Setelah difermentasi jagung, seluruh nilai analisis proksimat mengalami perubahan. Kenaikan protein tertinggi diperoleh pada fermentasi jagung menggunakan Rhizopus oligosporus dengan dosis spora sebesar 109 spora/ml. Hal yang serupa terjadi pada kandungan lemak kasar dimana fermentasi jagung oleh
R. oligosporus pada dosis 109 spora/ml memberikan pertambahan lemak kasar tertinggi. Nilai bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) cenderung turun pada penggunaan dosis R. oligosporus 109 spora/ml. Perubahan nilai analisis proksimat jagung yang difermentasi dengan dosis yang berbeda ditampilkan pada Gambar 6 berikut.
Gambar 6. Analisis proksimat jagung sebelum dan setelah fermentasi dengan dosis yang berbeda
Selain menentukan dosis dilakukan pula penentuan lama waktu fermentasi yang mampu menghasilkan peningkatan protein kasar tertinggi. Dari percobaan yang dilakukan diketahui bahwa peningkatan protein tertinggi diperoleh pada jagung yang difermentasi selama lima hari. Kandungan lemak kasar tertinggi diperoleh pada jagung yang difermentasi pada hari ketiga. Kadar serat kasar tertinggi diperoleh pada jagung yang difermentasi pada hari ketujuh. Berdasarkan data hasil uji pendahuluan maka pada tahap kedua digunakan fermentasi jagung dengan dosis R. oligosporus 109 spora/ml dan lama fermentasi selama lima hari. Data perubahan nilai analisis proksimat jagung yang difermentasi dengan lama waktu yang berbeda ditampilkan pada Gambar 7 berikut.
Gambar 7. Analisis proksimat jagung sebelum dan setelah fermentasi dengan lama waktu fermentasi yang berbeda
Asam fitat, fosfor, dan kalsium
Setelah difermentasi dengan dosis 109 spora/ml dan lama fermentasi selama lima hari diperoleh data kandungan asam fitat, fosfor dan kalsium sebagai berikut. Penggunaan teknik fermentasi memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap penurunan kandungan asam fitat serta peningkatan kandungan fosfor dan kalsium (Lampiran 15 dan 17). Asam fitat mengalami penurunan 58,82% dibandingkan dengan kandungan asam fitat sebelum fermentasi yaitu dari 4,76% menjadi 1,96%. Kalsium mengalami peningkatan sebesar 18,52% dibandingkan dengan sebelum fermentasi yaitu dari 0,054% menjadi 0,064%. Fosfor juga mengalami tren yang sama seperti kalsium. Fosfor mengalami peningkatan sebesar 41,09% dibandingkan dengan jagung sebelum difermentasi yaitu dari
0,195% menjadi 0,331%. Data penurunan kandungan asam fitat serta kenaikan kandungan fosfor dan kalsium disajikan pada Gambar 8 dan 9 berikut.
Gambar 8. Kandungan asam fitat jagung sebelum dan setelah fermentasi
Gambar 9 Kandungan fosfor serta kalsium jagung sebelum dan setelah fermentasi Fraksi serat kasar
Penggunaan fermentasi jagung oleh R. oligosporus memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap kandungan fraksi serat kasar kecuali NDF. Fermentasi jagung oleh R. oligosporus tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap perubahan kandungan NDF. Kandungan NDF sebelum dan sesudah fermentasi berkisar antara 36,01-38,40%. Kandungan hemiselulosa mengalami
peningkatan setelah proses fermentasi. Kandungan hemiselulosa sebelum fermentasi bernilai 31,20% kemudian meningkat menjadi 36,13% setelah dilakukan fermentasi.
Penggunaan teknik fermentasi jagung oleh R. oligosporus mampu menurunkan kandungan ADF secara nyata (P<0,05). Kandungan ADF mengalami penurunan sebesar 41,19% dimana sebelum fermentasi sebesar 3,35% kemudian menjadi 1,97%. Selulosa mengalami penurunan sebesar 79,45% dibandingkan antara sebelum fermentasi (1,46%) dan setelah fermentasi (0,30%). Lignin juga mengalami penurunan antara sebelum dan setelah fermentasi. Penurunan kandungan lignin sebesar 52,60% dibandingkan sebelum fermentasi (4,81%) dan setelah fermentasi (2,28%). Kandungan fraksi serat kasar secara lengkap disajikan pada Gambar 10 dan 11 (Lampiran 16).
Gambar 10. Kandungan neutral detergent fiber (NDF) dan hemiselulosa jagung sebelum dan setelah fermentasi
Gambar 11. Kandungan lignin, selulosa, dan acid detergent fiber (ADF) jagung sebelum dan setelah fermentasi
Kecernaan
Kecernaan merupakan salah satu parameter yang diukur pada penggunaan teknik fermentasi. Penggunaan fermentasi jagung oleh R. oligosporus
memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kecernaan jagung (P<0,05). Nilai kecernaan total meningkat sebesar 5,13% antara sebelum fermentasi (70,82%) dengan setelah fermentasi (74,45%). Nilai kecernaan protein meningkat sebesar 3,24% antara sebelum fermentasi (76,94%) dibandingkan dengan setelah fermentasi (79,43%). Penggunaan teknik fermentasi mampu meningkatkan nilai kecernaan energi sebesar 2,90% antara sebelum fermentasi (78,22%) dengan setelah fermentasi (80,49%). Nilai kecernaan bahan mengalami kenaikan sebesar 4,64% antara nilai kecernaan bahan sebelum fermentasi (65,79%) dengan setelah proses fermentasi (69,99%). Nilai pengukuran lengkap kecernaan total, protein, energi, dan bahan disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Nilai kecernaan total, protein, energi, dan bahan jagung sebelum dan setelah fermentasi
Kecernaan (%) Perlakuan
A (sebelum fermentasi) B (setelah fermentasi)
Protein 76,94±0,65c 79,43±0,84b
Energi 78,22±1,05c 80,49±0,84b
Bahan 65,79±0,52b 68,99±1,48a
* Keterangan: huruf superscript yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05)
Pembahasan
Fermentasi jagung menggunakan kapang R. oligosporus mengakibatkan perubahan nutriea yang terkandung di dalam jagung. Seperti kapang lainnya, R. oligosporus mampu menggunakan berbagai macam bahan organik yang terkandung dalam substrat untuk mendukung perkembangan hidupnya. Gandjar et al (2006) mengemukakan bahwa R. oligosporus mampu menggunakan karbon, nitrogen, sulfur, serta berbagai bahan organik lainnya menjadi bahan yang diasimilasikan untuk mendukung pertumbuhan R. oligosporus. Hasil percobaan menunjukkan bahwa R. oligosporus mampu memanfaatkan sumber karbon yang berasal dari karbohidrat menjadi jaringan tubuh kapang. Hal ini ditandai dari penurunan kandungan karbohidrat dan terjadinya kenaikan nutriea lain seperti protein dan lemak (Gambar 6). Peningkatan biomassa tubuh kapang pada substrat mengakibatkan peningkatan kandungan bahan pakan yang difermentasi oleh R. oligosporus. Kandungan protein kapang terdiri dari beberapa bagian diantaranya pada lapisan sekunder hifa yang mengandung protein dan glikoprotein (Alexopoulos et al. 1996). Penggunaan kapang dengan dosis yang tinggi (1011 spora/ml) mengakibatkan peningkatan kandungan serat kasar. Hal ini disebabkan karena pada kepadatan yang tinggi kapang tumbuh dengan cepat kemudian berkompetisi nutrisi. Pada kondisi nutrisi yang semakin berkurang disertai peningkatan kandungan alkohol pada media maka mengakibatkan kapang segera membentuk spora. Spora kapang sebagian besar terdiri dari serat terutama dari golongan hemiselulosa. Maka semakin banyak spora yang dihasilkan semakin tinggi kandungan serat kasar bahan. Hal ini yang menjadi ciri khas fermentasi menggunakan kapang (Farley & Ikasari 1992; Eklund-Jonsson et al. 2008; Fadahunsi 2009).
Selain dosis fermentasi, lama waktu fermentasi mempengaruhi kualitas bahan yang difermentasi. Hasil percobaan menunjukkan bahwa fermentasi jagung selama lima hari memberikan peningkatan protein yang tertinggi dibandingkan
dengan tiga atau tujuh hari. Semakin lama waktu fermentasi cenderung menghasilkan serat kasar yang semakin tinggi pula. Hal ini menunjang hasil penelitian yang dilakukan Suhenda et al. (2009) yang memperlihatkan bahwa lama waktu fermentasi terbaik dedak padi menggunakan R. oligosporus diperoleh pada hari kelima. Semakin lama waktu fermentasi semakin banyak spora yang dihasilkan dan semakin tinggi kandungan serat kasar bahan pakan. Pada hari kelima diduga R. oligosporus sedang mengalami fase deselerasi atau fase stasioner sedangkan pada hari ketujuh R. oligosporus sudah memasuki fase kematian dipercepat sehingga mengalami penurunan jumlah hifa yang hidup serta peningkatan jumlah spora. Gandjar et al (2006) menyatakan bahwa fase deselerasi dan fase stasioner merupakan fase yang terbaik untuk memanen biomassa kapang dan senyawa-senyawa yang dihasilkan kapang.
Hidrolisis asam fitat oleh enzim fitase yang dihasilkan oleh R. oligosporus
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan ikan untuk memanfaatkan jagung dalam pakan. Asam fitat merupakan antinutriea yang banyak terdapat pada kacang-kacangan, serealia, dan bahan pakan yang berasal dari nabati. Keberadaan asam fitat menyebabkan menurunkan kecernaan protein, mengurangi ketersediaan mineral bervalensi dua (P, Ca, Fe, Zn, Mn) bagi ikan (Baruah et al. 2004; Ravindran et al. 2000). Selain secara langsung menghambat penyerapan protein melalui kompleks fitat-fosfat-asam amino, secara tidak langsung asam fitat menghambat kerja enzim tripsin sehingga mengganggu pemecahan protein yang tidak berikatan dengan asam fitat (Conrad et al. 1996). Pada percobaan ini menunjukkan bahwa penggunaan R. oligosporus dalam fermentasi jagung mampu mereduksi kandungan asam fitat sebanyak 58,82%. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang diperoleh Suhenda et al. (2010) bahwa R. oligosporus mampu mengurangi kandungan asam fitat dalam bahan pakan sampai dengan 50%. Mullaney & Ullah (2007) menyebutkan bahwa beberapa kapang termasuk R. oligosporus mampu memproduksi fitase terutama fitase dari tipe histidine acid phytase yang mampu menghidrolisis asam fitat. Histidine acid phytase merupakan fitase dari kelas 3-fitase. Enzim ini menghidrolisis asam fitat mulai dari rantai C-radikal ketiga. Sehingga hasil hidrolisis asam fitat ini dapat berbentuk mio inositol
penta, tetra, tri, di, dan monofosfat (Baruah et al. 2004) seperti diilustrasikan pada Gambar 12.
Gambar 12. Mekanisme hidrolisis asam fitat oleh fitase (Baruah et al. 2004) Pemecahan gugus fosfat pada asam fitat oleh fitase mengakibatkan ketersediaan fosfor dan kalsium meningkat (Gambar 9). Hasil percobaan menunjukkan bahwa setelah difermentasi oleh R. oligosporus kandungan fosfor jagung meningkat sebesar 18,25%. Enzim fitase membantu melepaskan mineral-mineral yang berikatan dengan asam fitat menjadi mineral-mineral terlarut seperti P, Ca, Zn, Mg, dan Fe sehingga dapat dimanfaatkan oleh ikan. Hal yang sama juga diperlihatkan hasil penelitian Samsudin (2009) dimana penggunaan fitase komersial sebesar 1500 FTU dalam pakan ikan nila mampu meningkatkan ketersediaan fosfor organik bagi ikan nila. Selain fosfor, kalsium dalam jagung juga mengalami peningkatan. Hasil percobaan menunjukkan kandungan kalsium mengalami peningkatan sebesar 41,09%. Penggunaan fitase yang berasal dari R. oligosporus mampu untuk meningkatkan ketersediaan mineral kalsium dan seng sehingga mencegah terjadinya defisiensi kedua mineral tersebut terutama pada hewan monogastrik yang diberi pakan sumber protein nabati (El-Gindy et al. 2009).
Fermentasi jagung menggunakan R. oligosporus berpengaruh nyata terhadap fraksi serat kasar. Selulosa pada jagung mengalami penurunan sebesar 79,45% setelah difermentasi menggunakan R. oligosporus (Gambar 11). Hal ini mengindikasikan bahwa R. oligosporus mampu menghasilkan enzim selulase
yang mampu menghidrolisis selulosa yang terkandung pada jagung. Selulosa merupakan salah satu komponen yang terdapat banyak pada tumbuhan. Selulosa adalah polimer yang tersusun dari unit-unit glukosa yang bergabung menggunakan ikatan α-1,4-glikosida. Enzim selulase terdiri dari enzim endoglukanase dan eksoglukanase. R. oligosporus menghasilkan enzim endoglukanase (EC 3.2.1.4) atau dikenal 1,4-α-D-glucan-4-glucanohydrolase, mengurai polimer selulosa secara random pada ikatan internal α-1,4-glikosida untuk menghasilkan oligodekstrin dengan panjang rantai yang bervariasi. Eksoglukanase, termasuk 1,4-α-D-glucan glucanohydrolase (EC 3,2,1,74) (selodekstrinase) dan 1,4-α-D-glucan cellobiohydrolase (EC 3.2.1.91) (selobiohidrolase), mengurai selulosa dari ujung pereduksi dan non pereduksi untuk menghasilkan selobiosa dan atau glukosa. Enzim α-glukosidase (EC 3.2.1.21) (α-glukosida glukohidrolase) mengurai selobiosa untuk menghasilkan glukosa (Gandjar et al. 2006).
Selain selulosa, lignin dan ADF pada jagung mengalami penurunan setelah difermentasi menggunakan R. oligosporus. Lignin mengalami penurunan sebesar 52,60% dibandingan kandungan lignin sebelum fermentasi. ADF mengalami penurunan sebesar 41,19% dibandingkan dengan sebelum difermentasi (Gambar 11). Lignin pada jagung sebagian besar terkandung pada bagian kulit ari (Martinez et al. 2001; Suarni & Widowati 2009). Seperti halnya selulosa, lignin merupakan bagian dari serat yang sangat sulit dicerna oleh ikan. Lignin merupakan makromolekul yang tersusun atas kumpulan monolignol, disintesis oleh tumbuhan dan berada dalam dinding sel tumbuhan (Hatfield & Chaptman 2009). Kapang menghidrolisis lignin menggunakan enzim lignin peroksidase, manganase peroksidase, dan lakalase (Ohkuma et al. 2001) sehingga menjadi beberapa bagian yang bisa dicerna oleh hewan.
Berbeda dengan penurunan kandungan selulosa, lignin, dan ADF, kandungan hemiselulosa dan NDF mengalami peningkatan setelah proses fermentasi. Kandungan hemiselulosa meningkat sebesar 15,80% dibandingkan sebelum fermentasi. Hal ini disebabkan akibat peningkatan biomassa R. oligosporus selama proses fermentasi berlangsung. Gandjar et al. (2006) menyebutkan bahwa dinding sel kapang terdiri dari serat kasar terutama dari jenis
hemiselulosa dan kitin (polisakarida). Peningkatan biomassa R. oligosporus
berakibat pada kenaikan jumlah hemiselulosa pada bahan yang difermentasi dan hal ini dapat mengindikasikan banyaknya dinding sel kapang yang terbentuk selama proses fermentasi. Hal serupa juga diperoleh oleh Indariyanti (2011) pada fermentasi bungkil inti sawit menggunakan Trichoderma harzianum dimana kandungan hemiselulosa mengalami peningkatan sebesar 185,21% dibandingkan kandungan hemiselulosa sebelum difermentasi.
Penurunan kandungan asam fitat serta kandungan serat kasar pada jagung yang difermentasi oleh R. oligosporus mengakibatkan terjadinya peningkatan nilai kecernaan jagung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kecernaan protein, energi, bahan dan total mengalami peningkatan setelah dilakukan fermentasi. Nilai kecernaan protein meningkat 3,24% dibandingkan dengan jagung sebelum difermentasi. Penurunan kandungan asam fitat mengakibatkan ketersediaan protein yang dapat diserap ikan meningkat. Selama proses hidrolisis asam fitat oleh fitase, protein serta mineral polivalen dibebaskan. Selanjutnya protein yang tidak terikat oleh asam fitat dapat dicerna ikan dan diasimilasi menjadi jaringan tubuh. Kecernaan energi meningkat sebesar 2,90% dibandingkan sebelum fermentasi. Hal ini terkait dengan penurunan serat kasar serta hidrolisis beberapa komponen serat kasar dari molekul kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana sehingga mampu dimanfaatkan ikan sebagai sumber energi. Lovell (2002) menyatakan bahwa ikan nila mampu menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi yang efektif untuk mendukung pertumbuhannya.
Tahap III. Uji Pertumbuhan dan Kecernaan pada Ikan Nila