• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mata pencaharian eksploitasi kayu hutan

Dalam dokumen IV. HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 60-64)

4.8. Karakteristik mata pencaharian nelayan

4.8.3. Mata pencaharian eksploitasi kayu hutan

Eksploitasi kayu hutan menjadi salah satu mata pencaharian alternatif yang bersifat musiman bagi sebagian nelayan di lokasi penelitian. Nelayan responden di Petuk Ketimpun yang melakukan eksploitasi kayu hutan sekitar 80 %, sedangkan nelayan responden di Marang sekitar 33,33 %. Nelayan di Marang lebih sedikit yang melakukan eksploitasi kayu dibanding dengan nelayan di Petuk Ketimpun. Nelayan Marang yang melakukan eksploitasi kayu terutama nelayan yang tergolong miskin.

Persentase nelayan Petuk Ketimpun yang mengeksploitasi kayu lebih tinggi, karena yang melakukan tidak hanya yang tergolong miskin dan pembeli atau pengumpul kayu ada di desa tersebut sehingga nelayan lebih mudah menjual kayu di Petuk Ketimpun.

Usaha eksploitasi kayu hutan yang dilakukan oleh masyarakat nelayan ini termasuk tindakan penebangan liar (illegal logging). Menurut masyarakat nelayan di lokasi penelitian, eksploitasi kayu hutan dilakukan oleh masyarakat desa terutama mulai tahun 1999. Lokasi eksploitasi terbatas pada hutan di sekitar wilayah desa, karena apabila mencari kayu terlalu jauh akan berdampak pada peningkatan biaya bahan bakar (bensin atau solar) yang dipergunakan untuk perahu mereka. Kawasan 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat dari danau merupakan kawasan perlindungan setempat. Demikian juga kawasan 100 m kiri dan kanan sungai besar, dan 50 m kiri dan kanan sungai kecil merupakan kawasan perlindungan setempat (Pemerintah Kota Palangkaraya 2004). Kawasan perlindungan setempat ini termasuk wilayah yang menjadi tempat eksploitasi kayu oleh nelayan.

4.8.3.1. Teknik eksploitasi kayu hutan

Usaha eksploitasi kayu hutan dilakukan pada waktu musim air tinggi, ketika hutan – hutan di wilayah desa terendam air. Waktu musim air tinggi yang terjadi setiap tahun yang memungkinkan dilakukan eksploitasi kayu, berlangsung tidak lama. Berdasarkan wawancara dengan responden, eksploitasi kayu dapat dilakukan hanya berkisar antara 7 – 20 hari dalam 1 (satu) tahun (Lampiran 17) dan dilakukan antara bulan Desember hingga Februari, tergantung distribusi curah hujan waktu itu. Kondisi air tinggi sangat diperlukan bagi para penebang pohon hutan. Kondisi air tinggi memungkinkan perahu pencari kayu bisa memasuki wilayah hutan dan juga memungkinkan pengangkutan kayu yang sudah dipotong dilakukan melalui jalur air. Kayu yang diperoleh diikat dalam bentuk rakit, kemudian ditarik dengan perahu motor. Penebangan pohon hutan yang dilakukan oleh masyarakat nelayan menggunakan cara manual dengan kapak dan juga menggunakan gergaji mesin.

Jenis kayu yang dieksploitasi meliputi kayu blangiran, meranti, jingah, dan takapas. Saat ini sudah semakin sulit untuk menemukan pohon berukuran besar di hutan rawa sekitar desa. Ukuran diameter batang pohon di hutan rawa sekitar 72,59 % berukuran 10 – 35 cm, sedangkan yang berukuran lebih dari 35 cm sekitar 27,41 %.

Diameter batang pohon yang banyak diekploitasi berukuran 20 cm. Kayu takapas dieksploitasi hanya digunakan untuk kayu bakar, sedangkan jenis lainnya untuk kayu bangunan dan meubel.

4.8.3.2. Tingkat eksploitasi kayu hutan

Lokasi eksploitasi kayu pada umumnya di hutan rawa. Eksploitasi kayu hutan rawa terutama dilakukan mulai tahun 1999. Rata- rata kayu yang diperoleh selama satu tahun sekitar 17 meter kubik / nelayan (Petuk Ketimpun) dan 17,8 meter kubik / nelayan (Marang). Estimasi jumlah kayu yang dieksploitasi di Petuk Ketimpun sekitar 1536,8 kubik / tahun dan di Marang sekitar 789,1 kubik / tahun. Jumlah pohon yang dieksploitasi dari wilayah Petuk Ketimpun sekitar 6508 pohon / tahun dan dari wilayah Marang sekitar 3034 pohon / tahun.

4.8.3.3. Dampak eksploitasi kayu hutan

Dampak eksploitasi kayu hutan terhadap habitat ikan meliputi : (1) Perubahan kualitas air terutama meningkatnya suhu perairan. Selisih suhu rata-rata antara perairan rawa lebak yang terbuka dengan yang tertutup sekitar 2 0 C. (2) Perubahan struktur habitat yang mengakibatkan penurunan peranan hutan rawa sebagai tempat perlindungan ikan dari pemangsaan dan penangkapan (Hoggarth et al. 1999). (3) Perubahan ketersediaan pakan alami. Hutan mendukung berlimpahnya pakan alami ikan, terutama makrozoobenthos. Rawa yang terbuka memiliki kelimpahan makrozoobenthos yang lebih rendah dibanding rawa yang berhutan (Lampiran 10). Wright & Flecker (2004) menemukan bahwa penggundulan hutan berdampak negatif pada keanekaragaman ikan. Keterkaitan hutan dan materi makanan ikan di rawa lebak sangat erat. Sumber makanan ikan berasal dari hutan baik materi dari tumbuhan (biji, daun, buah) maupun organisme hutan lainnya seperti insekta, kotoran mamalia (Chapman & Chapman 2003). Beberapa dampak negatif yang dirasakan secara langsung oleh nelayan akibat aktifitas penebangan pohon hutan adalah : jaring nelayan sering rusak akibat tersangkut ranting-ranting pohon yang ditumbangkan dan terganggu oleh lalulalang perahu para penebang kayu. Demikian juga, perahu nelayan kadang – kadang tidak bisa melewati beberapa anak sungai akibat ditutup oleh kumpulan rakit

balok kayu dan sisa tebangan pohon yang ditinggalkan begitu saja di lingkungan perairan.

4.8.3.4. Faktor - faktor pendorong eksploitasi kayu hutan

Faktor - faktor pendorong eksploitasi kayu hutan yang dilakukan oleh nelayan di Petuk Ketimpun dan Marang antara lain :

1. Kurangnya pendapatan waktu tidak musim ikan

Nelayan yang melakukan kegiatan eksploitasi kayu hutan cenderung yang memiliki alat tangkap jaring insang yang sedikit. Nelayan yang memiliki jaring insang yang sedikit tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya selama tidak musim ikan, sehinga mereka melakukan eksploitasi kayu hutan. Bene & Neilard (2004) menemukan kondisi yang hampir sama pada nelayan di kawasan delta Chari danau Chad Afrika, yaitu nelayan yang cenderung melakukan kegiatan eksploitasi kayu adalah kelompok nelayan dengan pendapatan paling rendah. 2. Kurangnya pengetahuan lingkungan rawa lebak

Sebagian besar responden tidak mengetahui bahwa penebangan pohon hutan rawa berdampak negatif pada keberlanjutan sumberdaya ikan. Nelayan responden di Petuk Ketimpun yang mengetahui hanya 10 %, bahkan di Marang tidak ada sama sekali responden yang mengetahui. Ketidaktahuan ini merupakan salah satu sebab berlanjutnya eksploitasi kayu hutan yang dilakukan oleh nelayan.

3. Sikap nelayan tentang pemanfaatan sumberdaya hutan

Sikap nelayan terhadap pemanfaatan pohon hutan juga menjadi penyebab berlanjutnya eksploitasi kayu hutan. Sebagian besar responden (90,00 % di Petuk Ketimpun dan 83,33 % di Marang) setuju apabila hutan dimanfaatkan kayunya untuk dijual. Menurut Almeida et al. (2004), nilai ekonomi hasil tangkapan ikan nilainya dua kali lipat dibandingkan kayu hutan pada luasan rawa lebak yang sama. Dengan demikian sebenarnya nelayan lebih diuntungkan apabila mereka tidak melakukan penebangan pohon hutan.

4. Penggunaan kayu sebagai bahan bakar

Mulai tahun 2004 sebagian besar masyarakat nelayan mulai beralih menggunakan kayu bakar untuk menggantikan minyak tanah untuk memasak. Sekitar 90,00 % responden di Petuk Ketimpun dan 86,67 % di Marang menggunakan kayu bakar.

Kondisi ini dipicu oleh kelangkaan dan meningkatnya harga minyak tanah di masyarakat pada saat itu. Dampak adanya kebutuhan akan kayu bakar adalah munculnya usaha menjual kayu bakar. Kayu bakar yang dijual berasal dari jenis kayu takapas yang dieksploitasi nelayan di rawa hutan. Eksploitasi dilakukan pada pohon dengan ukuran diameter minimal 15 cm.

5. Rendahnya penegakan hukum

Responden yang melakukan eksploitasi kayu telah mengetahui bahwa tindakan mereka melanggar hukum. Namun mereka jarang mengalami tindakan penegakan hukum oleh aparat pemerintah, karena lemahnya kontrol dari aparat dan adanya oknum aparat yang dapat disuap. Kontrol dari aparat lemah, karena lokasi desa nelayan sulit dicapai karena buruknya jalan, dan wilayah hutan rawa yang luas.

4.8.3.5. Pendapatan dari eksploitasi kayu hutan

Kegiatan eksploitasi kayu hutan merupakan mata pencaharian alternatif yang bersifat musiman dan hanya memberikan kontribusi yang kecil saja terhadap pendapatan nelayan. Biaya rata - rata yang dikeluarkan untuk kegiatan eksploitasi kayu Rp 221.739 / th / nelayan (Petuk Ketimpun) dan Rp 175.800 / th / nelayan (Marang). Kayu hutan yang diperoleh nelayan Petuk Ketimpun dan Marang dijual kepada pengumpul yang berada di Petuk Ketimpun. Dengan harga jual berkisar antara Rp 50.000 s/d Rp 60.000,/ m3, nelayan memperoleh keuntungan Rp 743.043 / th (Petuk Ketimpun) dan Rp 847.200 / th (Marang). Keuntungan eksploitasi kayu hutan memberikan kontribusi peningkatan pendapatan nelayan dari menangkap ikan pada saat tidak musim ikan sekitar 13,63 % (Petuk Ketimpun) dan 18,87 % (Marang).

Dalam dokumen IV. HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 60-64)