• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahap ini masyarakat menyadari bahwa sumberdaya hutan adalah terbatas dan kesadaran terhadap pentingnya keberadaan hutan semakin

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahap 3. Tahap ini masyarakat menyadari bahwa sumberdaya hutan adalah terbatas dan kesadaran terhadap pentingnya keberadaan hutan semakin

berkembang. Dengan pengalaman itu maka pada periode kedua, yaitu antara tahun 1980 dan 2000 sumberdaya hutan ditempatkan sebagai suatu ekosistem yang diperlukan untuk menunjang kehidupan (life supporting system).

Dalam tahap ini pemerintah memaksa untuk mengeluarkan kebijakan pengelolaan hutan lestari dan mendorong kegiatan reforestasi yang menjamin pengelolaan yang optimal secara ekonomi dan diharapkan juga akan maksimal secara sosial dan lingkungan. Periode ini ditandai dengan terbitnya Undang- Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Habitatnya, serta Undang-undang No. 24 tahun 1992 mengenai Penataan Ruang. Dengan kedua Undang-Undang tersebut maka pengelolaan sumberdaya hutan menjadi semakin konservatif, sehingga target produksi kayu bulat menjadi semakin mengecil meskipun realisasinya masih tetap besar karena adanya peningkatan permintaan industri pengolahan kayu primer yang semakin berkembang.

Dengan sistem ini tebangan dan produksi kayu bulat sangat dibatasi dengan berbagai peraturan, termasuk dengan diaplikasikannya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Periode ini ditandai dengan adanya penunjukkan kawasan hutan secara makro dan indikatif di tiap provinsi melalui Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan, atau yang biasa disebut sebagai Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Pada periode ini pula pemerintah mulai memikirkan pembangunan industri pengolahan kayu primer guna memperoleh nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja, sehingga ekspor dikurangi. Pada periode ini, yaitu mulai tahun 2000 kawasan hutan dan sumberdaya yang ada di atasnya dipandang sebagai bagian dari kesatuan ruang yang harus dikelola secara lestari dengan memperhatikan keamanan dan kenyaman lingkungan hidup.

Transisi hutan dapat terjadi karena adanya penyesuaian teknologi pertanian (intensifikasi) dan hanya difokuskan pada lahan-lahan yang subur saja. Kebijakan pemerintah juga turut berperan pada tahap ini. Dari pertengahan tahun 1980an pe- merintah mengeluarkan ijin pembangunan hutan tanaman industri (HTI) pada lahan bekas tebangan (logged-over area) untuk merehabilitasi kawasan tersebut. Pembangunan HTI dengan tanaman cepat tumbuh merupakan langkah strategis untuk rehabilitasi. Di samping itu faktor sosial ekonomi dan kebijakan pada tahap ini membatasi laju deforestasi. Kondisi ini mendorong tercapainya titik balik laju deforestasi.

Tahap 4. Dalam tahap ini merupakan tahapan dimana kebijakan reforestasi diimplementasikan seperti penanaman pohon dan penerapan pengelolaan

sumberdaya hutan lestari. Di samping itu juga terdapat tekanan internasional untuk menerapkan praktek pengelolaan hutan yang lestari baik secara ekonomi, sosial maupun lingkungan. Penerapan kebijakan sertifikasi kayu dan teknisk silvikultur TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) dan TPTJ (Tebang Pilih dan Tanam Jalur) ditujukan sebagai jaminan pencapaian kelestarian hutan.

Dari uraian diatas terkait dengan tahapan dalam transisi hutan, terlihat bahwa pola tutupan hutan Indonesia mengarah pada transisi hutan. Meskipun demikian disadari bahwa untuk mengukur berapa lama dan berapa cepat transisi hutan ini terjadi sangat sulit. Karena banyak faktor lain yang menentukan pola tersebut. Seperti aktivitas perambahan lahan hutan untuk diambil kayu atau dibuka lahannya untuk kebutuhan penggunaan lain seperti pertanian atau adanya bencana kebakaran lahan dan hutan.

Pada periode keempat yaitu antara tahun 2000 hingga sekarang, seharusnya arah pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari secara ekologis bisa dilanjutkan sehingga produksi hasil hutan merupakan bagian dari kesatuan pembangunan ruang wilayah. Namun pada periode ini terjadi perubahan politik yang besar di mana sebagian besar urusan kehutanan didesentralisasikan ke pemerintah daerah. Pada periode inilah terjadi keberagaman yang tinggi dalam pengelolaan industri kehutanan Indonesia. Pembukaan lahan hutan baik untuk memenuhi kebutuhan kayu atau konversi ke penggunaan lain sangat besar, dan tebangan illegal marak terjadi di hampir semua provinsi.

Kaitannya dengan pencegahan pembalakan liar, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya seperti penjaminan kepastian legalitas dan asal usul kayu. Upaya yang dilakukan dengan membangun sebuah inisiatif kerjasama antara Negara produsen dengan konsumen untuk bekerjasama dalam pemberantasan penebangan liar. Salah satu bentuk kerjasama tersebut adalah penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Skema ini dibangun secara multipihak untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan. Pengelolaan sumberdaya hutan lebih ditekankan ke arah pengelolaan sumber daya hutan yang lestari, di tambah dengan isu mitigasi perubahan iklim.

Terkait dengan upaya mitigasi perubahan iklim, sumberdaya hutan mempunyai peran yang strategis, karena (1) sebagai modal pembangunan sehingga terjadi trade-off dengan kepentingan lingkungan; (2) tingkat ketergantungan pada sektor berbasis lahan seperti perkebunan dan pertanian yang tinggi; dan (3) pemanfaatan potensi ekonomi yang terkandung dalam sumberdaya hutan yang belum optimal (Djaenudin et al. 2014).

Secara lebih terinci pengurangan emisi kehutanan diarahkan pada:

a. Peningkatan kapasitas hutan dalam penyerapan dan penyimpanan karbon (semua kegiatan penanaman dan rehabilitasi hutan yang terdegradasi),

b. Mempertahankan stok carbon (konservasi hutan dan Sustainable Forest Management yang merupakan hasil dari Bali Plan di Conference of the Parties (COP) 13 di Bali pada tahun 2007, yang dikenal dengan sebutan REDD+3

dimana aktivitas ini juga mempertahankan fungsi-fungsi lain seperti konservasi sumberdaya genetik dan keaneka-ragamannya, perlindungan tata air, serta

3Dengan definisi ini artinya, kegiatan pengayaan hutan, penerapan sistem silvikultur dengan dampak tebang rendah (reduced

fungsi sosial-ekonomi terutama bagi masyarakat yang menggantungkan sumber penghidupannya dari hutan.

c. Mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi: pengelolaan hutan lestari, pencegahan illegal logging, penanggulangan kebakaran, pencegahan konversi dan perambahan.

Perubahan fokus pengelolaan sumberdaya hutan dari yang bersifat eksploitatif samapi dengan penerapan pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari dapat dilihat dari kecenderungan laju deforestasi yang semakin menurun. Akan tetapi dinamika yang tutupan hutan tersebut berbeda-beda antar provinsi di Indonesia. Seiring dengan pembangunan ekonomi tutupan hutan mengalami penurunan luas (Tabel 7).

Tabel 7 Perkembangan luas tutupan lahan Indonesia

Tahun Hutan alam Hutan tanaman Perkebunan Tanaman pangan Pertam- bangan Pemukiman

Luas tutupan (juta hektar)

1990 113.63 3.16 4.51 37.11 0.27 2.44 2000 100.93 3.89 7.41 42.67 0.34 2.71 2003 99.81 3.96 7.55 42.94 0.38 2.80 2006 97.29 4.25 8.22 43.51 0.42 2.86 2009 94.43 4.49 9.51 44.91 0.47 2.90 2011 93.41 4.82 9.83 45.02 0.54 2.90 2012 92.89 4.88 10.00 45.41 0.55 2.90 2013 92.00 5.04 10.45 45.63 0.58 2.90

Laju perubahan (ribu ha / tahun)

1990-2000 -1 269.73 72.49 289.85 555.99 7.36 26.96

2000-2006 -607.44 60.25 135.15 141.18 12.69 24.99

2006-2009 -1 791.29 175.39 654.15 659.39 31.25 33.40

2009-2013 -970.61 143.44 402.62 376.00 29.40 10.22

Laju perubahan (% / tahun)

1990-2000 -1.12 2.29 6.43 1.50 2.72 1.11

2000-2006 -0.60 1.55 1.82 0.33 3.69 0.92

2006-2009 -1.79 4.43 8.66 1.54 8.26 1.19

2009-2013 -1.00 3.37 4.90 0.86 7.00 0.36

Penurunan luas hutan tersebut disertai dengan peningkatan luas hutan tanaman, tanaman pangan, perkebunan dan pertambangan. Luas hutan alam Indonesia mengalami penurunan dari 113 juta hektar pada tahun 1990 menjadi sekitar 92 juta ha pada tahun 2013, atau menurun dengan laju pengurangan 1.6 juta ha/tahun pada periode 1990-2013. Laju kehilangan lahan hutan alam yang terbesar terjadi pada periode 2006-2009, dimana hutan alam Indonesia mengalami pengurangan dengan laju 1.8 juta hektar per tahun atau sekitar 1.79% per tahun. Laju kehilangan luas hutan alam ini kemudian mengalami penurunan pada periode 2009-2013.

Secara rata-rata laju kehilangannya sekitar 970 ribu hektar per tahun atau 1% per tahun. Pemanfaatan hutan alam di masa yang akan datang akan semakin dibatasi terkait dengan upaya mitigasi perubahan iklim melalui pembatasan pemberian ijin baru. Kebijakan pengelolaan hutan lebih diarahkan untuk konservasi hutan dan percepatan penanaman hutan baik di hutan tanaman maupun hutan rakyat.

Sementara itu dinamika tutupan lahan yang lain, terlihat bahwa semua tutupan lahan (hutan tanaman, perkebunan, lahan pertanian tananaman pangan, pertambangan dan pemukiman mengalami peningkatan dengan laju yang bervariasi. Secara nominal, tutupan lahan pertanian tanaman pangan menunjukan laju peningkatan yang terbesar, yaitu sebesar 37 juta hektar pada tahun 1990 yang kemudian terus bertambah menjadi 45.63 juta hektar pada tahun 2013. Laju pertambahan luas lahan pertanian ini terjadi pada periode 2006-2009, yaitu sebesar 659 ribu hektar per tahun atau sebesar 1.54% per tahun.

Luas tutupan lahan berikutnya yang besar adalah peningkatan lahan untuk perkebunan. Meskipun secara nominal luas tutupan perkebunan ini hanya seperempat dari lahan pertanian tanaman pangan tapi laju pertambahannya relatif sama dengan pertambahan lahan pertanian. Di mana pada periode 2006-2009 terjadi pertambahan luas perkebunan sebesar 654 ribu hektar per tahun atau sebesar 8.66% per tahun. Pertumbuhan luas lahan perkebunan tidak dapat lepas dari kecenderungan permintaan terhadap produk perkebunan terutama kelapa sawit dan karet yang cenderung meningkat. Meskipun pada periode setelah 2013 harga produk kelapa sawit maupun karet menunjukan kecenderungan yang menurun.

Perkembangan luas pertambangan menunjukan pertumbuhan yang tinggi dibandingkan dengan tutupan lahan yang lain. Meskipun secara nominal luas pertambangan ini masih sangat kecil dibandingkan dengan tutupan lahan yang lain. Pertumbuhan luas pertambangan itu sendiri mengalami penurunan pada periode 2009-2013. Hal ini diduga terkait dengan kecenderungan harga tambang terutama batubara yang menunjukan kecenderungan yang menurun.

Perubahan Tutupan Lahan Indonesia Periode 1990-2013

Perkembangan hutan alam selama periode 1990-2013 disajikan pada Tabel 8. Hutan alam Indonesia menunjukan kecenderungan yang semakin menurun dalam kurun waktu tersebut dimana masih terdapat 115 juta hektar pada tahun 1990 menjadi sekitar 94 juta hektar pada tahun 2013. Penurunan luas hutan alam tersebut tidak terlepas dari perubahan hutan alam yang terjadi baik yang bersifat penambahan maupun pengurangan.

Pengurangan luas hutan alam yang paling tinggi terjadi pada periode 1990- 2000 dengan laju pengurangan yang tinggi yaitu sebesar 1.2 juta hektar per tahun. Pada periode tersebut konversi hutan alam yang paling besar berturut-turut untuk tutupan lain (7.1 juta hektar), pertanian (2.8 juta hektar) dan perkebunan (1.9 juta hektar). Laju pengurangan hutan alam untuk periode seterusnya menunjukan kecenderungan yang semakin menurun.

Periode 2006-2009 menunjukkan terjadinya konversi hutan alam yang tinggi juga yaitu sebesar 959 ribu hektar per tahun. Kemudian laju kehilangan hutan alam tersebut menurun menjadi 510 ribu hektar per tahun pada periode 2009-2011, namun kemudian meningkat lagi menjadi 708 ribu hektar per tahun pada periode

2011-2013. Konversi hutan alam untuk ke tutupan lain, pertanian dan perkebunan menempati proporsi yang terbesar.

Tabel 8 Perubahan tutupan hutan alam Indonesia, 1990-2013 (Hektar)

1990 2000 2003 2006 2009 2011 2013

Hutan Alam 115 058 966 102 741 109 101 643 775 98 884 077 96 006 129 94 985 269 93 568 040

Perubahan netto (Ha)

Hutan Tanaman 550 349 4 731 157 102 200 417 107 564 99 398 Perkebunan 1 922 674 30 878 186 094 456 898 69 226 171 314 Pertambangan 33 005 10 969 12 490 17 658 9 827 18 264 Pertanian 2 754 952 128 532 365 064 437 969 129 722 249 715 Lainnya 7 056 876 922 223 2 038 948 1 765 007 704 519 878 539 Total perubahan 12 317 857 1 097 334 2 759 698 2 877 948 1 020 859 1 417 229 Laju (ha/tahun) 1 231 786 365 778 919 899 959 316 510 430 708 614

Angka dalam kurung ( ) menunjukan terjadi penambahan luas

Pengurangan yang terjadi tersebut tidak lepas dari kebijakan pembangunan nasional yang mendorong pemenuhan kebutuhan pemukiman, infrastruktur, pangan dan perkebunan dalam rangka pemenuhan kebutuhan penduduk dan pembangunan ekonomi. Selain itu laju kehilangan hutan alam yang relatif tinggi tersebut juga terkait dengan isu kemiskinan dan ketidakmerataan pembangunan yang terjadi di Indonesia (Kaimowitz dan Angelsen 1998; Purnamasari 2007). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Pemerintah Indonesia menyelenggarakan program transmigrasi yang bertujuan untuk mereduksi ketidakerataan jumlah penduduk. Program transmigrasi ini mendorong semakin terbukanya hutan alam untuk pembangunan pertanian baik tanaman pangan dalam bentuk sawah dan ladang, perkebunan baik untuk karet, kelapa sawit atau tanaman perkebunan tahunan lainnya, serta pemukiman (Fearnside 1997).

Perkembangan tutupan hutan tanaman menunjukan kecenderungan yang meningkat dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2013 (Tabel 9). Pengembangan hutan tanaman tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan kayu yang difokuskan pada pembangunan hutan tanaman baik hutan tanaman industri maupun hutan tanaman rakyat serta dengan mengoptimalkan pengelolaan hutan alam yang telah memiliki izin pemanfaatan. Sampai dengan tahun 2030 ditargetkan pembangunan hutan tanaman industri (IUPHHK-HT) mencapai 10 juta hektar dan hutan tanaman rakyat (HTR) seluas 1.7 juta hektar (Kemenhut 2011). Selain pembangunan hutan tanaman di dalam kawasan hutan, pengembangan hutan rakyat khususnya di Pulau Jawa yang sampai saat ini telah mencapai 2.8 juta hektar merupakan bagian penting dalam upaya pemenuhan bahan baku kayu dan pengembangan ekonomi rakyat.

Berdasarkan hasil analisis citra satelit, pengembangan hutan tanaman terjadi di lahan-lahan bekas tebangan hutan alam, kemudian di lahan-lahan pertanian dan lahan-lahan lainnya dan luas yang dicapai pada tahun 2013 baru mencapai 5 juta hektar. Secara periodik laju pertambahan luas hutan tanaman yang tertinggi terjadi pada 2009-2011 dengan laju sebesar 168 ribu hektar per tahun dan periode 2011- 2013 dengan laju 109 ribu hektar per tahun. Meskipun terjadi peningkatan luas tutupan hutan tanaman, juga terjadi perubahan hutan tanaman ke tutupan lain

terutama untuk perkebunan, pertanian dan pertambangan. Sementara itu penam- bahan hutan tanaman berasal terutama dari hutan alam, kemudian dari pertanian dan tutupan lainnya.

Tabel 9 Perubahan hutan tanaman Indonesia, 1990-2013 (Hektar)

1990 2000 2003 2006 2009 2011 2013

Hutan Tanaman 3 164 259 3 889 142 3 960 504 4 250 651 4 486 661 4 824 430 5 044 325

Perubahan netto (Ha)

Hutan alam (550 349) (4 731) (157 102) (200 417) (107 564) (99 398) Perkebunan 255 259 901 3 177 (4 136) 4 868 Pertambangan 411 189 2 244 (3 794) 828 6 687 Pertanian (112 873) 505 120 715 38 617 14 546 (8 444) Lainnya (62 327) (67 585) (256 905) (73 593) (241 443) (123 608) Total perubahan (724 883) (71 363) (290 146) (236 010) (337 769) (219 894) Laju (ha/tahun) (72 488) (23 788) (96 715) (78 670) (168 885) (109 947)

Angka dalam kurung ( ) menunjukan terjadi penambahan luas

Seperti halnya dengan dinamika luas hutan tanaman, luas perkebunan juga menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat dalam periode 1990-2013 (Tabel 10). Peningkatan luas perkebunan tertinggi terjadi pada periode 2006-2009 yaitu 431 ribu hektar per tahun, kemudian pada periode 2011-2013 dimana terjadi penambahan luas perkebunan sebesar 313 ribu hektar per tahun. Peningkatan luas lahan perkebunan ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah dalam upaya pemenuhan kebutuhan pangan dan energi. Pelaksanaan pengembangan perkebunan tersebut melalui Program Revitalisasi Perkebunan yang ditujukan untuk membangun perkebunan rakyat melalui kemitraan, baik pola PIR (Perusahaan Inti Rakyat) maupun kemitraan lainnya. Setiap lokasi pengembangan diarahkan untuk terwujudnya hamparan perkebunan yang kompak serta memenuhi skala ekonomi. Kebijakan pengembangan perkebunan juga ditetapkan sesuai dengan kecocokan wilayah, yaitu seperti Sumatera dan Kalimantan untuk pengembangan kelapa sawit dan karet dan Sulawesi untuk kakao.

Tabel 10 Perubahan tutupan perkebunan Indonesia, 1990-2013 (Hektar)

1990 2000 2003 2006 2009 2011 2013

Perkebunan 4 508 213 7 406 722 7 550 893 8 217 631 9 513 356 9 828 109 10 454 547

Perubahan netto (Ha)

Hutan alam (1 922 674) (30 878) (186 094) (456 898) (69 226) (171 314) Hutan tanaman (255) (259) (901) (3 177) 4 136 (4 868) Pertambangan 149 32 401 433 391 880 Pertanian (280 406) (12 544) (104 162) (166 642) (39 832) (116 643) Lainnya (695 323) (100 522) (375 982) (669 440) (210 222) (334 494) Total perubahan (2 898 509) (144 172) (666 738) (1 295 724) (314 753) (626 438) Laju (ha/tahun) (289 851) (48 057) (222 246) (431 908) (157 377) (313 219)

Angka dalam kurung ( ) menunjukan terjadi penambahan luas

Dalam dinamika perubahan luas perkebunan tersebut terjadi penambahan maupun pengurangan luas. Penambahan luas perkebunan sebagian besar bersumber

dari hasil konversi hutan alam, pertanian, dan tutupan lainnya. Sementara itu pengurangan lahan perkebunan terjadi sebagai akibat terjadinya konversi perkebunan ke hutan tanaman dan pertambangan.

Situasi yang hampir sama untuk perkembangan lahan pertanian dimana tanaman pangan memberikan kecenderungan yang sama. Dimana terjadi peningkatan lahan pertanian tanaman pangan pada periode 1990-2013. Pertam- bahan lahan pertanian yang tertinggi terjadi pada periode 1990-2000, di mana terjadi penambahan lahan pertanian sebesar 539 ribu hektar per tahun. Sementara itu untuk periode-periode selanjutnya terjadi penurunan laju peningkatan luas lahan pertanian. Peningkatan luas pertanian tertinggi berikutnya adalah terjadi pada periode 2006-2009 sebesar 459 ribu hektar per tahun dan periode 2011-2013 sebesar 301 ribu hektar per tahun.

Tabel 11 Perubahan tutupan pertanian Indonesia, 1990-2013 (Hektar)

1990 2000 2003 2006 2009 2011 2013

Pertanian 36 583 997 41 970 456 42 186 192 42 697 064 44 073 877 44 174 760 44 777 574

Perubahan netto (Ha)

Hutan alam (2 754 952) (128 532) (365 064) (437 969) (129 722) (249 715) Hutan tanaman 112 873 (505) (120 715) (38 617) (14 546) 8 444 Perkebunan 280 406 12 544 104 162 166 642 39 832 116 643 Pertambangan 15 123 9 964 6 527 8 647 31 346 8 330 Lainnya (3 039 908) (109 207) (135 780) (1 075 518) (27 793) (486 516) Total perubahan (5 386 459) (215 736) (510 871) (1 376 814) (100 883) (602 814) Laju (ha/tahun) (538 646) (71 912) (170 290) (458 938) (50 441) (301 407)

Angka dalam kurung ( ) menunjukan terjadi penambahan luas

Seperti halnya dengan perkebunan penambahan luas lahan pertanian tanaman pangan ini berasal dari hasil konversi hutan alam, hutan tanaman dan tutupan lainnya. Penambahan lahan pertanian dari hutan alam yang terbesar terjadi pada periode 1990-2000. Pada periode tersebut, proporsi penambahan luas pertanian yang terbesar berturut-turut berasal dari tutupan lain dan hutan alam. Sementara itu pengurangan lahan pertanian yang terjadi karena adanya konversi lahan pertanian ke hutan tanaman (pada periode 1990-2000 dan 2011-2013), perkebunan dan pertambangan. Proporsi terbesar konversi lahan pertanian pada periode 1990-2013 adalah ke perkebunan.Dinamika perubahan lahan pertambangan berdasarkan hasil analisis citra satelit menunjukan kecenderungan yang meningkat pda periode 1990- 2013 (Tabel 12) dengan laju peningkatan luas pertambangan yang semakin tinggi juga. Penambahan luas pertambangan yang paling cepat terjadi pada periode 2009- 2011 seluas 33 ribu hektar per tahun yang kemudian sedikit menurun pada periode 2011-2013 menjadi 20 ribu hektar per tahun.

Sumber penambahan lahan pertambangan yang paling besar kontribusinya adalah berasal dari hutan alam selama periode 1990-2013. Lahan pertambangan bisa berada di dalam kawasan hutan. Salah satu bentuk pemanfaatan hutan adalah melalui penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan selain kehutanan dengan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan tersebut. Penggunaan kawasan hutan dapat meliputi kegiatan komersial (tambang maupun non-tambang) dan kegiatan non-komersial. Kegiatan penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan dapat

dilakukan di kawasan hutan produksi maupun kawasan hutan lindung. Dari hasil analisis citra satelit tersebut dapat dilihat bahwa sumber lain lahan pertambangan yang terbesar adalah berasal dari tutupan lainnya dan konversi lahan pertanian.

Perkembangan luas pertambangan yang berada di kawasan hutan didasarkan pada ijin pinjam pakai dan persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan terutama diterbitkan untuk komoditas batubara, yaitu sebanyak 745 unit seluas 1 582 140.05 hektar, kemdian diikuti untuk mineral logam lainnya sebanyak 311 unit seluas 555 913.02 hektar, minyak dan gas sebanyak 271 unit seluas 891 070.45 hektar, bagahn galian C sebayak 182 unit seluas 43 115.12 hektar, dan logam mulia sebanyak 119 unit seluas 751 804.12 hektar.

Tabel 12 Perubahan lahan pertambangan Indonesia, 2009-2013 (Hektar)

1990 2000 2003 2006 2009 2011 2013

Pertambangan 270 074 343 647 378 270 419 788 472 008 537 370 577 750 Perubahan netto (Ha)

Hutan alam (33 005) (10 969) (12 490) (17 658) (9 827) (18 264) Hutan tanaman (411) (189) (2 244) 3 794 (828) (6 687) Perkebunan (149) (32) (401) (433) (391) (880) Pertanian (15 123) (9 964) (6 527) (8 647) (31 346) (8 330) Lainnya (24 886) (13 468) (19 857) (29 276) (22 969) (6 219) Total perubahan (73 573) (34 622) (41 519) (52 220) (65 362) (40 381) Laju (ha/tahun) (7 357) (11 541) (13 840) (17 407) (32 681) (20 190) Angka dalam kurung ( ) menunjukan terjadi penambahan luas

Perkembangan faktor-faktor ekonomi

Perkembangan produksi kayu bulat Indonesia pada periode 2010-2013 menunjukkan kecenderungan yang meningkat (Tabel 13). Produksi kayu bulat yang berasal dari hutan alam produksi menunjukkan kecenderungan yang menurun. Sementara itu produksi kayu bulat dari hutan tanaman industri menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Penurunan produksi kayu bulat di hutan alam terjadi sebagai akibat dari adanya kebijakan pengendalian produksi kayu bulat (soft landing). Faktor lain yang diduga mendorong terjadinya penurunan produksi kayu bulat dari hutan alam adalah diberlakukannya kebijakan larangan ekspor. Untuk mengantisipasi kekurangan pasokan kayu bulat untuk kebutuhan dalam negeri pemerintah mendorong terhadap peningkatan realisasi hutan tanaman.

Tabel 13 Perkembangan produksi kayu bulat Indonesia, 2010-2013

Tahun Sumber Produksi Total M3 HPH (m3) HTI (m3) 2010 572 481.78 12 632 094 13 204 575.78 2011 6 277 012.76 13 379 630 19 656 642.76 2012 5 122 301.86 20 216 635 25 338 936.86 2013 3 672 594.25 19 554 418 23 227 012.25

Upaya mendorong percepatan pengembangan hutan tanaman ini mendapat dukungan pasar, dimana pada periode 2000-2013 harga kayu bulat ril yang berlaku di pasar domestik menunjukan kecenderungan yang meningkat (Gambar 9). Peningkatan harga kayu domestik ini dipicu oleh kenaikan harga kayu olahan (Santoso 2010).

Sumber: Statistik Kehutanan Indonesia, berbagai terbitan Gambar 9 Perkembangan harga kayu, 2000-2013

Perkembangan produksi komoditas tanaman pangan

Tanaman pangan utama yang dikembangkan adalah padi, jagung kedele, kacang tanah ubikayu dan ubijalar. Perkembangan produksi tanaman pangan menunjukan kecenderungan yang meningkat (Tabel 14). Jagung dan ubi kayu menunjukan kecenderungan naik mulai dari tahun 2000-2013. Terlihat bahwa komoditas tanaman pangan utama didominasi oleh produksi dari padi, jagung dan ubi kayu.

Tabel 14 Perkembangan produksi tanaman pangan Indonesia, 2000-2013

Tahun Padi Jagung Kedele Kacang

Tanah Ubi Kayu Ubi Jalar Produksi (000 ton) 2000 50 178 9 860 997 747 16 144 1 885 2001 50 038 10 071 909 753 16 660 1 829 2002 49 927 10 311 836 762 17 286 1 807 2003 49 618 10 759 650 767 18 247 1 695 2004 50 145 10 924 673 779 18 589 1 618 2005 50 706 11 135 813 794 18 958 1 559 2006 51 727 11 501 743 821 19 690 1 810 2007 54 034 13 029 807 792 20 102 2 035 2008 56 460 14 825 894 769 20 635 7 499 2009 60 956 17 614 997 707 21 340 2 713 2010 61 306 17 554 943 700 22 170 2 528 2011 62 006 17 434 835 686 23 831 2 157 2012 63 333 18 481 897 837 25 047 1 749 2013 64 691 19 751 1 078 1 400 26 428 1 934

Laju perubahan (%/tahun)

2000-2004 -0.01 2.60 -8.89 1.08 3.60 -3.73 2005-2008 4.01 10.22 8.63 -1.85 2.80 45.90 2009-2013 1.50 2.96 2.67 21.57 5.50 -7.46 - 500000,000 1000000,000 1500000,000 2000000,000 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 H ar ga ka y u (Rp/m3) Harga (Rp/m3)

Pemicu peningkatan produksi padi diantaranya karena peningkatan luas panen seluas 540 ribu ha dan produktivitas sebesar 1.20 ku/ha. Pertumbuhan luas panen padi di Jawa hanya sekitar 0.20%/tahun sedangkan di luar Jawa sekitar 1.76% per tahun. Demikian pula dengan peningkatan produktivitas padi di Jawa hanya sekitar 0.08% per tahun sedangkan di luar Jawa sekitar 1.45% per tahun. Peningkatan produksi jagung terjadi karena adanya peningkatan produktivitas sekitar 2.87% per tahun, walaupun luas panen mengalami penurunan sekitar 1.77% per tahun. Luas panen jagung baik di Jawa maupun di luar Jawa mengalami penurunan. Sedangkan luas panen kedelai terjadi penurunan yang besar di Jawa (3.28% per tahun) dan meningkat di luar Jawa (2.31% per tahun). Produktivitas jagung dan kedelai baik di Jawa maupun di luar Jawa mengalami peningkatan yang cukup signifikan (Kementan 2015).

Peningkatan produksi komoditas pangan sejalan dengan peningkatan harga komoditas tanaman pangan seperti disajikan pada Tabel 15. Secara umum harga- harga komoditas tanaman pangan tersebut menunjukan kenaikan yang cukup tinggi. Secara periodik kenaikan harga terjadi pada periode 2000-2004 dengan laju terendah untuk kacang tanah (3.68%) dan kenaikan tertinggi terjadi untuk komoditas ubi kayu (11.69%). Kemudian pada periode 2005-2008 kenaikan harga komoditas pangan mengalami peningkatan tertinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya. Pada periode tersebut kenakan tertinggi terjadi untuk komoditas ubi kayu (18.98%) dan yang terendah adalah untuk kacang tanah (6.63%).

Tabel 15 Perkembangan harga ril komoditas tanaman pangan, 2000-2013

Tahun Padi Jagung Kedele Kacang

Tanah Ubi Kayu Ubi Jalar

Harga (Rp / Kg) 2000 1 228.87 1 016.48 2 739.42 5 580.97 473.21 720.78 2001 1 265.44 1 069.89 2 874.92 5 704.75 521.50 791.35 2002 1 304.84 1 128.90 3 024.06 5 838.62 576.29 871.90 2003 1 375.13 1 230.12 3 281.43 6 076.09 666.37 1 003.05 2004 1 523.82 1 316.66 3 468.89 6 374.16 735.76 1 106.60 2005 1 691.44 1 410.67 3 672.15 6 708.03 819.49 1 231.27 2006 1 969.86 1 576.30 4 031.28 7 268.37 943.93 1 417.22 2007 2 128.69 1 847.61 4 617.65 7 646.98 1 144.43 1 664.53 2008 2 306.42 2 196.02 5 306.46 8 086.29 1 442.39 1 974.67 2009 2 605.17 2 661.57 6 376.78 8 782.82 1 745.93 2 406.46 2010 2 860.15 2 778.64 6 631.43 9 320.73 1 813.98 2 516.69 2011 3 370.10 3 012.78 7 140.72 10 396.55 1 950.09 2 737.15 2012 3 706.19 3 351.21 7 839.79 11 110.21 2 250.74 3 118.64 2013 4 076.58 3 730.69 8 612.74 11 897.47 2 602.56 3 556.54

Laju perubahan (%/tahun)

2000-2004 5.57 6.69 6.09 3.38 11.69 11.33

2005-2008 11.37 15.23 13.05 6.63 18.98 16.86

2009-2013 11.90 8.85 7.83 7.90 10.61 10.33

Pada periode berikutnya (2009-2013) harga-harga komoditas pangan tersebut masih menunjukan kenaikan yang cukup tinggi tapi lebih rendah dibandingkan dengan periode 2005-2008. Pada periode 2009-2013 kenaikan harga padi adalah yang tertinggi (11.90%) dan kacang tanah adalah yang terendah (7.83%).

Sumber: BAPPEBTI (2015)

Gambar 10 Perkembangan harga CPO dan karet di pasar dunia dan domestik Komoditas perkebunan Indonesia merupakan komoditas ekspor. Sehingga fluktuasi harga dunia akan mempengaruhi fluktusi harga komoditas perkebunan di pasar domestik. Dalam lima tahun terakhir perkembangan harga komoditas perkebunan utama Indonesia (CPO dan karet) disajikan pada Gambar 10. Terlihat bahwa perubahan harga CPO dan karet di pasar dunia diikuti dengan perubahan harga di pasar domestik. Dari Gambar 10 tersebut terlihat bahwa harga karet baik di pasar dunia maupun domestik mencapai angka tertinggi pada tahun 2011 yang kemudian cenderung menurun. Pola yang hampir sama untuk harga CPO di pasar dunia.

Tabel 16 Perkembangan harga komoditas perkebunan, 2000-2013

Tahun Kelapa TBS Kakao Karet Kopi

Harga (Rp/kg) 2000 674.54 350.07 4 915.31 1 869.04 6 913.96 2001 703.72 383.42 5 982.49 2 028.33 6 639.59 2002 737.73 420.27 7 358.26 2 204.42 6 387.20 2003 791.25 483.45 9 184.04 2 506.20 5 816.49 2004 853.74 508.90 9 074.22 3 066.26 6 377.20 2005 926.45 536.34 8 980.07 3 816.70 7 086.03 2006 1 041.22 585.26 8 744.77 4 746.44 8 059.35 2007 1 168.98 710.58 10 519.35 5 018.36 9 416.24 2008 1 321.40 867.23 12 701.51 5 339.84 11 107.15 2009 1 552.26 1 086.56 15 843.08 5 834.12 13 486.92 2010 1 611.46 990.09 16 688.99 6 532.15 14 097.63 2011 1 729.86 797.16 18 380.81 7 928.20 15 319.06 2012 1 902.65 896.59 21 013.92 9 150.42 16 693.90 2013 2 095.01 1 009.02 24 048.86 10 573.76 18 208.34

Laju perubahan (%/tahun)

2000-2004 6.08 9.86 17.08 13.31 -1.77

2005-2008 12.74 16.65 12.42 14.05 16.21

2009-2013 7.81 -0.84 11.06 16.08 7.81

Sejalan dengan perkembangan produksi, perkembangan harga komoditi perkebunan utaa Indonesia juga menunjukan kecenderungan yang meningkat pada

periode 2000-2013 seperti disajikan pada Tabel 16. Di antara komoditi perkebunan tersebut, komoditi karet menunjukkan kecenderungan peningkatan harga yang konsisten dengan laju kenaikan harga yang tertinggi dibandingkan dengan peningkatan komoditi perkebunan yang lain.

Produksi komoditas perkebunan

Tren harga perkebunan yang naik juga diikuti dengan tren naik untuk produksi komoditas perkebunan (Tabel 17). Dari kelima komoditas perkebunan tersebut, produk kelapa sawt (TBS) dan karet menunjukan peningkatan yang tertinggi dibandingkan dengan komoditas lainnya. Pada periode 2000-2004 peningkatan produksi kelapa sawit adalah yang tertinggi kedua setelah kelapa. Peningkatan yang tertinggi ketiga aalah untuk kakao dan keempat adalah untuk karet. Pada periode 2005-2008, peningkatan produksi kelapa sawit adalah yang tertinggi mencapai 71.51% per tahun, yang kemudian diikuti dengan peningkatan produksi karet yang mencapai 9.13% per tahun. Sementara itu pada periode tersebut kelapa dan kopi menunjukan penurunan produksi. Periode 2009-2013, komoditas kelapa mengalami peningkatan yang tertinggi mencapai 85.42% pert tahun, yang kemudian diikuti peningkatan TBS mencapai 53.02% dan komoditas karet yang