• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Teori Kepribadian Sigmund Freud

2.2.1.1 Mekanisme Pertahanan dan Konflik

Mekanisme pertahanan terjadi karena adanya dorongan atau perasaan beralih untuk mencari objek pengganti. Misalnya impuls agresif yang ditunjukkan kepada pihak lain yang dianggap aman untuk diserang.

Dalam teori kepribadian, mekanisme pertahanan merupakan karakteristik yang cenderung kuat dalam diri setiap orang. Mekanisme pertahanan ini tidak mencerminkan kepribadian secara umum, tetapi juga dalam pengertian penting dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian. Kegagalan mekanisme pertahanan memenuhi fungsi pertahanannya bisa berakibat pada kelainan mental ( Minderop, 2011:29-31).

Menurut Freud, (dalam Minderop, 2011:32-39), ada beberapa bentuk mekanisme pertahanan yaitu:

1. Represi (Repression)

Menurut Freud, mekanisme pertahanan ego yang paling kuat dan luas adalah antara lain, represi (repression). Tugas represi ialah mendorong keluar implus-implus id yang tak diterima dari alam sadar dan kembali kealam bawah sadar.

Represi merupakan fondasi cara kerja semua mekanisme pertahanan ego.

Tujuan dari semua mekanisme pertahanan ego adalah untuk menekan ( repress) atau mendorong implus-implus yang mengancam agar keluar dari alam sadar.

2. Sublimasi

Sublimasi terjadi bila tindakan-tindakan yang bermanfaat secara sosial menggantikan perasaan tidak nyaman. Sublimasi sesungguhnya suatu bentuk pengalihan. Misalnya, seorang individu memiliki dorongan seksual yang tinggi, lalu ia mengalihkan perasaan tidak nyaman ini ke tindakan-tindakan yang dapat di terima secara sosial dengan menjadi seorang artis pelukis tubuh model tanpa busana.

3. Proyeksi

Proyeksi terjadi bila individu menutupi kekurangannya dan masalah yang di hadapi ataupun kesalahannya dilimpahkan kepada orang lain. Misalnya, kita harus bersikap kritis atau bersikap kasar terhadap orang lain, kita menyadari bahwa sikap ini tidak pantas kita lakukan, namun sikap yang dilakukan

tersebut diberi alasan bahwa orang tersebut memang layak menerimanya.

Sikap ini kita lakukan agar kita tampak lebih baik.

4. Pengalihan (Displacement)

Pengalihan adalah pengalihan perasaan tidak senang terhadap suatu objek ke objek lainnya yang lebih memungkinkan. Misalnya, ada impuls-impuls agresif yang dapat digantikan, sebagai kambing hitam, terhadap orang (atau objek lainnya) yang mana objek-objek tersebut bukan sebagai sumber frustasi namun lebih aman dijadiakan sebagai sasaran.

5. Rasionalisasi (Rationalization)

Rasionalisasi memiliki dua tujuan: pertama, untuk mengurangi kekecewaan ketika kita gagal mencapai suatu tujuan; kedua, memberi kita motif yang dapat diterima atas perilaku. Hilgard et al (dalam Minderop, 2011:35)

6. Reaksi Formasi (Reaction Formation)

Represi akibat impuls anxitas kerap kali diikuti oleh kecenderungan yang berlawanan yang bertolak belakang dengan tendensi yang ditekan: reaksi formasi. Misalnya, seseorang bisa menjadi syuhada yang fanatik melawan kejahatan karena adanya perasaan di bawah alam sadar yang berhubungan dengan dosa. Reaksi formasi mampu mencegah seorang individu berperilaku yang menghasilkan anxitas dan kerap kali mencegahnya bersikap antisosial.

7. Regresi

Terdapat dua interpretasi mengenai regresi. Pertama, regresi yang disebut retrogressive behavior yaitu, perilaku seseorang yang mirip anak kecil, menangis dan sangat manja agar memperoleh rasa aman dan perhatian orang

lain. Kedua, regresi yang di sebut primitivation ketika seorang dewasa bersikap sebagai orang yang tidak berbudaya dan kehilanagan kontrol sehingga tidak sungkan-sungkan berkelahi. Hilgard et al (dalam Minderop, 2011:38)

8. Agresi dan Apatis

Perasaan marah terkait erat dengan ketegangan dan kegelisahan yang dapat menjurus kepada pengerusakan dan penyerangan. Agresi dapat berbentuk langsung atau pengalihan (direct aggression dan displaced aggression).

Agresi langsung adalah agresi yang diungkapkan langsung kepada seseorang atau objek yang merupakan sumber frustasi. Agresi yang dialihkan adalah bila seseorang mengalami frustasi namun tidak dapat mengungkapkan secara puas kepada sumber frustasi tersebut karena tidak jelas atau tidak tersentuh.

Sipelaku tidak tahu ke mana ia harus menyerang, sedangkan ia sangat marah dan membutuhkan sesuatu untuk pelampiasan. Penyerangan kadang-kadang tertuju kepada orang yang tidak bersalah dan mencari „kambing hitam‟. Apatis adalah bentuk lain dari reaksi terhadap frustasi, yaitu sikap apatis (apathy) dengan cara menarik diri dan bersikap seakan-akan pasrah.

9. Fantasi dan Stereotype

Ketika kita menghadapi masalah yang demikian bertumpuk, kadang kala kita mencari „solusi‟dengan masuk ke dunia khayal, solusi yang berdasarkan fantasi ketimbang realitas. Stereotype adalah konsekuensi lain dari frustasi, yaitu perilaku stereotype memperlihatkan perilaku pengulangan terus-menerus.

Individu selalu mengulangi perbuatan yang tidak bermanfaat dan tampak aneh Hilgard (dalam Minderop, 2011:39).

2.2.2 Psikopatologi

Arif (2005:69-70) mengatakan bahwa, psikopatologi merupakan gangguan pada dialektika antara realitas eksternal dengan dunia internal individu, yang mengakibatkan munculnya gejala-gejala ketidaksejahteraan atau ketidakbahagiaan, secara kognitif dan afektif, konatif dan fisiologis, baik pada tingkatan yang ringan sampai dengan tingkatan yang berat, dan dapat berlangsung dengan relatif singkat sampai dengan jangka waktu yang panjang.

Bagian dari kepribadian yang berhadapan langsung dengan realitas dan bertugas untuk menjaga kelangsungan dialektika tersebut adalah ego. Ego-lah yang tergerus bilamana individu kewalahan dalam menghadapi dinamika hidup ini. Ego pula yang dapat menjadi makin tangguh dan Resilient, bilamana individu pandai meniti buih dalam menjalani hidup. Individu yang memiliki ego yang kuat dan terintegrasi, akan lebih mampu menjaga keseimbangan diri dalam naik-turunnya dinamika kehidupan. Sebaliknya, individu yang memiliki ego yang lemah dan kurang terintegrasi akan kewalahan dan seringkali kehilangan keseimbangan diri.

Berdasarkan tingkat keparahan kerusakan ego, psikopatologi dapat dibagi menjadi empat golongan besar, Arif ( 2005:70-78)

1. Personality Disturbances

Personality Disturbances adalah gangguan yang paling umum terjadi pada siapa saja. Seseorang yang mengalaminya, biasanya memiliki ego yang

cukup baik dan masih terintegrasi. Ada eksitasi- misalnya berupa stressor tertentu- yang cukup besar dan tidak berhasil ditanggulanginya, sehingga menimbulkan gangguan dalam kepribadian individu. Individu yang bersangkutan merasakan ketidaksejahteraan atau ketidakbahagiaan (kecemasan) sampai batas-batas tertentu, dan hal ini terwujud dalam gejala-gejala yang mencerminkan stresnya, misalnya: sulit tidur, kehilangan selera makan, merasa cemas, tertekan, murung, memikirkan hal yang negatif, enggan melakukan aktivitas, dll.

2. Neurosis

Neurosis biasanya disebabkan oleh suatu trauma di masa kecil, yang menimbulkan konflik yang berkepanjangan dan hambatan dalam perkembangan kepribadian.

3. Personality Disorders

Kepribadian seseorang merupakan paduan dari unsur-unsur bawaan yang ditentukan secara genetik, dan proses pembentukan secara sosial dalam menjalani kehidupan.

Kepribadian yang terganggu, biasanya dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut:

1. Adanya cacat (defect) dalam satu atau lebih struktur kepribadiannya.

Struktur kepribadian yang sering terganggu adalah ego. Namun ada pula gangguan kepribadian yang ciri utamanya adalah cacat dalam struktur kepribadian yang lain, misalnya dalam hal superego, seperti kita temui dalam antisocial personality disorder (psychopath).

2. Hubungan interpersonal atau object relationship yang patologis.

Seseorang yang mengalami personality disorder tidak dapat menjalin relasi dialektis yang stabil, seimbang dan memuaskan dengan orang lain.

4. Psikosis

Psikosis adalah gangguan yang paling berat yang menimpa kepribadian.

Kita memahami bahwa kepribadian hanya ada, bila ada dialektika antara dunia internal individu dengan realitas eksternal.

2.2.2.1 Psikopat

Menurut Dirgagunarsa (dalam Kutjojo, 2009:32) psikopat merupakan hambatan kejiwaan yang menyebabkan penderita mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri terhadap norma-norma sosial yang ada di lingkungannya.

Penderita psikopat memperlihatkan sikap egosentris yang besar, seolah-olah patokan untuk semua perbuatan dirinya sendiri saja.

Menurut Kartono (dalam Kutjojo, 2009:32), psikopat adalah bentuk kekalutan mental (mental disorder) yang ditandai dengan tidak adanya pengorganisasian dan pengintegrasian pribadi sehingga penderita tidak pernah bisa bertanggung jawab secara moral dan selalu konflik dengan norma-norma sosial dan hukum.

Selanjutnya Kartono menyebutkan gejala-gejala psikopat antara lain sebagai berikut.

1. Tingkah laku dan relasi sosial penderita selalu asosial, eksentrik dan kronis patologis, tidak memiliki kesadaran sosial dan intelegensi sosial.

2. Sikap penderita psikopat selalu tidak menyenangkan orang lain.

3. Penderita psikopat cenderung bersikap aneh, sering berbuat kasar bahkan ganas terhadap siapapun.

4. Penderita psikopat memiliki kepribadian yang labil dan emosi yang tidak matang.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Dirgagunarsa dan Kartono tersebut dapat disimpulkan pengertian psikopat sebagai berikut.

1. Bahwa psikopat merupakan kelainan atau gangguan jiwa dengan ciri utamanya ketidakmampuan penderita dalam menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di lingkungan sosialnya.

2. Bahwa penderita psikopat tidak memiliki tanggung jawab moral dan sosial.

3. Bahwa perbuatan penderita psikopat dilakukan dengan acuan egonya.

4. Bahwa penderita psikopat memiliki kepribadian yang labil dan emosi yang tidak matang.