• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN DASAR HIJAUAN RUMPUT GAJAH

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Nutrisi Ternak Kambing Perah, Laboratorium Industri Pakan, dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah (Fakultas Peternakan, IPB) dari bulan September 2010 sampai April 2011.

Materi Bahan

Bahan pakan penyusun ransum antara lain daun rami yang didatangkan dari Koperasi Pondok Pesantren Darussalam Garut, rumput gajah yang diperoleh dari daerah sekitar Kampus IPB Darmaga, jagung halus, dedak padi, pollard, bungkil kelapa, dan bungkil kedelai. Selain itu ada cairan rumen yang berasal dari sapi PO (Peranakan Ongole) fistula, serta bahan-bahan yang digunakan untuk penentuan kandungan nutrien, analisis fermentabilitas, dan kecernaan dijelaskan lebih lengkap pada prosedur.

Alat

Peralatan yang digunakan pada pembuatan silase antara lain drum plastik bervolume 200 liter, berukuran 1 x 1 x 1 m3, dengan kapasitas sekitar 3500kg dan peralatan yang digunakan untuk pengukuran kandungan nutrien, analisis fermentabilitas dan kecernaan dijelaskan lebih lengkap pada masing-masing prosedur

Prosedur

Pembuatan Silase Ransum Komplit

Pada proses pembuatan silase ransum komplit, daun rami dan rumput gajah dipotong-potong dengan ukuran 2-3 cm, kemudian di campur dengan bahan-bahan konsentrat sesuai formulasi ransum yang dibuat. Komposisi bahan pakan yang

digunakan dapat dilihat pada Tabel 9. Kemudian dimasukkan ke dalam

atau drum, serta dilakukan pemadatan lalu ditutup rapat. Proses ensilasi terjadi selama 3 minggu pada suhu ruang secara anaerob. Setelah 3 minggu, silo dibuka, diamati, dan diuji secara . Kandungan nutrisi dari ransum yang disusun, dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Penggunaan Bahan Pakan dan Kandungan Nutrien Silase Ransum Komplit

Bahan Pakan Penggunaan ( ) Zat Nutrien Proporsi (%BK)*

Rumput gajah 58,8% Protein Kasar 19,16%

Daun Rami 24,48% Lemak Kasar 6,36%

Dedak Halus 1,3% Serat Kasar 13,61%

Pollard 3,69% TDN 66,02%

Jagung Halus 5,64% BK 32, 63%

Bungkil Kedelai 2,41% Ca 1,71%

Bungkil Kelapa 3,68% P 0,36%

Keterangan: (*) berdasarkan perhitungan

Pengamatan Karakteristik Fisik

Pengamatan karakteristik fisik dilakukan dengan mendeskripsikan sifat fisik silase, antara lain meliputi warna, aroma, tekstur, menghitung persentase silase yang menggumpal (dengan menghitung bobot silase terkontaminasi jamur) dan tingkat kerusakan silase setelah terjadi proses ensilase (persentase hasil perbandingan silase yang menggumpal dengan bobot silase setelah ensilase).

Pengamatan Karakteristik Fermentatif

Pengukuran pH. Pengukuran pH menggunakan prosedur Naumann & Bassler (1997). Silase yang baru dibuka, diambil sebanyak 10 gram dan dicampur dengan 100 ml aquadest dengan cara diblender pada kecepatan sedang selama 30 detik. pH cairan silase diukur menggunakan pocket pH meter yang telah dikalibrasi.

Pembacaan pH dilakukan setelah stabil atau setelah 30 detik. Supernatan dari pengukuran pH akan digunakan untuk pengukuran VFA dan kadar NH3 silase. Pengukuran VFA Silase. Konsentrasi VFA total ditentukan dengan menggunakan teknik destilasi uap (General Laboratory Prosedure, 1966). Pada pengukuran VFA silase, sample yang digunakan berasal dari supernatan hasil pengukuran pH. Larutan sampel tersebut diambil sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung destilasi kemudian ditambahkan 1 ml H2SO4 15%, lalu tabung segera ditutup. Uap air panas akan mendesak VFA dan akan terkondensasi oleh pendingin. Uap air yang terbentuk a k a n ditampung sampai volumenya 300 ml dengan labu Erlenmeyer yang sebelumnya telah diisi 5 ml NaOH 0,5 N. Hasil tampungan dititrasi dengan HCl 0,5 N dan ditambahkan indikator phenolphthalein sebanyak dua tetes, kemudian dititrasi dari berwarna merah muda s am pai menjadi bening. Produksi VFA silase (mM) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

(a-b)ml x N HCl x 1000/5ml VFA(mM)=

g sampel x BK sampel Keterangan :

a = volume titran blangko b = volume titran contoh

Pengukuran NH3 Silase. Pada pengukuran NH3 silase digunakan supernatan pada pengukuran pH sebanyak 1 ml, lalu ditempatkan pada salah satu ujung jalur cawan Conway yang telah diolesi vaselin, kemudian dipipet 1 ml larutan Na2CO3 lalu ditempatkan pada sisi yang bersebelahan dengan sampel, selanjutnya dipipet asam borat berindikator sebanyak 1 ml, lalu ditempatkan di bagian tengah cawan. Setelah itu cawan Conway ditutup rapat dan supernatant + larutan Na2CO3 dicampur hingga rata dengan cara memiringkan posisi cawan conway. Kemudian, disimpan selama 24 jam pada suhu kamar dan setelah 24 jam.

Setelah 24 jam, cawan dibuka dan dititrasi dengan menggunakan H2SO4 0.005 N sampai terjadi perubahan warna dari biru menjadi merah. Kemudian kadar NH3 (mM) dihitung dengan rumus:

ml H2SO4 x N H2SO4 x 1000 NH3 (mM)=

g sampel x BKsampel

Pengukuran Bahan Kering Silase. Silase yang telah melalui proses ensilasi selama 3 minggu dikeluarkan dari silo trench dan dari silo drum, lalu ditimbang sebagai berat awal (sebagai a), kemudian dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 60oC selama 3-7 hari kemudian ditimbang sebagai berat kering oven 60oC (sebagai b).

Setelah dikeringkan pada suhu 60oC, sampel digiling sampai halus. Kemudian sampel dimasukkan ke dalam cawan porselen sebanyak 2-3 gram (sebagai c), lalu dimasukkan ke dalam oven 105o C sampai berat konstan. Setelah kering, silase ditimbang sebagai berat akhir (sebagai d) dan dihitung menggunakan rumus:

Keterangan

a : Berat silase ransum komplit segar b : Berat silase setelah oven 60o C c : Berat sampel sebelum oven 105o C d : Berat sampel setelah oven 105oC

Pengukuran Kehilangan Bahan Kering (BK). Kehilangan bahan kering dihitung dari selisih berat kering bahan awal dengan berat kering bahan yang telah menjadi silase.

Pengukuran Protein Kasar (PK). Pengukuran kadar protein silase menggunakan metode Kjeldahl (1883) dan untuk perhitungan protein kasar menggunakan rumus:

mL HCL x N HCl x 14 x 24 x 100 %N = mg Sample % PK = % N x 6,25

100%

x

a

x

c

b

x

d

BK

%

=

Pengukuran Kehilangan PK. Pengukuran kehilangan PK dihitung dengan membandingkan antara N amonia setelah ensilase dengan kadar N pada PK bahan awal

Pengukuran WSC . Pengukuran WSC pada

penelitian ini menggunakan Metode Fenol menurut Singleton & Rossi (1965). Silase diambil sebanyak dua gram, lalu ditambahkan aquades yang telah dipanaskan (100WC) sebanyak 20 ml, kemudian campuran tersebut digerus menggunakan mortar selama ± 10 menit, lalu disaring. Sampel yang berbentuk cairan dipipet sebanyak 2 ml dan dimasukan ke dalam tabung reaksi 10 ml, kemudian tambahkan 0,5 ml larutan fenol dihomogenkan dengan menggunakan vortex. Larutan asam sulfat ditambahkan dengan cepat sebanyak 2,5 ml dan divortex. Selanjutnya, larutan dibiarkan sampai dingin dan diukur nilai absorbannya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm.

Perhitungan Nilai Fleigh. Nilai & merupakan indeks karakteristik fermentasi silase berdasarkan nilai BK dan pH dari silase (Idikut ., 2009). Berikut ini adalah kisaran nilai fleigh (NF) dan gambaran kualitas fermentasi silase yang dicapai :

NF = > 85, menyatakan silase berkualitas baik sekali, NF = 60 – 80, menyatakan silase berkualitas baik, NF = 40 – 60, menyatakan silase berkualitas cukup baik, NF = 20 - 40, menyatakan silase berkualitas sedang , NF = <20, menyatakan silase berkualitas kurang baik (Idikut $ 2009). Nilai Fleigh dihitung berdasarkan rumus (Idikut $ 2009), sebagai berikut :

NF = 220 + (2 x BK(%) – 15) - (40 x pH)

Pengamatan Karakteristik Utilitas

Fermentabilitas Pakan dalam Rumen. Pada pengukuran fermentabilitas, pakan difermentasi menggunakan cairan rumen dengan metode General Laboratory Procedure (1966). Sample silase ransum komplit sebanyak 0,5 gram (yang sudah dikeringkan, digiling dan disaring menggunakan saringan berukuran 0,5mm),

dimasukkan ke dalam tabung fermentor bervolume 50 ml, kemudian ditambahkan 40 ml larutan buffer + , & dan 10 ml cairan rumen lalu diaduk dengan gas CO2 selama 30 detik dan ditutup rapat dengan prop karet yang berventilasi, kemudian diinkubasi selama 6 jam di dalam # bersuhu 39ºC. Setelah inkubasi, ditambahkan 2-3 tetes HgCl2 jenuh ke dalam tabung fermentor untuk menghentikan aktivitas mikroba, kemudian tabung fermentor disentrifuge dengan kecepatan 1000 rpm selama 10 menit. Kemudian supernatannya ditampung untuk dianalisis kadar NH3 dan VFA. Selanjutnya, NH3 dan VFA rumen dianalisis dengan prosedur yang sama dengan pengukuran NH3 dan VFA silase.

Kecernaan. Pengukuran kecernaan menggunakan metode menurut Tilley & Terry (1963). Tabung fermentor yang telah diisi dengan 0,5 g sampel, ditambahkan 40 ml larutan McDougall, kemudian tabung dimasukan ke dalam #

dengan suhu 39oC . Kemudian tabung tersebut diisi cairan rumen 10 ml. Setelah itu, tabung dikocok dengan cara dialiri CO2 selama 30 detik, pH dicek (6,5 – 6,9) dan ditutup dengan tutup karet berventilasi, lalu di fermentasi selama 48 jam. Setelah 48 jam, tutup karet tabung fermentor dibuka dan diteteskan 2-3 tetes HgCl2 untuk menghentikan aktivitas mikroba. Tabung fermentor dimasukkan ke dalam sentrifuge, lakukan sentrifuge dengan kecepatan 3.000rpm selama 15 menit. Substrat akan terpisah menjadi endapan di bagian bawah dan supernatan yang bening berada di bagian atas. Supernatan dibuang dan endapan hasil sentrifuge pada kecepatan 3.000 rpm selama 15 menit ditambahkan 50 ml larutan pepsin-HCl 0.2%. Campuran ini lalu diinkubasi kembali selama 48 jam tanpa tutup karet.

Sisa pencernaan disaring dengan kertas saring whatman no 41 (yang sudah diketahui bobotnya) dengan bantuan pompa vacum. Endapan yang ada di kertas saring dimasukkan ke dalam cawan porselen, setelah itu dimasukkan ke dalam oven 105⁰C selama 24 jam. Setelah 24 jam, cawan porselen + kertas saring + residu dikeluarkan, dimasukkan ke dalam eksikator dan ditimbang untuk mengetahui kadar bahan keringnya. Selanjutnya bahan dalam cawan dipijarkan atau diabukan dalam tanur listrik selama 6 jam pada suhu 450–600oC, kemudian ditimbang untuk mengetahui kadar bahan organiknya. Residu asal fermentasi tanpa sampel dijadikan sebagai blanko. Berikut rumus perhitungan KCBK dan KCBO:

BK sampel(g)-(BK residu(g)-BK blanko(g))

%KCBK = BKsampel x 100%

Sedangkan KCBO dihitung dengan rumus:

BO sampel(g)-(BO residu(g)-BO blanko(g))

%KCBO = BOsampel x 100%

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Perlakuan

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap, dengan 2 taraf perlakuan, masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut :

T : Mengggunakan (350 Kg Silase ransum komplit) D : Menggunakan (100 Kg Silase ransum komplit) Model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut :

Yij = µ + τi + εij Keterangan:

Yij = Hasil pengamatan pengaruh jenis silo ke-i, ulangan ke-j µ = Rataan umum

τi =Pengaruh jenis silo ke-i

ε

ij = Pengaruh acak pada jenis silo ke-i ulangan ke-j

Analisis Data

Data kualitatif dianalisis secara deskriptif dan data kuantitatif dianalisis menurut metode ANOVA dan uji Duncan menggunakan program perangkat lunak SAS 9. 2.

Parameter Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah :

1. Karakter sifat fisik silase, yang meliputi warna, aroma, tekstur, keberadaan jamur dan tingkat kerusakan.

2. Karakteristik fermentasi silase, yang meliputi pH (Nauman & Bassler, 1997), kadar bahan kering, kadar protein kasar, kehilangan bahan kering,

perombakan protein, (WSC) (Metode Fenol),

nilai VFA silase & nilai NH3 silase (General Laboratory prosedure, 1966) dan nilai fleigh.

- Karakteristik utilitas silase, meliputi fermentabilitas rumen secara , yaitu produksi VFA total (Steam distillation) dan konsentrasi NH3 (mikrodifusi Conway) (General Laboratory prosedure, 1966) dan kecernaan , yaitu koefisien cerna bahan kering (KCBK) dan koefisien cerna bahan organik (KCBO) (Tilley & Terry, 1963).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Fisik Silase Ransum Komplit

Karakteristik fisik silase diamati setelah silase dibuka. Parameter yang dilihat pada pengamatan ini, antara lain: warna, aroma silase, tekstur (Saun & Heinrichs (2008), perhitungan silase yang menggumpal (terkontaminasi jamur), dan tingkat kerusakan silase ransum komplit setelah tiga minggu dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Hasil Pengamatan Karakteristik Fisik Silase Ransum komplit

Parameter Perlakuan

T D

Warna Hijau agak kecoklatan Hijau kekuningan

Aroma Asam dan ammonia Asam

Tekstur Lepas dan menggumpal Lepas danada sedikit

menggumpal

Silase menggumpal(Kg) 3,5 0,003

Kerusakan(%) 9,00 2,59

Keterangan: T: silase ransum komplit pada silo , D: silase ransum komplit pada silo Drum

Warna Silase

Pengamatan silase ransum komplit berbasis hijauan rumput gajah dan daun rami pada kedua silo menunjukkan warna yang berbeda, yaitu hijau kekuningan dan hijau agak kecoklatan. Perlakuan D memiliki warna yang lebih mendekati warna asal bahan yaitu: hijau kekuningan,sehingga digolongkan pada silase berkualitas baik sekali, sedangkan perlakuan T memiliki warna hijau agak kecoklatan, sehingga silase yang dihasilkan termasuk silase berkualitas baik.

Saun dan Heinrichs (2008) yang menyatakan bahwa silase yang berkualitas baik akan memiliki warna seperti bahan asalnya. Selain itu kadang pada silase juga ditemukan sedikit warna putih, seperti silase pada perlakuan D. Menurut Saun & Heinrichs (2008) bahwa warna silase menunjukkan permasalahan yang terjadi selama proses fermentasi dan warna putih pada silase menunjukkan adanya

pertumbuhan jamur. Besarnya kontaminasi silase oleh jamur dapat dilihat pada Tabel 10. Berikut ini adalah gambar silase ransum komplit pada silo dan silo drum (Gambar 5 & 6).

Gambar 5. Silase pada T1, T2, dan T3

Gambar 6. Silase pada D1, D2, dan D3

Aroma Silase

Pada pengamatan aroma, perlakuan D termasuk dalam silase berkualitas sangat baik, yaitu memiliki aroma asam khas silase. Aroma ini dihasilkan dari aktivitas fermentasi oleh bakteri asam laktat, sedangkan silase pada perlakuan T termasuk dalam silase berkualitas baik, karena pada perlakuan T terdapat aroma asam dan amonia. Aroma amonia ini disebabkan oleh adanya aktivitas fermentasi bakteri

. Bakteri ini menyebabkan terjadinya proteolisis dan sebagai salah satu indikator terjadinya proteólisis adalah terbentuknya amonia. Bakteri ini dapat berkembang jika keadaan anaerob terganggu (Saun & Heinrichs, 2008).

Tekstur dan Silase yang Menggumpal

Salah satu karakteristik fisik silase berkualitas baik yakni bertekstur utuh (lepas) (Haustein, 2003). Penilaian parameter tekstur dikaitan dengan parameter jumlah silase yang menggumpal, agar penilaian karakteristik fisik (parameter tekstur) dapat dijelaskan secara kuantitatif.

Pada pengamatan karakteristik parameter tekstur silase, perlakuan D memiliki tekstur dominan lepas dan ada sedikit bagian yang menggumpal sebesar 0,003Kg dari total silase yang disimpan (100Kg). Pada perlakuan T, juga terdapat tekstur yang agak menggumpal dengan proporsi rata-rata sebesar 3,5Kg dari total silase yang disimpan (350Kg) dan bagian silase lainnya memiliki tekstur lepas.

Saun & Heinrichs (2008), menyatakan bahwa terjadinya penggumpalan dan keberadaan lendir disebabkan oleh adanya aktivitas organisme pembusuk. Keadaan ini dapat terjadi, apabila ada udara yang masuk ke dalam silo sehingga aktivitas metabolisme organisme berjalan lagi.

Perlakuan T memiliki jumlah silase yang menggumpal lebih besar daripada perlakuan D. Hal ini menunjukkan bahwa kontaminasi mikroorganisme aerob pembusuk lebih besar pada perlakuan T. Besarnya kontaminasi tersebut dipengaruhi oleh tingginya keadaan anaerob yang terganggu. Perlakuan T memiliki bentuk permukaan silo yang tidak merata yang menyebabkan keadaan anaerob yang ideal agak sulit terjadi.

Bentuk permukaan silo juga menentukan besarnya peluang terjadinya kontak antara silase dengan oksigen selama ensilase. Bunker silo dengan bentuk permukaan yang tidak teratur dan tidak merata memiliki peluang lebih luas, kontak dengan oksigen pada bagian permukaan silase, sehingga kesempatan lebih besar pada peningkatan aktivitas mikroba (Saun & Heinrichs, 2008).

Tingkat Kerusakan Silase

Hasil pengamatan terhadap parameter tingkat kerusakan menunjukkan bahwa tingkat kerusakan silase pada perlakuan T lebih tinggi sebesar 9,00% daripada perlakuan D yang hanya 2,59%. Tingginya tingkat kerusakan silase disebabkan oleh adanya organisme pembusuk ( && ) atau jamur yang merusak bagian permukaan silase pada perlakuan. Organisme pembusuk dapat hidup apabila ada udara (Oksigen) yang masuk ke dalam silo, baik karena bentuk permukaan silo, kerenggangan penutup terpal atau karena proses pemapatan yang kurang baik. Secara umum, jenis silo yang berbeda berpengaruh terhadap penilaian parameter karakteristik fisik dari silase ransum komplit. Besar nilai kerusakan kedua perlakuan masih dalam kisaran kerusakan yang dapat ditoleransi, seperti yang dilaporkan Church & Pond (1988) bahwa pada proses ensilasi, besar kerusakan yang dapat ditoleransi akibat pembusukan adalah sekitar 4-12%. Namun, secara ekonomis kerusakan silase akan berdampak kurang baik pada biaya produksi, sehingga perlu dilakukan langkah antisipasi terjadinya kerusakan silase, salah satunya, dengan melakukan pemapatan yang baik dan memastikan silase dalam keadaan tanpa udara.

Karakteristik Fermentatif Silase Ransum Komplit

Hasil pengamatan karakteristik fermentatif silase ransum komplit diperlihatkan pada Table 11. Ada beberapa parameter yang diamati antara lain: kadar bahan kering (%), kehilangan bahan kering (%), VFA (! " ), kadar protein kasar (%), NH3, perombakan protein kasar (%), WSC (

), dan perhitungan Nilai &

Nilai pH Silase

Pada penilaian karakteristik fermentatif silase, diketahui bahwa jenis silo yang berbeda ( dan drum silo) tidak berpengaruh nyata pada nilai pH yang dihasilkan. Nilai pH pada kedua perlakuan kurang dari 4,4 dan masih tergolong kisaran pH silase yang baik. Menurut McDonald (1973) kisaran pH yang optimal untuk proses pengawetan dalam pembuatan silase yaitu sekitar 3,8-4,4.

Besarnya nilai pH ini dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat terlarut (WSC) dalam bahan pakan yang akan digunakan oleh bakteri asam laktat untuk memproduksi asam organik dan dipengaruhi oleh kandungan protein yang mempengaruhi kapasitas buffer silase (Chen & Weinberg, 2008). Apabila kadar WSC bahan awal silase tinggi, maka subrat yang dibutuhkan bakteri asam laktat untuk memproduksi asam organik semakin banyak dan pH asam akan cepat dicapai. Berbeda pengaruhnya jika menggunakan bahan silase dengan kandungan protein kasar yang cukup tinggi, maka pencapaian pH akan menjadi lebih lambat, karena kapasitas buffer silase menjadi lebih besar, sehingga pH menjadi sulit untuk turun (Despal $ 2011). Hal tersebut menjadi salah satu alasan penggunaan bahan hijauan silase yang dikombinasikan dengan bahan aditif lainnya untuk menghasilkan silase ransum komplit yang berkualitas baik. Berikut ini adalah table hasil pengamatan karakteristik fermentatif silase ransum komplit, diperlihatkan pada Tabel 11.

Tabel 11. Hasil Pengamatan Karakteristik Fermentatif Silase Ransum Komplit

Parameter Perlakuan

T D

pH 4,38 ± 0,10 3,60 ± 0,54

Kadar Bahan Kering (%) 22,07b ± 0,46 28,89a ± 1,19

VFA (mM) 8,05 ± 2,72 5,12 ± 2,62

Kehilangan BK (%) 10,56 a ± 0,46 3,74 b ± 1,19

Kadar Protein Kasar (%) 17,24 ± 6,97 19,03 ± 4,82

NH3 (mM) 0,81 ± 0,40 0,84 ± 0,11

Perombakan PK (%) 4,69 ± 0,91 4,56 ± 1,04

WSC (%) 2,20a ± 0,12 1,37b ± 0,08

NF 74,00 ± 3,92 118,78 ± 21,51

Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya pengaruh perlakuan (P<0,05)

Kadar Bahan Kering (BK), Kehilangan BK , dan Kadar VFA (

! )

Berdasarkan tabel 11. jenis silo yang berbeda berpengaruh nyata pada besarnya nilai bahan kering (BK) yang dihasilkan (P<0,05). Nilai BK yang diperoleh pada perlakuan T sebesar 22,07b ± 0,46% dan pada perlakuan D sebesar 28,89a ± 1,19%. Perbedaan nyata pada kadar bahan kering silase yang dihasilkan akan mempengaruhi perhitungan besarnya kehilangan bahan kering. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 11. Berdasarkan hasil uji sidik ragam pada parameter kehilangan bahan kering, diketahui bahwa jenis silo yang berbeda berpengaruh nyata pada kehilangan BK (P<0,05). Kehilangan BK pada perlakuan T sebesar 10,56 a ± 0,46%, sedangkan pada perlakuan D sebesar 3,74 b ± 1,19 %.

Kadar BK yang dihasilkan pada perlakuan T lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar BK pada perlakuan D. Begitu pula dengan perhitungan kehilangan BK yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk silo dapat mempengaruhi kadar bahan kering silase yang dihasilkan. Perlakuan T memiliki permukaan silo yang lebih luas dan tidak teratur, sehingga memungkinkan terjadinya kontak dengan udara yang lebih besar sehingga proses ensilase terganggu dan terjadi penguraian bahan kering yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan D yang memiliki permukaan silo yang lebih teratur, sehingga proses ensilase di dalam silo berlangsung lebih optimal dan menghasilkan bahan kering silase yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan Saun & Heinrichs (2008) bunker silo dengan bentuk permukaan yang tidak teratur dan tidak merata memiliki peluang lebih luas, kontak dengan oksigen pada bagian permukaan silase, sehingga peningkatan aktivitas metabolisme mikroba lebih besar.

Kadar bahan kering (BK) yang dihasilkan dari silase ransum komplit pada kedua silo juga dipengaruhi oleh BK bahan awal silase. Penambahan sumber karbohidrat dengan bahan kering tinggi, seperti dedak halus, pollard, jagung halus, bungkil kedelai, dan bungkil kelapa, menghasilkan BK bahan awal silase sebesar 32, 63%. Target BK bahan silase ini sudah sesuai dengan rekomendasi Cavallarin

. (2005) yaitu minimal 32%.

Silase yang baik, memiliki kadar air hijauan sebesar 60%–70%. Hal ini dimaksudkan agar kandungan karbohidrat terlarut air bahan tinggi, sehingga BAL

dapat tumbuh dengan baik menghindari pertumbuhan jamur dan mikroba merugikan, menurunkan kehilangan bahan kering (BK), dan protein kasar (PK) selama ensilasi (Nishino ., 2003). Selain itu, semakin tinggi air yang dihasilkan selama ensilase, maka kehilangan BK semakin meningkat. Peningkatan level aditif diduga memacu aktivitas fermentasi sehingga menyebabkan produksi air juga meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan kehilangan BK silase sehingga kandungan BK silase menurun. Selain itu, kehilangan BK juga dapat disebabkan oleh proses respirasi yang terlalu lama. Proses respirasi dapat terus terjadi apabila masih terdapat oksigen (udara).

Banyaknya VFA pada silase menggambarkan indikator perombakan bahan organik (Ørskov & Ryle, 1990). Nilai VFA pada perlakuan T sebesar 8,05 ± 2,72 mM, sedangkan pada perlakuan D sebesar 5,12 ± 2,62 mM. Pada parameter ini, jenis silo yang berbeda tidak memberikan pengaruh nyata pada produksi VFA. Hal ini diperkiran bahwa perombakan bahan kering silase,tidak hanya dihasilkan dalam bentuk VFA silase, namun juga dalam bentuk energi panas yang pada penelitian ini tidak dilakukan pengukuran panas yang hilang selasa ensilase., seperti yang dilaporkan oleh Sidarta ., (2010), bahwa pada proses fermentasi dan respirasi, materi-materi organik dihidrolisis menjadi molekul yang lebih kecil, CO2, H2O, dan energi.

Kadar Protein Kasar (PK), Kadar NH3, dan Perombakan PK

Pada Tabel 11. diketahui bahwa jenis silo yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein kasar silase yang dihasilkan. Kadar protein kasar perlakuan T sebesar 17,24 ± 6,97% dan pada pada perlakuan D sebesar 19,03 ± 4,82%. Kadar protein kasar yang dihasilkan masih sesuai dengan target kadar protein kasar ransum awal (16%), yaitu sebesar 19,16% (%BK).

Kadar NH3 silase diperlihatkan pada tabel 11. Nilai degradasi protein dalam bentuk NH3 pada silase ini juga tidak dipengaruhi oleh jenis silo yang berbeda. Perlakuan T menghasilkan silase dengan kadar NH3 sebesar 0,81 ± 0,40 mM, sedangkan pada perlakuan D sebesar 0,84 ± 0,11 mM.

Perombakan protein pada T sebesar 4,69 ± 0,91% dan pada D sebesar 4,56 ± 1,04%. Menurut Os ., (1996), banyaknya NH3 pada silase menggambarkan

indikator perombakan bahan organik protein. Silase dikategorikan berkualitas baik jika degradasi protein kurang dari 4,1% (Zamudio 2009). Tingginya degradasi protein pada kedua silo dapat disebabkan oleh tingginya kadar protein kasar bahan yang diensilasi sehingga menyebabkan kapasitas buffer menjadi tinggi, pH menjadi sulit turun dan membuka peluang lebih besar bagi mikroba perombak protein untuk berkembang.

Kadar WSC ( )

Berdasarkan hasil uji sidik ragam, diketahui bahwa jenis silo yang berbeda memberikan pengaruh nyata pada kadar WSC perlakuan, kadar WSC untuk perlakuan T yaitu 2,20a ± 0,12 dan perlakuan D sebesar 1,37b ±0,08. Nilai WSC pada perlakuan D lebih rendah dibandingkan perlakuan T, hal ini dikarenakan bakteri asam laktat pada perlakuan D lebih banyak menggunakan WSC untuk memproduksi asam organik, sehingga pada pengamatan nilai WSC pada perlakuan

Dokumen terkait