• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam tahap ini merupakan tahapan dimana kebijakan reforestasi diimplementasikan seperti penanaman pohon dan penerapan pengelolaan

TINJAUAN PUSTAKA Kerangka Teor

Tahap 4. Dalam tahap ini merupakan tahapan dimana kebijakan reforestasi diimplementasikan seperti penanaman pohon dan penerapan pengelolaan

sumberdaya hutan lestari.

Meskipun demikian disadari bahwa untuk mengukur berapa lama dan berapa cepat transisi hutan ini terjadi sangat sulit. Hal ini tergantung pada kondisi hutan yang ada, laju deforestasi dan laju reforestasi. Kondisi dimana laju deforestasi lebih kecil dibandingkan dengan laju reforestasi membuka peluang untuk terjadi pertambahan luas tutupan hutan.

Penelitian Sebelumnya

Transisi hutan

Setelah waktu yang lama deforestasi, telah terjadi transisi hutan secara global, tapi penyebab transisi hutan di berbagai negara sangat bervariasi. Salah satunya adalah kebijakan konservasi yang memainkan peran penting dalam memfasilitasi proses transisi hutan di seluruh dunia (Li et al. 2013). Dalam penelitiannya tersebut, Li et al. (2013) menggunakan data tutupan hutan untuk mempelajari pola tutupan hutan yang terjadi dan pengaruh pertumbuhan penduduk terhadap dinamika tutupan hutan di Cina. Dari penelitiannya tersebut diperoleh hasil bahwa pertumbuhan penduduk mendorong terhadap terjadinya pengurangan tutupan hutan. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zhang (2000). Perubahan tutupan hutan sangat dipengaruhi pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi (Zhang 2000). Waktu yang diperlukan untuk tercapainya fase transisi ini sangat tergantung pada bagaimana alokasi penggunaan lahan dan biaya transaksi yang terjadi dalam alokasi penggunaan lahan tersebut.

Pada fase deforestasi terdapat dua tahapan. Pertama adalah dibukanya akses terhadap hutan dengan dibangunnya infrastruktur jalan, baik yang dilakukan oleh pemeritah maupun oleh swasta (jalan loging, pertambangan, dan lain-lain). Situasi ini mendorong meningkatnya nilai lahan pertanian dengan tersedianya pasar baru sehingga memotivasi terjadinya perpindahan penduduk ke daerah tersebut. Kedua, setelah bertambahnya penduduk di daerah tersebut maka meningkatkan terhadap kebutuhan lahan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pemukiman. Pengaruh tekanan populasi ini disertai dengan kegiatan produktif lainnya akan meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya hutan (Angelsen 2007) dan laju deforestasi yang tinggi. Pada fase deforestasi ini perubahan lahan terjadi untuk memenuhi kebutuhan pangan dan energi. Setelah tahap deforestasi adalah fase stagnasi yang terjadi sebagai akibat penurunan sewa lahan pertanian dan/atau peningkatan sewa lahan hutan (Wolfersberger et al. 2015).

Dinamika tutupan hutan: hasil persaingan penggunaan lahan

Sebagai objek ekonomi, lahan menjadi barang yang dapat dialihkan status kepemilikan dan penguasaannya di mana proses pertukaran tersebut menggunakan prinsip meminimumkan biaya (Bappenas 2015). Pengambilan keputusan tentang penentuan lokasi usaha oleh perusahaan terkait dengan memaksimalkan keuntungan yang akan diperoleh terutama dalam meminimalisasi biaya produksi dan biaya transportasi.

Faktor-faktor yang mendorong terhadap penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan bersifat kompleks (Scrieciu 2007). Perubahan tutupan lahan atau penggunaan lahan yang terjadi ditingkat lokal bersifat kompleks. Perubahan yang terjadi tergantung pada perkembangan faktor ekonomi, demografi, teknologi, budaya dan politik (Meyfroidt et al. 2013). Arah perubahan penggunaan lahan tersebut dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan sosial (Dwiprabowo et al. 2014; Vanclay 1995). Keintegrasian antar negara yang mengakibatkan perubahan yang terjadi di internasional akan berpengaruh ke kondisi di dalam negeri sehingga turut menentukan proses pengambilan keputusan penggunaan lahan di tingkat lokal (Amsberg 1998; Lambin dan Meyfroidt 2011). Perdagangan yang terjadi berpotensi

untuk meningkatkan efisiensi penggunaan lahan yang memungkinkan terjadinya spesialisasi penggunaan lahan untuk memenuhi kebutuhan global.

Dalam pengukuran tingkat deforestasi, terdapat beberapa proksi yang sering digunakan, yaitu luas tutupan hutan yang ada (Lugo et al. 1981), luas hutan yang dibuka (Barbier et al. 2005), dan pertambahan lahan pertanian (Barbier dan Burgess 2001, Scrieciu 2007). Dalam prakteknya persaingan penggunaan lahan mendorong terhadap terjadinya deforestasi. Deforestasi didefinisikan sebagai perubahan tutupan lahan dari kelas penutupan lahan berhutan menjadi kelas penutupan non hutan. Sejumlah literatur terkait kejadian deforestasi menghipotesiskan bahwa perubahan tutupan hutan tropis merupakan hasil akhir dari adanya kompetisi dalam pengggunaan lahan, terutama antara hutan dengan pertanian tanaman pangan dan perkebunan (Barbier dan Burgess 2001). Kinerja deforestasi dinyatakan sebagai akumulasi perubahan atau konversi sumberdaya hutan pada periode waktu tertentu.

Böttcher et al. (2009) mendefinisikan deforestasi seperti yang digunakan oleh UNFCCC sebagai kegiatan konversi lahan hutan ke non-hutan yang dilakukan secara langsung oleh aktivitas manusia. Sementara itu degradasi hutan adalah perubahan kelas tutupan hutan (misal dari hutan ke belukar) yang disertai dengan penurunan kapasitas produksi. Beberapa penyebab dari degradasi hutan adalah pengambilan kayu bakar, penebangan kayu, kebakaran hutan, penggembalaan atau perladangan (Köhl et al. 2009).

Deforestasi banyak terjadi di negara berkembang terutama di negara tropis (Houghton 1991). Semakin sempitnya luas kawasan hutan tropis memunculkan rasa kekuatiran terhadap kondisi lingkungan. Alih fungsi lahan dimana deforestasi adalah komponen utamanya, menyebabkan kehilangan kekayaan biodiversitas (Benhin dan Barbier 2004), meningkatnya erosi tanah, sedimentasi dan banjir (Ewers 2006). Di samping itu, deforestasi juga menyumbang terhadap sekitar 25% emisi karbon dari aktifitas manusia (Houghton 1991). Dengan demikian mencegah deforestasi berarti menjaga kekayaan biodiversitas dan membatasi emisi gas rumah kaca ( Angelsen, Shitindi, dan Aarrestad 1999). Deforestasi didefinisikan sebagai konversi lahan hutan ke non hutan seperti pertanian (Amsberg 1998; Angelsen dan Kaimowitz 1999; Ewers 2006; Miyamoto 2006; Monela dan Solberg, 2000) dan wilayah pemukiman (Jorgenson dan Burns 2007; Miyamoto 2006; Nasendi 2000; Nawir, Murniati, dan Rumboko 2007).

Sumberdaya hutan yang ada di Indonesia merupakan modal pembangunan dan dikonversi terutama untuk lahan pertanian, pemukiman, dan pemanfaatan kayunya. Dengan demikian dapat ditentukan bahwa perubahan tutupan hutan dipengaruhi oleh penambahan lahan pertanian, pertumbuhan penduduk, dan eksploitasi hutan. Di mana kegaiatan-kegiatan tersebut merupakan penyebab langsung terhadap perubahan tutupan hutan.

Perubahan penggunaan lahan tersebut secara akumulasi berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan deforestasi adalah timbal balik, yang berarti bahwa pertumbuhan ekonomi akan mendorong terjadinya deforestasi, demikian juga sebaliknya tingkat deforestasi ini akan mempengaruhi terhadap pertumbuhan ekonomi.

Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi deforestasi sangat beragam. Perubahan hutan negara pada periode 1990-2000 dipengaruhi oleh infrastruktur, subsidi, kesempatan kerja dan tekanan penduduk (Vanclay 2005). Secara teori,

instrumen ekonomi untuk mengatur sumberdaya alam akan menyebabkan terjadinya kegagalan pasar dan kegagalan kebijakan yang pada akhirnya mendorong terjadinya deforestasi (Amsberg 1998). Secara ekonomi, masyarakat yang ingin mengkonversi hutan ke penggunaan lain akan mempertimbangkan manfaat bersih yang akan diterima relatif terhadap hutan, dimana keputusan tersebut akan dipengaruhi oleh harga input dan output, termasuk potensi biaya yang harus dikeluarkan (Angelsen 1999). Disamping itu tingkat upah dan resiko dalam pertanian akan menentukan keputusan tersebut (Upadhyay et al. 2006). Hubungan antara pembangunan ekonomi dan deforestasi telah dipelajari oleh Ewers (2006), dimana dalam studinya tersebut dihipotesiskan bahwa terdapat hubungan tertentu antara kesejahteraan dengan luas tutupan hutan, seperti disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Hubungan antara kesejahteraan nasional dan tutupan hutan

Tutupan hutan Kesejahteraan negara

Sejahtera Miskin

Tinggi Tidak berubah Deforestasi

Rendah Aforestasi Deforestasi

Sumber: Ewers (2006)

Globalisasi perekonomian berpengaruh terhadap pola penggunaan lahan. Secara teori, perdagangan bebas mendorong negara berkembang seperti Indonesia untuk melakukan spesialisasi pada produk tertentu karena kaya dengan sumberdaya alam dan tenaga kerja. Sementara itu untuk negara maju melakukan spesialisasi terhadap human-capital dan industri.

Deforestasi terus terjadi dan menyebabkan perubahan penggunaan lahan yang sangat nyata. FWI/GFW (2002) menduga bahwa luas hutan di Indonesia pada tahun 1997 seluas 95.6 juta hektar atau sekitar 50% dari luas daratan Indonesia, sekitar 181 juta hektar. Pada periode 1985-1998, laju deforestasi yang terjadi adalah sebesar 1.8 juta hektar per tahun, dan kemudian meningkat menjadi 2 juta hektar per tahun pada periode selanjutnya. Dalam perkembangannya selanjutnya terdapat kecenderungan penurunan laju deforestasi di Indonesia, dimana pada periode 2009- 2011 laju deforestasi yang terjadi sekitar 0.45 juta hektar per tahun (Kementerian Kehutanan 2013). Kecenderungan ini menunjukkan adanya proses transisi dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa keadaan sosial, ekonomi, dan kebijakan pemerintah dalam membuat aturan pembangunan suatu sektor atau pembangunan nasional dapat mengakibatkan peningkatan perubahan penggunaan lahan.

Perkembangan faktor ekonomi

Literatur terkait dengan deforestasi di hutan tropis menekankan hilangnya hutan sebagai akibat dikonversi ke lahan pertanian (Barbier dan Burgess 2001; Barbier 2004; Scrieciu 2007). Dari studi-studi yang dilakukan tersebut, dihipotesis- kan bahwa keputusan untuk menambah lahan pertanian ditentukan oleh harga-harga output dan input dan faktor lain seperti teknologi dan kebijakan pemerintah.

Barbier (2003) membahas ekspansi lahan pertanian dalam jangka panjang dan faktor penyebabnya. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya pendapatan domestik kotor (GDP) per kapita. Penyebab lainnya adalah kegagalan untuk mencapai kebijakan untuk meningkatkan efisiensi dan pengelolaan sumber daya

alam secara lestari. Antara tahun 1981–1990, deforestasi rata-rata di Amerika Latin sejumlah 7,4 juta hektar per tahun, terutama yang terjadi Amerika Selatan seluas 6.2 juta hektar per tahun. Indikator perluasan perubahan penggunaan lahan antara lain adalah luas lahan yang dipanen, produksi, persentase dari produksi tanaman dari lahan yang baru, lahan yang sudah dijadikan areal pertanian; Metodenya adalah hipotesa Kurva Lingkungan Kuznets (KLK). Awalnya KLK ini dipergunakan untuk masalah polusi. Penyebab lain adalah dari deforestasi, konversi lahan hutan, dan faktor struktur pertanian, ekonomi dan geografi. Juga perlu diperhatikan variabel makro-ekonomi, seperti pertumbuhan penduduk, hutang dan suku bunga riil. Bisa juga dilihat dari variabel kunci misalnya upah tenaga kerja, jalan, harga input, dan sebagainya.

Joachim (1994) melaporkan bagaimana pelarangan ekspor kayu bulat akan mempengaruhi deforestasi. Rendahnya harga kayu domestik dan atau pelarangan ekspor kayu dapat meningkatkan deforestasi karena areal hutan kurang menguntungkan dibandingkan dengan usaha pertanian. Sebaliknya ada juga yang berpendapat dengan rendahnya harga kayu mengakibatkan penebangankayu/ deforestasi kurang.Sebagian besar penebangan kayu berasal dari hutan alam (unmanaged forest), jadi anggapan aturan perdagangan seperti melarang ekspor kayu meningkatkan deforestasi adalah tidak konsisten dengan memaksimalkan keuntungan dari penggunaan lahan. Peningkatan pajak membuat lebih banyak sisa kayu tinggal di hutan.

Menurut Gibbs et al. (2010) bahwa permintaan global untuk produk pertanian seperti makanan, pakan, dan bahan bakar sekarang menjadi pendorong utama lahan pertanian dan padang rumput untuk terus bertambah di banyak negara berkembang. Apakah ini lahan pertanian baru menggantikan hutan, hutan yang rusak, atau padang rumput sangat mempengaruhi konsekuensi lingkungan dari ekspansi. Penelitian ini menggarisbawahi potensi konsekuensi dari ekspansi pertanian berlanjut untuk emisi konservasi hutan dan karbon.

Menurut Brown et al. (2006), dari berbagai metode yang dikembangkan di Brazil, Bolivia dan Mexico telah dikembangkan dengan menggunakan ekstrapolasi sederhana dari tren penggunaan lahan yg lalu, ekstrapolasi yang lebih kompleks berdasarkan tren penggunaan lahan akibat faktor biofisik dan sosial ekonomi. Perubahan areal hutan didekati dengan menggunakan data deret waktu dari beberapa tahun, dengan asumsi luas area tidak berhutan sepanjang waktu tersebut mengikuti pola sebaran kurva logistik sebagai peubah terikat dan jumlah penduduk sebagai pubah penjelas. Jadi perlu diketahui prediksi pertumbuhan penduduk. Keuntungan model ini lebih sederhana dan data yang diperlukan tidak terlalu banyak.

Sebagian besar literatur terkait deforestasi menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk sebagai peubah penjelas. Sejumlah hasil empiris menyimpulkan bahwa kepadatan penduduk mendorong terjadinya deforestasi (Jorgenson dan Burns 2007). Sementara itu untuk kasus Indonesia, kepadatan penduduk dihipotesiskan sebagai peubah endogen, dimana produktivitas pertanian dan akses jalan dapat meningkatkan kepadatan penduduk (Angelsen dan Kaimowitz 2001; Southgate, Sierra, dan Brown 1991). Faktor lain yang mempengaruhi kepadatan penduduk adalah kebijakan pemerintah seperti adanya program transmigrasi.

Jorgenson dan Burns (2007) menyatakan bahwa secara teori ada hubungan pertumbuhan jumlah penduduk dan degradasi lingkungan. Dibahas secara teori

antara migrasi dan perambahan di pedesaan. Sebagai tambahan, juga dianalisis pengaruh perkembangan ekonomi dalam deforestasi sambil dikontrol oleh politik dan variabel kesejahteraan sosial. Juga dipelajari dinamika penduduk pedesaan- perkotaan, dengan kombinasi dengan aspek lain dari pembangunan nasional, mempengaruhi lingkungan alam terutama pada pengurangan atau peningkatan hubungan dengan ekonomi dunia.

Barbier dan Burges (2001) melakukan suatu survey terhadap studi ekonomi dari deforestasi tropis dan penggunaan lahan. Studi konversi lahan hutan tropis ini merupakan tingkat penjelajahan. Hasilnya menunjukkan bahwa pengembangan pertanian adalah faktor utama yang menunjukkan perluasan lahan usaha, tapi faktor institusi juga sangat berpengaruh. Dalam tulisan ini juga dibahas tentang faktor yang mempengaruhi deforestasi melalui keputusan penggunaan lahan. Selain itu Andersen et al. 2002) juga menyimpulkan bahwa penyebab deforestasi antara lain pengembalaan, pertanian, penebangan hutan, dan pertambangan. Pfaff (1999) membangun model penggunaan lahan yang mengandung banyak faktor penentu deforestasi di Amazon Brazilia dengan menggunakan data tutupan hutan dan sosial ekonomi. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa penyebab utama dari terjadinya deforestasi adalah kualitas .lahan dan biaya transportasi (jarak ke pasar) yang tinggi. Di samping itu proyek pembangunan pemerintah juga nampaknya mempengaruhi penebangan hutan walaupun kredit infrastruktur tidak mempengaruhi penebangan hutan. Kepadatan penduduk tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap deforestasi ketika banyak faktor penentu diikutkan.

Menurut Bergeron dan Pender (1999), faktor penentu dari perubahan penggunaan lahan adalah faktor kesesuaian lahan. Di samping itu faktor masyarakat juga mendorong terhadap terjadinya perubahan penggunaan lahan terkait dengan kebutuhan lahan untuk ekstesifikasi lahan pertanian. Dengan mengembangkan model ekonometrik, disimpulkan bahwa ekstensifikasi penggunaan lahan dipengaruhi oleh faktor biofisik seperti altitude dan kemiringan, sistem tenurial, sumber daya manusia, perbantuan teknis, jalan dan pertumbuhan penduduk.

Geist dan Lambin (2003) menyatakan bahwa salah satu penyebab utama terjadinya perubahan lingkungan secara global adalah akibat deforestasi hutan tropis. Namun demikian, hingga saat ini pertanyaan faktor apa saja yang mendorong terjadinya deforestasi belum terjawab dan masih terus menjadi perdebatan. Hasil analisis dari 152 studi kasus menunjukkan bahwa faktor yang mendorong terjadinya deforestasi hutan tropis antara lain adalah faktor ekonomi, kelembagaan, politik nasional, perkembangan pertanian, penebangan kayu, dan pengembangan infrastruktur. Namun demikian, hasil analisis dalam kajian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk dan perubahan pola pertanian adalah dua penyebab utama terjadinya deforestasi. Selain itu, deforestasi juga disebabkan oleh aktifitas manusia terutama aktifitas masyarakat lokal dalam pengelolaan pertanian yang berdampak langsung terhadap tutupan lahan. Permasalahan sosial juga menjadi faktor yang penting sebagai pendorong deforestasi seperti dinamika populasi manusia dan kebijakan dalam sektor pertanian.

Parameter lain yang turut menyebabkan terjadinya deforestasi adalah faktor harga kayu. Larangan ekspor kayu bulat yang diberlakukan dibeberapa negara berkembang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah produk kayu olahan domestik, turut mempengaruhi deforestasi. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan harga kayu domestik yang rendah menyebabkan keuntungan yang diterima dari

komoditi hutan menjadi rendah dibandingkan dengan jika lahan tersebut digunakan sebagai peruntukan yang lain, seperti pertanian (Amsberg 1998).

Secara garis besar, hubungan rantai proses deforestasi dan emisi CO2 terdiri

atas faktor-faktor tidak langsung yang menyebabkan deforestasi yang terdiri atas pendapatan per kapita, kebijakan ekonomi, faktor- faktor struktural yang terukur, spesific country yang tidak terukur, dan kondisi ekonomi global. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi lahan pertanian dan pembangunan jalan yang merupakan dua faktor langsung yang menyebabkan deforestasi. Kedua faktor tersebut (lang- sung dan tidak langsung) mempengaruhi tutupan lahan, dan pada akhirnya menentukan jumlah emisi CO2 (López dan Galinato 2005).

Dari berbagai literatur tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan penggunaan lahan dipengaruhi oleh banyak faktor. Dari uaraian di atas juga dapat dilihat bahwa perubahan penggunaan lahan lebih banyak dilihat bagaimana tutupan hutan berubah karena konversi ke pertanian. Oleh karena itu dalam penelitian ini persaingan penggunaan lahan untuk hutan, perkebunan, tanaman pangan dan pertambangan dengan menembangkan model sistem persamaan simultan yang menggambarkan persaingan antar penggunaan lahan tersebut.

METODOLOGI