• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran umum wilayah penelitian

Rawa berhutan menggenangi sekitar 3 km dari pinggir sungai ke arah daratan. Pohon hutan pada umumnya berukuran kecil (diameter kurang dari 35 cm), karena banyaknya penebangan liar. Hutan sepanjang sungai Rungan menjadi salah satu tempat penebangan liar tersebut. Berdasarkan tata ruang Kota Palangkaraya, wilayah pada 100 meter dari kiri dan kanan sungai, dan 50 – 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat dari rawa terbuka, merupakan kawasan perlindungan setempat (Pemko Palangkaraya 2004). Rawa terbuka pada umumnya merupakan sungai terputus (oxbow). Masyarakat lokal menyebut ekosistem ini sebagai danau. Rawa terbuka merupakan rawa permanen, yaitu selalu tergenang air sepanjang musim. Sebagian rawa terbuka akan terputus hubungan kanalnya dengan sungai pada saat musim kemarau. Terdapat beberapa rawa terbuka di Petuk Ketimpun, yaitu rawa Hanjalantung, Burung, Rangas, dan Rawet. Rawa Hanjalantung, Rangas dan Rawet tetap terhubung dengan sungai meskipun musim kemarau, sedangkan rawa Burung terputus hubungan dengan sungai pada saat musim kemarau. Pada musim kemarau luas genangan rawa terbuka berkurang dan menjadi sangat dangkal. Di rawa Hanjalantung luas genangan berkurang menjadi sekitar 40 - 50 % dari luas semula.

Penelitian aspek sosial ekonomi dilakukan di kampung nelayan di Kelurahan Petuk Ketimpun dan Kelurahan Marang. Luas wilayah Kelurahan Petuk Ketimpun 59,75 km2 dengan kepadatan penduduk 28,55 jiwa / km2 (Pemko Palangkaraya 2004). Luas

perairan rawa lebak di Petuk Ketimpun 44,68 km2 (Dinas Perikanan Kota Palangkaraya

1992) atau 74,77 % dari luas wilayah Kelurahan. Lokasi kampung nelayan berada di pinggir sungai Rungan pada koordinat 113°53’ LS dan 2°07’ BT. Penduduk Petuk Ketimpun pada tahun 2006 berjumlah 1771 jiwa dengan jumlah keluarga 411 KK. Keluarga nelayan berjumlah 113 KK atau 27,49 %. Luas wilayah Kelurahan Marang 124 km2 dengan kepadatan penduduk 5,88 jiwa / km2. Kampung nelayan di Kelurahan

Marang berada di pinggir sungai Rungan pada koordinat 113°47’ LS dan 2°02’ BT. Wilayah ini berada pada ketinggian 15 meter diatas permukaan laut. Luas perairan rawa lebak di Marang 40,84 km2 (Dinas Perikanan Kota Palangkaraya 1992) atau

(2)

32,94 % dari luas wilayah Kelurahan. Penduduk Marang pada tahun 2006 berjumlah 844 jiwa dengan jumlah keluarga 244 KK. Sekitar 133 KK (54,51 %) memiliki matapencaharian sebagai nelayan. Masyarakat nelayan tinggal di rumah model panggung (Lampiran 2), karena pada musim hujan kawasan pemukiman mereka akan terendam air luapan sungai Rungan hingga mencapai 1,5 meter. Lokasi kampung nelayan dengan pemukiman kelompok masyarakat lain dalam satu Kelurahan berjauhan (sekitar 3 – 6 km). Lokasi kampung nelayan terhubung dengan pemukiman lain dalam satu kelurahan melalui jalan tanah yang pada musim hujan akan terputus karena jalan tersebut terendam banjir.

Produksi perikanan di Kota Palangkaraya berasal dari budidaya dan penangkapan di perairan umum. Budidaya terutama dilakukan di karamba yang diletakkan di pinggir sungai Kahayan dan Rungan. Sebagian nelayan di Petuk Ketimpun dan Marang mengusahakan budidaya ikan di karamba sebagai pekerjaan alternatif selain menangkap ikan. Produksi ikan budidaya dari karamba tahun 2005 di Kota Palangkaraya 851,12 ton. Produksi ikan dari penangkapan di perairan umum tahun 2005 di Kota Palangkaraya 1910,98 ton. Hasil penangkapan ikan di perairan sungai 43,22 kg / ha / tahun, rawa terbuka 792,65 kg / ha / tahun dan rawa berhutan/rumput 9,60 kg / ha / tahun. (Dinas Pertanian Kota Palangkaraya 2006). Seluruh kecamatan di Kota Palangkaraya memiliki kontribusi terhadap produksi ikan dari penangkapan di perairan umum. Namun demikian 55 % tangkapan berasal dari Kecamatan Bukit Batu dan Jekan Raya. Pada Kecamatan Bukit Batu, kontribusi utama hasil tangkapan ikan berasal dari Kelurahan Marang dan Tangkiling. Sedangkan di Kecamatan Jekan Raya, kontribusi utama hasil tangkapan berasal dari Kelurahan Petuk Ketimpun. Jumlah rumah tangga nelayan di Kota Palangkaraya 856 rumah tangga, sedangkan yang mengusahakan budidaya ikan 1214 rumah tangga (Dinas Pertanian Kota Palangkaraya 2006).

4.1.1. Stasiun penelitian

Gambar kondisi perairan di stasiun 1, 2, dan 3 disajikan pada Lampiran 2. Stasiun 1 merupakan habitat ikan dengan bertipe perairan rawa berhutan yang terletak pada koordinat 113°51’23’’ dan 2°6’33’’ BT. Air sungai Rungan dapat mengalir ke kawasan rawa berhutan ini melalui sungai Pelintung Besar (anak sungai Rungan).

(3)

Berdasarkan analisa kerapatan pohon yang telah dilakukan, diketahui rata-rata kerapatan pohon di stasiun ini 629 pohon/hektar yang terdiri dari pohon muda 456 pohon/hektar dan pohon dewasa 173 pohon/hektar (Lampiran 3). Kerapatan pohon ini lebih rendah dibanding dengan hutan rawa gambut di Taman Nasional Tanjung Puting dengan kerapatan pohon sekitar 728 pohon /ha (Mirmanto et al. 2000). Diameter batang pohon maksimal yang tercatat di lokasi penelitian 58 cm. Suzuki et al. (2000) mendapatkan diameter batang pohon maksimal di hutan rawa gambut di Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah 70 cm. Diameter batang pohon di lokasi penelitian lebih kecil dibandingkan di hutan rawa gambut Kabupaten Kapuas. Rendahnya kerapatan pohon dengan ukuran diameter batang pohon yang kecil di lokasi penelitian ini, diduga akibat dari penebangan liar yang terus berlanjut di lokasi tersebut. Pada saat musim kemarau, sebagian besar wilayah rawa berhutan menjadi kering. Perairan yang masih ada di dalam hutan tersebut terbatas pada alur – alur sungai Pelintung Besar. Pada saat musim hujan, air menggenangi seluruh rawa. Pada saat musim hujan ditemukan vegetasi air seperti Salvinia molesta dan Eichornia crassipes dengan luas penutupan kurang dari 5%. Hal ini diduga disebabkan oleh terbatasnya penetrasi cahaya matahari akibat tertutup kanopi hutan. Rawa berhutan di sekitar sungai Pelintung Besar merupakan salah satu lokasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan setempat.

Stasiun 2 merupakan habitat ikan dengan bertipe perairan rawa terbuka (danau oxbow). Rawa Hanjalantung merupakan perairan oxbow (sungai mati) yang terhubung secara langsung dengan sungai Rungan dengan 2 kanal. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, rawa Hanjalantung merupakan salah satu tempat aktivitas penangkapan ikan di Petuk Ketimpun. Luas rawa Hanjalantung 20 ha pada batas tanah yang ditumbuhi pohon. Luas perairan rawa terbuka ini berubah – ubah berdasarkan musim. Pada puncak musim kemarau, rawa ini menjadi sangat surut. Daerah yang digenangi air hanya sekitar 50 %, terutama di tengah rawa yang lebih dalam. Meskipun dalam kondisi surut, rawa ini tetap terhubung dengan sungai Rungan. Sebaliknya pada puncak musim hujan, perairan rawa ini meluas, bahkan sampai menggenangi hutan disekitarnya. Pada waktu musim hujan ini, kawasan rawa terbuka dan rawa berhutan terhubung oleh banjiran air. Vegetasi air tidak tumbuh meluas di rawa terbuka ini. Vegetasi air terapung Salvinia molesta hanya ditemukan dalam jumlah yang kecil (penutupan kurang dari 5 %) di perairan yang dangkal dekat kanal.

(4)

Vegetasi air tidak bisa berkembang meluas di stasiun 2 maupun stasiun 1. Hal ini disebabkan oleh fluktuasi tinggi air. Menurut Bayley & Prather (2003) kelimpahan vegetasi air akan menurun seiring dengan peningkatan frekuensi banjiran.

Stasiun 3 merupakan habitat ikan bertipe perairan sungai. Stasiun 3 terletak di sungai Rungan. Lebar sungai Rungan di stasiun 3 sekitar 80 meter. Sungai Rungan pada waktu musim kemarau tinggi permukaannya akan menurun, sebaliknya pada musim hujan tinggi permukaan akan meningkat hingga menggenangi wilayah di sisi kiri kanan sungai. Stasiun 3 merupakan lokasi yang dilewati oleh aktivitas transportasi air seperti perahu nelayan, kapal penumpang antar daerah, kapal barang, dan kapal yang menarik kayu. Sungai Rungan juga merupakan tempat aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan setempat.

4.2. Kondisi fisik kimiawi perairan

Hasil pengamatan parameter fisik kimiawi air di semua stasiun penelitian dirangkum pada Tabel 3, sedangkan selengkapnya disajikan pada Lampiran 4. Seluruh parameter mengalami fluktuasi berdasarkan bulan pengamatan. Fluktuasi bulanan ini terjadi karena adanya perubahan musim hujan dan kemarau yang mempengaruhi kondisi fisik kimiawi perairan.

4.2.1. Kedalaman perairan

Kedalaman perairan berfluktuasi bulanan yang cenderung mengikuti perubahan intensitas curah hujan (Gambar 3). Data curah hujan disajikan pada Lampiran 5. Kedalaman minimal pada saat puncak musim kemarau yaitu pada bulan Agustus 2005. Rawa lebak di lokasi penelitian memiliki kedalaman berkisar antara 0,61 – 5,34 meter. Berdasarkan kondisi kedalaman perairan, maka bulan dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu musim air rendah dan musim air tinggi. Musim air rendah adalah bulan ketika kedalaman perairan cenderung dangkal yang terjadi pada bulan Juni - Oktober (5 bulan). Musim air tinggi adalah bulan ketika kedalaman perairan cenderung lebih dalam yang berlangsung pada bulan November - Mei (7 bulan).

(5)

Tabel 3. Kualitas fisik kimiawi perairan pada bulan Mei 2005 – April 2006 No Parameter Rata – rata dan kisaran nilai pengamatan

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 1. Kedalaman air (cm) (73,5 – 289,5) 192,6 (61,3 – 534,0) 295,8 (123,3 – 597,3) 350,6 2. Suhu air (°C) (27,0 – 29,7) 28,4 (29,2 – 31,7) 30,4 (27,2 – 29,8) 28,5 3. Kecerahan air (cm) (18,0 – 65,8) 46,0 (27,8 – 82,5) 51,3 (17,5 – 49,0) 33,1 4. PTT (mg/l) (29,0 – 143,5) 62,4 (22,3 – 104,8) 55,7 (54,8 – 155,5) 100,4 5. pH (skala pH) (5,23 – 6,63) 5,80 (4,90 – 7,35) 5,74 (5,43 – 7,50) 6,13 6. O2 terlarut (mg/l) (1,40 – 2,95) 2,18 (1,93 – 5,88) 4,10 (2,33 – 6,40) 4,25 7. CO2 terlarut (mg/l) (22,97 – 39,33) 30,21 (18,48 – 46,69) 28,92 (13,48 – 32,84) 23,70 8. NH3 –N (mg/l) (0,589 – 1,803) 1,072 (0,444 – 1,358) 0,805 (0,771 – 2,359) 1,373 9. NO2 –N (mg/l) (0,002 – 0,014) 0,006 (0,002 – 0,014) 0,006 (0,002 – 0,006) 0,003 10. NO3 –N (mg/l) (0,482 – 1,475) 0,972 (0,448 – 1,371) 0,929 (0,666 – 2,038) 1,324 11. PO4 –P (mg/l) (0,046 – 0,142) 0,085 (0,009 – 0,026) 0,016 (0,097 – 0,298) 0,193

Fluktuasi kedalaman air mempengaruhi ritme kehidupan ikan di rawa lebak. Pada puncak musim air rendah (bulan Agustus), kedalaman air mencapai minimal. Rata – rata kedalaman di rawa berhutan dan rawa terbuka kurang dari 75 cm. Sebagian wilayah rawa berhutan dan rawa terbuka menjadi kering (tidak berair). Perairan yang dangkal akan menyebabkan suhu perairan cepat meningkat. Ikan yang berada di rawa berhutan dan rawa terbuka akan bermigrasi ke perairan sungai yang lebih dalam pada saat itu. Ikan yang tidak keluar dapat mati terjebak di kubangan di rawa. Pada saat musim air tinggi, perairan rawa menjadi lebih dalam dan ikan sungai akan bermigrasi memasuki perairan rawa berhutan maupun rawa terbuka. Ikan bermigrasi ke rawa untuk berreproduksi maupun untuk mencari makanan. Air yang mengalir memasuki rawa lebak membawa berbagai materi organik dari daratan yang menjadi sumber makanan bagi ikan (Hoggarth et al. 1999). Kedalaman saat puncak musim air rendah di rawa berhutan 73,5 cm, sedangkan di rawa terbuka 61,3 cm. Sebagian besar wilayah rawa menjadi kering. Kondisi rawa yang kering pada musim

(6)

kemarau merupakan faktor pembatas kehidupan ikan di ekosistem rawa (Payne 1986). Kondisi rawa yang masih memiliki sebagian wilayah yang berair selama musim kemarau akan mendukung kehidupan ikan blackfish. Wilayah tersebut menjadi tempat pengungsian ikan rawa selama musim air rendah. Ikan ini merupakan jenis ikan yang menetap di perairan rawa. Meskipun kondisi perairan menjadi dangkal pada saat kemarau, ikan blackfish masih dapat hidup karena memiliki organ pernafasan tambahan (Hoggarth et al. 1999). Ikan lain yang tidak memiliki adaptasi terhadap kondisi kualitas air rawa selama musim air rendah akan mengungsi ke perairan sungai sebelum rawa menjadi kering dan kondisi kualitas air menurun.

Gambar 3. Kedalaman perairan dan intensitas curah hujan pada Mei 2005 – April 2006

4.2.2. Suhu perairan

Fluktuasi suhu perairan selama penelitian ditunjukkan oleh Gambar 4. Fluktuasi suhu perairan rawa lebak cenderung dipengaruhi oleh musim. Suhu perairan rawa lebak cenderung lebih tinggi pada saat musim air rendah dibanding saat musim air tinggi. Rata – rata suhu perairan rawa terbuka lebih tinggi dibanding rawa berhutan dan sungai, karena penetrasi cahaya matahari lebih intensif dibandingkan di rawa

0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00 350.00 400.00 450.00 500.00 550.00 600.00 650.00 5/05 6/05 7/05 8/05 9/05 10/05 11/05 12/05 1/06 2/06 3/06 4/06 Bulan K ed al am an (c m ) d an c ur ah h uj an (m m ) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 curah hujan

(7)

berhutan yang tertutup oleh kanopi pohon hutan. Sungai airnya mengalir, sehingga suhunya lebih rendah dibandingkan rawa terbuka yang tidak mengalir. Suhu rawa di lokasi lain di Palangkaraya pada umumnya tidak jauh berbeda dengan lokasi penelitian ini. Suhu rawa terbuka Rengas 26,3 – 30,8 0C, Lutan 26,9 – 30,6 0C, dan Takapan

26,7 – 33,6 0C (Sulastri & Hartoto 2000).

Gambar 4. Rata-rata suhu perairan pada bulan Mei 2005 – April 2006

Suhu perairan merupakan salah satu faktor pembatas kehidupan ikan di rawa. Pada saat kemarau suhu perairan rawa cenderung lebih tinggi akibat rawa yang dangkal. Suhu perairan selama penelitian berkisar antara 26 – 35 oC. Perbedaan suhu

pagi (jam 07.00) dan siang (jam 14.00) di rawa terbuka cenderung lebih besar dibandingkan di rawa berhutan dan sungai (Gambar 5). Rawa berhutan lebih mendukung kehidupan ikan rawa dibandingkan rawa terbuka, karena cenderung memiliki fluktuasi suhu harian yang lebih kecil. Sungai memiliki fluktuasi suhu harian yang paling kecil, karena airnya mengalir.

25.00 26.00 27.00 28.00 29.00 30.00 31.00 32.00 33.00 5/05 6/05 7/05 8/05 9/05 10/05 11/05 12/05 1/06 2/06 3/06 4/06 Bulan S u h u A ir ( C ) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

(8)

Gambar 5. Perbedaan suhu perairan antara pagi dan siang pada bulan Mei 2005 – April 2006

4.2.3. Kecerahan air dan padatan tersuspensi total

Kecerahan air dan padatan tersuspensi total (PTT) memiliki keterkaitan yang erat. Kecerahan air yang diukur dengan menggunakan keping secchii dipengaruhi oleh jumlah padatan tersuspensi di perairan tersebut. Semakin besar nilai padatan tersuspensi total, maka kecerahan air akan menjadi semakin rendah. Materi padatan tersuspensi dalam perairan dapat berupa bahan organik, lumpur, maupun plankton. Kecerahan dipengaruhi oleh padatan tersuspensi maupun padatan terlarut. Perairan gambut memiliki warna air yang coklat akibat dari materi gambut seperti asam humic yang terlarut (Andrews & McEwan 1987). Warna air yang gelap akan mengurangi kecerahan air.

Kecerahan air di lokasi penelitian berkisar antara 17,5 – 82,5 cm (Tabel 3). Hasil pengamatan kecerahan air tidak jauh berbeda dengan pengamatan yang dilakukan oleh Sulastri & Hartoto (2000) di Rawa Rengas, Lutan dan Takapan di Palangkaraya yaitu berkisar antara 13 – 82 cm. Menurut Poully & Rodriguez (2004), kecerahan air 20 cm merupakan batas terendah untuk ikan predator melihat mangsa. Kecerahan air cenderung berkaitan dengan musim. Pada musim air tinggi, kecerahan cenderung tinggi, sedangkan pada saat musim air rendah, kecerahan cenderung rendah (Gambar 6). 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 5/05 6/05 7/05 8/05 9/05 10/05 11/05 12/05 1/06 2/06 3/06 4/06 Bulan P er be da an s uh u ai r pa gi d an s ia ng ( o C ) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

(9)

Gambar 6. Kecerahan air pada bulan Mei 2005 – April 2006

Kadar PTT di lokasi penelitian berkisar antara 22,3 – 155,5 mg/l. Kadar PTT di lokasi penelitian tidak jauh berbeda dengan rawa lebak lainnya di Palangkaraya seperti di rawa Rengas 147,1 mg/l, rawa Lutan 164 mg/l dan rawa Takapan 105,6 mg/l (Hartoto & Awalina 2000). Kadar PTT di lokasi penelitian masih dalam batas dapat ditoleransi oleh ikan. Menurut Boyd (1982) ikan akan mengalami kematian apabila PTT mencapai 175.000 mg/l. Fluktuasi kadar PTT selama penelitian disajikan pada Gambar 7. Kadar PTT cenderung tinggi pada saat musim air rendah. Pada saat musim air tinggi, kadar PTT cenderung lebih rendah. Pada saat air sungai menjadi dangkal, lumpur di dasar terbawa arus yang menyebabkan meningkatnya padatan tersuspensi pada musim air rendah. Peningkatan kadar PTT air sungai akan cenderung diikuti peningkatan kadar PTT pada rawa berhutan dan rawa terbuka, karena air sungai mengaliri rawa lebak disekitarnya. Pada musim air tinggi kadar PTT lebih baik dibanding musim air rendah untuk kehidupan ikan dan kadar PTT di stasiun 1 dan 2 lebih baik dibanding stasiun 3 untuk kehidupan ikan.

Stasiun 3 memiliki padatan tersuspensi lebih tinggi karena mendapat masukan materi PTT dari hulu sungai. Materi daratan yang tererosi akan masuk ke sungai. Menurut Mackinnon et al. (2000) peningkatan PTT di sungai Kalimantan terutama akibat dari penggundulan hutan. Ketika air sungai masuk ke rawa lebak (Stasiun 1

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 5/05 6/05 7/05 8/05 9/05 10/05 11/05 12/05 1/06 2/06 3/06 4/06 Bulan K ec er ah an a ir (c m ) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

(10)

dan 2), padatan tersuspensi memiliki kesempatan untuk mengendap di rawa lebak tersebut sehingga cenderung kadar PTT semakin rendah.

Gambar 7. Kadar padatan tersuspensi total pada bulan Mei 2005 – April 2006

4.2.4. pH perairan

Perairan rawa cenderung bersifat asam (pH kurang dari 7). Rata – rata pH di lokasi penelitian 5,8 (Stasiun 1); 5,74 (Stasiun 2); dan 6,13 (Stasiun 3). Kondisi perairan rawa lebak di Palangkaraya pada umumnya bersifat asam karena mengandung senyawa gambut. pH beberapa rawa lebak lain di Palangkaraya berkisar antara 4,03 – 6,34 skala pH (Sulastri & Hartoto 2000)

Fluktuasi pH perairan selama penelitian disajikan pada Gambar 8. Kondisi asam mendominasi hasil pengamatan pH tiap bulan. pH di atas 7 terjadi hanya pada pengamatan bulan 10 di Stasiun 2 dan 3, diakibatkan oleh curah hujan yang tinggi, dan air sungai dari hulu yang tidak bersifat asam mengalir dalam jumlah yang besar ke wilayah penelitan. Pada pengamatan selain bulan 10, pH perairan berkisar antara 4,8 – 6,7.

Perbedaan pH antara pagi dan siang tidak terlalu besar, sehingga tidak mengganggu kehidupan ikan. Pada stasiun 1 perbedaan pH pagi dan siang berkisar antara 0 – 0,5 skala pH, sedangkan pada stasiun 2 berkisar antara 0 – 0,2 skala pH dan pada stasiun 3 berkisar antara 0 – 0,55 skala pH. Perairan black water bersifat masam, sehingga ikan yang hidup di perairan tersebut hanya jenis ikan yang memiliki kemampuan adaptasi hidup di perairan yang bersifat masam.

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00 160.00 180.00 5/05 6/05 7/05 8/05 9/05 10/05 11/05 12/05 1/06 2/06 3/06 4/06 Bulan K ad ar P TT (m g/ l) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

(11)

Gambar 8. pH perairan pada bulan Mei 2005 – April 2006

4.2.5. Kadar oksigen dan karbondioksida terlarut

Kadar oksigen terlarut cenderung berbanding terbalik dengan karbondioksida terlarut. Perairan rawa cenderung memiliki kadar oksigen yang rendah dan karbondioksida yang tinggi, karena adanya proses dekomposisi bahan organik yang mengkonsumsi oksigen dan melepaskan karbondioksida.

Kadar oksigen terlarut di stasiun 1 cenderung lebih rendah dibanding stasiun 2 dan 3 untuk seluruh bulan pengamatan (Gambar 9). Kadar oksigen terlarut di stasiun 1 lebih rendah, karena adanya dekomposisi materi organik dari pohon hutan dan terbatasnya aktivitas fotosintesis fitoplankton akibat tertutup kanopi pohon hutan. Oksigen terlarut stasiun 1 berkisar antara 1,40 - 2,95 mg/l, sedangkan stasiun 2 dan 3 berkisar antara 1,93 – 6,40 mg/l. Kadar oksigen terlarut di lokasi penelitian tidak jauh berbeda dibandingkan dengan hasil pengamatan di rawa lebak lainnya di Kota Palangkaraya yaitu berkisar antara 1,12 – 6,25 mg/l (Sulistiyarto 1998; Sulastri & Hartoto 2000; Harteman 2001; 2002). Perbedaan kadar oksigen antara pagi dan siang di stasiun 1 berkisar antara 0,10 – 2,35 , stasiun 2 berkisar antara 0,05 – 0,90 dan stasiun 3 berkisar antara 0 – 0,65. Kadar oksigen terlarut pagi cenderung lebih rendah dibanding siang. Kadar oksigen terlarut merupakan parameter kimia air yang menjadi faktor pembatas kehidupan ikan di ekosistem rawa (Lowe-McConnell 1987). Menurut Boyd (1982), kadar oksigen terlarut minimal 1 mg/l untuk dapat mendukung kehidupan

4.00 4.50 5.00 5.50 6.00 6.50 7.00 7.50 8.00 5/05 6/05 7/05 8/05 9/05 10/05 11/05 12/05 1/06 2/06 3/06 4/06 Bulan pH Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

(12)

ikan. Dengan demikian kadar oksigen terlarut di lokasi penelitian masih mampu mendukung kehidupan ikan. Kadar oksigen terlarut di stasiun 2 dan 3 lebih baik dibanding stasiun 1 untuk kehidupan ikan.

Gambar 9. Kadar oksigen terlarut pada bulan Mei 2005 – April 2006

Kadar karbondioksida terlarut di lokasi penelitian berkisar antara 13,48 – 46,69 mg/l (Tabel 3). Kadar CO2 terlarut cenderung lebih tinggi di stasiun 1. Perbedaan kadar

karbondioksida terlarut pagi dan siang di stasiun 1 berkisar antara 0,5 – 11,49 mg/l ; stasiun 2 berkisar antara 0,25 – 4,99 mg/l ; dan stasiun 3 berkisar antara 0,51 – 10,49 mg/l. Kadar CO2 terlarut lebih tinggi dibandingkan di wilayah lain seperti di rawa gambut

di Bengkalis 2,31 – 26,36 mg/l (Haryono & Tjakrawidjaja 2000), di rawa Telaga Menarap, Kalimantan Selatan 16,4 – 17,9 mg/l, di rawa lebak Air Hitam Sumatera Selatan 10 mg/l (Ondara 1981), di rawa Tawar Taplus Kalimantan Selatan 15 – 16 mg/l (Arifin et al. 1995) dan di rawa lebak Cala, Sumatera Selatan 9,5 – 11,5 mg/l (Nurdawati & Parsetyo 2006). Tingginya kadar CO2 terlarut di lokasi penelitian diduga

akibat dari tingginya bahan organik di rawa lebak. Menurut Bayley & Williams (1981), CO2 terlarut bersumber dari atmosfer, respirasi dan dekomposisi bahan organik.

Menurut Boyd (1882) kadar CO2 terlarut tidak mengganggu kehidupan ikan jika

maksimal sebesar 12 mg/l jika kadar O2 2 mg/l, atau 25 mg/l jika kadar O2 minimal 5

mg/l. Namun ikan masih dapat hidup hingga kadar CO2 sebesar 60 mg/l. Kadar CO2 di

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 5/05 6/05 7/05 8/05 9/05 10/05 11/05 12/05 1/06 2/06 3/06 4/06 Bulan K ad ar O ks ig en te rl ar u t (m g /l) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

(13)

lokasi penelitian tidak optimal untuk kehidupan ikan, namun masih dapat ditoleransi oleh ikan. Ikan rawa pada umumnya memiliki toleransi tinggi terhadap kadar CO2

yang tinggi, karena memiliki haemoglobin yang tinggi afinitasnya terhadap O2 dan

rendah sensitifitasnya terhadap CO2 (Payne 1986). Kadar CO2 terlarut lebih baik di

stasiun 2 dan 3 dibanding stasiun 1 untuk kehidupan ikan.

4.2.6. Kadar senyawa nitrogen dan fosfat terlarut

Nitrogen dan fosfor merupakan nutrien yang merupakan faktor pembatas bagi fitoplankton maupun tanaman air (Moss 1998). Senyawa nitrogen terlarut merupakan nutrien penting bagi fitoplankton maupun vegetasi air. Fitoplankton pada umumnya dapat memanfaatkan nitrogen dalam bentuk amonia maupun nitrat (Hargreaves & Tucker 2004). Pada perairan yang memiliki oksigen yang cukup, nitrogen didominasi oleh bentuk nitrat (Bayley & Williams 1981)

Kadar amonia di lokasi penelitian berkisar antara 0,444 – 2,359 mg/l (Tabel 3). Amonia yang bersifat toksik bagi ikan adalah yang berbentuk amonia bukan ion (NH3).

Pada perairan dengan pH kurang dari 8, kadar amonia bukan ion (NH3) kurang dari 10

% dari total kadar ammonia. Batas toleransi ikan terhadap kadar amonia total pada pH 9 berkisar antara 1,5 – 2,0 mg/l (Hargreaves & Tucker 2004). Pada pH 9 dan suhu 30o

C amonia bukan ion sekitar 44,84 % dari amonia total (Boyd 1988). Dengan demikian kadar amonia di lokasi penelitian tidak mengganggu kehidupan ikan.

Kadar nitrit di lokasi penelitian berkisar antara 0,002 – 0,006 mg/l (Tabel 3). Menurut Boyd (1982) nitrit bersifat toksik bagi ikan apabila kadarnya melebihi 0,5 mg/l. Dengan demikian kadar nitrit di lokasi penelitian masih dapat ditoleransi oleh ikan. Rendahnya kadar nitrit karena nitrit merupakan senyawa tidak stabil. Apabila terdapat oksigen, nitrit akan segera teroksidasi menjadi nitrat. Apabila kondisi anoksik, maka nitrit akan segera direduksi menjadi ammonia (Goldman & Horne 1983).

Nitrat dan fosfat di perairan merupakan nutrien yang diperlukan oleh fitoplankton dan vegetasi air. Senyawa nitrat dan fosfat tidak bersifat toksik bagi ikan. Peningkatan kadar nitrat dan fosfat dapat mengganggu kehidupan ikan melalui mekanisme penurunan kualitas perairan akibat meningkatnya populasi fitoplankton yang mengakibatkan blooming fitoplankton. Kadar nitrat di lokasi penelitian berkisar antara 0,482 – 2,038 mg/l dan kadar fosfat terlarut berkisar antara 0,009 – 0,298 mg/l (Tabel

(14)

3). Di lokasi penelitian tidak terjadi blooming fitoplankton, sehingga tidak mengganggu kehidupan ikan.

4.3. Komunitas fitoplankton

Jenis plankton yang termasuk dalam sampel adalah terbatas pada plankton yang dapat dikumpulkan menggunakan plankton net dengan mata jaring 20 mikron. Selama penelitian diperoleh 54 jenis fitoplankton. Jenis fitoplankton didominasi golongan Chlorophyceae (21 jenis) dan Bacillariophyceae (20 jenis). Golongan lain yang ditemukan adalah Cyanophyceae (9 Jenis), Chrysophyceae (1 jenis), Dinophyceae (1 jenis) dan Euglenophyceae (2 jenis). Fitoplankton yang ditemukan selama penelitian disajikan pada Lampiran 6. Komposisi jenis fitoplankton yang ditemukan tidak jauh berbeda dengan yang ditemukan oleh Sulastri dan Hartoto (2000) di rawa lebak Rengas, Takapan dan Lutan di Palangkaraya yaitu didominasi oleh Chlorophyceae dan Bacillariophyceae. Golongan yang sedikit jenisnya adalah Chrysophyceae, Dinophyceae dan Euglenophyceae.

Indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan Evenness (E) dari komunitas fitoplankton di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 10 dan 11. Indeks Shannon fitoplankton stasiun 1 cenderung lebih tinggi dibanding stasiun 2 dan 3. Jumlah jenis fitoplankton di stasiun 1 ditemukan paling banyak dibanding stasiun 2 dan 3. Hal ini menunjukkan bahwa stasiun 1 memiliki kondisi lingkungan yang lebih stabil dibandingkan stasiun 2 dan 3. Menurut Lowe-McConnell (1987) keanekaragaman biotik cenderung lebih tinggi pada lingkungan yang tidak berfluktuasi. Fluktuasi kondisi lingkungan di rawa terbuka dan sungai lebih tinggi. Pada saat kemarau, rawa terbuka cenderung menjadi cepat lebih panas. Lingkungan sungai mengalami fluktuasi yang tinggi akibat aliran air yang berfluktuasi berdasarkan musim. Indeks Shannon fitoplankton berkisar antara 3,263 - 4,384 (stasiun 1), 1,485 - 2,952 (stasiun 2), dan 0,729 - 3,876 (stasiun 3). Indeks Evenness fitoplankton berkisar antara 0,733 - 0,965 (stasiun 1), 0,574 - 0,984 (stasiun 2), dan 0,191 - 0,944 (stasiun 3). Nilai indeks Shannon fitoplankton di rawa lebak Rengas, Lutan dan Takapan yang diperoleh Sulastri dan Hartoto (2000) 2,52 ; 3,17 ; dan 2,23. Nilai indeks ini tidak jauh berbeda dengan indeks Shannon fitoplankton di stasiun 2.

(15)

Gambar 10. Indeks Shannon komunitas fitoplankton pada bulan Mei 2005 – April 2006

Gambar 11. Indeks Evenness komunitas fitoplankton pada bulan Mei 2005 – April 2006

Kelimpahan fitoplankton berfluktuasi menurut waktu. Fluktuasi kelimpahan fitoplankton selama penelitian disajikan pada Gambar 12. Rata – rata kelimpahan fitoplankton selama pengamatan adalah 701 individu / liter (stasiun 1), 5339 individu / liter (stasiun 2) dan 680 individu / liter (stasiun 3). Stasiun 2 cenderung memiliki kelimpahan fitoplankton yang lebih tinggi dibanding stasiun 1 dan 3 karena merupakan

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5 /05 6/05 7/05 8/05 9/05 10/05 11/05 12/05 1/06 2/06 3/06 4/06 Bulan In de ks S ha nn on Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 5 /05 6/05 7/05 8/05 9/05 10/05 11/05 12/05 1/06 2/06 3/06 4/06 Bulan In de ks E ve nn es s Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

(16)

perairan rawa terbuka yang tidak mengalir dan penetrasi cahaya matahari yang diperlukan untuk fitoplankton berfotosintesis tidak dihalangi oleh kanopi pohon hutan. Menurut Payne (1986) perairan lentik cenderung memiliki kelimpahan fitoplankton yang lebih tinggi dibandingkan perairan lotik. Kelimpahan fitoplankton di stasiun 2 cenderung lebih tinggi pada saat musim air tinggi. Hal ini disebabkan oleh pada saat itu air sungai yang memiliki kandungan nutrien yang lebih tinggi mengalir ke stasiun 2.

Gambar 12. Kelimpahan fitoplankton pada bulan Mei 2005 – April 2006

4.4. Komunitas zooplankton

Selama penelitian diperoleh 15 jenis zooplankton. Jenis zooplankton didominasi oleh golongan Rotifera (9 jenis). Golongan zooplankton lainnya yang ditemukan adalah : Protozoa (2 jenis), Cladocera (1 jenis) dan Copepoda (3 jenis). Jenis zooplankton yang ditemukan selama penelitian meliputi : Alonella, Asplanchna, Bosmina, Brachionus, Collotheca, Cyclop, Diaphanosoma, Keratella, Lecane, Nauplius, Notholca, Polyarthra, Trichocera, Trepomonas, dan Testudinella (Lampiran 7). Menurut Neves et al. (2003), Rotifera merupakan zooplankton yang dominan di ekosistem rawa lebak.

Indeks keanekaragaman Shannon (H’) dan Evenness (E) dari komunitas zooplankton di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 13 dan 14. Indeks Shannon dan Evenness zooplankton cenderung tidak jauh berbeda antar stasiun. Indeks Shannon

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 5/05 6/05 7/05 8/05 9/05 10/05 11/05 12/05 1/06 2/06 3/06 4/06 Bulan K el im pa ha n ( In di vi du / lit er ) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

(17)

zooplankton berkisar antara 1,852 - 3,062 (stasiun 1), 1,485 - 2,952 (stasiun 2), dan 2,243 - 2,800 (stasiun 3). Indeks Evenness zooplankton berkisar antara 0,755 - 0,985 (stasiun 1), 0,574 - 0,984 (stasiun 2), dan 0,806 - 0,987 (stasiun 3).

Gambar 13. Indeks Shannon komunitas zooplankton pada bulan Mei 2005 – April 2006

Gambar 14. Indeks Evenness komunitas zooplankton pada bulan Mei 2005 – April 2006

Kelimpahan zooplankton di stasiun 1, 2, dan 3 disajikan pada Gambar 15. Rata – rata kelimpahan zooplankton selama pengamatan adalah 145 individu / liter (stasiun 1), 293 individu / liter (stasiun 2) dan 109 individu / liter (stasiun 3). Kelimpahan

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 5 /05 6/05 7/05 8/05 9/05 10/05 11/05 12/05 1/06 2/06 3/06 4/06 Bulan In de ks S ha nnon Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 5 /05 6/05 7/05 8/05 9/05 10/05 11/05 12/05 1/06 2/06 3/06 4/06 Bulan In de ks E ve nn es s Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

(18)

zooplankton stasiun 2 cenderung lebih tinggi dibanding stasiun 1 dan 3. Kondisi ini cenderung disebabkan oleh kelimpahan zooplankton bergantung pada kelimpahan fitoplankton. Fitoplankton merupakan salah satu sumber pakan utama zooplankton (Bayley & Williams 1981). Kelimpahan zooplankton di stasiun 2 meningkat terutama pada bulan September, Oktober, November dan Desember 2005. Pada saat itu merupakan waktu musim hujan dan air sungai mulai mengalir ke stasiun 2. Menurut Neves et al. (2003), pada lingkungan yang dipengaruhi oleh banjir musiman, umumnya kelimpahan zooplankton meningkat pada saat air sungai masuk ke perairan tersebut. Pada saat itu ketersediaan pakan bagi zooplankton lebih melimpah, karena air sungai membawa nutrien dan material allochtonous.

Gambar 15. Kelimpahan zooplankton pada bulan Mei 2005 – April 2006

4.5. Komunitas makrozoobenthos

Pengambilan sampel makrozoobenthos mendapatkan 16 jenis yang meliputi Isopoda (1 jenis), Ephemeroptera (2 jenis), Trichoptera (3 jenis), Diptera (8 jenis), Oligochaeta (1 jenis) dan Nematoda (1 jenis). Kelimpahan setiap jenis makrozoobenthos disajikan pada Lampiran 8. Diptera merupakan kelompok makrozoobenthos yang paling banyak ditemukan di semua stasiun, baik dalam jumlah jenis maupun kelimpahannya (Gambar 16). Menurut Wulandari et al. (2005) kelimpahan makrozoobenthos di rawa gambut didominasi oleh Diptera hingga

0 100 200 300 400 500 600 700 5/05 6/05 7/05 8/05 9/05 10/05 11/05 12/05 1/06 2/06 3/06 4/06 Bulan K el im pa ha n ( In di vi du / lit er ) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

(19)

mencapai 93%. Hal ini sesuai dengan pendapat Wetzel (2001) yang menyatakan bahwa Diptera merupakan komponen dominan dari invertebrata dasar di perairan lentik maupun lotik. Larva Diptera yang ditemukan didominasi oleh golongan Chironomidae. Larva Chironomidae memiliki toleransi yang tinggi terhadap kondisi oksigen terlarut yang rendah, karena memiliki pigmen respirasi yang memungkinkan mereka hidup di perairan yang rendah kadar oksigennya (Efitre et al. 2001).

Rata – rata kelimpahan makrozoobenthos selama pengamatan adalah 1160 indv/m2 (stasiun 1), 1062 indv/m2 (stasiun 2) dan 618 indv / m2 (stasiun 3). Kelimpahan

makrozoobenthos yang ditemukan oleh (Wulandari et al. 2005) di rawa lebak di Kalampangan Palangkaraya berkisar antara 242 - 2070 indv / m2. Kelimpahan

makrozoobenthos di stasiun 3 lebih rendah, diduga karena substrat dasar di sungai lebih tidak stabil. Menurut Silveira et al. (2006), kondisi substrat dasar yang tidak stabil mengakibatkan makrozoobenthos tidak dapat berkoloni dengan baik. Kelimpahan makrozoobenthos di rawa berhutan lebih tinggi dibandingkan di rawa terbuka, diduga karena tekanan predasi di rawa terbuka lebih tinggi dibandingkan dengan rawa berhutan.

Gambar 16. Kelimpahan kelompok makrozoobenthos pada bulan Mei 2005 – April 2006 0 20 40 60 80 100 Is op od a E ph em er op te ra T ric ho pt er a D ip te ra O lig oc ha et a N em at od a P er se nt as e ke lim pa ha n (% ) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

(20)

4.6. Komunitas ikan 4.6.1. Distribusi species

Komunitas ikan yang terwakili dalam pengambilan contoh terbatas pada jenis – jenis ikan yang tertangkap dengan menggunakan jaring insang dengan ukuran mata jaring 0,75 ; 1,5 ; 3 dan 5 inci. Jumlah total ikan yang tertangkap selama penelitian 4278 ekor. Pengambilan contoh ikan dari seluruh stasiun menemukan 50 species ikan dari 19 famili. Pada stasiun 1 ditemukan 39 species, stasiun 2 ditemukan 28 species, dan stasiun 3 ditemukan 35 species (Lampiran 9). Gambar tiap species ikan disajikan pada Lampiran 10.

Species yang ditemukan didominasi oleh famili Cyprinidae (19 species). Menurut Dick dan Martin-Smith (2004) ikan Cyprinidae merupakan jenis ikan air tawar paling banyak spesies di Sundaland. Dominasi species dari Cyprinidae juga ditemukan di rawa lebak Kalampangan Palangkaraya (Yurenfrie et al. 2005), di sungai Rangau, Riau (Yustina 2001). Species lainnya dari famili Siluridae (9 species), Bagridae (3 species), Belontiidae (2 species) , Channidae (2 species) , Mastacembelidae (2 species). Famili lainnya diwakili 1 species. (Gambar 17).

Gambar 17. Jumlah species ikan yang ditemukan selama penelitian

1 19 1 3 9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 1 0 4 8 12 16 20 Engraulididae Cyprinidae Cobitidae Bagridae Siluridae Schilbidae Pangasiidae Clariidae Chandidae Datniodidae Nandidae Eleotrididae Pristolepididae Helostomatidae Anabantidae Belontiidae Channidae Mastacembelidae Tetraodontidae Jumlah Species

(21)

Sebagian besar species ikan dapat ditemukan di perairan rawa lebak (stasiun 1 dan 2) maupun di perairan sungai (stasiun 3). Terdapat 28 species ikan (56 %) yang merupakan jenis ikan yang memanfaatkan perairan rawa lebak maupun sungai untuk tempat hidup. (Gambar 18). Tujuh species ikan (14 %) ditemukan hanya di stasiun 3 saja antara lain : Amblyrhynchichthys truncates, Botia macracanthus, Cyclocheilichthys heteronema, Coius quadrifasciatus, Oxyeleotris mormorata, Puntioplites waandersi, dan Rasbora borneensis. Species ikan yang hanya ditemukan di rawa lebak (Stasiun 1 dan 2) berjumlah 15 species (30 %), antara lain : Bagrichthys macracanthus, Belontia hasselti, Ceratoglanis scleronema, Channa pleurophthalmus, Channa lucius, Clarias batrachus, Hampala macrolepidota, Kryptopterus macrocephalus, Labiobarbus ocellatus, Luciosoma trinema, Lycothrissa crocodiles, Pangasius micronemus, Rasbora cephalotaenia, Thynnichthys polylepis dan Tricogaster leerii.

Keterangan :

A : Species ikan yang hanya ditemukan di rawa lebak B : Species ikan yang hanya ditemukan di sungai C : Species ikan yang ditemukan di rawa lebak maupun di sungai

Gambar 18. Proporsi jumlah species ikan berdasarkan habitat 4.6.2. Keanekaragaman ikan

Indeks Shannon untuk komunitas ikan di stasiun 1 berkisar antara 2,545 - 4,182, di stasiun 2 berkisar antara 0,644 - 3,093, dan di stasiun 3 berkisar antara 2,120 - 3,501. Keanekaragaman ikan di stasiun 1 lebih tinggi dibandingkan stasiun 2, karena rawa berhutan menyediakan struktur habitat yang lebih beragam dibandingkan rawa terbuka. Menurut Arrington & Winemiller (2003), kompleksitas struktur habitat cenderung dapat mempertahankan kekayaan species yang tinggi, karena memiliki heterogenitas habitat yang lebih besar. Penyebab lain adalah tekanan penangkapan ikan lebih rendah di rawa berhutan. Rawa berhutan di Palangkaraya hanya dieksploitasi 10,22 kg / ha / th, sedangkan rawa terbuka 729,05 kg / ha / th dan sungai 48,86 kg / ha / th. Stasiun 3 memiliki keanekaragaman ikan yang tidak jauh berbeda

A 30% B 14% C 56%

(22)

dengan stasiun 1, karena sekitar 56 % species ikan yang ditemukan di rawa lebak, juga memanfaatkan sungai sebagai habitatnya (Gambar 18).

Keanekaragaman ikan pada setiap stasiun menunjukkan fluktuasi antar waktu (Gambar 19 dan 20). Hal ini menunjukkan bahwa pada bulan/ waktu yang berbeda struktur komunitas ikan berbeda juga. Kondisi ini disebabkan ikan di perairan rawa lebak memiliki mobilitas yang tinggi untuk berpindah dari satu tipe habitat ke habitat lainnya.

Gambar 19. Indeks Shannon komunitas ikan pada bulan Mei 2005 – April 2006

Gambar 20. Indeks Evenness komunitas ikan pada bulan Mei 2005 – April 2006

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5 /05 6/05 7/05 8/05 9/05 10/05 11/05 12/05 01/06 02/06 03/06 04/06 Bulan In de ks S ha nn on Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 5 /05 6/05 7/05 8/05 9/05 10/05 11/05 12/05 01/06 02/06 03/06 04/06 Bulan In de ks E ve nn es s Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

(23)

Perubahan jumlah species yang tertangkap pada setiap stasiun disajikan pada Gambar 21. Jumlah species ikan di rawa lebak (stasiun 1 dan 2) cenderung lebih tinggi pada saat musim air tinggi dibanding musim air rendah di perairan rawa lebak. Jumlah spesies ikan pada rawa berhutan saat musim air tinggi 30 species, dan 25 species pada saat musim air rendah. Jumlah species ikan pada rawa terbuka saat musim air tinggi 26 species dan 19 species saat musim air rendah. Pada saat air rendah, sebagian ikan keluar dari rawa lebak menuju ke sungai, akibat dari luas perairan yang menyusut pada saat musim air rendah. Sebaliknya pada saat musim air tinggi, banyak species ikan memanfaatkan rawa lebak untuk mencari makanan maupun untuk reproduksi (Lowe-McConnell 1987). Hal ini mengakibatkan jumlah species ikan di rawa lebak menurun pada saat musim air rendah. Pada stasiun 3 terdapat kecenderungan saat musim air rendah ditemukan jumlah species ikan lebih tinggi dibanding saat musim air tinggi. Pada saat musim air rendah sungai menjadi tempat pengungsian ikan dari kondisi kekeringan di rawa lebak, sehingga ditemukan jumlah species yang lebih tinggi.

Gambar 21. Jumlah species ikan yang tertangkap pada bulan Mei 2005 – April 2006

0 5 10 15 20 25 5 /05 6/05 7/05 8/05 9/05 10/05 11/05 12/05 01/06 02/06 03/06 04/06 Bulan Ju m la h S pe ci es Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

(24)

4.6.3. Kelimpahan ikan

Jumlah ikan yang tertangkap selama penelitian, berfluktuasi menurut waktu (Gambar 22). Total hasil tangkapan selama 12 bulan, paling banyak pada stasiun 1 (2420 ekor), sedangkan jumlah ikan tertangkap pada stasiun 2 dan 3 tidak jauh berbeda yaitu 925 ekor dan 933 ekor. Kelimpahan ikan di stasiun 1 lebih tinggi, karena hutan menyediakan struktur fisik habitat yang lebih tinggi keragamannya dan mendukung kehidupan ikan melalui jaring makanan (Karagosian & Ringler 2004) dan tekanan penangkapan di rawa berhutan lebih rendah dibanding di rawa terbuka dan sungai. Hasil tangkapan ikan terbanyak diperoleh di stasiun 1 (49,53 %). Hasil tangkapan ikan terutama berasal dari kelompok Cyprinidae (35,98 %), Siluridae (20,17 % ), Anabantoidei (19,55 %) dan Bagridae (10,43 %). Jenis lainnya kurang dari 10 % dari bobot total. Kecenderungan total hasil tangkapan (bobot) selama 12 bulan disajikan pada Gambar 23. Hasil tangkapan (bobot) tiap jenis ikan disajikan pada Lampiran 11. Total bobot tangkapan terbanyak pada bulan Agustus (16,79 kg), sedangkan bobot tangkapan paling sedikit pada bulan April (1,26 kg). Total tangkapan ikan berfluktuatif, namun memiliki kecenderungan untuk tangkapan musim air rendah lebih banyak dibandingkan musim air tinggi. Kecenderungan ini terjadi baik dalam jumlah bobot maupun individu ikan. Rata-rata tangkapan ikan pada musim air rendah 8,50 kg / unit sampel, sedangkan pada musim air tinggi 3,57 kg / unit sampel (Tabel 4). Dengan demikian tangkapan ikan pada musim air tinggi memiliki bobot rata – rata 42 % dari musim air rendah. Apabila dibandingkan dengan hasil tangkapan nelayan, proporsi ini lebih besar sekitar 3,05 % dibandingkan yang diperoleh nelayan. Pada saat tidak musim ikan, nelayan rata-rata mendapatkan ikan 38,95 % dibandingkan pada saat musim ikan. Hasil tangkapan pada saat musim air tinggi lebih sedikit dibanding musim air rendah, karena pada saat musim air tinggi, volume dan luas perairan meningkat sehingga densitas ikan berkurang. Penurunan densitas ikan mengakibatkan peluang ikan tertangkap lebih rendah. Sebaliknya volume dan luas perairan berkurang pada saat musim air rendah, sehingga ikan lebih terkonsentrasi.

(25)

Gambar 22. Jumlah individu ikan yang tertangkap pada bulan Mei 2005 – April 2006

Gambar 23. Bobot total hasil tangkapan pada bulan Mei 2005 – April 2006 Tabel 4. Rata-rata hasil tangkapan ikan menurut musim (kg / unit sampling) No Keterangan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Seluruh

stasiun 1. Rata-rata pada musim air rendah 4,60 1,11 2,79 8,50 2. Rata-rata pada musim air tinggi 1,49 1,42 0,66 3,57 3. Rata- rata selama 12 bulan 2,79 1,29 1,55 5,63

Penelitian ini mengkaji distribusi kelimpahan ikan ekonomis penting berdasarkan berdasarkan tipe habitat dan musim. Ikan ekonomis penting tersebut

0 200 400 600 800 1000 5/05 6/05 7/05 8/05 9/05 10/05 11/05 12/05 1/06 2/06 3/06 4/06 Bulan Ju m la h ta ng ka pa n ik an (e ko r) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 0 4 8 12 16 20 5/05 6/05 7/05 8/05 9/05 10/05 11/05 12/05 1/06 2/06 3/06 4/06 Bulan H as il ta ng ka pa n ik an to ta l (K g)

(26)

digolongkan dalam beberapa kelompok ikan (Tabel 5). Distribusi kelimpahan dari tiap kelompok jenis ikan disajikan pada Gambar 24 s/d 29.

Tabel 5. Kelompok ikan ekonomis penting di lokasi penelitian

No Kelompok ikan Species ikan

1. Seluang Rasbora argyrotaenia, R. Borneensis dan R. cephalotaenia 2. Puhing Barbodes schwanenfeldii, Cyclocheilichthys apogon, C. Enoplos,

C. heteronema dan C. janthochir 3 Baung Hemibagrus nemurus dan H. nigriceps

4. Lais Belodontichthys dinema, Ceratoglanis scleronema, Kryptopterus apogon, K. Lais, K. Limpok, K. Macrocephalus, K. micronema, dan Ompok hypophthalmus

5. Anabantoidei Helostoma temminckii, Anabas testudineus, Belontia hasselti, dan Trichogaster leerii

6. Gabus Channa pleurophthalmus dan C. Lucius

Ikan seluang dan puhing cenderung berada di stasiun 1 pada musim air rendah maupun musim air tinggi. Ikan Cyprinidae species kecil cenderung hidup di dekat permukaan air. Ikan tersebut memanfaatkan lapisan air permukaan yang kaya oksigen. Ikan species kecil lebih terlindung dari pemangsaan apabila berada di stasiun 1 yang merupakan rawa berhutan. Menurut Junk & Wantzen (2004), pada saat musim air rendah, ikan kecil yang migrasi ke sungai akan cenderung dimangsa oleh ikan predator di sungai.

Ikan baung dan lais cenderung berada di stasiun 2 pada saat air tinggi, dan berpindah ke stasiun 3 pada saat air rendah. Menurut Kottelat et al. (1993), ikan Bagridae dan Siluridae merupakan ikan penghuni lapisan air bagian dasar sungai atau danau. Kedua jenis ikan ini melakukan migrasi dari sungai ke rawa lebak pada saat air tinggi, sebaliknya pada saat musim air rendah bermigrasi dari rawa lebak menuju sungai. Stasiun 2 yang merupakan rawa terbuka lebih dipilih oleh ikan ini, karena, perairan lebih dalam, lebih kaya oksigen, dan lebih mudah mencari mangsa di perairan terbuka dibandingkan di rawa berhutan.

Ikan anabantoidei sangat dominan ditemukan pada saat musim air rendah. Pada saat musim air rendah ditemukan 13,18 kg sedangkan pada musim air tinggi hanya 0,02 kg. Pada saat air rendah tersebut, ikan anabantoidei cenderung ditemukan di stasiun 1. Anabantoidei merupakan golongan ikan yang memiliki organ pernafasan tambahan, sehingga dapat hidup di perairan rawa. golongan ikan anabantoidei

(27)

merupakan ikan blackfish dan cenderung menyukai habitat yang airnya tenang dengan vegetasi yang lebat, sehingga habitatnya cenderung di perairan rawa berhutan. Pada saat musim air tinggi, hasil tangkapan sangat sedikit (0,15 % dari musim air rendah), sehingga tidak dapat diambil kesimpulan distribusinya. Diduga ikan tersebut tetap di rawa berhutan pada saat musim air tinggi. Ikan tersebut berada di rawa – rawa yang lebih jauh dari lokasi pengambilan sampel, karena mencari lokasi yang lebih dangkal. Ketiga jenis ikan ini merupakan ikan blackfish yang merupakan ikan berhabitat di rawa. Dengan demikian diduga pada saat air tinggi mereka tetap berada di rawa lebak (Stasiun 1 atau 2). Ketiga jenis ikan ini merupakan golongan ikan yang memiliki organ pernafasan tambahan berupa labirinth yang dapat membantu pernafasan pada saat kadar oksigen di air rendah. Oleh karena itu pada saat musim air rendah tetap berada di rawa lebak dan tidak melakukan migrasi ke perairan sungai.

Kelompok ikan gabus pada sampel hasil penangkapan diwakili oleh ikan Channa pleurophthalmus dan Channa lucius. Ikan gabus cenderung berada di stasiun 1 sepanjang musim. Ikan Channidae merupakan ikan rawa yang memiliki organ pernafasan tambahan (Kottelat et al. 1993), sehingga memungkinkan tetap tingga di stasiun 1 sepanjang musim. Ikan ini memiliki keuntungan bila tetap tinggal di stasiun 1, karena ikan species kecil cenderung melimpah di stasiun 1. Ikan species kecil dapat menjadi mangsa sepanjang musim untuk ikan channidae yang merupakan ikan predator.

Keterangan : Musim air rendah : bulan Juni – Oktober Musim air tinggi : bulan November – Mei

Gambar 24. Distribusi kelimpahan kelompok ikan seluang 0 20 40 60 80 100

Musim air rendah Musim air tinggi

P er se n ta se k el im p ah an ik an ( % ) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

(28)

Keterangan : Musim air rendah : bulan Juni – Oktober Musim air tinggi : bulan November – Mei

Gambar 25. Distribusi kelimpahan kelompok ikan puhing

Keterangan : Musim air rendah : bulan Juni – Oktober Musim air tinggi : bulan November – Mei

Gambar 26. Distribusi kelimpahan kelompok ikan baung

Keterangan : Musim air rendah : bulan Juni – Oktober Musim air tinggi : bulan November – Mei

Gambar 27. Distribusi kelimpahan kelompok ikan lais 0 10 20 30 40 50 60

Musim air rendah Musim air tinggi

P er se n ta se k el im p ah an ik an (% ) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 0 20 40 60 80 100

Musim air rendah Musim air tinggi

P er sen ta se ke lim p ah an ik an ( % ) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 0 20 40 60 80 100

Musim air rendah Musim air tinggi

P er se n ta se k el im p ah an ik an ( % ) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

(29)

Keterangan : Musim air rendah : bulan Juni – Oktober Musim air tinggi : bulan November – Mei

Gambar 28. Distribusi kelimpahan kelompok ikan anabantoidei

Keterangan : Musim air rendah : bulan Juni – Oktober Musim air tinggi : bulan November – Mei

Gambar 29. Distribusi kelimpahan kelompok ikan gabus

4.6.4. Species ikan yang populasinya rendah

Pada Lampiran 12 disajikan data jumlah individu yang tertangkap dan frekuensi kehadiran tiap jenis ikan. Terdapat 13 species ikan yang diidentifikasi merupakan ikan dengan populasi rendah (Tabel 6), yaitu Hampala macrolepidota, Pangasius micronemus, Amblyrhynchichthys truncates, Channa lucius, Oxyeleotris mormorata, Puntioplites waandersi, Bagrichthys macracanthus, Botia macracanthus, Ceratoglanis scleronema, Coius quadrifasciatus, Lycothrissa crocodiles, Chitala borneensis dan Channa micropeltes. Ikan belida (Chitala borneensis), dan toman (Channa micropeltes) merupakan jenis ikan yang tidak diperoleh dalam sampel, tetapi masih tertangkap oleh nelayan di lokasi penelitian. Kelimpahan yang rendah merupakan penyebab tidak diperolehnya jenis ikan tersebut dalam sampel. Jenis ikan tersebut diidentifikasi memiliki populasi yang rendah dalam penelitian ini, karena kelimpahan

0 20 40 60 80 100

Musim air rendah Musim air tinggi

P er se n tas e kel im p ah an ik an ( % ) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 0 20 40 60 80 100

Musim air rendah Musim air tinggi

P er se n ta se k el im p ah an ik an ( % ) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

(30)

rendah, dan berdasarkan informasi nelayan, ikan tersebut ditangkap hanya di rawa lebak saja. Dengan demikian terdapat 13 species yang populasinya rendah, dan 9 species diantaranya merupakan jenis ikan yang memiliki nilai ekonomi. Ikan yang memiliki nilai ekonomi yaitu ikan jelawat batu (Hampala macrolepidota), lawang (Pangasius micronemus), haruan (Channa lucius), toman (Channa micropeltes), bakut (Oxyeleotris mormorata), macan (Botia macracanthus), lais (Ceratoglanis scleronema), dan belida (Chitala borneensis). Species ikan yang diketahui oleh nelayan populasinya menurun dibandingkan 5 tahun yang lalu yaitu : jelawat (Leptobarbus hoeveni), bakut (Oxyeleotris mormorata), lais bamban (Ceratoglanis scleronema), patin sungai (Pangasius sp), dan peang (Channa sp).

Tabel 6. Matrik untuk identifikasi species ikan yang populasinya rendah Habitat ditemukan Satu habitat

(Rawa lebak atau sungai) Rawa lebak dan sungai Frekuensi ditemukan Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah

Kelimpahan ikan

- Banyak 0 0 1 7 3 0

- Sedang 1 3 6 1 5 9

- Sedikit 0 0 13 0 0 1

Beberapa kemungkinan penyebab rendahnya populasi beberapa species ikan di lokasi penelitian adalah : (1) Lokasi penelitian bukan merupakan habitat utama species ikan tersebut. (2) Banyaknya penebangan pohon hutan rawa yang mengakibatkan penurunan kualitas fisik kimiawi perairan, dan (3) Ikan tersebut ditangkap secara berlebihan. Penurunan populasi beberapa jenis ikan dibandingkan 5 tahun yang lalu, diduga disebabkan oleh penangkapan berlebihan maupun perubahan fisik kimiawi perairan.

4.6.5. Tingkat trofik ikan

Komponen ekosistem yang memiliki kontribusi sebagai makanan ikan merupakan komponen ekosistem yang penting untuk mempertahankan keanekaragaman ikan. Komponen ekosistem tersebut meliputi detritus, fitoplankton, zooplankton, makrozoobenthos, pohon hutan, dan insekta darat. Gambar 30 menyajikan kontribusi masing-masing jenis materi makanan untuk mendukung kehidupan ikan. Kontribusi jenis materi makanan dipresentasikan oleh persentase

(31)

jumlah species ikan yang mengkonsumsi jenis materi tersebut. Pada umumnya ikan memanfaatkan lebih dari satu jenis makanan baik sebagai makanan utama maupun makanan tambahan.

Keterangan : A. Fitoplankton G. Insekta air B. Perifiton/alga filamen H. Insekta darat C. Tumbuhan tingkat tinggi I. Udang

D. Detritus J. Cacing

E. Rotifera K. Ikan

F. Cladocera, copepoda

Gambar 30. Proporsi jumlah species ikan berdasarkan jenis materi yang dikonsumsi

Rotifera merupakan jenis materi yang paling tinggi kontribusinya sebagai makanan ikan. Rotifera merupakan zooplankton yang dominan di lokasi penelitian, sehingga ikan cenderung memanfaatkannya. Detritus dan insekta air merupakan materi makanan yang tinggi kontribusinya setelah Rotifera. Detritus memiliki kontribusi yang tinggi (53,5 %) karena detritus merupakan materi yang melimpah di rawa lebak dan dimanfaatkan ikan pada saat makanan lain terbatas ketersediaannya. Makrozoobenthos di lokasi penelitian didominasi oleh insekta air, sehingga insekta air cenderung memiliki kontribusi yang tinggi sebagai makanan ikan dibandingkan cacing. Fitoplankton dan alga filamen memiliki kontribusi rata – rata 47,2 % dan 49,3 %. Ikan yang memanfaatkan alga adalah ikan herbivora dan ikan omnivora. Bagian tumbuhan tingkat tinggi memiliki kontribusi rata-rata 36,3 %. Insekta darat memiliki kontribusi rata – rata 25,1%. Insekta darat terutama berasal dari hutan yang jatuh ke perairan. Insekta darat melimpah terutama pada saat musim hujan.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 A B C D E F G H I J K

Jenis materi makanan

Ju m la h sp ec ie s ik an y an g m en gk on su m si (% ) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

(32)

Ikan digolongkan ke dalam tingkat trofik herbivora, omnivora, karnivora tingkat 1 dan karnivora tingkat 2. Ikan digolongkan herbivora jika memanfaatkan materi tumbuhan / nabati sebagai makanan utama, seperti : fitoplankton, alga filamen, dan bagian tanaman tingkat tinggi (daun, buah, biji, batang). Ikan omnivora adalah ikan yang memanfaatkan materi dari tumbuhan maupun hewan sebagai makanan utama. Sedangkan ikan yang memanfaatkan hewan sebagai makanan utama digolongkan sebagai karnivora. Ikan karnivora tingkat 1 adalah ikan yang memanfaatkan invertebrata kecil sebagai makanan utama, seperti : rotifera, cladocera, copepoda, insekta, dan cacing. Sedangkan ikan karnivora tingkat 2 memanfaatkan ikan kecil atau udang sebagai makanan utama.

Tingkat trofik tiap species ikan yang ditemukan di lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 13. Komunitas ikan di stasiun 1 terdiri dari 7 species ikan herbivora, 13 species ikan omnivora, 9 species ikan karnivora tingkat 1 dan 10 species ikan karnivora tingkat 2. Komunitas ikan di stasiun 2 terdiri dari 6 species ikan herbivora, 10 species ikan omnivora, 4 species ikan karnivora tingkat 1 dan 8 species ikan karnivora tingkat 2. Komunitas ikan di stasiun 3 terdiri dari 5 species ikan herbivora, 12 species ikan omnivora, 9 species ikan karnivora tingkat 1 dan 9 species ikan karnivora tingkat 2. Persentase jumlah species ikan berdasarkan tingkat trofik disajikan pada Gambar 31.

Herbivora Omnivora Karnivora Tk 1 Karnivora Tk 2

Gambar 31. Proporsi jumlah species ikan berdasarkan tingkat trofik

Golongan ikan herbivora paling rendah persentase jumlah spesiesnya di seluruh stasiun. Sedangkan ikan omnivora paling tinggi persentase jumlah speciesnya di seluruh stasiun. Jenis ikan omnivora cenderung mendapat keuntungan, karena

Stasiun 1 17.9% 33.3% 23.1% 25.6% Stasiun 2 21.4% 35.7% 10.7% 32.1% Stasiun 3 14.3% 34.3% 25.7% 25.7%

(33)

memiliki relung makanan yang lebih lebar dibandingkan kelompok lain. Oleh karena itu ikan omnivora cenderung lebih besar proporsi jumlah speciesnya. Menurut Deus & Petrere Jr (2003), ikan rawa lebak cenderung bersifat pemakan generalis, karena ketersediaan makanan bervariasi menurut musim. Proporsi kelimpahan ikan (bobot) berdasarkan tingkat trofik disajikan pada Gambar 32.

Herbivora Omnivora Karnivora Tk 1 Karnivora Tk 2

Gambar 32. Proporsi kelimpahan ikan (bobot) berdasarkan tingkat trofik

Proporsi kelimpahan ikan karnivora tingkat 2 di stasiun 2 cenderung lebih tinggi, karena ikan karnivora tingkat 2 lebih mudah memangsa di stasiun 2 yang merupakan rawa terbuka. Perairan di stasiun 2 juga memiliki kecerahan yang lebih tinggi. Semakin tinggi kecerahan air, maka pemangsa lebih mudah melihat mangsa. Menurut Poully & Rodriguez (2004), kecerahan air 20 cm merupakan batas terendah untuk ikan predator melihat mangsa. Ketersediaan jenis makanan yang sesuai tingkat trofik tiap jenis ikan merupakan faktor yang mendukung keanekaragaman ikan di perairan tersebut. Semakin tinggi keragaman jenis makanan ikan yang tersedia, maka semakin banyak jenis ikan yang dapat didukung oleh ekosistem tersebut . Kelimpahan karnivora tk 1 paling rendah untuk seluruh stasiun. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan pakan alami hewan renik di rawa lebak berfluktuatif berdasarkan musim, sehingga ikan cenderung untuk bersifat omnivora.

Ikan yang termasuk herbivora di lokasi penelitian antara lain : Belontia hasselti, Helostoma temminckii, Leptobarbus hoevenii, Labiobarbus ocellatus, Osteochilus kalabau, Osteochilus triporos, Puntioplites waandersi, Thynnichthys polylepis, dan Trichogaster leerii. Ikan herbivora di lokasi penelitian pada umumnya memanfaatkan

Stasiun 1 34.1% 33.5% 8.8% 23.6% Stasiun 2 28.1% 11.1% 2.9% 57.8% Stasiun 3 26.9% 31.3% 12.9% 28.8%

(34)

alga sebagai makanan utamanya. Ikan yang memanfaatkan bagian tumbuhan tingkat tinggi sebagai makanan utama adalah : Belontia hasselti dan Leptobarbus hoevenii.

Ikan yang termasuk omnivora antara lain : Amblyrhynchichthys truncatus, Bagrichthys macracanthus, Barbodes schwanenfeldii, Cyclocheilichthys apogon, Cyclocheilichthys enoplos, Cyclocheilichthys heteronema, Cyclocheilichthys janthochir, Hampala macrolepidota, Luciosoma trinema (di stasiun 2), Macrognathus aculeatus, Mastacembelus erythrotaenia, Pangasius micronemus, Parachela hypophthalmus, Parambassis macrolepis (di stasiun 2), Pristolepis grooti, Pseudeutropius brachypopterus, Puntius lineatus, Rasbora argyrotaenia, Rasbora borneensis, Rasbora cephalotaenia. Terdapat dua species yang di stasiun 1 dan 3 merupakan ikan karnivora tingkat 1, namun di stasiun 2 merupakan ikan omnivora yaitu Luciosoma trinema dan Parambassis macrolepis. Ikan Luciosoma trinema di danau Sabuah, Kapuas (Buchar 1998) dan di danau Sentarum (Giesen 1987 dalam Mackinnon 2000) merupakan ikan omnivora, tetapi cenderung pemakan zooplankton. Ikan Parambassis di danau Cala Sumatera Selatan merupakan pemakan perifiton maupun serangga (Nurdawati & Prasetyo 2006). Keterbatasan materi makanan berupa hewan renik di stasiun 2, mengakibatkan ikan Luciosoma trinema dan Parambassis macrolepis memakan materi dari tumbuhan juga.

Ikan yang termasuk karnivora tingkat 1 antara lain : Anabas testudineus, Botia macracanthus, Ceratoglanis scleronema, Chonerhinos modestus, Clarias batrachus, Kryptopterus lais, Kryptopterus macrocephalus, Kryptopterus limpok (di stasiun 3), Luciosoma trinema, Nandus nebulosus, Parambassis macrolepis, Pristolepis grooti (di stasiun 3) dan Puntius lineatus (di stasiun 3). Ikan Kryptopterus limpok di stasiun 1 dan 2 merupakan karnivora tingkat 2, namun di stasiun 3 cenderung merupakan karnivora tingkat 1. Perbedaan tingkat trofik ini disebabkan oleh terbatasnya mangsa berupa ikan kecil di stasiun 3 dibanding di stasiun 2. Ikan Kryptopterus limpok di danau Sentarum merupakan ikan karnivora tingkat 2 (Giesen 1987 dalam Mackinnon 2000). Ikan Pristolepis grooti dan Puntius lineatus sebenarnya merupakan ikan omnivora, tetapi ternyata di stasiun 3 cenderung menjadi karnivora tingkat 1. Ikan Puntius di danau Sabuah, Kapuas memakan herbivora pemakan fitoplankton (Buchar 1998) dan di danau Sentarum pemakan tumbuhan tingkat tinggi (Giesen 1987 dalam Mackinnon 2000). Ikan Pristolepis di danau Sabuah, Kapuas merupakan omnivor yang terutama

(35)

memakan insekta dan zooplankton (Buchar 1998) Di stasiun 3 ikan Pristolepis grooti dan Puntius lineatus memanfaatkan ketersediaan insekta darat yang melimpah sebagai makanan ikan. Dengan demikian ketersediaan hanyutan insekta darat cenderung dipilih sebagai makanan oleh kedua species ikan tersebut dibanding materi dari tumbuhan. Ikan yang termasuk karnivora tingkat 2 antara lain : Belodontichthys dinema, Channa pleurophthalmus, Channa lucius, Coius quadrifasciatus, Kryptopterus apogon, Kryptopterus limpok, Kryptopterus micronema, Lycothrissa crocodiles, Hemibagrus nemurus, Hemibagrus nigriceps, Ompok hypophthalmus, Oxyeleotris mormorata, dan Wallago leerii.

4.7. Karakteristik keluarga nelayan

Jumlah penduduk Petuk Ketimpun dan Marang disajikan pada Tabel 7. Pada umumnya masyarakat Petuk Ketimpun dan Marang telah menempuh pendidikan formal. Penduduk yang tidak bersekolah dan tidak tamat SD di Petuk Ketimpun 12,48 % dan di Marang 14,57 % dari jumlah penduduk. Rata-rata tingkat pendidikan masyarakat Petuk Ketimpun dan Marang adalah SLTP. Umur kepala keluarga dari responden berkisar antara 30 hingga 65 tahun, dengan rata – rata 41,7 tahun. Jumlah jiwa dalam keluarga berkisar antara 3 hingga 6 jiwa dengan rata – rata 4 jiwa (Lampiran 14).

Tabel 7. Jumlah penduduk Petuk Ketimpun dan Marang

No Keterangan Petuk Ketimpun Marang

1. Jumlah penduduk (2006)

- Jumlah total (jiwa) 1785 844 - Laki – laki (%) 48,29 51,90

- Perempuan (%) 51,71 48,10

- Keluarga (KK) 411 244

2. Jumlah nelayan (KK) 113 133

Nelayan Petuk Ketimpun dan Marang termasuk suku Dayak Ngaju yang tinggal di hilir sungai Kahayan. Nelayan marang dan Petuk Ketimpun mengakui bahwa mereka masih berkerabat, bahkan kekerabatan mereka sering diikat dengan perkawinan.

(36)

Beberapa karakteristik budaya yang dimiliki nelayan Petuk Ketimpun dan Marang sebagai suku Dayak Ngaju antara lain :

1. Bertempat tinggal di rumah berbentuk panggung dan dalam satu rumah dapat dihuni oleh beberapa keluarga.

2. Mata pencaharian masih bergantung pada memanen hasil alam seperti mencari ikan. Pemanenan hasil alam dilakukan secukupnya atau tidak berlebihan. Perempuan berperan aktif dalam aktivitas mata pencaharian.

3. Sistem kemasyarakatan berdasarkan kekerabatan. Tolong menolong dalam kehidupan sehari hari terutama berdasarkan ikatan kekerabatan. Keturunan berdasarkan ambilineal, sehingga masyarakat luar desa, baik laki – laki maupun perempuan, apabila menikah dengan orang Petuk Ketimpun dan Marang, dapat memiliki tempat tinggal dan mata pencaharian menangkap ikan di desa tersebut. 4. Sebagian besar beragama Islam. Meskipun mereka beragama Islam, namun

upacara adat tetap digunakan pada saat perkawinan. Pada umumnya mereka juga masih mempercayai bahwa air, hutan dihuni oleh roh – roh.

5. Bahasa yang digunakan sehari hari adalah bahasa Dayak Ngaju.

6. Teknologi penangkapan ikan masih sederhana. Metode penangkapan yang tradisional menggunakan alat tangkap yang dibuat sendiri oleh nelayan, yang terbuat dari bahan baku dari alam seperti kayu, bambu dan rotan.

4.7.1. Konsumsi rumah tangga

Tingkat konsumsi beras rata –rata mencapai 128,16 kg / orang / tahun dengan frekuensi makan pada umumnya 2 - 3 kali sehari (Lampiran 15). Rata-rata tingkat konsumsi beras nelayan lebih rendah dibandingkan dengan tingkat konsumsi beras nasional tahun 2005 berdasarkan data BPS yaitu 136,3 kg / orang. Lauk makan utama berasal dari ikan hasil tangkapan sendiri. Sayur dibeli dari pedagang sayur keliling yang setiap pagi berkeliling di pemukiman nelayan. Lauk bukan ikan seperti telur, ayam, daging, tempe, kadang – kadang dibeli sebagai lauk alternatif. Beras dibeli dari warung bahan makanan pokok yang berada di sekitar pemukiman. Sekitar 86,67 % responden menggunakan kayu bakar untuk memasak pada tahun 2006. Hal ini disebabkan oleh lonjakan harga minyak tanah dan semakin sulitnya untuk mendapatkan minyak tanah di sekitar pemukiman nelayan. Kayu bakar diperoleh dari

(37)

mencari kayu di hutan oleh masing – masing keluarga nelayan. Mereka meluangkan hari tertentu untuk mencari kayu bakar. Kayu yang terkumpul dapat digunakan untuk konsumsi 1 - 2 minggu.

Pengeluaran nelayan untuk kepentingan rumah tangga meliputi pengeluaran pangan dan non pangan. Komponen pengeluaran pangan meliputi : beras, mie instant, lauk pauk, bumbu, minyak goreng, gula, kopi, teh, susu dan kue. Komponen pengeluaran non pangan meliputi : bahan bakar (minyak tanah/kayu bakar), sabun cuci, sabun mandi, pasta gigi, listrik, rokok, sekolah anak, kesehatan, transportasi, pemeliharaan rumah, alat rumah tangga dan pakaian. Pengeluaran perkapita nelayan disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Pengeluaran rumah tangga responden

No Keterangan Petuk ketimpun Marang

1 Pengeluaran pangan

Rata – rata (Rp/orang/bulan) 124.850 126.285

Kisaran (Rp/orang/bulan) 93.750 – 190.500 89.167 – 169.417 2 Pengeluaran non pangan

Rata – rata (Rp/orang/bulan) 112.405 120.973

Kisaran (Rp/orang/bulan) 52.167 – 206.458 48.600 – 217.278 3 Pengeluaran total

Rata – rata (Rp/orang/bulan) 237.255 247.258

Kisaran (Rp/orang/bulan) 152.042 – 369.333 140.500 – 380.806

Pengeluaran nelayan hampir berimbang antara untuk pangan dan non pangan. Pengeluaran pangan berperan 52,62 % (Petuk Ketimpun) dan 51,07 % (Marang) terhadap total pengeluaran. Sedangkan pengeluaran non pangan berperan 47,38 % (Petuk Ketimpun) dan 48,93 % (Marang) terhadap total pengeluaran. Tingginya proporsi pengeluaran pangan menunjukkan bahwa pendapatan nelayan masih terfokus untuk memenuhi kebutuhan primer, sedangkan kebutuhan yang sekunder belum mendapat pemenuhan yang cukup. Pemenuhan kebutuhan sekunder seperti alat rumah tangga, perumahan dan pakaian hanya mendapatkan proporsi kurang dari 1 % dari total pengeluaran. Pada masyarakat yang kesejahteraannya rendah, sebagian besar pengeluaran digunakan untuk pangan dibandingkan untuk non pangan. Sebagai perbandingan masyarakat pesisir di kota Kendari memiliki pengeluaran pangan 63,33% (Departemen Kelautan dan Perikanan RI 2003). Komposisi pengeluaran responden disajikan pada Gambar 33.

Gambar

Tabel 3.  Kualitas fisik kimiawi perairan pada bulan Mei 2005 – April 2006  No  Parameter  Rata – rata dan kisaran nilai pengamatan
Gambar 3.   Kedalaman perairan dan intensitas curah hujan pada                       Mei 2005 – April 2006
Gambar 4.  Rata-rata suhu perairan pada bulan Mei 2005 – April 2006
Gambar  10. Indeks Shannon komunitas fitoplankton pada bulan Mei 2005 – April 2006
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mata pencaharian masyarakat Minangkabau sebagian besar sebagai petani. Bagi yang tinggal di pinggir laut mata pencaharian utamanya menangkap ikan. Seiring dengan perkembangan

Setelah dilakukan penghitungan, komoditi unggulan di Pulau Sembur yang utama adalah budidaya ikan (ikan kerapu macan dan sunu) dengan nilai (548), kemudian ikan kerapu hasil

Terdapat dua jenis alat tangkap utama yang digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan kurau dari perairan, yaitu jaring insang (gillnet) dan rawai (mini long

Selain mempunyai mata pencaharian dengan menangkap ikan, nelayan sukolilo juga melakukan kegiatan yang berkaitan dengan pengadaan usaha pengolahan hasil laut skala home

Kecamatan-kecamatan yang terdapat dalam wilayah tipologi I merupakan wilayah dengan karakteristik : sektor industri dan keuangan tinggi, mata pencaharian utama penduduk di

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian nelayan adalah orang yang mata pencaharian utamanya dari usaha menangkap ikan dilaut.Nelayan dapat dibedakan dalam tiga kelompok

sehingga memudahkan bagi nelayan untuk mencapai tempat tersebut dalam menangkap ikan dan kegiatan budidaya laut. 6) Tempat-tempat yang ditentukan sebagai zona pemanfaatan (wisata

Kelimpahan plankton di perairan Pulau Karang Congkak dapat dikaitkan dengan ikan-ikan pemakan plankton yang terdapat di perairan tersebut yang merupakan ikan pelagis