• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mekanisme transportasi antigen melalui pembuluh limfe aferen dan sel APC

Dalam dokumen BAB II LANDASAN TEORI (Halaman 24-40)

Mekanisme ini terutama terjadi pada perkembangan jaringan limfoid ektopik dan FTLs. Adanya inflamasi dan infeksi yang menyebabkan barier mukosa rusak dapat memicu pembentukan jaringan limfoid ektopik seperti BALT dan gastric MALT. Selain itu melalui mekanisme ini maka di dalam omentum dan peritoneum dapat terbentuk FTLs. Sel penyaji antigen/antigen precenting cells (APC) seperti DCs, dan makrofag jaringan sangat berperan penting dalam proses ini, akan tetapi mekanisme pasti perkembangan FTLs terutama hingga saat ini masih belum diketahui (Randall dan Mebius, 2014). Berikut ini mekanisme up take antigen dan perjalanannya menuju area efektornya secara skematik:

Gambar 2.4. Proses antigen memicu pertahanan mukosa dan sistemik (Brandztaeg, 2009))

NALT dan GALT mempunyai mekanisme pemrosesan antigen yang mirip, yaitu sama-sama dapat memicu respon imun spesifik dari Th. Yang membedakan adalah kompartemen anatomis efektornya sesuai ekspresi penanda homing dan reseptor sebagai ligannya. Stimulasi pada NALT akan meningkatkan ekspresi penanda homing CCR7 dan α4β1-integrin oleh sel IgA-committed B yang akan menyebabkan perjalanannya menuju ligannya yaitu CCL28 dan VCAM1 di tempat efektornya (Kiyono dan Fukuyama,2004).

Gambar di atas menunjukkan bagaimana perjalanan DCs mukosa mempresentasikan Ag pad sel T dalam jaringan limfoid, sel-sel yang dapat mepresentasikan antigen selain sel DCS (sel M) dan mekanisme uptake antigen (baik melalui endositosis, ikatan dengan reseptor, maupun DCs). Yang selanjutnya akan diikuti oleh presentasi antigen kepada sel limfosit B dan T di lamina propia, di folikel limfoid dan sel T yang bermigrasi dari HEVs.

Reseptor sel T memakai protein dimerik lintas membran sebagai reseptor khusus untuk bergabung dengan bagian antigen (fragmen) pada celah glikoprotein yang disandi oleh gen major histocompatibility complex (MHC).

commit to user

Sel T akan mengenali komplek yang dibentuk oleh peptida dan MHC kelas II melalui reseptor di permukaan Tcell receptor (TCR), yang diikuti oleh pembentukan sinyal-sinyal komunikasi yang berupa sitokin yang akan mengaktifkan sel limfosit disekitarnya maupun sel limfosit B dan sel Natural killer. Aktivasi TCR akan menyebabkan terjadinya peningkatan Ca++intrasel dan mengaktifkan calcineurin yaitu fosfatase yang mengeluarkan fosfat dari nuclear factor actifated Tcells (NF-AT). Defosforilasi menyebabkan NF-AT masuk ke dalam nukleus dan membantu faktor transkripsi asesoris, yaitu AP- 1 dan terikat dengan promoter dari kira-kira 100 gen yang mengaktifasi sel T (Poli, 2015; Bhaumik dan Basu, 2017). Selain melalui proses yang diperantarai DCs antigen juga dapat dipresentasikan oleh limfosit B dan sel epitel kepada limfosit T intra epitel dan sub epitel. Terdapat beberapa subset sel limfosit memori B dan T yang berada di sekitar sel M yang mempunyai kemampuan mengenali antigen yang keberadaannya sangat tergantung pada kolonisasi mikroflora komensal. Stimulasi sel B dapat terjadi melalui beberapa mekanisme antara lain melalui interaksi reseptor sel B (BCR) dengan mikroba yang bersifat superantigen atau melalui interaksinya dengan mikroba yang bersifat tergantung sel T (type 1 antigen depedent T cells ) dan mitogen seperti gula, lipid dan asam nukleat. Respon humoral pada neonatus juga terbatas, terutama dalam kemampuannya memproduksi antibodi. Hal ini menunjukkan adanya keterbatasan respon sel plasma di ektra folikuler dan turunan germinal center (GC). Penyebabnya adalah keterbatasan kemampuan aktifasi melalui jalur BCR, ekpresi kostimulator sel T yang rendah dan maturasi lambat dari sel B pada zona marginal. Selain itu sel stroma sunsum tulang juga mempunyai kemampuan terbatas dalam memproduksi faktor survival seperti A proliferation inducing ligand (APRIL) yang meningkatkan kemampuan hidup sel B post GC (Gervasi dan Horton, 2015).

Di mukosa interaksi DCs, sel epitel dan sel B dengan ILC dan limfosit naif CD4+ yang berada di lamina propia atau limfosit yang berasal dari high endotelial venules (HEV), akan menyebabkan aktivasi sel limfosit Tnaif CD4+

dan ILCS/Ltis. Sel-sel ini selanjutnya akan mengalami diferensiasi menjadi beberapa subset sel Thelper (Th) seperti limfosit Th1 CD4+, limfosit Th2 CD4+, limfosit Tfh. Setelah teraktifasi Th1 CD4+ akan berdiferensiasi menjadi NK, limfosit Th17, limfosit Th22 , Limfosit Treg , limfosit T sitotoksik CD8+ dan limfosit memori. Karakteristik subset sel T helper (Th) secara umum baik di mukosa dan di darah didefinisikan melalui ekspresi pola molekul efektornya (sitokin dan kemokinnya), molekul permukaan sel dan regulator transkripsinya( Bhaumik dan Basu, 2017).

Pada neonatus tanpa adanya stimulasi terdapat kecenderungan diferensiasi yang lebih dominan pada diferensiasi Th2. Sel Th2 adalah subset sel Th yang berperan dalam pertahanan terhadap patogen yang besar seperti cacing dan terlibat dalam respon alergi. Diferensiasinya tergantung pada faktor transkripsi GATA3 dan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-13. Produksi IL-4 merupakan faktor utama dalam perkembangan Th2. Secara instrinsik sel TCD4+ pada neonatus mempunyai karakteristik yang berbeda. Perbedaan ini terjadi karena adanya hipometilasi pada lokus Th2 atau hipermetilasi pada lokus IFN-ℽ , selain itu pada sitoplasma TCD4+ neonatus juga dijumpai adanya penyimpanan isoform IL-4 dan ekpresi reseptor heteromerik IL4Rα dan IL13-Rα. Karakteristik sel TCD4+ pada neonatus yang demikian menyebabkan usia hidupnya lebih pendek daripada usia hidup limfosit T CD4+dewasa. Oleh karenanya kunci dari perkembangan sistem humoral pada neonatus salah satunya adalah melalui respon T folikuler helper. Di intestinum juga demikian, sehingga saat ini salah satu target pengembangan vaksin saat ini diarahkan untuk pengembangan adjuvan yang memperbaiki respon T folikuler helper (Tfh) pada neonatus. Salah satu jalur sinyal yang mengalami down regulasi pada neoatus adalah jalur aktifasi sel NK. (Gervasi dan Horton, 2015). Paparan mikroba komensal pada awal kehidupan bayi sangat diperlukan untuk mengaktivasi sel NK, dan hal ini akan sangat mempengaruhi sistem imun anak sampai dengan dewasa ( Olzak et al, 2012).

commit to user

Aktivasi sel NK akan meningkatkan kemampuan sitolitik dengan mensekresikan sitokin Th1 IFN-γ yang lebih banyak. Natural killer (NK) sel pada bayi baru lahir lebih tinggi jumlahnya daripada orang dewasa, akan tetapi mempunyai kecenderungan lebih mudah disupresi daripada sel NK orang dewasa. Sel NK akan secara cepat diaktivasi melalui interaksi sel ke sel dengan kontak langsung dengan DCs, monosit/makrofag dan sitokin. Populasi sel NK matur sesuai fungsinya ada 2 subset yaitu sel NK CD56tinggi+CD16- dan CD56+rendah CD16+. Sel NK CD56+ tinggi CD16- yang mempunyai kemampuan mensekresi sitokin yang tinggi, dengan kemampuan sitotoksik yang rendah dan mempunyai kecenderungan melakukan homming ke dalam limfonodi. Subset sel NK CD56+rendah CD16+bersifat sitotoksik tinggi dan ditemukan pada jaringan yang mengalami inflamasi (Gervasi and Horton, 2016; Olzak et al, 2012).

Respon Th1 mengekspresikan faktor transkripsi T-bet dan terlibat terutama dalam respon terhadap patogen intraseluler. Sel Th1 memproduksi IFNγ. Adanya IFNγ bersama dengan IL-12, diperlukan dalam diferensiasi sel limfosit Th1 menjadi T CD8+. Adanya stimulasi pada jalur sinyal seperti IL-12 akan menyebabkan respon seluler neonatus cenderung pada Th1.

Keberadaan IL-12 dan IFN tipe 1 akan memicu terjadinya proliferasi yang tinggi yang menyebabkan fase ekspansi dari perkembangan limfosit T.

Selanjutnya mekanisme regulasi terjadi melalui perantaraan TGF-β dan karena kadar tinggi IFN akan memicu kematian sel. Regulasi kematian sel pada mekanisme ini diperankan oleh beberapa faktor seperti reseptor kematian di permukaan sel (reseptor Fas, CD-95, apoptosis antigen 1 (Apo-1), dan anggota superfamily reseptor TNF-6 (Fortner et al, 2017).

Pada saat terjadi respon imun terhadap rangsang antigen, limfosit akan berproliferasi cepat dengan kecepatan doubling time 7 jam, karenanya harus ada mekanisme check point untuk memastikan hanya limfosit yang dibutuhkan yang dibiarkan bertahan hidup. Check point awal adalah

memastikan hanya yang bersifat patogen spesifik yang hidup, dengan adanya ekspresi ko-stimulasi (CD-28 untuk Sel T, dan komplek CD-19/CD-21 dan CD-40 untuk sel B). Faktor kostimulasi ini akan memicu sekresi protein anti apoptosis seperti Bcl-xL dan peningkatan produksi sitokin yang meningkatkan kemampuan hidup seperti IL-2 dan IL-4. Bila faktor kostimulasi tidak mencukupi atau tidak ada maka limfosit tidak akan teraktifasi sempurna atau mati. Pada fase akhir aktifasinya beberapa hari setelah aktifasi TCR maka limfosit akan lebih sensitif terhadap kematian terkait Fas. Ikatan dengan Fas bisa mengaktifkan kemampuan survival atau sebaliknya tergantung pada faktor kostimulasi. Kematian karena ini juga dapat dihambat oleh pemberian IL-2, TNF dan IFN tipe 1. Pada fase akhir respon imun akan tetap ada sel yang bertahan hidup menjadi sel memori (Patarroyo dan Vargas, 2013). Hal ini akan berpengaruh besar pada profil limfosit dan cadangan total limfosit pada neonatus.

Cadangan total limfosit pada manusia dewasa relatif tetap meskipun terjadi influx dari sel baru dan replikasi dari sel yang sudah ada sebelumnya.

Subset limfosit yang jumlahnya relatif konstan meliputi sub populasi timosit dan sel progenitor B, sel T CD4+ naif atau CD8+ perifer, sel memori T CD4+ atau CD8+, sel B matur atau sel B folikuler, sel T γδ, dan sel NK. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme homeostasis yang mengatur jumlah limfosit (Abbas et al, 2012).

Pengaturan jumlah limfosit terjadi bukan melalui mekanisme kontrol produksi dari stem cells, berbeda dengan sel lain seperti eritrosit. Jumlah limfosit akan dijaga stabil setelah produksi awal melalui mekanisme apoptosis, survival dan proliferasi homestasis.Jika jumlah limfosit rendah proliferasi hoemostasis akan diaktifkan dari cadangan perifer. Bila jumlahnya terlalu tinggi maka limfosit yang berlebihan akan mati. Jumlah sel T dipelihara tetap konstan selama hidup melalui proliferasi homeostasis yang harus seimbang dengan kematian sel. Jalur apoptosis pada sistem imun secara umum dibagi menjadi 2 yaitu kematian karena hilangnya sinyal survival ekstrinsik

commit to user

(disebut kematian karena diabaikan) dan kematian yang diawali oleh ikatan reseptor dengan sinyal transduksi (kematian terprogram). Kematian karena diabaikan terjadi melalui mekanisme fisiologis yang memicu disfungsi mitokondria. Sel yang diabaikan akan mengalami atrofi dan deplesi ATP, serta gagal untuk tumbuh oleh karena terjadi ganguan pada metabolisme glukosa, dan perningkatan ROS. Bila sel terus menerus tidak mendapatkan sinyal maka membran mitokondria rusak dan terjadi pengeluaran molekul pro apoptosis seperti sitokrom C, apoptosis inducing factor (AIF) endonuklease G, dll ke dalam sitoplasma. Sitokrom C akan mengaktifasi caspase dan memicu cascade apoptosis. Diketahui bahwa protein anti apoptosis Bcl-2 dapat menghambat jalur kematian ini, akan tetapi tidak dapat mencegah atrofi sel (Patarroyo dan Vargas, 2013).

Boyman et al (2007) menunjukkan bahwa penambahan beberapa sitokin seperti pada lajur kanan kepada sel T akan memberikan pengaruh positif ataupun negatif menyerupai stimulasi secara alamiah. Beberapa penelitian lain mendukung Boyman et al. Pengaruh sitokin terhadap proliferasi ditunjukkan pada gambar di bawah ini:

B

Gambar 2.5. Peranan sitokin pada mekanisme homeostasis proliferasi limfosit T CD8+ dan CD4+ (Boyman et al,2007)

Gambar 2.5 menunjukkan pengaruh sitokin dalam mekanisme homeostasis sel CD8+ dan CD4+. Gambar A menunjukkan homeostasis proliferasi sel T CD8+ naif pada kondisi fisiologis yang tergantung terutama pada sinyal dalam

A

39

commit to user

kadar rendah yang dipancarkan setelah paparan IL-7 dan major histocompatibility complex class I molecules (MHC-I). Sinyal ini akan membuat sel bertahan hidup dalam jangka yang lebih panjang dengan sedikit atau tanpa berproliferasi. Kemampuan bertahan hidup ini terjadi melalui kemampuan memproduksi protein anti apoptosis Bcl-2 yang tinggi. Selain itu sel CD8+ naif juga mendapatkan sinyal penghambat apoptosis dari jalur TGF-β. Ketika sel CD8+ naif menjadi teraktifasi oleh antigen melalui sinyal 1 dan ditambah dengan kostimulasi sinyal 2, dibutuhkan sinyal 3 melalui IL-12 atau IFN-I dan IFN-γ, agar terjadi ekspansi yang efisien, terbentuk fungsi efektor dan formasi subsekuen sel memori. Produksi IL-12 yang tinggi selama fase ini akan memicu up-regulasi T-bet dan down-regulasi oeomesodermin (Eomes), serta up-regulasi protein anti apoptosis Bcl-3, sedangkan level Bcl-

2 dan IL-7Ra menurun setelah terjadi papapran antigen pada TCR. Selanjutnya proses ekspansi yang cepat ini, akan diikuti dengan fase kontraksi yang ditandai oleh kematian sebagian besar sel T efektor melalui mekanisme apoptosis, hasilnya hanya ada sekitar 5–10% sel yang bertahan sebagai sel T memori CD8+ yang bersifat long-lived. (c) Interleukin-7 (IL-7) dan IL-15 memberi sinyal pada sel memori sehingga terjadi proliferasi sel yang lambat, sedangkan keberadaan IFN pada kadar tinggi akan memicu apoptosis.

Gambar B menunjukkan mekanisme homeostasis pada limfosit CD4+. Sel CD4+ naif pada kondisi fisiologis mendapatkan sinyal melalui kontak dengan IL-7 dan molekul MHC- II yang pada level stimulasi yang rendah tidak akan memicu proliferasi akan tetapi membuat sel bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama. Pada kondisi ini sel CD4+ mendapatkan sinyal inhibisi dari TGF-β. Ketika sel CD4+ naif diaktifkan antigen maka akan terjadi down-regulasi IL-7Ra dan memicu proliferasi tinggi. Ekspansi sel T CD4+ dalam kondisi ini ditingkatkan oleh adanya IFN-I dan IFN-γ, dan dihambat oleh keberadaan IL-10 atau IL-2. Seperti halnya sel CD8+ setelah fase kontraksi ini secara subsekuen 90-95% sel efektor CD4+ akan mati dan sejumlah kecil sel yang bertahan adalah sel

memori yang bersifat long lived. Turn over sel memori selanjutnya tergantung pada IL-7 dan IL-15 yang akan menyebabkan sel dalam kondisi turnover rendah dan bertahan hidup yang ditandai oleh level ekspresi CD122 int/hi dan IL-7Ra. Sebagian besar sel ini bersifat tidak tergantung MHC-II. Pada fase terbentuknya CD4+ memori, TGF-β berperan sebagai inhibisi bagi ekpresi CD122 yang diinduksi oleh antigen spesifik. Tumor growth factor-β(TGF-β) ini dikeluarkan oleh sel Treg. Sel Treg mensupresi sel efektor dan sel DCs melalui sekresi faktor terlarut meliputi IL-10, TGFβ, fibrinogen-like protein-2 (FLG-protein-2), granzyme A atau B, perforin, dan adenosine. Berikut ini gambar yang menjelaskan peran Treg dalam proses homeostasis sel Tefektor:

Gambar 2.6.A menunjukkan jalur sinyal dan efek supresi sel Treg terhadap sel T efektor dan DCs. Selain melalui faktor yang disekresikan sel Treg dapat mensupresi sel T efektor dan DCs melalui kontak langsung sel ke sel, yaitu melalui ikatan galectin-1, ikatan CTLA-4 pada CD80/86, ikatan lymphocyte activation gene-3 (LAG-3) pada molekul MHCII dan ikatan neuropilin-1. Gambar 2.6.B menunjukkan ligan, reseptor dan efek supresinya pada sel efektor dan DCs (Peterson, 2012).

commit to user

Gambar 2.6. Mekanisme inhibisi Treg terhadap proliferasi dan apoptosis sel T efektor dan sel dendritik (Peterson, 2012)

Adanya TGF-β bersama dengan IL-6 dan IL-21 secara spesifik akan mengarahkan perkembangan sel T naif menjadi Th17, sedangkan IL-2 diketahui memicu sel T naif yang sudah di-treatment dengan TGF-β

B A

berdifernsiasi menjadi sel Treg Foxp3+. Sel Treg mengekspresikan CD4, CD25,dan forkhead box P3 (Foxp3), mempunyai fungsi dalam proses maintenance imunologis dalam toleransi diri sendiri dan menghambat respon imun. Sel ini juga berperan menekan efek anti tumor dan respon terhadap vaksinasi. Sebagian besar sel Treg berkembang dari liniage sel T di Timus, akan tetapi di mukosa pada kondisi seperti adanya transforming growth factor-β (TGF-factor-β) atau adanya tumor dan infeksi sel ini dapat diaktifasi dari prekusor sel Th di perifer. Sel Treg dijumpai banyak pada darah tali pusat manusia yaitu sekitar 12% dari populasi sel T CD4+ dan di limfonodi neonatus mencakup sekitar 8%. Sel Treg janin manusia berasal dari T naif yang terutama mendapat rangsangan antigen maternal melalui plasenta. sel Tnaif CD4+CD8Foxp3 yang belum berdiferensiasi pada nenoatus diketahui memiliki mekanisme default yang menyebabkan sel menjadi Treg CD4+Foxp3+ setelah mendapatkan stimulasi melalui ikatan dengan perantara TCR. Sel Tnaif CD4+CD8Foxp3 yang belum berdiferensiasi pada nenoatus diketahui memiliki mekanisme default yang menyebabkan sel menjadi Treg CD4+Foxp3+ setelah mendapatkan stimulasi melalui ikatan dengan perantara TCR. Beberapa penelitian memperkirakan mekanisme ini terjadi karena adanya sel Treg CD4+CD25+Foxp3+ maternal yang berperan penting dalam mengontrol aloreaktifitas maternal terhadap perkembangan janin dan toleransi sentral selama masa perkembangan timus janin. Sel Treg selanjutnya diklasifikasikan menjadi 2 tipe meliputi natural Treg (nTreg) dan induced/adaptive-Treg (iTreg). Sel iTreg dibagi lagi menjadi 2 yaitu Treg tipe 1 dan Th3Treg (Peterson, 2012). Natural Treg berasal dari sel T timus yang mengekspresikan CD4+CD25+FOXP3+. Sel ini muncul dalam timus selama awal perkembangan janin (usia kehamilan 14 minggu). Pada masa perkembangannya sel ini bersifat resisten terhadap delesi timus. Natural Treg ini berdiferensiasi dari timosit yang mengekspresikan TCRs yang afinitasnya terhadap kompleks MHC dan antigen diri meningkat. Natural Treg ini dapat menekan beberapa tipe sel meliputi sel dendritik, monosit/makrofag, sel T

commit to user

CD4+, sel TCD8+, sel NKT, sel NK, sel B, sel mast, basofil, eosinofil dan osteoblas. Faktor transkripsi FOXP3 diperlukan dalam diferensiasi timosit menjadi Treg. Lim et al (2006) menemukan nTreg juga mengkespresikan marker sel T teraktifasi (fenotip memori CD45RO ketika teraktifasi ; CD45RB ketika berada pada fase istirahat; CD25 baik saat teraktifasi dan istirahat;

molekul adesi CD62L, CD44 dan Integrin a4b7 ; cytotoxic T lymphocyteassociated protein-4 (CTLA-4); molekul kostimulasi CD28, reseptor kemokin (CCR7, CXCR4, CCR9); glucocorticoid-induced TNFRrelated protein (GITR), OX40 (CD134), dan folate receptor-4(FR4 pada tikus). Perkembangan, fungsi dan homeostasis nTreg membutuhkan IL- 2, dimana CD25 adalah rantai alfa yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap IL2R (Peterson, 2012).

Adaptive/induced Treg terdiri atas sel Treg tipe 1 (Tr1) dan sel Th3Treg.

Sel Tr1 baik pada manusia dan tikus mensekresikan IL-10 dan TGFβ dalam kadar yang tinggi. Selain itu juga mensekresikan IL-2, IL-5 dan IFNγ dalam kadar rendah. Perkembangan Tr1 membutuhkan faktor pertumbuhan yaitu IL- 15, yang dapat meningkatkan proliferasi tanpa melalui aktifasi TCR. Sel ini merupakan bagian dari populasi sel CD4+ yang bersifat anergi dan dapat berproliferasi dengan tingkat proliferasi yang rendah ketika teraktifasi antigen spesifik. Sekresi IL-10 akan menyebabkan efek menurunkan tingkat proliferasi sel. Marker yang spesifik untuk mendeteksi sel Tr1 belum diketahui, akan tetapi dengan marker repressor of GATA-3 (ROG) identifikasi sel Tr1 dapat dilakukan walau marker ini tidak spesifik terhadap populasi sel Tr1. Sel Th3 mensekresikan TGF-β, IL-10 dan FOXP3 (Beissert et al, 2006).

Sel Th3 ini berasal dari sel T CD4 naif yang diinduksi oleh TGFβ. Sel Th3 ini berperanan penting dalam toleransi oral dari antigen asing dan mencegah reaksi autoimun. Sulit membedakan Th3 dan nTreg karena tidak ada marker yang spesifik.

c. Memori imunologis

Memori imunologis adalah salah parameter terpenting dalam menilai sistem imunitas. Sel memori saat ini telah diketahui bukan hanya berasal dari sel B, akan tetapi juga dimiliki oleh sel T baik CD4+ maupun CD8+, sel NK, dan sel Treg. Pada saat infeksi sel T naif yang bersifat spesifik terhadap patogen akan berdiferensiasi menjadi sel efektor berusia pendek dan sel memori. Hal ini akan memberikan perlindungan yang jangka panjang terhadap infeksi sekunder oleh patogen yang sama. Limfosit T mempunyai peran penting dalam perlindungan terhadap invasi patogen pada masa resolusi setelah infeksi. Sel memori T mempunyai peran memori imunologi yang meningkatkan imunosurvailan dan respon recall pada infeksi berikutnya (Abbas et al, 2012).

Dua populasi sel memori T yaitu the effector memory T cells (TEM cells) dan the central memory T cell (TCM cell) pertama kali ditemukan pada darah tepi oleh Sallusto et al (1999). Selanjutnya Masopust et al (2001) dan Reinhartd et al (2001) menemukan bahwa the effector memory T cells (TEM cells) banyak didapatkan di jaringan non limfoid, sedangkan TCM cell ditemukan terutama di organ limfoid sekunder. Sel limfosit memori sentral TCM CD8+ CD44+ CD62L+ mempunyai kemampuan ekspansi, self-renewal, dan pembentukan sel T efektor sitotoksik pada infeksi sekunder (Graef et al, 2014). Penelitian lainnya mendukung hasil penemuan-penemuan tersebut yang menunjukkan bahwa sel memori T dapat memasuki limfonodi perifer (Mackay et al, 1990) melalui pembuluh aferen limfe yang menunjukkan bahwa sel memori ini mengalami resirkulasi ke jaringan dan dapat bermigrasi ke jaringan termasuk kulit dan usus (Mackay et al, 1991). Keberadaan limfosit memori yang menetap di ganglia dorsal dan kulit diketahui pertama kali oleh 2 orang peneliti Gebhard et al (2009) dan Wakim et al (2008) setelah infeksi herpes simplex virus (HSV). Setelahnya Masopust et al (2010) menemukan sel T memori yang menetap pada usus halus setelah infeksi lymphocytic chorio meningitis virus (LCMV).

commit to user

Penemuan- penemuan ini membuktikan bahwa selain 2 populasi sel T memori yang ditemukan sebelumnya, terdapat populasi sel memori yang menetap yang disebut tissue- resident memory T cells (TRM cells) yang kemudian diketahui merupakan sel CD8+(Mueller dan Mackay, 2015).Sel Memori T di mukosa dapat menetap secara long lived di intra epitel dan lamina propia.

Distribusi sel limfosit T memori ini pada area efektor dipengaruhi oleh penanda homingnya, ada yang menunju ke permukaan kulit, ke mukosa saluran nafas, saluran cerna, organ reproduksi, paru, hepar dan otak (Muller dan Mackay, 2015).

Saat ini juga diketahui bahwa beberapa jenis sel T mempunyai karakteristik memori yang bersifat spesifik antigen meskipun tidak terekspose secara langsung terhadap organisme (Su et al, 2013). Ada 2 penjelasan mengenai asal sel T jenis ini yaitu dari sel T yang sebelumnya pernah terpapar antigen asing yang bersifat cross-reactive (Su et al, 2013) atau melalui mekanisme homeostatis yang bersifat tidak tergantung paparan antigen asing (Haluszczak et al, 2009). Sel T jenis ini sering disebut sebagai sel T virtual memori (VMT) atau sel T CD8+ memory-like , dan pertama kali diketemukan pada pada tikus germ-free (Haluszczak et al, 2009). Pembentukan sel T memori virtual (VMT) tergantung pada faktor Eomes dan IRF4, sinyal IFN tipe 1, IL-15 dan atau sinyal IL-4 dan DCs CD8a+ (Sosinowski et al, 2013;

Saat ini juga diketahui bahwa beberapa jenis sel T mempunyai karakteristik memori yang bersifat spesifik antigen meskipun tidak terekspose secara langsung terhadap organisme (Su et al, 2013). Ada 2 penjelasan mengenai asal sel T jenis ini yaitu dari sel T yang sebelumnya pernah terpapar antigen asing yang bersifat cross-reactive (Su et al, 2013) atau melalui mekanisme homeostatis yang bersifat tidak tergantung paparan antigen asing (Haluszczak et al, 2009). Sel T jenis ini sering disebut sebagai sel T virtual memori (VMT) atau sel T CD8+ memory-like , dan pertama kali diketemukan pada pada tikus germ-free (Haluszczak et al, 2009). Pembentukan sel T memori virtual (VMT) tergantung pada faktor Eomes dan IRF4, sinyal IFN tipe 1, IL-15 dan atau sinyal IL-4 dan DCs CD8a+ (Sosinowski et al, 2013;

Dalam dokumen BAB II LANDASAN TEORI (Halaman 24-40)

Dokumen terkait