatasi. Rotasi dimaksudkan disini merupakan

pemakaian tanah secara bergiliran yang dipraktekkan pada perkebunan

tembakau, dimana lahan untuk menanam tembakau ini tidak dapat dipergunakan

secara terus menerus tapi harus bergiliran dengan arti bahwa yang tidak dapat

giliran untuk ditanami, lahannya dihutankan dulu dengan tujuan agar tanahnya

subur kembali. Lahan yang dihutankan inilah yang dianggap sebagai lahan yang

diterlantarkan oleh pihak perusahaan perkebunan.

Selama orde baru yang lalu banyak tanah ulayat yang diperlukan untuk

proyek-proyek pembangunan yang membutuhkan tanah yang luas, seperti perkebunan

besar dan pengusahaan hutan.27

Sebagai konsekuensi dari model pembangunan kapitalis di masa Orde Baru,

maka jumlah dan kualitas sengketa tanah di Indonesia mengalami perubahan.

Perubahan yang menyolok adalah struktur konflik yang berubah dari konflik

horizontal menjadi konflik vertikal dimana Negara Orde Baru berperan aktif sebagai

aktor di dalam konflik yang terjadi. Salah satu konflik yang terjadi adalah

penggarapan masyarakat atas tanah perkebunan yang tidak diusahai (tanah kosong).28

27Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Jakarta : Universitas

Trisakti, 2003, hal 61.

28Dianto Bachriadi, Tanah dan Bangunan. Pembangunan Konflik Pertanahan dan

(25)

Kalau dikaji makna dan fungsi sosial akan tanah sebagaimana diatur dalam

pasal 6 UUPA, para petani berani menggarap tanah-tanah milik perkebunan itu,

misalnya oleh karena terlantar dan tidak dirawat, dengan demikian para petani telah

menjalankan fungsi sosial atas tanah,yang mengandung arti bahwa hak atas apapun

yang pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan

dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya.

Maka layak apabila pemerintah turut memperhatikan nasib pada petani penggarap

sehingga jika pemilik tanah telah lama menelantarkan tanah perkebunan atau sudah

tidak terurus maka pemberian hak atas tanah bagi penggarap yang telah turun

temurun adalah bijaksana.29

Jika diperhatikan, kejadian terhadap penyerobotan tanah perkebunan dengan

status Hak Guna Usaha selalu didasarkan pada alasan – alasan : 1)tanahnya

diterlantarkan; 2)sudah menjadi perkampungan; 3)sudah sejak nenek moyang kami

mengerjakan tanah ini atau tanah ulayat; 4)kami adalah pensiunan karyawan dari

perusahaan atau ahli waris dari perusahaan diatas HGU tersebut. Dengan

alasan-alasan itu rakyat putuslah hubungan Hak Guna Usaha dengan pemeganganya ,

sungguh pun belum berakhir jangka waktunya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 34

UUPA, yang menyebut Hak Guna Usaha hapus karena; a)jangka waktunya berakhir;

b)dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir, karena sesuatu syarat tidak

dipenuhi; c)dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; d)

dicabut untuk kepentingan umum; e)diterlantarkan; f)tanahnya musnah dan karena

(26)

orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Usaha tidak lagi memenuhi

syarat sebagai WNI dan badan hukum Indonesia.30

Begitu banyaknya lahan-lahan dari Hak Guna Usaha yang ditanami sehingga

menjadi bagian dari okupasi liar yang juga kadangkala para pemegang Hak Guna

Usaha tidak mampu mengusir para okupan liar dari lahan mereka ataupun karena

dilalaikan sehingga keadaan telah menimbulkan komplikasi hukum. Perundingan

selalu mengalami kegagalan, oleh karena antara orang yang mempunyai suatu hak

dengan orang tidak mempunyai hak tetapi diberikan hak. Keadaan ini diperburuk lagi

dengan munculnya organisasi-organisasi yang mengaku pembela petani, tetapi dalam

banyak hal hanyalah kaum manipulator dan spekulator yang sama sekali tidak

mengusahakan tanah tersebut.31

Ada berbagai macam masalah tanah di areal PT Perkebunan Nusantara II

antara lain seperti tuntutan masyarakat adat, tuntutan garapan rakyat dan tuntutan

perumahan pensiunan karyawan serta perubahan tata ruang akibat perkembangan

kota.32 Pensiunan karyawan perkebunan juga merupakan kelompok yang berharap

untuk mendapat sebagian asset perusahaan agar dapat menikmati hari tua di atas

pondok atau perumahan yang pernah dihuninya sewaktu aktif sebagai karyawan.

Apalagi disebutkan uang pensiunan para karyawan ada yang tidak memadai dan

sampai sekarang belum pernah diberi santunan.33

30Muhammad Yamin, Abd Rahim,Op.Cit, hal 188.

31AP Parlindungan, Beberapa Masalah Dalam UUPA, Bandung : Mandar Maju, 1993, hal34. 32Daftar penyelesaian Tuntutan/Garapan Rakyat di atas areal PT Perkebunan Nusantara II,

Medan : Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara.

(27)

PT Perkebunan Nusantara II memiliki sekitar 43 (empat puluh tiga)34 kebun

seperti kebun Sei Semayang, Sei Glugur, Sei Mencirim, Tanjung Morawa I

Bangunsari 2, Tanjung Morawa II/Ujung Serdang I dan sebagainya termasuk

diantaranya adalah kebun Helvetia yang juga merupakan bagian areal kebun PT

Perkebunan Nusantara II yang lokasinya berada di Kabupaten Deli Serdang,

Kabupaten Langkat, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Pada tahun 2002

ada keputusan Pemerintah Pusat dalam hal ini kepada Badan Pertanahan Nasional

yang dituangkan dalam Surat Keputusan Nomor 42/HGU/BPN/2002 tanggal 29

November 2002 tentang Pemberian Perpanjangan Jangka Waktu Hak Guna Usaha

Atas Tanah Terletak Di Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara yang

memberikan penyelesaian terhadap permasalahan perpanjangan jangka waktu Hak

Guna Usaha kepada PTPN II sekaligus menyelesaikan masalah tuntutan rakyat

berupa pengeluaran sebagian areal HGU PTPN II untuk didistribusikan kepada

rakyat, khususnya yang berlokasi di Kabupaten Deli Serdang termasuk pada areal

Kebun Helvetia.

SK KBPN No 42/HGU/BPN/2002 memberikan perpanjangan Hak Guna

Usaha PT Perkebunan Nusantara II dengan luas tanah seluruhnya 14.503,1100 Ha

(empat belas ribu lima ratus tiga koma satu satu nol nol hektar) dan sebagian

tanah-tanah perkebunan yang tidak diberi perpanjangan Hak Guna Usaha pada daftar

lampiran Surat Keputusan Nomor 42/HGU/BPN/2002 seluas 3.353,5900 Ha (tiga

ribu tiga ratus lima puluh tiga koma lima sembilan nol nol hektar) menjadi tanah yang

dikuasai langsung oleh Negara, akan tetapi di dalam Surat Keputusan tersebut bahwa

34

(28)

Pemerintah Pusat telah menyerahkan penyelesaian tersebut kepada Gubernur

Sumatera Utara baik dalam pengaturan, penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan

penggunaan tanah tersebut untuk selanjutnya diproses sesuai ketentuan Peraturan

Perundang-Undangan yang berlaku setelah memperoleh ijin pelepasan asset dari

Menteri yang berwenang.

Pada kebun Helvetia, permasalahan pertanahan sama dengan yang terjadi pada

areal PT Perkebunan Nusantara II pada umumnya. Luas areal PTPN II Kebun

Helvetia berdasarkan daftar lampiran SK KBPN Nomor 42/HGU/BPN/2002 adalah

1.322,2900 Ha sesuai dengan hasil pengukuran yang digambarkan dalam Peta

Pendaftaran Nomor 59/1997 tanggal 24 November 1997,sedang yang diterbitkan

HGU nya adalah 1.128,3500 Ha terdiri dari seluas 1.029,7300 Ha, yang diberikan

tahap pertama berdasarkan SK Nomor 58/HGU/BPN/2000 dan seluas 98.6200 Ha

yang diberikan tahap kedua berdasarkan SK Nomor 42/HGU/BPN/2002, sementara

areal yang tidak diperpanjang/dikeluarkan dari areal yang dimohonkan HGU nya

seluas 193,9400 Ha dengan perincian tuntutan rakyat adalah 0,32 Ha, Garapan

Rakyat seluas 0,97 Ha, dan Perumahan Pensiunan Karyawan seluas 27,78 Ha.

Namun tuntutan/garapan yang direkomendasikan untuk diperpanjang HGU nya

seluas 98,6200 Ha.

Terkait dengan hal-hal tersebut di atas, dari sekian banyak persoalan hukum

yang menyangkut permasalahan pertanahan di Indonesia khususnya yang

menyangkut lahan Eks HGU PTPN II pada Kebun Helvetia maka penulis ingin

(29)

Garapan Pada Areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia : atas adanya SK KBPN No 42/HGU/BPN/2002”.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana perkembangan penyelesaian tanah garapan pada areal Eks HGU

PTPN II Kebun Helvetia?

2. Bagaimana bentuk penyelesaian garapan yang dilakukan pada areal Eks HGU

PTPN II Kebun Helvetia?

3. Apa hambatan-hambatan hukum dalam penyelesaian tanah garapan pada areal

Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan

penelitian diatas adalah:

1. Untuk mengetahui perkembangan penyelesaian tanah garapan pada areal Eks

HGU PTPN II Kebun Helvetia.

2. Untuk mengetahui bentuk penyelesaian garapan yang dilakukan pada areal Eks

HGU PTPN II Kebun Helvetia.

3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan hukum dalam penyelesaian tanah

garapan pada areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia.

D. Manfaat Penelitian

(30)

1. Secara teoritis

Penelitian ini diharapakan dapat memberikan suatu sumbangan pemikiran

dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum pertanahan pada

khususnya terutama mengenai penyelesaian tanah garapan.

2. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi yang

berkepentingan seperti bagi masyarakat pada umumnya dan bagi para pemerintah

yang berkompeten dalam menangani suatu perkara pertanahan termasuk perkara

penyelesaian tanah garapan yang hingga saat ini belum dapat terselesaikan dengan

tuntas. Selain itu penelitian juga diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan

masukan bagi praktisi hukum, advokat, mahasiswa dan masyarakat umum.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran yang telah dilakukan sebelumnya pada

perpustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya dilingkungan

Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, menunjukan bahwa penelitian dengan

beberapa judul tesis yang berhubungan dengan judul topik dalam tesis ini antara lain:

1. Tesis Saudari Natal Ria Argentina br Surbakti (077011051), dengan judul:

“Analisis yuridis terhadap penyelesaian konflik pertanahan di areal tanah

garapan” (Studi di Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat).

2. Tesis Saudara Elfachri Budiman (027005061), dengan judul: ”Tinjauan hukum

terhadap pengeluaran areal Hak Guna Usaha dan Pelepasan Asset Negara atas

(31)

3. Tesis Saudara Yan Sumekar (057011094), dengan judul: “Tinjauan hukum atas

permasalahan tanah bekas Hak Guan Usaha (HGU) antara PTPN III dengan

masyarakat penggarap di Deli Serdang”.

4. Tesis Saudari Vivi Duma Sari (087011130), dengan judul: “Peralihan Hak Guna

Usaha sekaligus dilakukan alih fungsi penggunaaan tanah”.

Dengan demikian hasil penelitian ini adalah asli dan dapat

dipertanggunjawabkan. Dalam hal ini peneliti bertanggungjawab sepenuhnya bila

dikemudian hari ditemukan plagiat atau duplikasi dengan penelitian yang telah

ada sebelumnya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Menurut Burham Ashofa, teori hukum itu adalah suatu serangkaian asumsi,

konsep, defenisi dan prosposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara

sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep.35

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau pendapat mengenai suatu

kasus maupun persoalan yang kemudian dikaitkan dalam suatu teori dan menjadi

bahan perbandingan.36

Apabila dikaitkan dengan identifikasi masalah yang diteliti dalam tesis ini

maka penelitian ini menggunakan teori Validitas dan Keberlakuan Hukum. Prof

Meuwissen berpendapat bahwa teori Validitas dan Keberlakuan Hukum adalah yang

(32)

mempersyaratkan validitas suatu norma hukum, dalam arti keberlakuan suatu kaidah

hukum, jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:37

1. Keberlakuan sosial atau faktual. Pada kenyataannya kaidah hukum diterima dan

diberlakukan oleh masyarakat umumnya, termasuk dengan menerima sanksi jika

ada orang yang tidak menjalankannya.

2. Keberlakuan yuridis. Bahwa aturan hukum tersebut dibuat melalui prosedur yang

benar dan tidak bertentangan dengan peraturan lainnya terutama dengan

peraturan yang lebih tinggi.

3. Keberlakuan moral. Kaidah hukum tersebut tidaklah boleh bertentangan dengan

nilai-nilai moral, misalnya kaidah hukum tersebut tidak boleh melanggar hak

asasi manusia atau bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum alam.

Fungsi validitas suatu aturan hukum sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui eksistensi dari suatu aturan hukum.

2. Untuk mengetahui tingkat penerimaan masyarakat dari suatu aturan hukum.

3. Untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum dari para penegak hukum terhadap

kaidah hukum yang bersangkutan

4. Untuk mengetahui apakah aturan huku tersebut memang dimaksudkan sebagai

aturan hukum yang mengikat secara hukum.

5. Untuk mengetahui apakah akibat hukum jika suatu aturan hukum tidak diikuti

oleh masyarakat.

37

(33)

6. Untuk mengetahui apakah perlu dibuat suatu aturan hukum yang baru yang

mengatur berbagai persoalan manusia.

7. Bagi seorang lawyer, jaksa atau polisi untuk memprediksi kemungkinan

kewenangan kasus yang sedang ditanganinya.

8. Untuk mengetahui apakah ada ikatan-ikatan nonhukum dari suatu aturan hukum,

misalnya ikatan moral, ikaan agama, dan lain-lain. Ikatan nonhukum ini tidak

pernah diakui oleh para penganut hukum positivisme.

2. Kerangka Konsepsi

Konsep adalah kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari

hal-hal yang khusus. Sedangkan pola konsep adalah serangkaian konsep yang

dirangkaikan dengan dalil-dalil hipotesis dan teoritis.38

Suatu kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan

hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti. Suatu konsep

bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi

dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep

merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.39Suatu

konsep juga dituntut untuk mengandung suatu arti. Sesuatu bunyi yang dikeluarkan

oleh manusia tetapi tidak mengandung pesan apa-apa kepada orang lain tidaklah

dapat disebut konsep.40

Konsep-konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang

lain-lain, seperti asa dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk

38Amiruddin dan Zainal Asikin,Op.Cit, hal 2. 39

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta :Universitas Indonesia, 2008, hal 132.

40

(34)

konsep merupakan salah satu dari hal – hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum.

Konsep adalah suatu konstruksi mental yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu

proses yang berjalan dalam pikiran kita. Untuk keperluan analistis, konsep itu

dibedakan dari konsepsi. Konsepsi bisa disebut sebagai penggunaan suatu istilah

secara perorangan, maka konsep tidak lagi ditangkap secara dan bersifat perorangan

melainkan sudah diangkat menjadi istilah dan pengertian yang tidak personal. Konsep

merupakan suatu konstruksi abstrak dari konsepsi-konsepsi.41

Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini maka ada

beberapa konsep dasar yaitu:

a. Garapan ialah hubungan antara penggarap dengan sebidang tanah Negara baik

berdasarkan surat-surat keputusan (bukan pemberian hak atas tanah), surat

izin, atau surat-surat lain, maupun yang tidak berdasarkan sesuatu surat

pemberian termasuk dalam pengertian garapan ini.42

b. Penggarap ialah orang atau badan hukum, instansi pemerintah yang

mempunyai garapan.43

c. Penyelesaian sengketa tanah garapan merupakan salah satu kebijakan

Pemerintah di bidang pertanahan yang kewenangan pelaksanaannya

diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan

dalam rangka menyiapkan konsepsi, kebijakan dan system pertanahan

Nasional yang utuh dan terpadu serta pelaksanaan Tap MPR Nomor

41

Ibid, hal 307. 42

Rusmadi Murad,Op.Cit, hal 112. 43

(35)

IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya

Alam.44

G. Metode Penelitian

Dalam bahasa Belanda Metode adalah Methoda dan dalam bahasa Inggris

Method yang artinya cara yang dirancang sebaik-baiknya untuk mencapai sesuatu.45

Metode adalah jalan atau cara untuk memikirkan dan memeriksa sesuatu menurut

rencana tertentu, menyangkut cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi

sasaran ilmu yang bersangkutan.46

Penelitian merupakan upaya pencarian yang amat bernilai edukatif yang

melatih kita untuk selalu sadar bahwa di dunia ini banyak yang kita tidak ketahui dan

apa yang kita coba cari, temukan dan ketahui itu tetaplah bukan kebenaran mutlak.47

Metode penelitian ilmiah merupakan realisasi dari rasa ingin tahu manusia

dalam taraf keilmuan. Seseorang akan yakin bahwa ada sebab bagi setiap akibat dari

gejala yang tampak dan dapat dicari penjelasannya secara ilmiah. Oleh karena itu

perlu bersifat objektif, karena kesimpulan yang diperoleh hanya akan dapat

ditemukan bila dilandasi dengan bukti-bukti yang meyakinkan dan data yang

dikumpulkan melalui prosedur yang jelas, sistematis dan terkontrol.48

44Ibid, hal 109.

45Ircham Machhfoedz, Sujiyatini dan Hesty Widyasih,Kamus Penelitian istilah – istilah KTI

Skripsi dan Tesis, Yogyakarta :Fitramaya, cetakan kedua, 2007, hal 51.

46M Marwan dan Jimmy,Kamus Hukum, Surabaya :Reality Publisher, 2009, hal 434. 47Amiruddin dan Zainal,Op.Cit, hal 19.

(36)

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yaitu penelitian yang

menggambarkan, menelaah, menjelaskan serta menganalisa peraturan

Perundang-Undangan yang berkaitan pada tujuan penelitian ini. Tujuan dalam penelitian

deskriptif adalah untuk menggambarkan secara tepat sifat – sifat individu, keadaan,

gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran

suatu gejala atau frekuensi adanya hubungan tertentu antara gejala dan gejala lain

dalam masyarakat.49 Maksud utama analisis terhadap bahan hukum adalah

mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan

Undang-Undang secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam

praktik dan putusan-putusan hukum.50

Jenis penelitian hukum yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis

empiris. Penelitian yuridis normatif adalah pendekatan terhadap permasalahan yang

dirumuskan berdasarkan ketentuan Perundang-Undangan,51 sebab tidak setiap pasal

dalam peraturan Perundang-Undangan misalnya mengandung kaidah hukum, ada

Pasal-Pasal yang hanya merupakan batasan saja sebagaimana lazimnya ditemukan

pada bab ketentuan-ketentuan umum dari Perundang-Undangan tersebut. Sedangkan

penelitian yuridis empiris adalah untuk melihat penerapan hukum di lapangan (Law in

action). Menurut Soerjono Soekanto penelitian yuridis empiris ini terdiri atas

49Kontjaraningrat,Metode – metode penelitian masyarakat, Jakarta : PT Gramedia, cetakan

keempat, 1981, hal 42.

50Johnny Ibrahim,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang : Bayumedia

Publishing, cetakan keempat, 2008, hal 310.

51Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif, Jakarta :Rajawali Pers,

(37)

penelitian identifikasi hokum dan penelitian efektifitas hukum. Pendekatan yuridis

empiris ini digunakan untuk melihat efektifitas hukum dilapangan dalam

menyelesaikan penguasaaan atas tanah dan penerapan peraturan

Perundang-Undangan di bidang Pertanahan antara lain Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5

Tahun 1960 dan Implemantasi Peraturan Peundang-Undangan.

2. Sumber data Penelitian

Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang

dalam (ilmu) penelitian digolongkan data sekunder52yang meliputi bahan hukum

primer, sekunder dan tertier (bahan penunjang).53

Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari:

a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria.

b. Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 tentang Penyelesaian soal

pemakaian tanah oleh rakyat. Kemudian diubah dan ditambah dengan

Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1956

c. Undang-Undang Nomor 51 Prp 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa

ijin yang berhak atau kuasanya.

d. SK KBPN No 42/HGU/BPN/2002

(38)

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

hukum primer, misalnya rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian,hasil

karya dari kalangan hukum tentang penyelesaian tanah garapan pada areal Eks

HGU PTPN II.

3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus,

ensiklopedia, indeks, kumulatif dan seterusnya.

3. Teknik dan Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik dan pengumpulan data yang dilakukan dengan

cara sebagai berikut:

a. Studi dokumen.

Penelitian ini menggunakan bahan yang merupakan hasil dari penelitian

kepustakaan yang diperoleh melalui Peraturan Perundang-Undangan,

buku-buku/literatur, majalah serta bahan-bahan yang berhubungan dengan judul.

b. Pedoman Wawancara.

Penelitian ini dilakukan dengan wawancara mendalam dengan menggunakan

pedoman wawancara (Interview). Informan yang dijadikan sebagai sumber data

dalam pernelitian ini yaitu Badan Pertanahan Nasional, PT Perkebunan Nusantara II

Kebun Helvetia dan Penggarap.

4. Analisis Data

Analisis data adalah suatu proses mengatur, mengurutkan, mengelompokkan,

(39)

dalam suatu bentuk pengelolaan data untuk menemukan tema dan hipotesis kerja

yang diangkat menjadi teori substantif.54

Untuk menemukan teori dari data tersebut maka menggunakan metode

kualitatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam

peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang

hidup dan berkembang dalam masyarakat.55

Setiap penelitian haruslah selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis.

Hal ini disebabkan karena adanya hubungan timbal balik antara teori dengan

kegiatan-kegiatan pengumpulan data, konstruksi data, pengelolahan data dan analisis

data.56

54 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung :PT Remaja Rosdakarya,

1993, hal 103

55Zainuddin Ali,Op.Cit, hal 105.

56 Ronny Hanitijo Soemitro,Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,Jakarta: Ghalia

(40)

BAB II

PERKEMBANGAN PENYELESAIAN TANAH GARAPAN PADA AREAL EKS HGU PTPN II KEBUN HELVETIA

A. Masa Pemerintahan Belanda

Politik Hukum Agraria dalam kasus Indonesia apabila dilihat dari segi aspek

kesejarahannya ternyata melalui perkembangan yang panjang sebelum berdirinya

Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 cenderung tidak berpihak

pada kepentingan masyarakat melainkan sangat menguntungkan bagi kepentingan

kaum penjajah.57

Penjajahan Belanda yang dimulai sejak VOC melakukan perebutan daerah

demi daerah di Indonesia sehingga sejak itulah timbul kegoyahan dalam hak-hak

kepemilikan tanah rakyat Indonesia karena pihak Belanda mengabaikan hak-hak

rakyat dengan memungut hasil bumi dari tanah-tanah milik rakyat, kecuali terhadap

hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Belanda dalam hal ini KUHPerdata (BW)

yang di dalamnya Buku II ada mengatur mengenai hak-hak atas tanah antara lain

Eigendom,Erfpacht danOpstal. Khusus terhadap penguasaan tanah untuk luas tanah

yang besar bagi perkebunan diberikan HakErfpacht.58

Pemerintah Hindia Belanda tidak mewariskan suatu pendaftaran tanah di

Indonesia, khusus untuk seluruh hak-hak atas tanah adat yang terdapat di Indonesia,

57H. Muchsin,dkk,Hukum Agraria Indonesa Dalam Perspektif Sejarah, Bandung : PT Refika

Aditama, 2007, hal 38.

58G Kartasapoetra,dkk, Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan

(41)

sebagaimana yang dilakukan oleh Inggris terhadap jajahannya. Hal ini lah yang

menyebabkan di Indonesia lebih dari 80% tanah-tanah tidak bersurat sama sekali atau

pun kalau ada suratnya hanya berupa surat-surat bermaterai yang ditandatangani oleh

pihak-pihak dan oleh kepala desa atau lurah atau kepala marga dan sebagainya,59

samping itu sifat Hukum Adat adalah umumnya tidak tertulis, demikian juga dalam

hukum adat tanah, umumnya pemilikan tanah adat seseorang atau masyarakat hukum

adat tidak ada bukti tertulis, dalam hal ini pemilik hak atas tanah cukup dibuktikan

dengan penguasaan fisik oleh yang bersangkutan dengan adanya pengakuan dari

pengetua adat, adanya penguasaan dan pengakuan tersebut dapat menimbulkan hak

atas tanah. Jadi tidak cukup hanya dengan mengerjakan (menggarap) tanah tertentu

akan dapat melahirkan hak atas tanah harus ada prosedur tertentu yakni beberapa

pengakuan dari pihak yang berwenang.

Oleh karena itu, hak garap tidak ada dalam hukum tanah. Menurut hukum

penguasaan tanah, yang menggarap tidak ada landasan haknya jika tidak ada

legalisasi dari pihak yang berwenang. Justru penguasaannya yang melanggar hak

pada pihak pemilik tanah atau hak Negara jika yang diduduki itu tanah Negara.

Kalaupun ada pemberian biaya pindah, hal tersebut semata kebijaksanaan

Bupati/Walikotamadya dalam menyelesaikan kasusnya60.

59

AP Parlindungan,Hukum Agraria Beberapa Pemikiran Dan Gagasan, Medan : USU Press, 1998, hal 101.

60

(42)

Penguasaan atas tanah yang diikuti dengan formalitas berupa pengakuan atas

penguasaan ataupun pemberian hak atas tanah oleh pejabat yang berwenang akan

melahirkan hak atas tanah. Salah satu hak atas tanah yang dapat diberikan kepada

seseorang atau badan hukum menurut UUPA adalah Hak Guna Usaha. HGU tersebut

dari segi sejarahnya berasal dari konsep Hak Barat yaitu Hak Erfpacht yang diatur

dalam Buku II KUHPerdata (BW) kemudian diadopsi dalam UUPA dengan nama

Hak Guna Usaha selain itu dikenal Hak Konsesi yang khususnya ada di daerah

Swapraja seperti di wilayah Kesulatanan Deli di Residen Sumatera Timur. Hak

Erfpacht dan Hak Konsesi tersebut sejak berlaku UUPA dapat dikonversi menjadi

HGU. HGU di areal PTPN II Kebun Helvetia semula berasal dari Hak Konsesi dari

Sultan Deli kepada NV. Deli Batavia Masstschappij dengan Akta Konsesi Nomor 3

tanggal 4 Oktober 1982 dan disahkan oleh Residen Sumatera Timur dengan

Registrasi Nomor 354 tanggal 15 Oktober 1892 untuk waktu 75 tahun dengan luas

tanah 2567 Ha.61

Ketika masa pemerintahan Belanda , masyarakat Melayu yang pada saat itu

diberi ijin Pemerintah untuk mengusahakan tanah pertanian setelah masa panen

tembakau dengan sistem rotasi, dimana setelah masa panen tembakau Pengusaha

Swasta Asing pada masa Pemerintahan Belanda tersebut berpindah-pindah tempat

dan masyarakat Melayu dapat menggunaka tanah tembakau tersebut setelah selesai

masa panen dengan menanami tanaman semusim seperti padi dan hal tersebut diakui

61Direktorat Agraria Provinsi Sumatera Utara,Risalah Perkebunan dan Perkembangan Hak

(43)

sebab adanya Akta Konsesi yang menunjukkan bahwa orang Melayu dapat

mengelolah tanah tersebut setelah selesai masa panen tembakau. Mereka yang

menunggu panen tembakau disebut Rakyat Penunggu sedangkan tanah bekas panen

tembakau yang dikelola Rakyat Penunggu disebut tanah Djaluran yang mereka yakini

seperti tanah ulayat.

B. Masa Pemerintahan Jepang

Sejak perkebunan kolonial beroperasi sampai runtuhnya Pemerintah Belanda

di Sumatera Timur, Rakyat Penunggu tetap memperoleh tanah djaluran. Akan tetapi

setelah kekuasaan Belanda digantikan Jepang peluang Rakyat Penunggu untuk

mendapat tanah djaluran mulai terganggu. Awal terjadinya garapan pada areal

perkebunan di Sumatera Timur ini terjadi sejak pada masa pendudukan Jepang di

Indonesia, dimana pada saat itu untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam

perjuangan Kemerdekaan Indonesia, yang menimbulkan keadaan darurat sehingga

banyak rakyat mengusahai tanah-tanah perkebunan. Maka sejak saat itu penggarapan

atas areal perkebunan di Sumatera Timur mulai berkembang. Namun kekuasaan

Jepang tidak bertahan lama, maka pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia

diploklamirkan, tidak lama sejak berdirinya Republik Indonesia di Sumatera Timur

terbentuk partai politik dan laskar-laskar.

C. Masa Sekarang

Dalam kenyataannya, Hak Guna Usaha merupakan hak atas tanah yang

(44)

dunia usaha semakin pesat, seiring dengan adanya kebijakan Pemerintah

mengembangkan dunia usaha di bidang agrobisnis dan agroindustri, maka salah satu

persyaratan yang harus tersedia adalah adanya tanah luas yang mendukung lokasi

usaha tersebut. Oleh karena itu, adanya Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996

tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, maka dapat

memberikan kemudahan kepada pemegang Hak Guna Usaha untuk mendapatkan atau

melakukan perpanjangan apabila jangka waktu Hak Guna Usaha berakhir.62

Setelah berakhirnya jangka waktu Hak Guna Usaha dalam waktu 35 tahun

dengan perpanjangan 25 tahun atau seluruhnya berjumlah 60 tahun, maka Hak Guna

Usaha akan hapus demi hukum. Hapusnya Hak Guna Usaha ini bukan berarti tidak

dapat diperbaharui. Sesuai dengan ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan

Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, bahwa Hak Guna Usaha yang telah berakhir atau

hapus tersebut dapat di perpanjang kembali.63

Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, yang

dimaksud dengan pihak lain ini adalah warga Negara Indonesia, jadi tidak dapat

diberikan kepada orang asing, akan tetapi bagi badan-badan hukum yang bermodal

asing mungkin dapat diberikan dengan pembatasan yang disebutkan dalam Pasal 55

UUPA (Hak Guna Usaha hanya terbuka kemungkinannya untuk diberikan kepada

badan-badan hukum yang untuk sebagian atau seluruhnya bermodal asing jika hal ini

diperlukan oleh Undang-Undang yang mengatur pembangunan nasional semesta

62Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta : Sinar Grafika, 2007, hal 112.

63

(45)

berencana). Menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang

Penanaman Modal Asing, bahwa untuk keperluan perusahaan-perusahaan modal

asing dapat diberikan tanah dengan Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak

Pakai menurut peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.64

Negara bukan pemilik (owner) tanah, tetapi di dalam kedudukannya sebagai

personifikasi rakyat/bangsa Indonesia mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu.

Untuk melaksanakan kewenangannya, Negara mempunyai kewajiban untuk menjaga

keseimbangan antara kepentingan umum dan perseorangan, termasuk kepentingan

pemegang Hak Guna Usaha. Adanya pembatasan jangka waktu Hak Guna Usaha

tersebut memungkinkan Negara/Pemerintah secara berkala melakukan pengawasan

apakah keseimbangan tersebut masih dapat dipertahankan.65

Apabila Hak Guna Usaha tersebut berakhir dan tidak diperpanjang lagi oleh

pemegang hak nya atau tidak diberikan lagi perpanjangan oleh Pemerintah di

sebabkan beberapa hal, misalnya tidak sesuai lagi dengan rencana penggunaan

tanahnya atau diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, maka Pemerintah

akan menetapkan tanah tersebut sebagai tanah Negara yang akan di distribusikan

kepada rakyat dan kepentingan lain yang mengkehendaki sesuai ketentuan yang

berlaku.

Redistribusi tanah pada umumnya dilatar belakangi oleh suatu keadaan

dimana terdapat sebagian besar tanah pertanian dimiliki oleh beberapa orang saja,

64G. Kartasapoetra,Masalah Pertanahan di Indonesia, Jakarta : PT Rineka Cipta, 1992, hal 8. 65

(46)

tanah-tanah bekas perkebunan dan lain-lain, dan ini terjadi terutama di

Negara-Negara berkembang yang tekanan penduduknya pada umumnya sangat tinggi dan

fasilitas industri untuk menampung kelebihan penduduk pedesaan terbatas.66

Secara prakteknya, selama ini telah begitu banyak tanah pertanian/perkebunan

diredistribusikan kepada para petani penggarap/buruh tani dengan pembayaran uang

ganti rugi kepada Negara dengan pelunasan jangka panjang (15 tahun). Karena

administrasi belum berjalan begitu baik sehingga banyak hambatan yang dialami

terutama pada waktu menjelang tahun 1965 dan beberapa tahun sesudah itu, maka

pembayaran uang ganti rugi kepada Pemerintah dan Pemerintah kepada ex pemilik

tanah sampai saat ini belum rampung. Sehingga perlu adanya pengawasan ketat dari

aparat agraria kabupaten/kotamadya terhadap tanah-tanah yang sudah

diredistribusikan terutama yang belum dilunasi uang ganti ruginya harus di

indahkan.67

Redistribusi tanah pertanian/perkebunan tersebut terkecuali terjadi juga pada

areal perkebunan di Sumatera Utara termasuk pada areal PTPN II, namun pembagian

tanah tersebut tidak berjalan mulus baik menyangkut ganti rugi kepada bekas

pemegang hak, pembayaran ganti rugi (harga) tanah kepada Negara, sampai kepada

pendaftaran tanah, sehingga banyak ditemukan ketidakpastian hukum atas

pemilikan/penggarapan tanah tersebut hingga saat ini.

66

H. Affan Mukti,Pembahasan Undang-Undang Pokok Agraria, Medan : Usupress, 2010, hal 50.

67

(47)

Tidak adanya kepastian hukum sebagai pengaruh era reformasi

mengakibatkan adanya tindakan masyarakat yang bertentangan dengan hukum

sehingga perusahaan perkebunan menjadi korban karena lahan tanah perkebunan

diambil oleh masyarakat dengan berbagai dalih antara lain klaim Hak Ulayat,

Penggarapan, Tuntutan Perkembangan Kota dengan Perubahan Tata Ruang dan

Tuntutan lainnya, termasuk pada areal PTPN II. Klaim terhadap hak ulayat ini antara

lain disebabkan areal perkebunan PTPN II ini umumnya berada di wilayah etnis

melayu dan dahulu tanah PTPN II adalah tanah hak ulayat (masyarakat adat

melayu)68.

Hak ulayat masih diakui adanya, namun hak tersebut tidak dapat dibenarkan

untuk menghalang-halangi pemberian hak guna usaha dan tidak dapat dibenarkan jika

sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayat menolak begitu saja karena

kepentingan masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara

yang lebih luas.69

Tentang pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat, UUPA tidak memberikan

kriteria. Boedi Harsono menyebutkan alasan para perancang dan pembentuk UUPA

untuk tidak mengatur tentang hak ulayat karena pengaturan hak ulayat, baik dalam

penentuan kriteria eksistensi maupun pendaftarannya akan melestarikan keberadaan

hak ulayat, sedangkan secara alamiah terdapat kecenderungan melemahnya hak

ulayat. Dalam kenyataannya ketiadaan kriteria persyaratan eksistensi hak ulayat

68

Ediwarman,Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003, hal 193.

69

(48)

merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap marjinalisasi hak masyarakat

hukum adat.70

Salah satu hasil dari reformasi yang telah terjadi yakni munculnya situasi

dimana masyarakat tidak punya rem menggunakan dan malah menguasai tanah yang

bukan miliknya, karena mereka menganggap secara sah bahwa secara syarat formal

hukum yang mereka tau di tanah itu melekat hak mereka secara terus menerus tanpa

menghiraukan hukum tanah yang mereka anggap telah memporak porandakan hak

mereka tanpa menyadari bahwa hukum itu memberikan keadilan bagi penggunanya.

Bila seandainya masyarakat melepaskan diri dari aturan pertanahan yang ada bisa jadi

lebih parah dan lebih kacau. Sebab pada prinsipnya tidak ada aturan yang

menyengsarakan rakyat.71

Hingga kini perbuatan melawan hukum ini terpaksa diselesaikan dengan

berdamai, yaitu dengan pemberian ganti-rugi atas tanaman yang telah ditanam secara

tidak sah oleh si penyerobot. Untuk mencegah perluasan perbuatan semacam ini

diharapkan dengan sangat agar pihak yang berwenang dapat bertindak dengan tegas

terhadap pihak yang mengadakan perbuatan hukum tersebut.72

Perkembangan penyelesaian tanah garapan masyarakat belakangan ini baik

disebabkan oleh adanya klaim atas tuntutan hak ulayat, adanya tanah redistribusi

70

Maria S. W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, Jakarta : Buku Kompas, 2008, hal 171.

71

Muhammad Yamin,Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003, hal 47.

72

(49)

yang tidak tuntas, adanya tindakan penguasaan/pendudukan secara tidak sah oleh

masyarakat atas tanah perkebunan dan lain-lain sebab telah menimbulkan persoalan

yang rumit saat ini ditambah lagi ketidak tegasan Pemerintah dalam menerbitkan ijin

pelepasan asset atas tanah-tanah yang tidak diperpanjang HGU nya sesuai dengan

ketentuan dalam SK KBPN Nomor 42/HGU/BPN/2002.

Berdasarkan Surat Keputusan KBPN Nomor 42/HGU/BPN/2002 menyatakan

bahwa terhadap areal Eks HGU yang tidak diperpanjang maka penyelesaian tersebut

diserahkan kepada Gubernur Sumatera Utara untuk mengatur P4T yaitu mengatur

penguasaan, pemilikan, penggunanaan dan pemanfaatan tanah setelah mendapat ijin

pelepasan asset dari Menteri yang berwenang. Hingga saat ini belum ada ijin

pelepasan asset dari Menteri yang berwenang sehingga Gubernur belum dapat

mendistribusikan baik dalam hal ini kepada tuntutan rakyat, garapan rakyat, rumah

pensiunan karyawan dan bahkan RUTR/RUTW.73

Agar penanganan tanah garapan pada areal Eks HGU PTPN II tersebut dapat

diselesaikan dari pada menunggu ijin pelepasan asset dari Menteri yang berwenang,

sesungguhnya Gubernur Sumatera Utara harus berperan aktif dengan cara

membentuk kelompok kerja untuk meneliti kembali dengan melakukan penelitian

langsung ke lapangan apakah sesuai nama-nama rakyat penggarap yang dilindungi

oleh Undang-Undang dengan identitas penggarap berdasarkan dokumen-dokumen

yang sah seperti salah satunya SIM (Surat Izin Menggarap) yang ada di lapangan

73

Referensi

Dokumen terkait