• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secara umum, masak kelamin didefinisikan sebagai suatu fase perkembangan individu ketika individu tersebut mulai mampu menghasilkan keturunan. Masak kelamin pada aves betina berkaitan erat dengan pengeluaran telur. Tercapainya oviposisi pertama merupakan kriteria yang banyak dipakai sebagai tanda timbulnya umur masak kelamin pada unggas. Kriteria bertelur pertama kali didahului oleh ovulasi, sedangkan pada unggas jantan, masak kelamin merupakan tahap ketika testis telah tumbuh dan berkembang serta mampu menghasilkan spermatozoa yang matang. Tanda-tanda masak kelamin merupakan perpaduan antara perubahan fisiologis dan morfologis yang menghasilkan suatu keadaan sehingga hewan mampu bereproduksi (Tamzil, 1995).

Secara umum, terdapat dua faktor yang mempengaruhi umur masak kelamin pada unggas, yaitu faktor internal berupa genetik dan faktor eksternal berupa pembatasan pakan serta periode pencahayaan. Pembatasan pakan, baik dengan pembatasan kuantitas maupun kualitas dapat memperlambat umur masak kelamin. Pembatasan jumlah pakan yang diberikan pada itik lokal dapat menunda umur masak kelamin dan menghasilkan bobot telur pertama lebih berat, sedangkan itik yang mendapat pakan ad libitum mengalami masak kelamin dini (Tamzil 1995). Penelitian yang telah dilakukan mengenai pembatasan pakan pada puyuh umur 14 hari sampai dengan masak kelamin menyebabkan terjadinya penundaan umur masak kelamin, penurunan bobot badan, dan bobot organ reproduksi saat masak kelamin serta penurunan jumlah folikel dan lemak karkas. Periode pencahayaan berkaitan dengan lamanya periode terang atau panjang hari. Pada puyuh betina yang menerima penerangan konstan sejak umur nol hari selama 16 jam memberikan peningkatan respons masak kelamin, sedangkan durasi pencahayaan selama 8-12 jam tidak akan meningkatkan respons masak kelamin. Demikian juga pemberian penerangan selama 16 jam pada puyuh jantan akan meningkatkan respons masak kelamin, sedangkan pemberian penerangan selama 8 jam akan menyebabkan regresi testis (Siopes dan Wilson 1980). Pada ayam yang juga mendapat penerangan konstan sejak umur nol sampai 500 hari dengan perpanjangan penerangan dari 6-14 jam menyebabkan masak kelamin

lebih dini, namun jika penerangan diperpanjang hingga 18 jam masak kelamin akan diperlambat (Moris 1967). Cahaya memiliki peran yang begitu penting dalam menstimulasi hipotalamus untuk mensekresikan GnRH yang sangat dibutuhkan untuk menstimulasi hipofisis memproduksi LH. Untuk terjadinya ovulasi LH sangat diperlukan, sedangkan pertumbuhan dan pembesaran folikel diperlukan FSH (Johnson 2000).

Ketika puyuh mencapai umur masak kelamin, ovarium dan oviduk mengalami perubahan-perubahan sekitar 10-12 hari sebelum puyuh dara bertelur untuk yang pertama kali. Hipofisis anterior akan mensekresikan FSH sehingga terjadi pertumbuhan, perkembangan, dan pemasakan folikel. Ovarium akan mulai mensekresikan estrogen, progesteron, dan testosteron (sex steroid). Konsentrasi estrogen plasma darah yang tinggi memacu perkembangan tulang medular, merangsang sintesis protein kuning telur, dan pembentukan lipoprotein di dalam hati (Woodard et al. 1973). Pada saat yang bersamaan, terjadi pembesaran ukuran oviduk sehingga memungkinkan produksi protein albumin, membran kerabang, kalsium karbonat kerabang, dan kutikula. Yolk pertama menjadi matang karena sebagian bahan yolk di dalam hati dialirkan oleh sistem vaskularisasi langsung ke yolk dalam folikel. Satu atau dua hari kemudian, yolk yang kedua mulai berkembang dan seterusnya sampai pada saat telur pertama dikeluarkan sekitar 5-10 yolk sedang dalam proses perkembangan. Setiap yolk dewasa menjadi matang membutuhkan waktu 10-11 hari. Kemudian yolk matang akan dilepaskan dari ovarium masuk ke dalam oviduk dengan suatu proses yang dikenal sebagai ovulasi. Ovulasi dirangsang oleh kehadiran hormon LH. Sekresi LH dipicu oleh peningkatan kadar progesteron dalam darah. Masak kelamin ditandai dengan ovulasi pertama kali, di mana ovulasi dapat menjadi cepat atau lambat sangat dipengaruhi oleh pembatasan pakan maupun periode pencahayaan (Suprijatna et al. 2005).

Folikel-folikel preovulasi sangat potensial dalam menghasilkan steroid lewat jalur steroidogenik. Lapisan granulosa secara dominan akan mensekresikan progesteron sebagai prekursor sintesis androstenedion dan testosteron dalam lapisan teka internal dan sedikit lebih banyak pada sel-sel lapisan granulosa. Progesteron juga merupakan steroid yang dominan dalam menginisiasi gelombang

pelepasan LH 4-6 jam sebelum ovulasi terjadi. Estrogen disintesis oleh sel-sel teka eksternal. Produksi steroid oleh sel-sel teka dan granulosa dikontrol oleh aksi LH lewat signal second messenger cAMP (adenil cyclase). Messenger asam ribonukleat (mRNA) merupakan reseptor LH yang tereskpresi pada jaringan granulosa dan teka folikel seluruh hierarki folikel. Peningkatan mRNA sebagai reseptor LH terjadi ketika fase perkembangan folikel baik pada lapisan teka maupun lapisan granulosa, kemudian fase pascaovulasi dan ketika terjadi regeresi folikel. Hierarki folikel merupakan gradasi bobot dan ukuran folikel. Hanya satu folikel, yaitu folikel yang paling besar dan menjadi matang serta diovulasikan dalam waktu satu hari. Segera setelah folikel yang paling besar pecah, yolk mengalami ovulasi kemudian akan diikuti oleh folikel nomor dua terbesar yang akan tumbuh dan menjadi paling besar kembali, demikian seterusnya pembesaran folikel terjadi secara berurutan. Jadi, kontrol aliran hormon gonadotropin pada aves betina sangat berbeda dari mamalia betina. Pada mamalia, aliran gonadotropin hanya cukup menstimulasi matangnya satu folikel (atau beberapa folikel pada betina politokus), sedangkan pada unggas betina, aliran hormon gonadotropik diatur tidak hanya untuk satu folikel yang memiliki ukuran ovulasi pada saat itu, tetapi juga untuk mempertahankan keberadaan hierarki folikel. Induksi cAMP oleh LH akan meningkatkan respons lapisan granulosa folikel pada saat ovulasi berlangsung. Sebaliknya, ikatan FSH pada membran, pembentukan cAMP yang diinduksi oleh FSH, dan steroidogenesis sangat rendah pada hierarki folikel. Jadi, ketika ovulasi, sistem cAMP pada sel teka maupun granulosa memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap LH, namun tidak responsif untuk FSH (Johnson 2000; Nalbandov 1990).

Aktivasi diasilgliserol atau protein kinase C sebagai sistem second messenger akan menurunkan produksi steroid yang diinduksi oleh LH pada sel- sel granulosa dan sel-sel teka folikel. Sejumlah faktor fisiologi potensial akan beraksi lewat protein kinase C yang meliputi faktor pertumbuhan (transforming growth factor α/TGFα maupun transforming growth factor β/TGFβ), faktor pertumbuhan epidermal (epidermal growth factor/EGF), dan prostaglandin. Pada ayam, kehadiran TGFα akan menurunkan produksi steroid yang diinduksi LH di dalam sel–sel granulosa F1 (folikel matang yang paling besar). Terjadinya

penurunan atau penghambatan steroid menunjukkan berakhirnya pelepasan progesteron preovulasi. Produksi faktor-faktor pertumbuhan dan reseptornya seperti EGF, TGFα, TGFβ, NGF (nerve growth factor), SCF (stem cell factor) dan IGF-I (insulin growth factor I) ikut terlibat dalam regulasi fungsi ovari, baik sebagai parakrin maupun autokrin (Johnson 2000). Pada puyuh, EGF kurang berperan selama diferensiasi folikel, sedangkan TGFβ merupakan modulator parakrin dan autokrin pada sel-sel granulosa dan oosit yang telah matang (Nassauw et al. 1996).

Oviposisi merupakan proses pengeluaran telur dari tubuh aves betina. Proses oviposisi melibatkan relaksasi otot abdominal dan otot sphincter antara uterus dan vagina serta kontraksi otot pada dinding uterus. Mekanisme oviposisi pada puyuh dan aves secara umum dikontrol oleh hormon neurohipofisis, prostaglandin, dan hormon folikel preovulasi maupun pascaovulasi. Hormon neurohipofisis yang terlibat langsung dalam proses oviposisi adalah oksitosin yang dimediasi oleh prostaglandin. Pemberian indomethasin, histamin, dan asetilkolin akan memblokir sintesis oksitosin sehingga menginduksi terjadinya oviposisi prematur. Pada ayam, hormon neurohipofisis yang terlibat dalam oviposisi selain oksitosin adalah arginin vasotoksin. Ayam petelur sangat peka sekali terhadap kedua hormon neurohipofisis ini yang menginduksi kontraksi uterus sehingga menyebabkan terjadinya oviposisi prematur (Johnson 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Saito et al. (1990) menunjukkan bahwa ovari ayam juga merupakan sumber arginin vasotoksin. Siklus ovulasi-oviposisi merupakan siklus ovulasi ovum sampai dengan peletakan telur (oviposisi). Siklus ovulasi-oviposisi untuk masing-masing spesies aves cukup bervariasi dengan rentang waktu 24-28 jam. Siklus ovulasi-oviposisi pada ayam, kalkun, dan puyuh sekitar 24 jam, pada itik Khaki Campbell sekitar 23-24 jam, sebaliknya pada merpati siklus ini cukup lama, yaitu sekitar 40-44 jam. Oviposisi pada puyuh terjadi pukul 14.00-19.00, pada ayam pukul 06.00-14.00, dan pada itik pada pukul 02.00-06.00. Pemberian pencahayaan yang konstan pada puyuh akan menstimulasi pengeluaran jumlah telur yang relatif seragam pada periode 24 jam secara berurutan, yang dikenal sebagai suatu siklus clutch. Siklus clutch berakhir pada suatu hari tertentu ketika tidak ada telur yang dikeluarkan.

Umur masak kelamin sangat dipengaruhi oleh panjang hari (lamanya penerangan). Beberapa puyuh betina akan mulai bertelur pada umur 35 hari, namun sebagian besar puyuh bertelur pertama kali pada umur 41-42 hari dan mencapai puncak produksi telur pada umur 50 hari. Pada kondisi lingkungan yang sesuai, puyuh akan mampu bertelur sebanyak 250 butir per tahun per ekor. Waktu yang dibutuhkan untuk membentuk sebutir telur adalah 24 jam yang diawali dengan keberadaan telur di dalam infundibulum sekitar 15-30 menit, di dalam magnum 2-2,5 jam, di dalam isthmus 1,5-2 jam, dan di dalam uterus 19-20 jam. Ovulasi telur berikutnya akan dimulai lagi 15-30 menit setelah oviposisi. Bobot ovari pada saat bertelur sekitar 6,2 g, sedangkan bobot oviduk 4,9 g. Masak kelamin puyuh jantan dicapai pada umur 36 hari dengan bobot testis 551 mg pada saat menghasilkan spermatozoa pertama kali dan bobotnya akan meningkat sampai 2.500 mg pada puyuh yang produktif. Konsentrasi semen 5,9 juta/mm3 dan volume semen 10 μl/ekor (Woodard et al. 1973). Beberapa perubahan lain yang mengikuti proses masak kelamin pada unggas, termasuk puyuh, yaitu vent menjadi besar dan lembab, tulang pinggul (pubis) menjadi lebih tipis, jarak antartulang pinggul bertambah lebar, jarak antara tulang pinggul dan ujung tulang dada bertambah lebar serta kulit pada tulang tengkorak menjadi lebih tipis (Suprijatna et al. 2005). Pelebaran tulang pinggul (PS: pubic spread) pada puyuh secara cepat terjadi ketika masak kelamin pada umur 38-59 hari dan pertumbuhan optimal tulang pinggul berlangsung pada umur 49-52 hari. Pada puyuh berumur 21-38 hari yang belum masak kelamin (prepubesence), tulang pinggul belum mengalami pelebaran, sedangkan pada puyuh berumur 59-84 hari yang sudah mulai postpubesence sudah tidak terjadi lagi pertumbuhan tulang pinggul (Satterlee dan Marin 2004).

Dokumen terkait