• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah sosial dari faktor biologis, misalnya penyakit menular

Dalam dokumen PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (Halaman 27-36)

3. Masalah sosial dari faktor psikologis misalnya penyakit saraf, gila dan bunuh diri.

4. Masalah sosial dari faktor kebudayaan, misalnya perceraian, pencurian, kenakalan remaja, konflik ras, dll.

Masalah sosial sebagai proses sosial mencakup konsepsi tentang disorganisasi sosial dan konflik nilai. Masalah sosial timbul sebagai akibat dari proses perubahan sehubungan dengan perkembangan dalam sistem kepribadian manusia serta sistem sosial. Dalam proses ini dapat pula terjadi hambatan-hambatan terhadap realisasi nilai-nilai sosial. Terjadinya masalah sosial sebagai proses adalah alami dan tidak dapat dielakkan lagi.

4.Fakta Sosial Kekerasan Simbolik

Ada beberapa konsep yang di kemukakan oleh Pierre bourdieu yang merupakan kunci untuk memahami dan menjelaskan makna kekerasan simbolik yaitu:

a. Modal

Istilah modal yang sering di jumpai dalam bidang ekonomi yang sering di maknai sebagai bentuk akumulasi materi (uang).Sedangkan Pierre bourdieu memahami modal sebagai sekumpulan sumber daya (baik materi maupun non materi) yang di miliki seseorang atau kelompok tertentu yang dapat di gunakan untuk mencapai tujuan. Modal yang di miliki seseorang atau kelompok tertentu, akan menentukan posisi mereka dalam struktur sosial.

Bourdieu menyebut istilah modal sosial (social capital), modal budaya (cultural capital), modal simbolik (symbolic capital).Modal sosial menunjuk pada sekumpulan sumber daya yang aktual atau pontensial yang terkait dengan pemilikan jaringan hubungan saling mengenal dan/atau saling mengakui yang member anggotanya dukungan modal yang di miliki bersama.(Nanang martono, 2012; 33).

Modal budaya merujuk pada serangkaian kemampuan atau keahlian individu, termasuk di dalamnya adalah sikap cara bertutur kata, berpenampilan dan cara pergaulan. Modal budaya dapat terwujud dalam tiga bentuk (Nanang martono, 2012; 33):

1. Dalam kondisi “menubuh” modal budaya dapat berupa disposisi tubuh dan di hargai dalam suatu wilayah tertentu.

2. Dalam kondisi terobjektifikasi, modal budaya terwujud dalam benda-benda budaya seperti seperti buku, alat musik dll. Sebagai sebuah benda, modal budaya dalam bentuk ini dapat di miliki oleh seseorang atau di wariskan.

3. Dalam bentuk yang terlembagakan, modal budaya ini terwujud dalam bentuk yang khas dan unik, yaitu keikutsertaan dan pengakuan dari lembaga pendidikan dalam bentuk gelar-gelar akademis atau ijazah.

Modal simbolik merupakan sebuah bentuk modal yang berasal dari jenis yang lain, yang di salah kenali dan di akui sebagai sesuatu yang sah dan natural.

Modal simbolik ini misalnya dapat berupa pemilihan tempat tinggal, apakah ia tinggal di daerah elit atau lingkungan yang kumuh di pinggir sungai?.

b. Kelas

Secara khusus Bourdieu mendefinisikan kelas sebagai kumpulan agen atau aktor yang menduduki ;posisi serupa dan di tempatkan dalam kondisi serupa serta di tundukkan atau di arahkan dalam kondisi serupa. Pembedaan ini di lakukan secara vertikal, adanya perbedaan kelas dapat di pengaruhi oleh pemilik modal baik pemilik modal budaya maupun pemilik modal simbolik.

Bourdieu membedakan kelas menjadi tiga bagian antara lain:

1. Kelas dominan, yang di tandai oleh pemilik modal yang cukup besar. Individu dalam kelas ini mampu mengakumulasi berbagi modal dan secara jelas mampu mampu membedakan dirinya dengan orang lain untuk menunjukkan identitasnya.

2. kelas borjuasi kecil. Mereka di posisikan ke dalam kelas ini karna memiliki kesamaan sifat dengan kaum borjuasi, yaitu mereka memiliki keinginan

keinginan untuk menaiki tangga sosial, akan tetapi mereka menempati kelas menengah dalam struktur sosial.

3. kelas populer. Kelas ini merupakan kelas yang hampir tiodak memiliki modal, baik modal ekonomi, modal budaya maupuin modal simbolik. Mereka berada pada posisi yang cenderung menerima dominasi dari kelas dominan, mereka cenderung menerima apa saja yang “di paksakan” kelas dominan kepadanya.

(nanang martono, 2012; 35).

Hubungan ketiga kelas tersebut kelas dominan hampir memaksakan budayanya, sementara kelas terdominasi tentu saja akan menerima kelas dominasi tersebut.

c. Habitus

Habitus dapat di rumuskan sebagi sebuah sistem (skema-skema persepsi, pikiran dan tindakan yang di peroleh dan bertahan lama). Habitus juga merupakan gaya hidup (lifestyle), nilai-nilai (values), watak (disposition), dan harapan (expectation) kelompok sosial tertentu.

Konsep habitus juga dapat di maknai dalam beberapa hal:

1. habitus sebagai sebuah pengkondisian yang di kaitkan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas. Hasilnya adalah memunculkan disposisi-disposisi yang dapat di wariskan.

2. habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis (yang tidak harus sadari) yang kemudian di terjemahkan menjadi sebuah kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu.

3. habitus merupakan kerangka penafsiran untuk memahami realitas sekaligus menghasilkan praktik-praktik kehidupan yang sesuai dengan struktur objektif.

4. keberadan nilai adan norma sosial dalam masyarakat menggarisbawahi bahwa habitus merupakan sejumlah etos, yang menyangkut nilai-nilai yang di praktikkan, bentuk moral yang di internalisasikan dan tidak mengemuka dalam kesadaran, namun mengatur kehidupan sahari-hari.

Konsep kekerasan menurut Santoso (2002) dapat di definisikan dalam tiga makna:

a. kekerasan di pandang sebagai tindakan aktor atau kelompok aktor.

b. Kekerasan di maknai sebagai sebuah produk atau hasil bekerjanya struktur.

c. Kekerasan dimaknai sebagai jaringan sosial antara aktor dan struktur.

Menurut Pierre Bourdieu, kekerasan berada dalam struktur yang di praktikkan dalam ruang lingkup kekuasaan, hal tersebut berarti kekerasan merupakan pangkal atau hasil praktik sebuah kekuasaan. Ketika sebuah kelas mendominasi kelas yang lain, maka di dalam proses dominasi tersebut akan menghasilkan sebuah kekerasan. Kekerasan muncul sebagai upaya kelas dominan untuk melanggengkan dominasi atau kekuasaannya dalam struktur sosial.Jadi kekuasaan dan kekerasan merupakan dua konsep yang tidak dapat di pisahkan.

Modal Simbolik merupakan media yang mengarkan hubungan antara kekuasaan dan kekerasan tersebut, ketika pemilik modal simbolik menggunakan kekuatannya yang di tujukan kepada pihak lain yang memiliki kekuasaan yang lemah, maka pihak lain tersebut akan berusaha mengubah tindakan-tindalkannya, hal ini menunjukan terjadinya Kekerasan Simbolikmelalui peran modal simbolik.

Kekerasan Simbolik adalah upaya aktor-aktor sosial dominan menerapkan suatu makna sosial dan representasi realitas yang di internalisasikan kepada aktor lain sebagai sesuatu yang alami dan abasah, bahkan makna sosial tersebut kemudian di anggap benar oleh aktor lain tersebut. Kekerasan ini bahkan tidak di rasakan sebagai sebuah bentuk kekerasan sehingga berjalan efektif dalam praktik dominasi sosial.Kekerasan simbolik merupakan kekerasan yang di lakukan secara paksa untuk mendapatkan kepatuhan yang tidak dapat di rasakan atau di sadari sebagai sebuah paksaan dengan bersandar harapan-harapan kolektif dari kepercayaan-kepercayaan yang sudah tertanam secara sosial.Kekerasan simbolik di lakukan dengan mekanisme ‘penyembunyian kekerasan’ yang di miliki menjadi sesuatu yang di terima sebagai yang memeng seharusnya demikian.

Proses ini menurut Pierre bourdieu dapat di capai melalui proses inkalkulasi atau proses penanaman yang terjadi secara terus menerus. Proses inilah satunya dapat berlangsung proses pembelajaran di sekolah. Kekerasan simbolik dapat di lakukan dua cara (Nanang martono, 2012; 40) .

1. Eufisme. Eufisme biasanya membuat kekerasan simbolik menjadi tidak nampak, bekerja secara halus, tidak dapat di kenali dan dapat di pilih secara “ tidak sadar” bentuk Eufisme dapat berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, pemberian, atau belas kasihan.

2. Mekanisme Sensorisasi yang menjadikan kekerasan simbolik menjadi nampak sebagai bentuk sebuah pelestarian semua bentuk nilai yang di anggap sebagai

“Moral Kehormatan”, seperti: kesantunan, kesucian, kedermawanan, dan sebagainya yang biasanya di pertentangkan dengan “ Moral yang rendah”

seperti: kekerasan, kriminal, atau asusila.

Bentuk - Bentuk Kekerasan Simbolik

Kekerasan simbolik dapat terjadi dalam dua bentuk : a. Kekerasan Simbolik Dalam Bahasa.

Bahasa merupakan salah satu alat yang di gunakan kelas dominan untuk menjalankan mekanisme kekerasan simbolik.Bahasa memiliki peran yang sentral dalam mekanisme kekuasaan dan dominasi, terutama menyembunyikan maksud yang sebenarnya dari sebuah tindakan, yang di latar belakangi karna adanya unsur kekuasaan. Setiap bahasa (atau teks, tulisan, kalimat) hampir selalu di ikuti dengan tujuan yang bersifat laten. Tentu saja ini merupakan proyek besar kelas dominan untuk menyebarluaskan dan memaksakan habitusnya kepada kelas yang di dominasi dalam hal ini adalah kelas bawah.

Bahasa merupakan produk budaya, yang tentu saja tidak dapat di pisahkan dari konteks sosialnya.Bahasa dapat mencerminkan “siapa penuturnya” bahasa mencerminkan pesan, dalam istilahnya Pierre bourdieu pesan ini di maknai sebagai simbol. Kelas dominan melalui bahasa, seolah-olah ingin memberitahukan kepada kelas yang terdominasi “inilah seleraku”, “inilah habituskan”, “inilah budayaku” sementara kelas yang terdominasi tidak memiliki akses yang cukup untuk menyuarakan atau menyosialisasikan habitusnya.

Bahasa merupakan salah satu atribut manusia yang paling.penting.Bourdieu melihat bahwa bahasa tidak hanya merupakan alat komunikasi dan kapital budaya, tetapi juga merupakan praktik sosial .bahasa sebagai praktik sosial merupakan hasilinteraksi aktif antara struktur sosial yang objektif dengan habitus linguistik yang di miliki pelaku sosial, lebih lanjut Bourdieu menyatakan bahwa bahasa berbuhungan dengan kekuasaan. Proses

eufisme dan sensorisasi sebagai mekanisme kekerasan simbolik sangat efektif apabila di lakukan dengan bahasa.

Bahasa di sisi lain tentu saja menjadi cermin status sosial. Seseoran dapat menunjukkan status sosialnya melalui bahasa yang di gunakannya, termasuk di dalamnya adalah pilihan katanya dan cara bicaranya. Bahasa mencerminkan kebiasaan, budaya, gaya hidup, kepemilikan dan berjuta simbol lain.

b. Kekerasan Simbolik Melalui Gambar.

Gambar merupakan salah satu bagian utama dalam sebuah buku yang mampu menarik perhatian pembaca buku.Demikian halnya dengan Buku sekolah Elektronik (BSE). Gambar di dalam BSE juga memiliki fungsi yang sama, sebagai penarik perhatian siswa SD. Gambar yang menarik tentu saja akan meningkatkan atau menambah motivasi siswa untuk membaca buku tersebut atau sebaliknya.

Gambar merupakan halaman pertama yang di lihat siswa ketika akan membaca BSE. Untuk itu, mekanisme kekerasan simbolik yang cukup efektif, gambar mampu mengajak siswa untuk berimajinasi, membayangkan situasi yang di gambarkan dalam buku tersebut.

1. Habuitus Kelas Atas Dalam Gambar BSE.

Gambar gambar yang ada dalam BSE menggambarkan habitusnya kelas atas melalui ilustrasi sebuah keluarga yang sedang berkumpul, gambarnya yang di dukung dengan latar belakang keadaan sebuah rumah, di ruang tamu ataupun di ruang keluarga yang di lengkapi dengan aksesoris yang banyak di miliki oleh kelas atas.

Gambar: 1. (Nanang martono, 2012; 142)

Gambar :2. (Nanang Martono, 2012; 142 )

Pada gambar 1 dan 2menggambarkan “keluarga yang sedang berkumpul”

simbol yang menunjukkan habitus kelas atas adalah simbol “ayah yang sedang membaca Koran” .meskipun orang miskin juga boleh membaca koran, namun kebiasaan ini akan lebih banyak di jumpai pada kelas atas. Oleh karna itu gambar gambar tersebut di kategorikan sebagai gambar habitus kelas atas.

2. Habitusnya Kelas Bawah Dalam Gambar BSE.

Gambar: I (Nanang martono, 2012; 169)

Habitus kelas bawah yang di gambarkan dalam BSE bahasa Indonesia dalam bentuk aktivitas seorang petani yang sedang menggarap sawah. Pada gambar ini aktivitas di sawah di gunakan untuk menggambarkan “manfaat hujan”

yaitu tanah pertanian menjadi subur.

Gambar 2. (Nanang martono, 2012; 170)

Gambar 2 menggambarkan status pekerjaan kelas bawah dalam BSE juga di sajikan dalam bentuk pekerjaan sebagai pedagang yang biasa di lakukan oleh kelas bawah.

5. Model Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning)

Dalam dokumen PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (Halaman 27-36)

Dokumen terkait