• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

i

NEGERI 1 WERA KABUPATEN BIMA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Pendidikan Sosiologi

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar

Oleh

SYAIFUL ANHAR NIM 105 38 1096 09

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI 2014

(2)
(3)
(4)

Jl. Sultan Alauddin(0411) 860 132 Makassar 90221

iv

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Syaiful Anhar.

NIM : 10538 1096 09

Jurusan : Pendidikan Sosiologi

Judul Skripsi : Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual Dalam Meningkatkan Hasil Belajar Sosiologi Pokok Bahasan Masalah Sosial (Kekerasan Simbolik) Pada Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Wera Kabupaten Bima

Dengan ini menyatakan bahwa:

Skripsi yang saya ajukan di depan Tim Penguji adalah ASLI hasil karya saya sendiri, bukan hasil ciplakan dan tidak dibuat oleh siapapun.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan saya bersedia menerima sanksi apabila pernyataan ini tidak benar.

Makassar, September 2014 Yang Membuat Pernyataan

Syaiful Anhar

Diketahui oleh,

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Hidayah Quraisy M.Pd Tasrif Akib, S.Pd, M.Pd.

(5)

Jl. Sultan Alauddin(0411) 860 132 Makassar 90221

v

SURAT PERJANJIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Syaiful Anhar

NIM : 10538 1096 09

Jurusan : Pendidikan Sosiologi

Dengan ini menyatakan perjanjian sebagai berikut:

1. Mulai dari penyusunan proposal sampai selesai penyusunan skripsi ini, saya akan menyusun sendiri skripsi saya (tidak dibuatkan oleh siapapun).

2. Dalam menyusun skripsi, saya akan selalu melakukan konsultasi dengan pembimbing yang telah ditetapkan oleh pimpinan fakultas.

3. Saya tidak akan melakukan penjiplakan (Plagiat) dalam penyusunan skripsi.

4. Apabila saya melanggar parjanjian seperti pada butir 1, 2, dan 3, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.

Demikian perjanjian ini saya buat dengan penuh kesadaran.

Makassar, September 2014 Yang Membuat Perjanjian

Syaiful Anhar

Mengetahui, Ketua Jurusan Pendidikan Sosiologi

Dr. H. Nursalam, M.Si NBM: 951 892

(6)

vi Motto:

“Nilai ilahiah harus menafasi setiap perjuangan, Tidak ada kata mengeluh dalam perjuangan karna keluhan adalah awal dari ke gagalan”

SYAIFUL ANHAR

Persembahan:

Kupersembahakan karya ini sebagai tandaku berbakti kepadamu Ya ilahhi,orang tua dan seluruh keluargaku, sebagai wujud dari tetesan jutaan keringatmu yang selalu tulus menyayangi ku tanpa mengenal batas .

(7)

Syaiful Anhar. 2014. Penerapan Model Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) Dalam Meningkatkan Hasil Belajar Sosiologi Pokok Bahasan Masalah Sosial (Kekerasan Simbolik) Pada Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Wera Kabupaten Bima Skripsi. Jurusan Pendidikan Sosiologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Dibimbing oleh Hidayah Quraisy dan Tasrif Akib.

Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas ( Class Action Reseacrh) yang bertujuan untuk meningkatkan dan mengetahui penerapan model pembelajaran kontekstual pokok bahasan masalah sosial (Kekerasan Simbolik) siswa kelas X SMA Negeri 1 Wera Kabupaten Bima. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 1 Wera Kabupaten Bima sebanyak 25 orang yang terdiri dari 18 siswa perempuan dan 7 siswa laki-laki. Penelitian ini dilakukan dalam 2 siklus yaitu siklus I dilakukan 3 kali pertemuan dan siklus II dilakukan 3 kali pertemuan yang dilaksanakan selama 2 bulan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data tes dan observasi dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif Hasil temuan dan penelitian ini adalah menujukan bahwa :Skor rata-rata yang diperoleh siswa setelah mengikuti tes akhir siklus I yaitu 65,76 (kategori sedang) dan meningkat pada siklus II menjadi 82,72 (kategori sangat tinggi).

Terjadi peningkatan aktivitas belajar siswa melalui model pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) yang ditandai dengan meningkatnya keaktifan belajar siswa dalam proses pembelajaran sesuai dengan hasil observasi selama proses tindakan kelas berlangsung.

Kata kunci: Penerpan Model Pembelajaran Kontekstual

(8)

viii

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat yang telah diberikan khususnya nikmat kesehatan dan kemampuan sehingga skripsi dengan judul: “Penerapan Model Pembelajaran kontekstual Dalam Meningkatkan Hasil Belajar Sosiologi Pokok Bahasan Masalah Sosial (Kekerasan Simbolik) Pada Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Wera Kabupaten Bima

” dapat diselesaikan.

Ucapan terima kasih teristimewa penulis sampaikan kepada ayahanda H. Tahamin, M. Yakub dan ibunda Hifnah, Halima, dan Aminah atas segala usaha, pengorbanan serta doa restu yang telah diberikan demi kesuksesan penulis dalam menuntut ilmu dari sejak kecil hingga saat ini. Tak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada adinda (Ija Sri rahmawati), yang selalu ikhlas dalam mendampingi penulis dan adik-adikku ,Putri Handayani,Saoki,Angga Muliyadin, Uni Indriani, dan Dila atas motivasi, dukungan, dan doa yang diberikan untuk kesuksesan penulis. Apa yang mereka berikan menjadi modal berharga bagi penulis dalam meraih kesuksesan.

Selanjutnya, penghargaan yang setinggi-tingginya serta ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan dengan hormat kepada:

1. Dr. H. Irwan Akib, M.Pd., Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar.

(9)

ix

3. Drs. H. Nusalam M.si, Ketua Jurusan Pendidikan Sosiologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.

4. Muhammad Akhir, S.Pd., M.Pd.,Sekretaris Jurusan Pendidikan Sosiologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.

5. Dra. Hidayah Quraisy M.Pd., Dosen Pembimbing I yang senantiasa memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan skripsi ini.

6.Tasrib Akib, S. pd, M. Pd.Dosen Pembimbing II yang senantiasa memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan skripsi ini.

7. Drs, Amalik Ajrun Kepala Sekolah SMA Negeri 1 WERA yang telah memberikan izin dan bantuan untuk melakukan penelitian.

8. Bapak Lutfi S.Sos.,Guru Sosiologi kelas X di SMA Negeri 1 Wera yang telah memberikan arahan dan masukan selama penulis melaksanakan penelitian.

9. Bapak M. Tayeb dan guru serta staf di SMA Negeri 1 Wera yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama melaksanakan penelitian.

10. Bapak dan Ibu dosen di jurusan pendidikan Sosiologi atas segala pengetahuan dan pengalaman yang diberikan kepada penulis selama proses perkuliahan.

11. Adik-adik mahasiswa Sangiang dan adik-adik yang terhimpun di Himpunan Mahasiswa Wera (HMW) yang senantiasa mendukung dan mendesak penulis untuk menyelesaikan proses perkuliahan.

(10)

x dukungan.

Semua teman seperjuangan angkatan 2009 yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu, atas kerjasama dan dukungannya.

Dan semua pihak yang telah berpartisipasi dalam rangka penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan baik isi maupun format penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan yang sifatnya membangun untuk dijadikan sebagai motivasi demi perbaikan di masa yang akan datang.

Akhir kata, penulis berharap semoga keberadaan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan Penulis pada khususnya. Amin.

Makassar, 2014

Penulis

(11)

xi

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

SURAT PERNYATAAN ... iv

SURAT PERJANJIAN ...v

MOTO ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang ...1

B. Rumusan Masalah ...5

C. Tujuan Penelitian ...5

D. Manfaat Hasil Penelitian ...6

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS ...8

A. Kajian Pustaka ...8

B. Kerangka Pikir………...31

C. Hipotesis... ...33

BAB III METODE PENELITIAN ...34

A. Jenis Penelitian ...34

B. Lokasi Penelitian dan Subjek Penelitian...35

C. Faktor yang Diselidiki ...35

D. Prosedur Penelitian ...36

(12)

E. Teknik Pengumpulan Data...40

F. Teknik Analisis Data...42

G. Indikator Keberhasilan...42

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...44

A. Hasil Penelitian ...44

1. Paparan Data Siklus I……….45

2. Paparan Data Siklus II………57

B. Pembahasan Hasil Penelitian ...69

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ...72

A. Simpulan ...72

B. Saran ...73 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP

(13)

1 A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menuntut peningkatan mutu pendidikan, agar dapat memberikan kemudahan kepada siswa dalam mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Oleh karena itu, usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia perlu ditingkatkan yaitu dengan melaksanakan perbaikan-perbaikan serta perubahan dalam segala aspek yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan.

Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.Peningkatan mutu pengajaran merupakan salah satu aspek yang sangat penting guna mewujudkan insan pendidikan yang mempunyai mutu dan berkualitas tinggi.Namun dalam pelaksanaannya pendidikan selalu menghadapi tantangan, misalnya masalah kualitas, relevansi, pemerataan dan sebagainya.Masalah mutu pendidikan adalah salah satu tantangan dalam bidang pendidikan.Mendidik anak sambil terus mempertahankan mutu pendidikan yang tinggi, bukanlah suatu tugas yang mudah. disamping itu, mutu perlu juga ditingkatkan dari waktu ke waktu secara teratur dan berkesinambungan. Jadi untuk mengatasi masalah-masalah tersebut diperlukan tindakan nyata, konprehensip, dan terpadu. Kurikulum, proses pembelajaran, dan penilaian merupakan tiga dimensi dari sekian banyak dimensi yang penting dalam pendidikan. Kurikulum merupakan penjabaran tujuan pendidikan yang menjadi landasan program pembelajaran. Proses pembelajaran merupakan upaya yang

(14)

dilakukan guru untuk mencapai tujuan yang dirumuskan dalam kurikulum.

Penilaian merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mengukur dan menilai tingkat pencapaian kurikulum dan berhasil tidaknya proses pembelajaran.

Untuk mencapai tujuan pendidikan sosiologi di sekolah, sudah saatnya seorang guru bekerja dengan menyadari bahwa mengajar sosiologi tidak sekedar mengarahkan peserta didik berpikir tentang apa yang dipelajarinya dan menerapkan metode mengajar yang dipilih, tetapi harus melihat dan mengamati apa yang dipikirkan siswa serta proses yang berkembang dalam suatu diskusi terhadap materi sosiologi yang dipelajari siswa. Guru harus mencari cara agar peserta didik aktif mengkomunikasikan pengetahuan sosiologi yang dipilih. Oleh sebab itu guru harus menggunakan model pembelajaran yang menempatkan siswa pada posisi acuan dalam keseluruhan program pembelajaran.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari guru SMA Negeri 1 Wera Kabupaten Bima pada siswa kelas X ditemukan data hasil observasi yang penulis diperoleh gambaran bahwa dalam pembelajaran sosiologi telah diterapkan beberapa metode pembelajaran terhadap siswa, namun kadang-kadang siswa masih sulit memahami pelajaran sosiologi. Hal itu terlihat pada kemampuan dan hasil belajar sosiologisiswa kelas X SMA Negeri 1 Wera Kabupaten Bima yang hanya mencapai skor rata-rata nilai adalah 62,73 yang telah diperoleh dari 25 siswa. Nilai ini masih di bawah nilai KKM yang telah ditetapkan adalah 65.

Sejalan dengan masalah di atas terungkap bahwa rendahnya hasil belajar sosiologi siswa kelas X SMA N I WERA Kabupaten Bima disebabkan oleh: 1) Guru kurang memahami arti pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning)seperti konstruktivisme, inkuiri, bertanya, masyarakat belajar,

(15)

pemodelan, refleksi, dan penilaian nyata; 2) Dalam proses belajar siswa hanya mencatat materi yang disampaikan oleh guru tanpa melakukan proses secara langsung; dan 3) Dalam proses pembelajaran banyak siswa yang tidak memperhatikan materi dan sibuk dengan aktivitas lain.

Pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning) pada pembelajaran sosiologi adalah pembelajaran yang dianjurkan didalam mengajarkan sosiologi karena model pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learnng)menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkan dalam kehidupan mereka. Ada beberapa aspek-aspek yang harus dimiliki siswa dalam pembelajaran menggunakan pendekatankontekstual yaitu kontruktivisme, inkuiri, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian nyata.Dengan menguasai aspek-aspek keterampilan ini, dapat meningkatkan hasil belajar siswa khususnya pada pembelajaran sosiologi.

Seorang guru harus mampu membawa dunia guru ke dalam dunia siswa sekaligus membawa dunia siswa kedalam dunia guru sehingga keduanya bertemu pada suatu titik temu yang pada akhirnya membuat suasana belajar lebih menyenangkan. Mengajar yang baik bukan berarti memaksakan materi pada otak siswa, tetapi merangsang ataupun mensugesti otak siswa untuk menjemput materi tersebut, sehingga belajar akan lebih menyenangkan.

Belajar bukanlah suatu kegiatan yang hampa tanpa makna dan penghayatan.Oleh karena itu, guru hendaknya senantiasa menciptakan kondisi

(16)

belajar yang kondusif dan menyenangkan sehingga murid dapat mencapai ketuntasan belajar sebagaimana yang diharapkan.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka dengan ini penulis tertarik dan merasa perlu untuk mengadakan penelitian, dengan judul: “Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual (contextual teaching and learning) Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Sosiologi Pokok Bahasan Masalah Sosial (Kekerasan Simbolik)Pada Siswa Kelas XSMA Negeri 1Wera Kabupaten Bima”.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah, dapat di identifikasi masalah sebagai berikut : 1. Guru kurang memahami arti model pembelajaran kontekstual(Contextual Teaching and Learning) seperti konstruktivisme, inkuiri, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian nyata.

2. Dalam proses belajar siswahanya mencatat materi yang disampaikan oleh guru tanpa melakukan proses secara langsung.

3. Proses pembelajaran banyak siswa yang tidak memperhatikan materi dan sibuk dengan aktivitas lain.

4. Metode yang di gunakan masih konvensional.

5. Rendahnya prestasi siswa untuk mata pelajaran sosiologi.

(17)

C. Alternatif Pemecahan Masalah

Masalah dalam penelitian kali ini akan di pecahkan dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) yang di lakukan sesuai dengan prosedur penelitian tindakan kelas.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual (contextual teaching and learning) dapat meningkatkan hasil belajar sosiologi pada Siswa Kelas XSMA Negeri 1Wera Kabupaten Bima?”

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalahUntuk meningkatkan hasil belajar sosiologi pokok bahasan Masalah Sosial (Kekerasan Simbolik) melalui model Pembelajaran Kontektual (contextual teaching and learning) pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Wera Kabupaten Bima.

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini terbagi menjadi dua sebagai berikut :

1. Manfaat Teori a. Bagi siswa

1) Dengan adanya teknik yang baru maka akan memotivasi siswa untuk belajar sosiologi.

(18)

2) Siswa juga dapat melihat dan berbuat, tidak hanya mendengarkan penjelasan dari guru, sehingga siswa lebih aktif dalam belajar sosiologi.

b.Bagi guru

1) Sebagai model alternatif untuk mengajarkan sosiologi.

2) Sebagai dasarmenjelaskan tujuan pembelajaran yang akandicapai 3) Sebagai masukan dalam menentukan berbagai langkah penanganan

terhadap siswa yang mengalami masalah dengan peningkatan hasil belajar sosiologi baik di sekolah maupun di luar sekolah.

c. Manfaat Praktis a. Bagi Sekolah:

1) Dengan adanya penelitian ini maka diharapkan sekolah dapat menerapkan model ini untuk memperoleh mutu siswa yang lebih baik lagi.

2) Sebagai informasi bagi semua pengajar mengenai model Pembelajaran Kontekstual (contextual teaching and learning) b. Bagi Peneliti:

1) Memperoleh pengalaman dalam mengajarkan sosiologi dengan model Pembelajaran Kontekstual (contextual teaching and learning) sehingga ketika sudah menjadi guru dapat memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan.

2) Untuk mengetahui keefektifan model pembelajarankontekstual (contextual teaching and learning).

(19)

3) Untuk mendapatkan gambaran tentang hasil belajar sosiologi melalui model pembelajaran kontekstual (contextual teaching and

learnig)

(20)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS TINDAKAN

A. Kajian Pustaka 1.Pengertian Belajar

Belajar (learning), sering kali didefinisikan sebagai perubahan yang secara relatif berlangsung lama pada masa berikutnya yang diperoleh dari pengalaman- pengalaman. Para ilmuwan perilaku berusaha mengukur apa yang telah dikerjakan oleh makhluk di dunia ini untuk dapat menguasai belajar ini. Tetapi, belajar itu sendiri merupakan satu kegiatan yang terjadi di dalam diri seseorang, yang sukar untuk diamati secara langsung. Hal ini masih merupakan masalah yang belum dapat sepenuhnya dimengerti, dan para siswa tersebut mengalami perubahan.

Mereka memperoleh hubungan-buhungan asosiatif, pengetahuan, pengertian, keterampilan, dan kebiasaan-kebiasaan baru. Hasilnya, mungkin mereka dapat berperilaku di bawah kondisi tertentu dengan cara yang dapat diukur secara berbeda-beda.

Kemudian untuk memperluas pemahaman kita mengenai apa yang dimaksud dengan belajar, akan dikemukakan beberapa definisi dari para ahli pendidikan modern.

a.Hilgard dan Brower (dalam Abdul Rahman Shaleh, 2008:207)mengemukakan: ”Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap suatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya secara berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respons pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya; kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya).”

b.Gagne (dalam Abdul Rahman Shaleh, 2008:208) menyatakan: ”Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama-sama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya

8

(21)

(performance-nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi.”

c.Morgan (dalam Abdul Rahman Shaleh, 2008:208) mengemukakan:

”Belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai hasil dari latihan atau pengalaman.”

d.Witherington (dalam Abdul Rahman Shaleh, 2008:208) mengemukakan:”Belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru daripada reaksi berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepribadian atau suatu pengertian.”

Menurut Bloom,Ngalim Purwantodalam Sahabuddin, (2007:81) menyatakan bahwa hasil belajar kognitif meliputi beberapa aspek di bawah ini:

a. Pengetahuan, yaitu tingkat kemampuan yang hanya meminta responden (testee) untuk mengenal atau mengetahui adanya konsep atau istilah-istilah, atau dapat menilai, atau dapat menggunakannya, dalam hal ini testee biasanya hanya dituntut untuk menyebutkan kembali atau menghafal saja.

b. Pemahaman, yaitu tingkat kemampuan yang mengharapkan responden (testee) mampu memahami arti atau konsep, situasi, serta fakta yang diketahuinya.

c. Aplikasi atau penerapan, yaitu responden dituntut kemampuannya untuk menerapkan atau menggunakan apa yang telah diketahui dalam situasi yang baru baginya.

d. Kemampuan analisis, yaitu tingkat kemampuan responden untuk menganalisis atau menguraikan suatu integritas atau situasi tertentu ke dalam komponen-komponen atau unsur-unsur pembentuknya.

e. Kemampuan sintesis, yaitu penyatuan unsur-unsur atau bagian-bagian ke dalam suatu bentuk yang menyeluruh.

(22)

f. Evaluasi, dengan kemampuan evaluasi testee diminta untuk membuat suatu penilaian tentang suatu pernyataan, konsep, situasi dan sebagainya berdasarkan suatu kriteria tertentu.

Definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas memang berbeda-beda, akan tetapi bila dikaji dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Belajar itu membawa perubahan dalam arti perubahan perilaku, baik aktual, maupun potensial;

b. Perubahan itu pada dasarnya adalah perolehan kecakapan baru;

c. Perubahan itu terjadi karena pengalaman, baik yang diusahakan dengan sengaja, maupun yang tidak diusahakan dengan sengaja, (Sahabuddin, 2007:81).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses yang mengubah kelakuan lama ke kelakuan baru yang mengakibatkan seseorang lebih siap dalam menghadapi suatu situasi tertentu. Dengan demikian, kegiatan belajar akan selalu dialami oleh manusia sepanjang hayatnya, baik secara sadar atau tidak, dan setelah belajar akan diperoleh perubahan-perubahan yang merupakan hasil belajar dari pengalaman-pengalaman belajar.

2. Hasil Belajar Sosiologi

Hasil belajar selalu dinyatakan dalam bentuk perubahan tingkah laku.

Bagaimana bentuk tingkah laku yang diharapkan berubah itu dinyatakan dalam perumusan tujuan instruksional, (Zakiah Daradjat,dkk, 2008:197).

Hasil belajar/bentuk perubahan tingkah laku meliputi 3 aspek yaitu, aspek kognitif meliputi perubahan-perubahan dalam segi penguasaan pengetahuan, serta perubahan keterampilan/kemampuan untuk menggunakan pengetahuan tersebut,

(23)

aspek afektif meliputi perubahan-perubahan dalam segi sikap mental, ketenangan, dan kesadaran, aspek psikomotorik meliputi perubahan dalam bentuk-bentuk tindakan motorik, (Zakiah Daradjat,dkk, 2008:197).

Hasil belajar sosiologi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah skor yang menunjukkan tingkat penguasaan dan pemahaman siswa dalam pelajaran sosiologi setelah mengikuti pembelajaran.Skor hasil belajar sosiologi diperoleh dari hasil pemberian tes hasil belajar.

3.Pokok BahasanMasalah Sosial a. Pengertian Masalah Sosial

Masalah sosial sesungguhnya merupakan hasil dari interaksi interaksi sosial antar individu, antar individu dengan kelompok, atau antara kelompok dengan kelompok lain, bahkan masalah sosial merupakan hasil dari proses perkembangan masyarakat.

Unsur utama dari masalah sosial adanya perbedaan yang mencolok antara nilai-nilai dan norma-norma sosial dengan kondisi nyata dalam realitas kehidupan bermasyarakat. Artinya, adanya ketidak kecocokan antara anggapan-anggapan masyarakat tentang apa yang seharusnya terjadi dengan yang telah terjadi dalam kenyataan pergaulan hidup.

Kasifikasi masalah sosial terdiri dari dua macam:

1. masalah sosial nyata adalah masalah sosial yang timbul sebagai akibat terjadinya kepincangan-kepincangan yang di sebabkan tidak sesuainya tindakan dengan norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat, dan masyarakat umumnya tidak menyukai kepincangan itu. Masalah sosial nnyata

(24)

keberadaannya di akui oleh masyarakat dan ada keyakinan dapat di atasi atau di hilangkan.

2. Masalah sosial laten adalah masalah-masalah sosial yang terjadi di dalam masyarakat tetapi masyarakat tidak mengakuinya sebagai masalah di tengah- tengah mereka, hal ini di sebabkan oleh suatu ketidak berdayaan mereka untuk mengatasinya. Misalnya, korupsi di yakini sebagi masalah sosial akan tetapi masyarakat tidak mampu mengatasinya.

Beberapa Masalah-MasalahSosial Penting a. Kemiskinan

Kemiskinan adalah suatu keadaan ketika seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.Pada masyarakat yang bersahaja, kemiskinan identik dengan kesulitan memenuhi kebutuhan primer (sandang dan pangan). Tetapi, pada masyarakat kota yang lebih modern, kemiskinan berarti harta bendanya tidak cukup untuk memenuhi standar kehidupan kota. Inilah yang menyebabkan kemiskinan menjadi masalah sosial.

b. Kejahatan

Kondisi dan proses sosial menghasilkan berbagai prilaku sosial di masyarakat, termasuk prilaku kejahatan. Kejahatan di anggap sebagai masalah sosial sebab dapat merugikan anggota masyarakat lainnya. Kejahatan terbentuk melalui proses imitasi, pelaksanaan peran sosial, diferensiasi, kompensasi, identifikasi, dan kekecewaan yang agresif.

(25)

c. Dis Organisasi Keluarga

Keluarga adalah unit kelompok terkecil di dalam masyarakat sehingga segala permasalahan yang terjadi dalam keluarga akan mempengaruhi masyarakat secara umum. Sebaliknya, keharmonisan hubungan dalam keluarga akan menjadi modal terbentuknya suatu masyarakat yang stabil.

Bentuk-bentuk keretakan keluarga di antaranya sebagai berikut:

1).Keluarga yang tidak lengkap karna hubungan di luar nikah. Misalnya, anak tanpa ayah.Maka dalam hal ini ayah kandung gagal dalam mengisi peran sosialnya, begitu pula keluarga pihak ayah dan ibu anak yang bersangkutan.

2).Keluarga yang mengalami disorganisasi keluarga atau perceraian yang sering di sebut broken home.

3).Burukya komunikasi dalam keluarga.

4) Hilangnya pimpinan rumah tangga atau orang yang berkedudukan sebagai pimpinan karna meninggal, di hukum, atau bertugas keluar kota dalam jangka waktu lama.

5) Terganggunya keseimbangan jiwa (gila) salah satu anggota keluarga, terutama jika menimpa ayah dan ibu.

d. Masalah Remaja

Di dalam masyarakat modern selalu di jumpai pertentangan antara pemuda dan orang tua.Pada masa remaja, seseorang sedang mengalami peralihan meninggalkan tahap kehidupan anak-anak menuju tahap kedewasaan.Kepribadiannya sedang terbentuk dang pegangan yang pasti masih di cari.Masa peralihan ini merupakan masa yang kritis, seperti halnya musim panca roba yang merupakan musim peralihan sehingga membuat orang-orang mudah

(26)

terkena penyakit. Di masa peralihan ini, jika masuk unsur-unsur negatif, remaja akan mudah terpengaruh dan mengalami krisis.

e. Peperangan

Peperangan di pandang sebagai bentuk pertentangan yang dahsyat sehingga merugikan dan menimbulkan disorganisasi, baik di Negara yang menang maupun di Negara yang kalah. Peperangan juga dapat di pandang sebagai lembaga kemasyarakatan, sebab peperangan biasanya di ikuti dengan akomodasi yang melahirkan bentuk-bentuk kerja sama baru antar Negara atau antar masyarakat yang terlibat konflik.

f. Pelanggaran Terhadap Norma 1). Pelacuran

Pelacuran adalah suatu pekerjaan informal yang menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan tujuan mendapatkan upah. Pelacuran merupakan warisan lama dari masyarakat, sebab kegiatan melanggar norma ini telah terjadi sejak ribuan tahun yang lalu.

2). Kenakalan Remaja

Kenakalan remaja di wujudkan melalui organisasi semi-formal (geng).Mereka umumya cenderung melakukan hal-hal yang tidak di sukai Masayarakat, misalnya perkelahian antar pelajar, penggunaan narkoba, kebut- kebutan, penggunaan narkoba, mengedarkan bahan-bahan pornigrafi, dan pergaulan bebas.

g. Masalah Kelainan Seksual

Kelainan seksual di sini termasuk homo seksual,baik yang di lakukan sesama laki-laki maupun yang di lakukan sesame wanita (lesbian).

(27)

h. Masalah Kependudukan

Penduduk merupakan sumber daya.Negara yang penduduknya banyak berarti memiliki sumber daya yang besar untuk membangun. Akan tetapi, jika jumlah banyak tersebut tidak di imbangi kualitas yang baik, tentu akan menjadi beban atau masalah dalam meningkatkan taraf ekonominya. Selain itu pertumbuhan yang cepat dan persebaran yang tidak merata juga menimbulkan masalah sosial lebih lanjut.

Soerjono Soekanto mengklasifikasikan masalah sosial menjadi empat komponen:

1. Masalah sosial dari faktor ekonomis, misalnya kemiskinan, pengangguran.

2. Masalah sosial dari faktor biologis, misalnya penyakit menular.

3. Masalah sosial dari faktor psikologis misalnya penyakit saraf, gila dan bunuh diri.

4. Masalah sosial dari faktor kebudayaan, misalnya perceraian, pencurian, kenakalan remaja, konflik ras, dll.

Masalah sosial sebagai proses sosial mencakup konsepsi tentang disorganisasi sosial dan konflik nilai. Masalah sosial timbul sebagai akibat dari proses perubahan sehubungan dengan perkembangan dalam sistem kepribadian manusia serta sistem sosial. Dalam proses ini dapat pula terjadi hambatan- hambatan terhadap realisasi nilai-nilai sosial. Terjadinya masalah sosial sebagai proses adalah alami dan tidak dapat dielakkan lagi.

(28)

4.Fakta Sosial Kekerasan Simbolik

Ada beberapa konsep yang di kemukakan oleh Pierre bourdieu yang merupakan kunci untuk memahami dan menjelaskan makna kekerasan simbolik yaitu:

a. Modal

Istilah modal yang sering di jumpai dalam bidang ekonomi yang sering di maknai sebagai bentuk akumulasi materi (uang).Sedangkan Pierre bourdieu memahami modal sebagai sekumpulan sumber daya (baik materi maupun non materi) yang di miliki seseorang atau kelompok tertentu yang dapat di gunakan untuk mencapai tujuan. Modal yang di miliki seseorang atau kelompok tertentu, akan menentukan posisi mereka dalam struktur sosial.

Bourdieu menyebut istilah modal sosial (social capital), modal budaya (cultural capital), modal simbolik (symbolic capital).Modal sosial menunjuk pada sekumpulan sumber daya yang aktual atau pontensial yang terkait dengan pemilikan jaringan hubungan saling mengenal dan/atau saling mengakui yang member anggotanya dukungan modal yang di miliki bersama.(Nanang martono, 2012; 33).

Modal budaya merujuk pada serangkaian kemampuan atau keahlian individu, termasuk di dalamnya adalah sikap cara bertutur kata, berpenampilan dan cara pergaulan. Modal budaya dapat terwujud dalam tiga bentuk (Nanang martono, 2012; 33):

1. Dalam kondisi “menubuh” modal budaya dapat berupa disposisi tubuh dan di hargai dalam suatu wilayah tertentu.

(29)

2. Dalam kondisi terobjektifikasi, modal budaya terwujud dalam benda-benda budaya seperti seperti buku, alat musik dll. Sebagai sebuah benda, modal budaya dalam bentuk ini dapat di miliki oleh seseorang atau di wariskan.

3. Dalam bentuk yang terlembagakan, modal budaya ini terwujud dalam bentuk yang khas dan unik, yaitu keikutsertaan dan pengakuan dari lembaga pendidikan dalam bentuk gelar-gelar akademis atau ijazah.

Modal simbolik merupakan sebuah bentuk modal yang berasal dari jenis yang lain, yang di salah kenali dan di akui sebagai sesuatu yang sah dan natural.

Modal simbolik ini misalnya dapat berupa pemilihan tempat tinggal, apakah ia tinggal di daerah elit atau lingkungan yang kumuh di pinggir sungai?.

b. Kelas

Secara khusus Bourdieu mendefinisikan kelas sebagai kumpulan agen atau aktor yang menduduki ;posisi serupa dan di tempatkan dalam kondisi serupa serta di tundukkan atau di arahkan dalam kondisi serupa. Pembedaan ini di lakukan secara vertikal, adanya perbedaan kelas dapat di pengaruhi oleh pemilik modal baik pemilik modal budaya maupun pemilik modal simbolik.

Bourdieu membedakan kelas menjadi tiga bagian antara lain:

1. Kelas dominan, yang di tandai oleh pemilik modal yang cukup besar. Individu dalam kelas ini mampu mengakumulasi berbagi modal dan secara jelas mampu mampu membedakan dirinya dengan orang lain untuk menunjukkan identitasnya.

2. kelas borjuasi kecil. Mereka di posisikan ke dalam kelas ini karna memiliki kesamaan sifat dengan kaum borjuasi, yaitu mereka memiliki keinginan

(30)

keinginan untuk menaiki tangga sosial, akan tetapi mereka menempati kelas menengah dalam struktur sosial.

3. kelas populer. Kelas ini merupakan kelas yang hampir tiodak memiliki modal, baik modal ekonomi, modal budaya maupuin modal simbolik. Mereka berada pada posisi yang cenderung menerima dominasi dari kelas dominan, mereka cenderung menerima apa saja yang “di paksakan” kelas dominan kepadanya.

(nanang martono, 2012; 35).

Hubungan ketiga kelas tersebut kelas dominan hampir memaksakan budayanya, sementara kelas terdominasi tentu saja akan menerima kelas dominasi tersebut.

c. Habitus

Habitus dapat di rumuskan sebagi sebuah sistem (skema-skema persepsi, pikiran dan tindakan yang di peroleh dan bertahan lama). Habitus juga merupakan gaya hidup (lifestyle), nilai-nilai (values), watak (disposition), dan harapan (expectation) kelompok sosial tertentu.

Konsep habitus juga dapat di maknai dalam beberapa hal:

1. habitus sebagai sebuah pengkondisian yang di kaitkan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas. Hasilnya adalah memunculkan disposisi-disposisi yang dapat di wariskan.

2. habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis (yang tidak harus sadari) yang kemudian di terjemahkan menjadi sebuah kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu.

(31)

3. habitus merupakan kerangka penafsiran untuk memahami realitas sekaligus menghasilkan praktik-praktik kehidupan yang sesuai dengan struktur objektif.

4. keberadan nilai adan norma sosial dalam masyarakat menggarisbawahi bahwa habitus merupakan sejumlah etos, yang menyangkut nilai-nilai yang di praktikkan, bentuk moral yang di internalisasikan dan tidak mengemuka dalam kesadaran, namun mengatur kehidupan sahari-hari.

Konsep kekerasan menurut Santoso (2002) dapat di definisikan dalam tiga makna:

a. kekerasan di pandang sebagai tindakan aktor atau kelompok aktor.

b. Kekerasan di maknai sebagai sebuah produk atau hasil bekerjanya struktur.

c. Kekerasan dimaknai sebagai jaringan sosial antara aktor dan struktur.

Menurut Pierre Bourdieu, kekerasan berada dalam struktur yang di praktikkan dalam ruang lingkup kekuasaan, hal tersebut berarti kekerasan merupakan pangkal atau hasil praktik sebuah kekuasaan. Ketika sebuah kelas mendominasi kelas yang lain, maka di dalam proses dominasi tersebut akan menghasilkan sebuah kekerasan. Kekerasan muncul sebagai upaya kelas dominan untuk melanggengkan dominasi atau kekuasaannya dalam struktur sosial.Jadi kekuasaan dan kekerasan merupakan dua konsep yang tidak dapat di pisahkan.

Modal Simbolik merupakan media yang mengarkan hubungan antara kekuasaan dan kekerasan tersebut, ketika pemilik modal simbolik menggunakan kekuatannya yang di tujukan kepada pihak lain yang memiliki kekuasaan yang lemah, maka pihak lain tersebut akan berusaha mengubah tindakan-tindalkannya, hal ini menunjukan terjadinya Kekerasan Simbolikmelalui peran modal simbolik.

(32)

Kekerasan Simbolik adalah upaya aktor-aktor sosial dominan menerapkan suatu makna sosial dan representasi realitas yang di internalisasikan kepada aktor lain sebagai sesuatu yang alami dan abasah, bahkan makna sosial tersebut kemudian di anggap benar oleh aktor lain tersebut. Kekerasan ini bahkan tidak di rasakan sebagai sebuah bentuk kekerasan sehingga berjalan efektif dalam praktik dominasi sosial.Kekerasan simbolik merupakan kekerasan yang di lakukan secara paksa untuk mendapatkan kepatuhan yang tidak dapat di rasakan atau di sadari sebagai sebuah paksaan dengan bersandar harapan-harapan kolektif dari kepercayaan-kepercayaan yang sudah tertanam secara sosial.Kekerasan simbolik di lakukan dengan mekanisme ‘penyembunyian kekerasan’ yang di miliki menjadi sesuatu yang di terima sebagai yang memeng seharusnya demikian.

Proses ini menurut Pierre bourdieu dapat di capai melalui proses inkalkulasi atau proses penanaman yang terjadi secara terus menerus. Proses inilah satunya dapat berlangsung proses pembelajaran di sekolah. Kekerasan simbolik dapat di lakukan dua cara (Nanang martono, 2012; 40) .

1. Eufisme. Eufisme biasanya membuat kekerasan simbolik menjadi tidak nampak, bekerja secara halus, tidak dapat di kenali dan dapat di pilih secara “ tidak sadar” bentuk Eufisme dapat berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, pemberian, atau belas kasihan.

2. Mekanisme Sensorisasi yang menjadikan kekerasan simbolik menjadi nampak sebagai bentuk sebuah pelestarian semua bentuk nilai yang di anggap sebagai

“Moral Kehormatan”, seperti: kesantunan, kesucian, kedermawanan, dan sebagainya yang biasanya di pertentangkan dengan “ Moral yang rendah”

seperti: kekerasan, kriminal, atau asusila.

(33)

Bentuk - Bentuk Kekerasan Simbolik

Kekerasan simbolik dapat terjadi dalam dua bentuk : a. Kekerasan Simbolik Dalam Bahasa.

Bahasa merupakan salah satu alat yang di gunakan kelas dominan untuk menjalankan mekanisme kekerasan simbolik.Bahasa memiliki peran yang sentral dalam mekanisme kekuasaan dan dominasi, terutama menyembunyikan maksud yang sebenarnya dari sebuah tindakan, yang di latar belakangi karna adanya unsur kekuasaan. Setiap bahasa (atau teks, tulisan, kalimat) hampir selalu di ikuti dengan tujuan yang bersifat laten. Tentu saja ini merupakan proyek besar kelas dominan untuk menyebarluaskan dan memaksakan habitusnya kepada kelas yang di dominasi dalam hal ini adalah kelas bawah.

Bahasa merupakan produk budaya, yang tentu saja tidak dapat di pisahkan dari konteks sosialnya.Bahasa dapat mencerminkan “siapa penuturnya” bahasa mencerminkan pesan, dalam istilahnya Pierre bourdieu pesan ini di maknai sebagai simbol. Kelas dominan melalui bahasa, seolah-olah ingin memberitahukan kepada kelas yang terdominasi “inilah seleraku”, “inilah habituskan”, “inilah budayaku” sementara kelas yang terdominasi tidak memiliki akses yang cukup untuk menyuarakan atau menyosialisasikan habitusnya.

Bahasa merupakan salah satu atribut manusia yang paling.penting.Bourdieu melihat bahwa bahasa tidak hanya merupakan alat komunikasi dan kapital budaya, tetapi juga merupakan praktik sosial .bahasa sebagai praktik sosial merupakan hasilinteraksi aktif antara struktur sosial yang objektif dengan habitus linguistik yang di miliki pelaku sosial, lebih lanjut Bourdieu menyatakan bahwa bahasa berbuhungan dengan kekuasaan. Proses

(34)

eufisme dan sensorisasi sebagai mekanisme kekerasan simbolik sangat efektif apabila di lakukan dengan bahasa.

Bahasa di sisi lain tentu saja menjadi cermin status sosial. Seseoran dapat menunjukkan status sosialnya melalui bahasa yang di gunakannya, termasuk di dalamnya adalah pilihan katanya dan cara bicaranya. Bahasa mencerminkan kebiasaan, budaya, gaya hidup, kepemilikan dan berjuta simbol lain.

b. Kekerasan Simbolik Melalui Gambar.

Gambar merupakan salah satu bagian utama dalam sebuah buku yang mampu menarik perhatian pembaca buku.Demikian halnya dengan Buku sekolah Elektronik (BSE). Gambar di dalam BSE juga memiliki fungsi yang sama, sebagai penarik perhatian siswa SD. Gambar yang menarik tentu saja akan meningkatkan atau menambah motivasi siswa untuk membaca buku tersebut atau sebaliknya.

Gambar merupakan halaman pertama yang di lihat siswa ketika akan membaca BSE. Untuk itu, mekanisme kekerasan simbolik yang cukup efektif, gambar mampu mengajak siswa untuk berimajinasi, membayangkan situasi yang di gambarkan dalam buku tersebut.

1. Habuitus Kelas Atas Dalam Gambar BSE.

Gambar gambar yang ada dalam BSE menggambarkan habitusnya kelas atas melalui ilustrasi sebuah keluarga yang sedang berkumpul, gambarnya yang di dukung dengan latar belakang keadaan sebuah rumah, di ruang tamu ataupun di ruang keluarga yang di lengkapi dengan aksesoris yang banyak di miliki oleh kelas atas.

(35)

Gambar: 1. (Nanang martono, 2012; 142)

Gambar :2. (Nanang Martono, 2012; 142 )

Pada gambar 1 dan 2menggambarkan “keluarga yang sedang berkumpul”

simbol yang menunjukkan habitus kelas atas adalah simbol “ayah yang sedang membaca Koran” .meskipun orang miskin juga boleh membaca koran, namun kebiasaan ini akan lebih banyak di jumpai pada kelas atas. Oleh karna itu gambar gambar tersebut di kategorikan sebagai gambar habitus kelas atas.

2. Habitusnya Kelas Bawah Dalam Gambar BSE.

Gambar: I (Nanang martono, 2012; 169)

(36)

Habitus kelas bawah yang di gambarkan dalam BSE bahasa Indonesia dalam bentuk aktivitas seorang petani yang sedang menggarap sawah. Pada gambar ini aktivitas di sawah di gunakan untuk menggambarkan “manfaat hujan”

yaitu tanah pertanian menjadi subur.

Gambar 2. (Nanang martono, 2012; 170)

Gambar 2 menggambarkan status pekerjaan kelas bawah dalam BSE juga di sajikan dalam bentuk pekerjaan sebagai pedagang yang biasa di lakukan oleh kelas bawah.

5. Model Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) a. Pengertian pembelajaran kontekstual

Model Pembelajaran Kontekstual (Contekstual Teaching And Learning) merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang di ajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang di milikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Rusman 2013, 189).

Untuk memperkuat di milikinya pengalaman belajar yang aplikatif bagi siswa, tentu saja di perlukan pembelajaran yang lebih banyak memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan, mencoba, dan mengalami sendiri

(37)

(learning to do), dan bahkan sekedar pendengar yang pasif sebagaimana penerima terhadap semua informasi yang di sampaikan oleh guru, oleh sebab itu melalui pembelajaran kontekstual, mengajar bukan transformasi pengetahuan dari guru kepada siswa dengan menghafal sejumlah konsep-konsep yang sepertinya terlepas dari kehidupan nyata, akan tetapi lebih di tekankan pada upaya memfasilitasi siswa untuk mencari kemampuan untuk bias hidup (life skill) Dari apa yang di pelajarinya. Dengan demikian pembelajaran akan lebih bermakna, sekolah lebih dekat dengan lingkungan masyarakat, secara fungsional apa yang di pelajari di sekolah senantiasa bersentuhan dengan situasi dan permasalahan kehidupan yang terjadi di lingkungannya.

Howey R, Keneth, dalam (Rusman, 2013; 189) mendefinisikan CTL sebagai pembelajaran yang memungkinkan terjadinya proses belajar di mana siswa menggunakan pemahaman dan kemampuan akademiknya dalam berbagai konteks dalam dan luar sekolah untuk memecahkan masalah yang bersifat simulatif ataupun nyata. Sistem pembelajaran kontekstual adalah proses pemdidikan yang membantu siswa melihat makna dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan jalan menghubungkan mata pelajaran akademik dengan isi kehidupan sehari-hari, yaitu dengan konteks kehidupan sehari-hari sosial dan budaya.

Pembelajaran kontekstual sebagai suatu model pembelajaran yang memberikan fasilitas kegiatan pembelajaran siswa untuk mencari, mengolah, dan menemukan pengalaman belajar yang lebih bersifat konkrit, melalui keterlibatan aktivitas siswa daloam mencoba, mengalami dan melakukan sendiri, dengan demikian pembelajaran tidak di lihat dari segi produk akan tetapi yang terpenting

(38)

adalah proses. Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi apa yang di ajarkaanya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang di milikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Rusman, 2013; 190). Untuk memperkuat di milikinya pengalaman lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan, mencoba dan mengalami sendiri (learning to do), dan bahkan sekedar pendengar yang pasif sebagaimana penerima terhadap semua informasi yang di sampaikan oleh guru.

Oleh sebab itu, melalui model pembelajaran kontekstual, mengajar bukan hanya transformasi pengetahuan dari guru kepada siswa dengan menghafal sejumlah konsep-konsep yang sepertinya terlepas dari kehidupan nyata, akan tetapi lebih di tekankan pada upaya memfasilitasi siswa untuk mencari kemampuan bias hidup (life skill) dari apa yang di pelajarinya. Dengan demikian pembelajaran akan lebih bermakna, sekolah lebih dekat dengan lingkungan masyarakat, dan secara fungsional apa yang di pelajarinya di sekolah senantiasa bersentuhan dengan situasi dan permasalahan yang terjadi di dalam kehidupannya.

b. Prinsip-Prinsip Pembelajaran kontekstual(contextual teaching and learning).

Pembelajaran Kontekstual dalam implementasinya memiliki 7 prinsipyang harus di kembangkan oleh guru yaitu :

1. Konstruktivisme (Constructivism): Yaitu pengetahuan di bangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya di perluas melalui konteks yang terbatas.

(39)

2. Menemukan (Inquiri): Upaya menemukan memberikan penegasan bahwa pengetahuan bukan di dapatkan dari proses mengingat tetapi hasil dari upaya menemukan sendiri.

3. Bertanya (Questioning): Pengetahuan yang di miliki oleh seseorang selalu berawal dari bertanya.

4. Masyarakat Belajar (Learning Communuty): Membiasakan siswa untuk melakukan kerja bsama dengan teman-teman belajarnya.

5. Pemodelan (Modelling): pemodelan dapat di jadikan alternative untuk mengembangkan proses pembelajaran.

6. Refleksi (Reflection): Cara berfikir tentang apa yang baru terjadi atau yang baru saja di pelajri.

7. Penilaian Sebenarnya (Autehentic Assesment): Penilaian yang bersumber dari proses belajar mengajar.

c.nLangkah-langkah Pembelajaran kontekstual.

Langkah-langkah Pembelajaran Kontekstual” sebagai berikut :

1. Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar yang lebih bermakna dengan cara menemukan sendiri.

2. Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiri untuk semua topik yang di ajarkan.

3. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui memunculkan pertanyaan- pertanyaan.

4. Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok berdiskusi.

5. Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, bias melalui ilustrasi, model, bahkan media yang sebenarnya.

(40)

6. Membiasakan anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaran yang di lakukan.

7. Melakukan penilaian secara objektif yaitu menilai kemampuan sebenarnya pada setiap siswa

d. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kontekstual Adapun kelebihan dan kekurangan pembelajaran kontekstualadalah : a. Kelebihan Pembelajaran Kontekstual (contextual teaching and learning)

1). Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswadituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengaitkankan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.

2). Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri.

Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui

“mengalami” bukan “menghafal”.

b. Kekurangan Pembelajaran Kontekstual (contextual teaching and learning):

1). Guru lebih intensif dalam membimbing karena dalam metode, Guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. siswa dipandang sebagai individu yang

(41)

sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau “penguasa” yang memaksa kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.

2). Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide – ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan strategi – strategi mereka sendiri untuk belajar.

Namun dalam konteks ini tentunya guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadapsiswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan semula (Wina sanjaya 2005: 123).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa apabila jenis-jenis model kontekstual diatas dapat dikembangkan, maka hasil belajar sosiologi dapat meningkat dengan baik karena proses pengajaran pada model kontekstual memberikan kesempatan kepada murid untuk bekerja dengan ilmu pengetahuan, tidak sekedar mendengar cerita atau penjelasan guru mengenai suatu ilmu pengetahuan justru disisi lain mereka bisa merasa berbahagia dengan cara aktifnya sebagai ilmuan.

6. Model Pembelajaran

Strategimenurut Kemp dalam (Rusman 2011:132) adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Senada dengan pendapatnya.Kemp, Dick and Carey dalam (Rusman 2011:132) juga menyebutkan bahwa strategi pembelajaran itu adalah suatu pangkat materi dan prosedur pembelajaran yang

(42)

digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada siswa.Upaya mengimplementasikan rencana pembelajaran telah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun dapat tercapai secara optimal, maka diperlukan suatu metode yang digunakan untuk merealisasikan strategi yang telah ditetapkan.Dengan demikian bisa terjadi satu strategi pembelajaran menggunakan beberapa metode Misalnya, untuk melaksanakan strategi ekspositori bisa digunakan metode ceramah sekaligus metode Tanya jawab atau bahkan diskusi dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia termasuk menggunakan media pembelajaran.Oleh sebab itu, strategi berbeda dengan metode. Strategi menunjukkan pada sebuah perencanaan untuk mencapai sesuatu, sedangkan metode adalah cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan strategi.

Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Istilah pendekatan merujuk kepada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum. Roy Kellendalam (Rusman 2011:133). Mencatat bahwa terdapat dua pendekatan dalam pembelajaran, yaitu pendekatan yang berpusat pada guru (teacher centered approaches) dan pendekatan yang berpusat pada peserta didik (student centered approaches). Pendekatan yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran deduktif atau pembelajaran ekspositori. Sedangkan, pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik menurunkan strategi pembelajaran inkuiri dan diskover serta pembelajaran induktif.

Sedangkan model-model pembelajaran sendiri biasanya disusun berdasarkan berbagai prinsip atau teori pengetahuan. Para ahli menyusun model

(43)

pembelajaran berdasarkan prinsip-prinsip pembelajaran, teori-teori psikologis, sosiologis, analisis sistem, atau teori-teori lainnya yang mendukung. Joyce &

Weil dalam Rusman (2011:133).Joyce & Weil mempelajari model pembelajaran berdasarkan teori belajar yang dikelompokkan menjadi empat model pembelajaran.Model tersebut merupakan pola umum perilaku pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.Joyce & Weil dalam Rusman (2011:133).berpendapat bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan pembimbing pembelajaran di kelas atau yang lain. Joyce & Weil dalam Rusman (2011:133).Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efesien untuk mencapai tujuan pendidikannya. (Rusman, 2011: 133)

7.nKerangkaPikir

Bertolak dari teori dan didukung oleh hasil-hasil penelitian yang relevan, maka berikut ini dikemukakan kerangka berpikir yang mendasari penelitian ini.Salah satu faktor instrinsik yang cukup berpengaruh terhadap prestasi belajar sosiologi seorang siswa adalah rendahnya kemampuan dasar yang relevan dengan mata pelajaran sosiologi.

Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa kebanyakan siswa yang belajar sosiologi masih berpusat pada kegiatan mendengarkan belum pada interpretasi makna yang dipelajari bagi siswa untuk mengembangkan dan menunjukkan kemampuannya yang beragam. Dan itulah yang terjadi di kelas X

(44)

SMA Negeri 1 Wera Kabupaten Bima khususnya dalam pembelajaran Sosiologi.Oleh karena itu guru berusaha mencari cara agar hasil belajar siswa dapat lebih meningkat. Salah satu diantaranya yaitu melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Kontekstual (contextual teaching and learning).Melalui model pembelajaran Kontekstual (contextual teaching and learning) diharapkan hasil belajar Sosiologidapat meningkat.Dengan demikian, pembelajaran Sosiologiditekankan pada pembelajaran pemprosesan bukan menyampaikan informasi.

Berikut adalah bagan yang menggambarkan kerangka pikir yang melandasi dilakukannya penelitian.

Bagan Kerangka Pikir

Adapun skema kerangka pikir dari penelitian ini yaitu sebagai berikut :

Gambar 2.1: Skema Kerangka Pikir Menggunakan Pendekatan Kontekstual Rendahnya Hasil Belajar

Sosiologi

Model CTL

7 komponen utama Model CTL a. Konstruktivisme

b. Inkuiri c. Bertanya

d. Masyarakat belajar e. Pemodelan

f. Refleksi g. penilaian

Siswa Guru

(45)

8. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka pikir pada pokok uraian di atas, maka penulis memberikan asumsi bahwa “Bila menerapkan model Pembelajaran Kontekstual(contextual teaching and learning)pokok bahasan Masalah Sosial (Kekerasan Simbolik) pada siswa Kelas X SMA Negeri 1Wera Kabupaten Bima, maka hasil belajar sosiologi meningkat”.

(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. JenisPenelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas(classroom action research). Penelitian tindakan merupakan suatu pencarian sistematik yang dilaksanakan oleh para pelaksana program dalam kegiatannya sendiri, jika dalam pendidikan dilakukan oleh guru, dosen, kepala sekolah, dan konselor dalam mengumpulkan data tentang pelaksanaan kegiatan, keberhasilan, dan hambatan yang dihadapi untuk kemudian menyusun rencana dan melakukan kegiatan-kegiatan penyempurnaan.

Penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama (Suharsimi Arikunto, Suhardjono, Supardi, 2011:5)Dalam penelitian ini digunakan dua variabel yaitu: Model Pembelajaran kontekstualdan hasil belajar Sosiologi.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Waktu penelitian

Adapun waktu penelitiandilaksakan selama 2 bulan yaitu di mulai pada bulan Desember - Januari 2014 pada semester ganjiltahunajaran 2013/2014.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Kecematan Wera Kabupaten Bima.

34

(47)

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 1Wera Kabupaten Bima, dengan jumlah siswa sebanyak25 orang yang terdiri dari 7 orang laki-laki dan 18 orang perempuan.Penelitian ini dilaksanakan pada semester ganjil tahun ajaran 2013/2014.

D. Faktor Yang Diselidiki

Faktor yang diselidiki dalam penelitian ini adalah :

1. Faktor siswa, yaitu untuk melihat kehadiran siswa dalam belajar sosiologi seperti kedispilinan siswa, minat belajar siswa, serta kemampuan siswa dalam bereksplorasi, mencipta, dan berpikir kreatif,keberanian peserta didik untuk bertanya, menjawab, mengemukakan pendapat dan bersikap terbuka pada mata pelajaran sosiologi.

2. Faktor proses, yaitu untuk melihat sejauh mana keberhasilan guru dalam meningkatkan hasil belajar sosiologi melalui pembelajaran setelah dilaksanakan tindakan (pembelajaran sosiologi dengan model kontekstual).

3. Faktor hasil, yaitu untuk melihat hasil belajar sosiologi apakah terjadi peningkatan atau tidak setelah diadakan tes.

E. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus, setiap siklus dilaksanakan sesuai dengan perencanaan yang telah disusun.Namun secara garis besar terdapat empat tahapan yang lazim dilalui, yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi. Adapun model dan penjelasan untuk masing-masing tahap adalah sebagai berikut:

(48)

Gambar 3.1 Skema Model Penelitian Tindakan Kelas (Suharsimi Arikunto, Suhardjono, Supardi, 2011:16)

Adapun gambaran kegiatan yang dilakukan pada setiap siklus pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pelaksanaan Siklus I

Siklus I dilaksanakan selama 2 kali pertemuan dalam menerapkan pembelajaran kontekstual untuk meningkatkan hasil belajar Sosiologi pada siswa kelas X SMA Negeri 1Wera Kabupaten Bima dan dirangkaikan dengan tes pada akhir siklus I, adapun tahap-tahap dalam siklus I sebagai berikut:

a. Perencanaan

Hal-hal yang dilakukan dalam perencanaan tindakan meliputi:

1) Menganalisis Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan kelas X semester II mata pelajaran Sosiologipokok bahasan masalah social (kekerasan simbolik)

2) Melakukan konsultasi dengan dosen pembimbing mengenai rencana teknik penelitian.

Perencanaan

SIKLUS I Pelaksanaan Refleksi

Pengamatan Perencanaan

Refleksi SIKLUS II Pelaksanaan

Pengamatan Berhasil

(49)

3) Membuat perangkat pembelajaran yakni; RPP, LKS, media pembelajaran, dll.

4) Menyusun pembagian siswasebanyak 6 kelompok yang terdiri dari masing- masing 6 siswa secara heterogen.

5) Membuat lembar observasi untuk mengamati kegiatan belajar mengajar guru dan siswa.

6) Membuat tes siklus I yang digunakan sebagai indikator pelaksanaan pembelajaran yang disusun berdasarkan materi yang diajarkan dalam siklus I.

b. Pelaksanaan

Pada tahap ini, pelaksanakan kegiatan belajar mengajar disesuaikan dengan komponenpembelajaran kontekstual. Secara umum, tindakan yang dilakukan pada siklus I dijabarkan sebagai berikut:

1) Konstruktivisme, kegiatan yang dilakukan pada komponen ini adalah siswa menghubungkan/mengaitkan materi ajar dengan kehidupan nyata dan guru mengarahkan siswa dalam pembelajaran.

2) Menemukan, kegiatan yang dilakukan pada komponen menemukan adalah guru membimbing siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai dengan mengaitkan antara masalah dengan konteks keseharian siswa sehingga dari mengamati siswa dapat memahami masalah tersebut.

3) Bertanya, kegiatan yang dilakukan pada komponen bertanya adalah guru membimbing siswa untuk mengemukakan pertanyaan terhadap materi yang dipelajari.

4) Masyarakat belajar, kegiatan yang dilakukan pada komponen masyarakat belajar adalah guru membimbing siswa dalam bekerja sama dengan anggota kelompok untuk memecahkan masalah mengatasi masalah.

(50)

5) Pemodelan, kegiatan yang dilakukan pada komponen pemodelan adalah guru dan siswa memperagakan/memberi contoh materi yang diajarkan.

6) Refleksi, melakukan refleksi terhadap proses pemecahan masalah yang dilakukan berupa membahas hasil pekerjaan siswa, meluruskan materi yang kurang jelas, menyimpulkan isi materi yang telah diajarkan.

7) Penilaian yang sebenarnya, kegiatan yang dilakukan pada komponen penilaian yang sebenarnya adalah guru mengukur dan mengevaluasi kinerja (performansi) siswa selama proses pembelajaran berlangsung.

c. Observasi

Kegiatan observasi dilakuakan setiap proses pembelajaran berlangsung, pada tahap ini peneliti menggunakan lembar observasi untuk mengamati semua tindakan guru dan aktivitas siswa yang difokuskan pada:

1) Observasi terhadap guru yang difokuskan pada tahap-tahap pembelajaran dengan mengacu pada tujuh komponen pembelajaran kontekstual.

2) Observasi terhadap siswa yang difokuskan terhadap kreativitas berfikir siswa selama proses pembelajaran Sosiologi yang terjadi di kelas dengan mengacu pada tujuh komponen pembelajaran kontekstual.

d. Refleksi

Data hasil observasi kegiatan belajar mengajar guru dan siswa serta hasil belajar siswa dalam siklus I dikaji dan dianalisis untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan dari tujuan akhir penelitian tindakan kelas ini. Hasil refleksi pada siklus I menjadi tolak ukur apakah penelitian dilanjutkan ke siklus berikutnya atau cukup sampai siklus I. Apabila daya serap siswa sesuai dengan syarat indikator keberhasilan dalam penelitian ini, maka penelitian dinyatakan berhasil.

(51)

2. Pelaksanaan Siklus II

Siklus II dilaksanakan selama 2 kali pertemuan untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan menerapkan pembelajaran kontekstual dalam meningkatkan hasil belajar Sosiologi pada siswa kelas X SMA Negeri 1Wera Kabupaten Bima dan dirangkaiakan dengan tes pada akhir siklus II, berikut akan dibahas lebih rincih tahap-tahap dalam siklus II sebagai berikut:

a. Perencanaan

Hal-hal yang dilakukan dalam perencanaan adalah sebagai berikut:

1) Merancang perbaikan tindakan berdasarkan hasil refleksi tindakan pada siklusI.

2) Membuat tes siklus II dengan melihat kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal berdasarkan materi yang diajarkan dalam siklus I dan siklus II.

3) Membuat lembar observasi untuk siklus II sebagai lanjutan dari sikus I.

4) Menyiapkan perangkat pembelajaran yakni RPP, LKS, dan media pembelajaran dalam rangka optimalisasi pemahaman konsep oleh siswa.

b. Pelaksanaan

Pelaksanaan pembelajaran tetap mengacu pada komponen pembelajaran kontekstual penambahan kegiatan pembelajaran bersifat memperbaiki kekurangan yang terdapat pada siklus I, dengan mempertimbangkan:

1) Dalam pembahasan materi, siswa lebih diaktifkan.

2) Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar.

3) Memotivasi siswa, agar percaya pada diri sendiri dalam belajar dan menyelesaikan soal.

c. Observasi

(52)

Kegiatan observasi dilakuakan setiap kali proses pembelajaran berlangsung, pada tahap ini peneliti menggunakan lembar observasi untuk mengamati semua tindakan guru dan siswa yang difokuskan pada:

1) Observasi terhadap guru yang difokuskan pada tahap-tahap pembelajaran dengan mengacu pada tujuh komponen pembelajaran kontekstual.

2) Observasi terhadap siswa yang difokuskan terhadap kreativitas berfikir siswa selama proses pembelajaran sosiologi yang terjadi di kelas dengan mengacu pada tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual.

d. Refleksi

Data hasil observasi kegiatan belajar mengajar guru dan siswa serta hasil belajar siswa dalam siklus ini dikaji dan dianalisis untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan dari tujuan akhir dari penelitian tindakan kelas ini. Hasil refleksi pada siklus II menjadi tolak ukur apakah penelitian dilanjutkan ke siklus berikutnya atau cukup sampai siklus II. Apabila daya serap siswa sesuai dengan syarat indikator keberhasilan dalam penelitian ini, maka penelitian dinyatakan berhasil.

F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Observasi dilakukan untuk mengamati aktivitas guru dan siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung dengan menggunakan lembar observasi dan sebagai upaya untuk mengetahui adanya kesesuaian antara perencanaan dan pelaksanaan tindakan. Lembar observasi digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan data proses belajar mengajar yang dilaksanakan dan hasil

(53)

serangkaian aktivitas guru dan aktivitas belajar siswa. Adapun format yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari lembar observasi aktivitas guru dan siswa.

Tes diberikan guru kepada siswa untuk mengetahui hasil belajar atau kemampuan siswa. Tes dalam penelitian ini akan dilakukan pada akhir siklus, dengan menggunakan tes essay. Jenis data yang dikumpulkan dengan tes oleh peneliti adalah data hasil belajar Sosiologisiswa kelas Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

2. Observasi dilakukan untuk mengamati aktivitas guru dan siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung dengan menggunakan lembar observasi dan sebagai upaya untuk mengetahui adanya kesesuaian antara perencanaan dan pelaksanaan tindakan. Lembar observasi digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan data proses belajar mengajar yang dilaksanakan dan hasil serangkaian aktivitas guru dan aktivitas belajar siswa. Adapun format yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari lembar observasi aktivitas guru dan siswa.

3. Tes diberikan guru kepada siswa untuk mengetahui hasil belajar atau kemampuan siswa. Tes dalam penelitian ini akan dilakukan pada akhir siklus, dengan menggunakan tes essay. Jenis data yang dikumpulkan dengan tes oleh peneliti adalah data hasil belajar Sosiologisiswa kelas X SMA Negeri 1 Wera Kabupaten Bima setelah diterapkan pembelajaran kontekstual.

4. Dokumentasi memuat data-data yang diambil di sekolah tersebut berupa dokumen-dokumen yang dibutuhkan selama penelitian serta gambar-gambar kegiatan selama melakukan penelitian di kelas.

Gambar

Gambar  merupakan  salah  satu  bagian  utama  dalam  sebuah  buku  yang  mampu menarik perhatian pembaca buku.Demikian halnya dengan Buku sekolah  Elektronik  (BSE)
Gambar 2.1: Skema Kerangka Pikir Menggunakan Pendekatan Kontekstual Rendahnya Hasil Belajar
Gambar  3.1  Skema  Model  Penelitian  Tindakan  Kelas  (Suharsimi  Arikunto,  Suhardjono, Supardi, 2011:16)
Tabel 3.1.  Teknik  Kategorisasi  Standar  BerdasarkanKetetapan  Departemen Pendidikan Nasional
+3

Referensi

Dokumen terkait

Contrary to ®ndings that laboratory rodents and chickens were attracted to, and reassured by, familiar odours presented in otherwise unfamiliar surroundings (Devor and Schneider,

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana peningkatan aktivitas siswa pada materi penyebab benda bergerak melalui pembelajaran langsung

Bagaimana material yang telah diracik menampakkan wujudnya di atas kanvas, bagaimana teknik yang diaplikasikan untuk mewujudkan bentuk tertentu, bagaimana komposisi

Skripsi yang berjudul: Tanggung Jawab Orangtua pada Anak terhadap Pembelajaran Fikih di Desa Tambak Sirang Darat Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar (Studi Kasus 5 Pedagang

Proses khas untuk sintesis zeolit yang mengandung ion natrium meliputi pencampuran bahan-bahan sumber seperti natrium silikat (Na 2 O. xSiO 2 ) dan natrium aluminat [NaAl(OH) 4

Pemanasan pada daerah dua fasa dengan pendinginan cepat menghasilkan sifat mekanik yang lebih baik dengan kenaikan angka kekerasan dan kuat tarik yang lebih tinggi. • Kekerasan

Adanya informasi karakteristik ancaman, kerentanan dan kapasitas pada setiap lokasi juga dapat memberikan informasi penyebab tinggi rendahnya risiko bencana pada suatu

Walaupun agak bersfat tekns tap kelhatannya phak kejaksaan dapat mengert apa yang saya sampakan.” Karena Ustrando tdak mampu membuktkan janj-janj