• Tidak ada hasil yang ditemukan

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Keberagaman aktvitas pembangunan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah daerah berimplikasi terhadap perbedaan dinamika tutupan hutan. Keberagaman dinamika tutupan hutan tersebut diindikasikan dengan perbedaan laju deforestasi yang terjadi. Dimana deforestasi tersebut sebagai hasil akhir dari adanya persaingan penggunaan lahan yang terjadi sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraann masyarakat.

2. Dalam kerangka transisi hutan, provinsi-provinsi di Indonesia mengalami pengalaman pengelolaan sumberdaya hutan yang berbeda-beda. Berdasarkan analisis tren yang dilakukan terhadap kejadian deforestasi di Indonesia pada periode 2000-2013, terdapat 7 provinsi yang masih mempunyai laju deforestasi yang tinggi, 13 provinsi dengan laju deforestasi sedang dan 13 provinsi dengan laju deforestasi rendah.

3. Dari hasil model transisi hutan diperoleh hasil bahwa faktor yang mempercepat tercapainya laju deforestasi rendah adalah pertumbuhan penduduk dan pangsa tutupan hutan. Pangsa tutupan hutan merepresentasikan kelangkaan sumberdaya hutan. Pada periode 2000-2013 dicirikan dengan keadaran terhadap kondisi lingkungan dan pengelolaan sumberdaya hutan lestari yang semakin baik. Sehingga pangsa hutan yang tinggi, efektivitas pengelolaan dan konservasi hutan menjadi semakin mudah. Kepadatan penduduk yang tinggi mendorong peningkatan teknologi pertanian (perkebunan dan tanaman pangan) sehingga mengurangi ketergantungan terhadap lahan.

4. Pengelolaan hutan Indonesia yang cenderung masih dalam tahap deforestasi menuju ke fase transisi. Kondisi ini tidak lepas dari persaingan penggunaan lahan yang masih tinggi. Kebutuhan terhadap lahan menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat seiring degan pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang diindikasikan dengan konversi lahan hutan ke berbagai penggunaan lain yang masih terjadi. Kondisi ini mendorong terjadinya persaingan penggunaan lahan.

5. Persaingan alokasi lahan dipengaruhi oleh harga output dari setiap penggunaan lahan. Perubahan pangsa hutan dipengaruhi secara nyata dan negatif oleh harga perkebunan. Perubahan pangsa lahan perkebunan dipengaruhi secara negatif oleh harga kayu dan harga pangan, dan positif oleh harga perkebunan. Perubahan pangsa lahan tanaman pangan dipengaruhi secara negatif oleh harga perkebunan dan positif oleh harga pangan. Sementara itu perubahan pangsa pertambangan tidak dipengaruhi oleh harga secara statistik.

6. Peubah upah berpengaruh negatif terhadap perubahan pangsa hutan. Demikian juga halnya dengan peubah investasi berpengaruh negatif terhadap perubahan pangsa hutan dan positif terhadap perubahan pangsa perkebunan dan tanaman pangan. Pendapatan perkapita berpengaruh positif terhadap perubahan pangsa pertambangan tetapi negatif terhadap perkebunan dan tanaman pangan. Kepadatan penduduk berpengaruh positif terhadap perubahan tanaman pangan

tetapi negatif terhadap pangsa hutan dan perkebunan. Infrastruktur jalan berpengaruh positif terhadap perubahan pangsa hutan.

7. Respon areal dari luas pengunaan lahan tersebut bersifat inelastis. Perubahan luas penggunaan perkebunan lebih responsif terhadap perubahan harga output dibandingkan dengan luas untuk penggunaan hutan dan tanaman pangan. Dimana perubahan yang terjadi pada harga output kayu, perkebunan dan tanaman pangan perubahan luas penggunaan untuk perkebunan adalah yang tertinggi. Dalam jangka panjang perubahan luas untuk perkebunan bersifat elastis terhadap perubahan harga perkebunan.

8. Respon perubahan luas hutan terhadap upah lebih tinggi dibandingkan pangsa penggunaan lahan lainnya. Kenaikan upah ini akan menurunkan pangsa hutan dan menaikan pangsa penggunaan lainnya.

9. Setiap penggunaan lahan memberikan respon yang berbeda terhadap perubahan pertumbuhan penduduk. Luas penggunaan untuk tanaman pangan dan pertambangan meningkat seiring dengan pertambahan penduduk. Sementara luas hutan dan perkebunan mengalami penurunan. Respon terhadap perubahan infrastruktur jalan, jika kualitas dan panjang infrastruktur jalan meningkat maka luas penggunaan untuk hutan dan perkebunan mengalami peningkatan, sementara untuk tanaman pangan dan pertambangan mengalami penurunan.

Saran

Pengelolaan sumberdaya hutan Indonesia masih mengindikasikan berada pada tahap deforestasi. Meskipun demikian terdapat peluang untuk mempercepat tercapai penurunan laju deforestasi tersebut sehingga proses transisi hutan akan cepat tercapai. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah disesuaikan dengan tahapan atau tingkat laju deforestasi yang terjadi.

Untuk wilayah dengan laju deforestasi yang tinggi, upaya penurunan laju deforestasi tersebut dapat dilakukan melalui kejelasan hak kepemilikan (tenurial) mengingat pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Upaya lain yang diperlukan adalah meningkatkan kesadaran terhadap fungsi hutan sebagai penyedia jasa lingkungan. Upaya ini dapat dilakukan dengan mengembangkan mekanisme imbal jasa lingkungan dan memperluas kawasan lindung. Pendekatan ekonomi yang dapat ditempuh untuk menurunkan laju deforestasi adalah dengan meningkatkan penanaman modal yang diarahkan untuk meningkatkan nilai tambah output melalui kebijakan hilirisasi, sebagai contoh melalui peningkatan produk- tivitas industri pengolahan baik untuk perkebunan, tanaman pangan, dan kehutanan. Khusus untuk investasi di sektor kehutanan lebih diarahkan untuk kegiatan pengayaan hutan (rehabilitasi, reforestasi atau aforestasi). Upaya ini juga dapat dilakukan melalui peningkatan daya saing produk kehutanan yang berbasis kayu.

Sementara itu untuk provinsi-provinsi dengan laju deforestai yang rendah upaya pemberian insentif kepada masyarakat untuk melakukan konservasi hutan yang ada dan reforestasi serta peningkatan teknologi pertanian merupakan cara untuk membalikan tren kehilangan hutan.

Model yang dikembangkan mampu menangkap persaingan penggunaan lahan di Indonesia. Terkait dengan upaya mitigasi perubahan iklim berbasis lahan dalam bentuk mempertahankan hutan dan meningkatkan luas hutan, maka dilakukan

melalui kebijakan harga kayu dan pembangunan infrastruktur jalan. Harga kayu yang berlaku sekarang cenderung under valued. Harga tersebut masih didasarkan pada biaya penebangan saja dan menimbulkan biaya eksternalitas yang tinggi karena adanya dampak lingkungan, biodiversitas dan sosial, sehingga dengan internalisasi eksternalitas akan meningkatkan nilai hutan. Di samping itu dengan meningkatkan keintegrasian industri kayu domestik dengan internasional akan meningkatkan harga kayu. Upaya ini dapat dicapai dengan memperbaiki rantai nilai industri kayu Indonesia.

Harga komoditi perkebunan dan tanaman pangan mendorong konversi hutan ke perkebunan atau tanaman pangan. Oleh karena itu investasi untuk perkebunan dan tanaman pangan diarahkan untuk perbaikan teknologi budidaya sehingga produktivitas meningkat, hal ini akan menurunkan kebutuhan terhadap pembukaan lahan baru. Sementara itu untuk meningkatkan pangsa hutan, maka investasi dilakukan ke arah penanaman baik rehabilitasi, reforestasi maupun aforestasi dengan menggunakan sistem agroforestri. Hal ini didasarkan pada realisasi investasi berbasis lahan, dimana investasi untuk hutan sangat kecil sementara untuk pertanian dan perkebunan jauh lebih besar.

Demikian juga halnya dengan pembangunan infrastruktur jalan yang cenderung membuka akses ke sumberdaya hutan. Pembangunan jalan lebih diarahkan untuk memperlancar akses baik untuk pasar output maupun pasar input untuk peningkatan hutan tanaman dan hutan rakyat. Untuk menghindari dari ekses negatif pembangunan jalan terhadap pangsa hutan, maka perlu upaya tambahan untuk meningkatkan efektivitas pengawasan terhadap pengelolaan hutan lestari seperti kejelasan sistem kepemilikan (tenurial), pendirian pos pengamanan hutan, dan pemanfaatan daerah penyangga hutan untuk pengembangan tanaman kehidupan.

Masih terdapat keterbatasan dalam penelitian ini terkait dengan ketersediaan data dimana model belum melihat perilaku hutan tanaman dan hutan rakyat secara terpisah. Untuk itu disarankan untuk penelitian selanjutnya melakukan disagregasi luas hutan tersebut. Disamping itu, terkait dengan pengujian hipotesis transisi hutan, periode data yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2000-2013 sehingga pola pada periode sebelumnya tidak dapat terlihat. Untuk itu disarankan untuk menambah periode data analisis untuk penelitian lanjutan. Dari hasil pemodelan terlihat adanya persaingan penggunaan lahan di Indonesia, sehingga informasi yang diperoleh dapat digunakan sebagai landasan dalam menentukan optimalisasi penggunaan lahan di Indonesia.

Dalam disertasi ini belum memasukan pengaruh suku bunga secara langsung dalam model. Disadari bahwa investasi di sektor kehutanan adalah investasi jangka panjang. Oleh karena untuk penelitian lanjutan perlu dilihat pengaruh suku bunga terhadap keuptusan alokasi penggunaan lahan.