• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekayaan sumber daya alam yang besar merupakan modal pembangunan Indonesia. Salah satu modal tersebut adalah lahan. Sehingga arah pembangunan ekonomi tersebut menentukan arah penggunaan lahan. Penggunaan lahan menjadi perhatian internasional terkait dengan isu perubahan iklim. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi, seperti hutan menjadi bukan hutan, akan mengemisi gas rumah kaca ke atmosfir. Secara global perubahan penggunaan lahan tersebut berkontribusi sekitar 20% dari total emisi gas rumah kaca (Stern 2007).

Semua kegiatan ekonomi yang dilakukan akan menentukan tingkat perubahan tutupan lahan. Dengan dibangunnya infrastruktur termasuk jalan menjadikan sumberdaya hutan berubah fungsi menjadi non hutan. Demikian juga halnya dengan perkembangan lahan pertanian yang semakin meningkat karena didukung dengan kualitas dan panjang jalan serta infrastruktur lainnya. Aktivitas penebangan kayu juga menentukan tingkat deforestasi, meskipun dalam kenyataannya aktivitas penebangan kayu ini hampir selalu diikuti dengan kegiatan produksi pertanian, sehingga akan sulit untuk memisahkan pengaruh penebangan kayu dan produksi pertanian terhadap deforestasi.

Sumber daya hutan merupakan sumber daya yang open access. Di samping itu mempunyai sejumlah fungsi, baik ekonomi, sosial maupun lingkungan. Sampai dengan sekarang, pertumbuhan penduduk, urbanisasi dan industrialisasi berkontribusi terhadap penurunan luas hutan di beberapa daerah dan kemudian penambahan luas hutan di beberapa kawasan lainnya dan membentuk pola umum perubahan luas tutupan hutan seiring dengan pembangunan ekonomi (Mather 1992, Rudel et al. 2005). Pola transisi ini terjadi berkaitan dengan pembangunan sosial ekonomi, di mana pembangunan ekonomi cenderung menyebabkan penurunan luas hutan. Mather (1992) menyimpulkan bahwa dengan semakin

majunya pembangunan, penurunan luas hutan ini dapat dihentikan dan bahkan luas tutupan hutan dapat bertambah kembali. Titik balik pada transisi ini terjadi pada saat laju tingkat reforestasi lebih tinggi dibandingkan dengan laju deforestasi.

Kinerja pembangunan ekonomi dan perubahan faktor ekonomi lainnya akan mempengaruhi terhadap proses pengambilan keputusan pelaku ekonomi dalam alokasi penggunaan lahan (tanaman pangan, pertambangan, perkebunan, dan peng- usahaan hutan). Pilihan terhadap alokasi penggunaan lahan tersebut dipengaruhi oleh potensi keuntungan yang diperoleh dari setiap penggunaan lahan. Dampak kumulatif dari persaingan penggunaan lahan tersebut akan membentuk dinamika tutupan hutan.

Gambar 8 Kerangka analisis

Terkait dengan isu perubahan iklim, upaya pengurangan emisi gas rumah kaca berbasis lahan dapat didasarkan pada bagaimana dinamika tutupan hutan yang diindikasikan dengan laju deforestasi yang terjadi. Pengurangan emisi gas rumah kaca berbasis lahan terkait dengan bagaimana upaya mempercepat penurunan laju deforestasi.

Model Transisi Hutan

Pengukuran laju deforestasi

Tingkat deforestasi Indonesia beragam menurut provinsi. Hal ini terjadi sebagai akibat kegiatan pembangunan sosial ekonomi yang berbeda-beda. Perbedaan ini juga diakibatkan oleh sumberdaya alam yang dimiliki oleh setiap provinsi juga berbeda-beda. Secara ringkas laju deforestasi, pendapatan per kapita, kepadata penduduk dan pangsa tutupan hutan disajikan pada Tabel 4.

Persaingan Penggunaan Lahan

Dinamika Tutupan Hutan: proses transisi hutan Faktor Pendorong Pertumuhan penduduk Pertumbuhan ekonomi Infrastruktur jalan Investasi Harga-harga (ouput/input) Tutupan lainnya Pertambangan Tanaman Pangan Perkebunan Hutan

Tabel 4 Pendapatan per kapita, kepadatan penduduk dan laju deforestasi Indonesia menurut pulau Pulau Pendapatan per kapita Tahun 2013 (000 Rp) Kepadatan Penduduk Tahun 2013 (jiwa/km2) Laju Deforestasi (2000-2013) (ha/tahun) Pangsa Tutupan Hutan Tahun 2013 (%) Sumatera 34 391.33 123.70 25 728.71 29.50 Jawa 22 347.73 1 086.20 2 522.55 20.59 Bali & NT 15 057.77 352.67 438.62 33.91 Kalimantan 53 340.98 41.50 77 354.73 45.81 Sulawesi 18 420.42 104.83 7 593.13 49.34

Papua & Maluku 30 694.14 22.25 10 801.86 74.16

Sumber: hasil olahan penulis

Terlihat bahwa laju deforestasi secara rata-rata tertinggi di Pulau Kalimantan sebesar 77.4 ribu hektar per tahun, yang kemudian disusul laju deforestasi di Sumatera dan Papua & Maluku. Terdapat kecenderungan bahwa laju deforestasi yang tinggi tersebut terjadi di pulau-pulau yang memang masih mempunyai tutupan hutan yang tinggi. Dengan demikian informasi laju deforestasi dengan angka nominal menjadi tidak dapat diperbandingkan secara langsung. Untuk itu diperlukan ukuran laju deforestasi yang dapat diperbandingkan antara satu lokasi dengan lokasi yang lain (FAO 2010).

Supaya laju deforestasi antar wilayah dapat diperbandingkan, maka laju deforestasi diukur secara relatif dengan menggunakan rumus dari FAO sebagai berikut:

� = − [(� − )

�− − �

− ] ∗

Dimana � adalah tutupan hutan periode t dan Tt adalah tahun t.

Suatu wilayah dapat dibagi menjadi beberapa tipe tutupan lahan yang dapat diakses oleh pengguna. Total lahan yang tersedia adalah hektar. Keputusan penggunaan lahan akan mengarah ke optimalisasi penggunaan lahan sehingga membentuk dinamika hutan. Dengan asumsi bahwa penggunaan lahan yang dialokasikan akan memaksimumkan keuntungan. Untuk menduga transisi hutan, maka digunakan model peluang. Dimana dalam model peluang ini digunakan untuk melihat faktor-faktor yang berpengaruh dalam mempercepat dicapainya fase stagnasi dalam hipotesis transisi hutan.

Hipotesis transisi hutan dapat digunakan untuk melihat atau membandingkan status tutupan hutan yang ada antara satu wilayah dengan wilayah yang lain (Leischner, Köthke, dan Elsasser 2011). Secara umum tahapan analisis yang digunakan dalam tulisann ini ada 2 (dua) tahap, yaitu:

Tahap Pertama: mengelompokan tingkat laju deforestasi yang terjadi di setiap provinsi menjadi 3 kelompok, yaitu tinggi, sedang dan rendah. Pengelompokan ini dilakukan karena secara perhitungan kehilangan tutupan hutan di setiap provinsi masih menunjukan kejadian deforestasi. Pengelompokan ini dilakukan dengan asumsi bahwa provinsi-provinsi dengan laju deforestasi rendah mempunyai peluang lebih tinggi untuk terjadi transisi hutan. Pengelompokan dilakukan secara

sederhana, yaitu dengan berdasarkan pada nilai rataan dan standar deviasi laju deforestasi yang terjadi di tiap provinsi.

Untuk mempelajari hipotesis transisi hutan, disertasi ini menggunakan model peluang ordinal logistik dengan peubah endogen dumi tingkat laju deforestasi di setiap provinsi. Provinsi mendapatkan nilai 1 (TH=1) jika provinsi tersebut berada pada tahap deforestasi, nilai 2 (TH=2) untuk provinsi dengan laju deforestasi sedang; dan nilai 3 (TH=3) selainnya. Dari hasil pengelompokan provinsi (Tabel 5) terdapat 7 provinsi yang mempunyai laju deforestasi yang lebih tinggi, 13 provinsi dengan laju deforestasi sedang dan 13 provinsi dengan lau deforestasi rendah. Tabel 5 Pengelompokan provinsi berdasarkan laju deforestasi pada periode 2000-

2013 Provinsi Laju deforestasi (%/tahun) Grup Provinsi Laju deforestasi (%/tahun) Grup NAD 0.75 2 NTB 0.15 3 Sumatera Utara 1.51 2 NTT -1.17 3

Sumatera Barat 1.29 2 Kalimantan Barat 1.68 2 Riau 6.39 1 Kalimantan Tengah 1.22 2 Jambi 5.73 1 Kalimantan Selatan 1.17 2 Sumatera Selatan 2.19 1 Kalimantan Timur 0.66 2 Bengkulu 1.79 2 Sulawesi Utara 0.33 3 Lampung 0.44 3 Sulawesi Tengah 0.56 2 Bangka Belitung 2.34 1 Sulawesi selatan 0.30 3 Kepulauan Riau 1.09 2 Sulawesi tenggara 0.45 3

DKI Jakarta 0.04 3 Gorontalo 0.51 2

Jawa Barat 1.15 2 Sulawesi Barat 0.46 2

Jawa Tengah 0.31 3 Maluku 0.08 3

DI Yogyakarta 4.57 1 Maluku Utara 0.25 3

Jawa Timur 4.11 1 Papua 0.06 3

Banten 2.18 1 Papua Barat 0.12 3

Bali 0.08 3 Indonesia 0.80

Keterangan: Grup 1 : Tinggi; 2: Sedang; 3 : Rendah

Tahap kedua: Identifikasi faktor yang menentukan peluang suatu provinsi berada dalam kelompok tahap deforestasi tertentu. Dalam tahap ini digunakan model peluang ordered logistic regression dengan model umum sebagai berikut

�∗ = � + � � + � � + � � + +� � + � � + � � + � � + Dimana

�∗ adalah peubah endogen yang bernilai 1, 2 atau 3.

� adalah pendapatan per kapita (Rp/jiwa) provinsi i tahun t

� adalah kepadatan penduduk (jiwa/km2) provinsi i tahun t

� adalah kerapatan jalan (km/ha) provinsi i tahun t

� adalah pangsa tutupan hutan (%) provinsi i tahun t � adalah dummy untuk Pulau Sumatera

� adalah dummy untuk Pulau Kalimantan � adalah dummy untuk Pulau Jawa

� adalah vektor parameter.

Alokasi penggunaan lahan

Perubahan tutupan lahan sangat dipengaruhi oleh kebijakan pembangunan nasional dimana secara umum tujuan pembangunan nasional tersebut adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, manfaat ekonomi, dan manfaat lingkung- an. Bagaimana kinerja alokasi penggunaan lahan dikembangkan sistem persamaan alokasi lahan. Disadari bahwa lahan merupakan modal utama dalam proses pembangunan ekonomi. Dalam prakteknya terdapat perbedaan kepentingan dalam mekanisme alokasi penggunaan lahan tersebut. Jika terlalu fokus ke salah satu kepentingan maka berakibat adanya ketidakseimbangan dalam pembangunan tersebut sehingga menggiring pada proses pembangunan yang tidak berkelanjutan. Perilaku alokasi penggunaan lahan, secara teori, dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya faktor ekonomi. Kondisi ini terjadi sebagai akibat dari keputusan pelaku ekonomi yang rasional dimana pelaku ekonomi termasuk pemilik lahan, pemegang izin usaha pemanfaatan lahan akan berusaha memaksimumkan manfaat/keuntungan dan/atau meminimumkan biaya. Selain itu alokasi penggunaan lahan juga tergantung pada kebijakan pemerintah. Dengan demikian faktor-faktor yang mendorong perubahan penggunaan lahan bersifat kompleks (Scrieciu 2007). Perubahan yang terjadi tergantung pada perkembangan faktor ekonomi, demografi, teknologi, budaya dan politik (Dwiprabowo et. al. 2014; Meyfroidt et. al. 2013; Vanclay 1995). Berbagai literatur terkait persaingan penggunaan lahan menyimpulkan bahwa keputusan terhadap alokasi lahan ditujukan untuk memaksimumkan keuntungan dengan kendala luas lahan (Boere et al. 2015; Gorddard 2009; Wolfersberger et al. 2015; Wu dan Li 2013; Wu dan Segerson 1995). Tinggi rendahnya penerimaan yang diperoleh dari satu penggunaan lahan ditentukan oleh tingkat produksi dan tingkat harga output lahan tersebut pada tingkat teknologi tertentu.

Misalkan terdapat suatu wilayah, dengan luas L hektar yang digunakan untuk

m buah penggunaan lahan, li. Sehingga = ∑= . Untuk setiap penggunaan lahan tersebut ditujukan untuk memaksimumkan keuntungan,

� � , , (1)

Dengan kendala

= = (2)

Dimana � adalah keuntungan penggunaan lahan i (hutan, perkebunan, tanaman pangan, dan pertambangan) di wilayah tertentu; � adalah harga output penggunaan lahan i; dan adalah input tetap yang digunakan. Solusi terhadap persamaan (1) dan (2) adalah alokasi lahan yang optimal ∗ = �, , . Diasumsikan bahwa ∗ adalah fungsi homogen berderajat 1 dalam . Dengan demikian alokasi lahan optimal ∗ dapat dituliskan sebagai

= �, , . (3) Persamaan (3) dapat dinyatakan sebagai fungsi share sebagai berikut:

�∗ =⁄ = �, (4)

Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh dinamika faktor ekonomi terhadap alokasi penggunaan lahan tersebut, diperlukan pendugaan terhadap fungsi yang spesifik. Untuk tujuan tersebut, diasumsikan bahwa persamaan (4) mengikuti bentuk logistik (Wolfersberger et al. 2015; Wu dan Segerson, 1995). Penggunaan bentuk logistik ini untuk menjamin bahwa nilai pangsa berada antara nilai 0 dan 1. Oleh arena itu spesifikasi model alokasi lahan yang digunakan dalam tulisan ini adalah berbentuk logistik sebagai berikut:

=

4exp �exp �, ,�, ,�

= (5)

Dimana exp() merupakan fungsi eksponensial. Bagian penyebut persamaan (5) merupakan penjumlahan dari alokasi untuk 4 penggunaan lahan ditambah dengan alokasi lahan sisa yang tidak dialokasikan untuk 4 penggunaan lahan tersebut (i=0). Tahap berikutnya adalah mendefinisikan pangsa relatif dari setiap penggunaan lahan yang dikaji terhadap pangsa penggunaan lain. Implikasi dari kondisi tersebut, maka

ln ∗

� = �, , − �, , ≡ �, , (6)

Dalam proses pendugaan parameter model, fungsi g diasumsikan linier (Wu dan Segerson 1995). Dengan demikian persamaan yang dispesifikasikan adalah sebagai berikut:

= ∗∗ = + ∑ = � + ∑ = + (7)

Blok sistem persamaan (7) terdiri dari 4 penggunaan lahan, yaitu hutan, perkebunan, pertanian, dan pertambangan. Perilaku pangsa tutupan lahan tersebut dipengaruhi oleh harga output, harga input, kepadatan penduduk, investasi, dan infrastruktur. Untuk menangkap adanya persaingan tersebut, maka perlu dilakukan restriksi kesimetrisan dan kehomogenan (Wu dan Segerson 1995) sebagai berikut: a. Restriksi kesimetrisan

= untuk i ≠ j b. Restriksi kehomogenan

= = dan ∑= =

Berdasarkan hasil analisis citra, terlihat bahwa tutupan hutan yang tersisa sangat beragam menurut pulau (Lampiran 1-

Lampiran 6). Terlihat bahwa intensitas perubahan hutan ke penggunaan lain berbeda-beda di tiap wilayah. Oleh karena terdapat keragaman tutupan hutan

tersebut, maka model yang dispesifikasikan pada persamaan 7, ditambah dengan dumi pulau.

Elastisitas Respon Penggunaan Lahan

Elastisitas penggunaan lahan terhadap harga dan faktor lain dapat diturunkan dengan menggunakan persamaan (7). Oleh karena ∑ �∗ = − �∗, maka dengan menambahkan pangsa semua penggunaan lahan dan pangsa �∗, diperoleh

=

+∑exp �4 exp �

= (8)

Elastisitas respon penggunaan lahan dapat dihitung dengan menggunakan nilai koefisien respon pangsa areal (Wu dan Segerson 1995). Koefisien elastisitas dari persamaan (8) dapat dihitung dengan mentransformasi ke dalam bentuk logaritma natural, sehingga diperoleh

ln �∗ = − ln + ∑= exp (9)

Dari persamaan (9) kemudian digunakan sebagai dasar penghitungan nilai elastisitas dengan rumus sebagai berikut:

=

∂ ln( )∂ln( ∗)

(10)

Nilai koefisien elastisitas pada persamaan (10) merupakan besaran elastisitas perubahan pangsa penggunaan lahan terhadap peubah penjelas dalam model. Dengan demikian untuk mengukur respon areal dari setiap penggunaan lahan, maka rumus penghitungan elastisitas tersebut dimodifikasi dengan mensubstitusikan persamaan (4) ke dalam persamaan (9) menjadi sebagai berikut:

ln ∗ = − ln + ∑= exp (11)

ln ∗ = − ln + ∑ exp

= + ln (12)

Dengan demikian rumus elastisitas penggunaan lahan dapat dituliskan sebagai berikut:

=

∂ ln( )∂ln( ∗)

=

∂ ln( )∂ −ln +∂ ln( )∑= exp +∂ ln( )ln (13)

Oleh karena L adalah tetap maka ln �

∂ ln = 0, sehingga

= � − ∑

� . �

Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas dan untuk menuntun mencapai tujuan penelitian yang telah dirumuskan di muka ini maka diturunkan beberapa hipotesis sebagai berikut:

1. Kekayaan sumberdaya alam yang ada di wilayah Indonesia sangat beragam. Setiap wilayah akan berupaya untuk memaksimumkan manfaat yang diperoleh dari sumberdaya alam Sesuai dengan kondisi alamnya, intensitas penggunaan lahan di setiap wilayah berbeda-beda. Hal ini berdampak terhadap pola tutupan hutan yang diindikasikan dengan laju deforestasi yang terjadi antar wilayah di Indonesia yang beragam. Meskipun demikian diduga bahwa dinamika tutupan hutan di wilayah Indonesia mengikuti pola transisi hutan.

2. Perbedaan tingkat pendapatan yang tinggi antara penggunaan lahan yang satu dengan yang lainnya menyebabkan respon areal terhadap perubahan harga, baik harga sendiri maupun harga output dan upah tenaga kerja terhadap alokasi penggunaan lahan lain rendah.

3. Pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur jalan yang telah dilaksanakan secara terus menerus mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap perluasan tiap penggunaan lahan. Pembangunan infrastruktur jalan ini akan mendorong terhadap peningkatan produksi.

4. Pertumbuhan penduduk yang terjadi di setiap provinsi berbeda-beda, ada wilayah dengan pertumbuhan penduduk tinggi dan sebaliknya ada juga wilayah-wilayah yang mempunyai pertumbuhan penduduk yang rendah. Kondisi ini menggiring terhadap kepadatan penduduk yang berbeda tiap wilayah. Kenyataan ini memberikan pengaruh yang berbeda terhadap setiap alokasi penggunaan lahan.

5. Penanaman modal atau investasi memberikan pengaruh yang bervariasi antar penggunaan lahan.

Jenis dan Sumber Data

Pengelolaan sumberdaya lahan sangat tergantung pada pemerintah daerah, terkait dengan target pembangunan tiap provinsi yang ada di Indonesia berbeda- beda. Untuk itu data yang digunakan dalam penelitian ini data sekunder tingkat provinsi mulai dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2013. Data sekunder tersebut dikumpulkan dari BPS, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Bank Indonesia dan sumber lainnya. Untuk mengetahui perubahan lahan juga dipergunakan analisis Geographic Information Systems (GIS).

Luas setiap penggunaan lahan dihitung berdasarkan hasil interpretasi citra satelit yaitu proses mengidentifikasi jenis tutupan lahan yang ada dalam suatu citra satelit. Interpretasi dilakukan secara visual mengacu pada klasifikasi tutupan lahan Ditjen Planologi tahun 2006 yang membagi tutupan lahan kedalam 23 kelas. Kegiatan penghitungan ini koreksi dilaksanakan oleh Ditjen Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan, selaku wali data peta tutupan lahan di Indonesia. Untuk kebutuhan analisa perubahan lahan pada disertasi ini, 23 kelas penutupan lahan dari Ditjen Planologi kemudian dikelaskan kembali disesuaikan dengan kebutuhan analisis.

Perubahan penggunaan lahan dan tutupan lahan yang meningkat akibat pengaruh antropogenik ditengarai sebagai faktor penting yang mempengaruhi perubahan global (Nagendra et al. 2004). Geist dan Lambin (2001) menegaskan bahwa terdapat perbedaan yang jelas antara penggunaan lahan dan tutupan lahan. Tutupan lahan merujuk pada permukaan biofisik bumi sedangkan penggunaan lahan dibentuk oleh pengaruh manusia, sosio ekonomi dan politik. Secara umum, penggunaan lahan menghubungkan tutupan lahan dengan kegiatan manusia yang dapat merubah suatu lanskap. Ditjen Planologi tahun 2006 yang membagi tutupan lahan kedalam 23 kelas, seperti ditunjukkan pada Tabel 6.

Tabel 6 Pengkelasan kembali tutupan lahan pada penelitan No Pengkelasan Ditjen Planologi No Transisi hutan No Alokasi penggunaan lahan 1 Hutan Lahan Kering Primer

1 Hutan 1 Hutan alam 2 Hutan Rawa Primer

3 Hutan Mangrove Primer 4 Hutan Lahan Kering

Sekunder/Bekas Tebangan 5 Hutan Rawa Sekunder/Bekas

Tebangan

6 Hutan Mangrove Sekunder/Bekas Tebangan 7 Hutan Tanaman 8 Perkebunan/Kebun 2 Tutupan lainnya 2 Perkebunan 9 Pertanian Lahan Kering

3 Tanaman pangan 10 Pertanian Lahan Kering Campur

Semak/Kebun Campur 11 Sawah 12 Pertambangan 4 Pertambangan 13 Semak Belukar Tutupan lainnya

14 Semak Belukar Rawa 15 Savanna/Padang Rumput 16 Pemukiman/Lahan Terbangun 17 Transmigrasi 18 Lahan Terbuka 19 Tubuh Air 20 Rawa 21 Awan 22 Bandara/Pelabuhan 23 Tambak

Sumber: Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan

Untuk kebutuhan analisis perubahan lahan pada penelitian ini, 23 kelas penutupan lahan dari Ditjen Planologi dikelaskan kembali. Hal ini bertujuan agar analisis perubahan lahan menjadi lebih fokus dan terarah (Tabel 6). Untuk analisis dinamika tutupan hutan, tutupan hutan merupakan agregasi dari semua kelas tutupan hutan. Sementara untuk alokasi penggunaan lahan, 23 kelas tutupan lahan tersebut dikelaskan kembali menjadi 5, yaitu hutan tanaman, perkebunan, tanaman pangan, pertambangan dan lainnya.

Peubah penjelas yang digunakan dalam tulisan ini adalah mencakup faktor- faktor yang diduga mempengaruhi tingkat deforestasi.

Pendapatan per kapita

Pola pembangunan ekonomi akan menentukan pola deforestasi yang terjadi. Suatu provinsi akan memaksimumkan pertumbuhan ekonominya dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang dimilikinya. Pertumbuhan ekonomi tersebut kemudian didistribusikan ke masyarakat. Dalam banyak literatur disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi akan mendorong laju deforestasi melalui peningkatan produksi pertanian (Kanninen et al. 2007). Dalam penelitian ini pertumbuhan ekonomi diproksi dengan menggunakan pendapatan per kapita. Peningkatan laju deforestasi ini dapat digantikan dengan peningkatan pertanian secara intensif dan meningkatkan kesempatan kerja off-farm. Meskipun demikian peningkatan laju deforestasi ini hanya sampai pada tingkat perekonomian tertentu dimana apabila melawati batas tersebut, laju deforestasi akan menurun (Arrow et al. 1995).

Target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah mendorong terhadap peningkatan peran sektor produksi yang tidak berbasis lahan. Kondisi ini mendorong terjadinya peningkatan biaya korbanan untuk tenaga kerja. Terciptanya lapangan kerja di luar pertanian akan mengurangi tenaga kerja pertanian dan meningkatkan pendapatan tenaga kerja tersebut. Kondisi ini memungkinkan akan mengurangi permintaan terhadap produk hutan (misal kayu bakar) karena dapat digantikan dengan gas dan listrik. Dengan demikian tingkat pertumbuhan ekonomi dapat mengubah kebijakan pengelolaan hutan, misal dengan mengeluarkan kebijakan kawasan konservasi atau lindung, dan sebagainya. Apabila hal ini tercapai maka akan mendorong terhadap terjadinya regenerasi hutan (Rudel et al. 2005).

Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan dapat dijelaskan dengan Kurva Lingkungan Kuznet (KLK). Dimana dalam KLK dapat disimpulkan bahwa perlindungan terhadap kualitas lingkungan akan meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan kesadaran terhadap kualitas lingkungan ini cenderung terjadi di negara-negara dengan pendapatan tinggi (Deacon dan Norman 2006).

Kepadata penduduk

Pertumbuhan penduduk dan hutan mempunyai hubungan yang sangat erat dalam jangka panjang (Mather 1992). Tekanan pertumbuhan penduduk terhadap hutan mendorong terjadinya konversi hutan untuk memenuhi kebutuhan mata pencaharian, pangan, papan dan energi dari masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa lahan merupakan input utama dalam kegiatan produktif masyarakat akan tetapi ketersediannya semakin terbatas. Pertambahan jumlah penduduk mening- katkan permintaan terhadap pangan. Hal ini mendorong terhadap pertambahan luas lahan pertanian. Oleh karena ketersediaan lahan pertanian terbatas, maka pemenuhan kebutuhan lahan tersebut diperoleh melalui konversi hutan.

Pembangunan infrastruktur jalan

Hubungan antara pembangunan jalan dan deforestasi tergantung pada kegiatan penebangan kayu di hutan alam, pembangunan hutan tanaman, hutan rakyat atau budidaya tanaman pertanian untuk membuka akses ke pasar output.

Pada tulisan ini jalan yang digunakan adalah jalan yang dibangun oleh pemerintah (jalan aspal). Pembangunan jalan yang berdekatan dengan hutan dan yang masuk ke dalam kawasan hutan akan semakin mengancam terhadap luas hutan alam. Ancaman yang paling mungkin adalah adanya kegiatan yang dilakukan oleh perambahan, pemungutan, perburuan, dan bahkan pertambangan. Ada hubungan positif antara pembangunan jalan dengan deforestasi. Meskipun demikian pengaruh pembangunan jalan ini adalah positif terhadap pembangunan hutan tanaman/ pertanian

Kelangkaan produksi hutan dan jasa lingkungan

Rudel et al. (2005) menjelaskan salah satu faktor terjadinya proses transisi hutan adalah karena adanya kelangkaan sumberdaya hutan. Kelangkaan produk kehutanan baik barang maupun jasa lingkungan diakibatkan oleh semakin menurunnya tutupan hutan dan permintaan yang lebih tinggi terhadap produk hutan karena alasan pertumbuhan ekonomi. Transisi hutan terjadi jika muncul kesadaran untuk mengatasi kelangkaan tersebut melalui konservasi hutan, peningkatan pengelolaan hutan dan pengembangan hutan tanaman. Pangsa hutan ini juga mengindikasikan kekayaaan sumberdaya alam hayati dan jasa lingkungan yang terdapat di dalam hutan.

Harga output

Perubahan penggunaan lahan akan tergantung pada tingkat keuntungan yang akan diperoleh. Dengan demikian keputusan alokasi lahan akan didasarkan pada fluktuasi harga output yang terjadi. Data penggunaan lahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tutupan lahan untuk 5 jenis penggunaan lahan dan merupakan agregasi dari semua komoditi yang dapat dikembangkan untuk setiap penggunaan lahan tersebut. Oleh karena itu data harga output yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan proksi harga output.

Disadari bahwa hutan mempunyai banyak manfaat, baik manfaat langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung dari hutan adalah kayu dan hasl hutan bukan kayu yang sudah ada pasarnya seperti rotan. Sementara itu manfaat hutan tidak langsung seperti kekayaan sumberdaya alam hayati, jasa penyediaan dan pengaturan air, pemandangan yang indah dan jasa penyerapan dan penyimpanan karbon belum ada pasarnya. Dengan demikian dalam disertasi ini penggunaan lahan hutan, harga output didekati dari harga kayu.

Komoditi pertambangan di Indonesia sangat banyak jenisnya, seperti batubara, nikel, emas, dan tembaga. Perubahan tutupan lahan akibat pertambangan yang jelas terlihat adalah kegiatan pertambangan yang dilakukan secara terbukaseperti batubara. Sementara untuk komoditi pertambangan lain, pemanfaatan barang tambang tersebut dapat dilakukan secara tertutup (under ground). Oleh karena itu harga output untuk penggunaan lahan pertambangan digunakan harga batubara.

Sementara itu untuk harga perkebunan digunakan harga terboboti yang dihitung dengan menggunakan data produksi dan harga dari komoditi utama perkebunan Indonesia, yaitu kepala sawit, karet, kopi, kakao, dan kelapa. Sementara untuk tanaman pangan harga output dihitung dengan menggunakan data