• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transfer mikrobiota/Microbial transfer therapy (MMT)

Dalam dokumen BAB II LANDASAN TEORI (Halaman 40-52)

Paparan mikrobiota diketahui mempunyai efek imunomodulasi yang dipengaruhi waktu paparan. Paparan mikrobiota pada neonatus terjadi melalui beberapa mekanisme meliputi:

i) Transmisi vertikal

Tranmisi vertikal adalah transfer mikroba dari orang tua pada anak keturunannya. Kumpulan Streptococcus mutant misalnya, adalah kumpulan mikroba yang terutama berasal dari ibu. Transmisinya terjadi melalui proses kelahiran dan menyusui.

ii) Transmisi horizontal

Transmisi horizontal terjadi karena interaksi dengan limgkungan dan keluarga yang lain baik melalui kontak langsung maupun tidak langsung. (Patil et al, 2013) Neonatus pada saat kelahirannya mengalami perubahan lingkungan yang sangat berbeda dengan lingkungan di dalam rahim. Metode kelahiran menentukan pengaruh lingkungan terhadap bayi. Bayi yang lahir melalui vagina cenderung akan terpapar pada lingkungan yang lebih beraneka ragam meliputi flora di vagina ibu (Miyoshi et al, 2012).

Pada neonatus mikrobiota terutama disusun oleh bakteri, sedangkan pada orang dewasa populasi juga disusun oleh protozoa dan

fungi. Berikut ini adalah tabel populasi mikrobiota normal berdasarkan usia (Patil et al, 2013):

commit to user

Gambar 2.7.Diversitas mikrobiota normal pada orang dewasa dan bayi baru lahir (Patil et al, 2013)

50

Paparan pada awal kehidupan diketahui akan menstimulasi efek modulasi yang berbeda dengan masa dewasa. Bayi diketahui mempunyai kecenderungan untuk mudah mentoleransi antigen dan mikrobiota yang terpapar padanya. Bayi harus dapat mentoleransi antigen mikrobiota apatogen yang akan membantu perkembangan,maturasi dan organisasi organ limfoid berperan penting dalam sistem pertahanan mukosa dan sistemik. Kegagalan perkembangan, maturasi dan organisasinya akan berdampak bukan hanya pada saat masih bayi akan tetapi juga pada masa kehidupan selanjutnya. Kolonisasi mikrobiota di berbagai bagian tubuh akan mempengaruhi sistem tubuh baik secara lokal maupun sistemik terutama dalam menjaga homeostasis sistem imun dan menjaga dari infeksi mikroba patogen (Randall dan Mebius, 2014; Olzaks, 2012).

Metode transfer mikrobiota saat ini telah dilakukan uji klinis pada beberapa penyakit seperti Autisme spectrum disorder (ASD), infeksi Clostridium difficile, IBD, collitis ulseratif dll. Metode ini dikenal sebagai Microbiota transfer therapy (MTT). Ada 2 metode yang dikembangkan yaitu melalui oral dan melalui rectum. Pemberian melalui rektum disebut dengan Fecal microbiota transplantation (FMT). Metode ini mempunyai kelebihan dibandingkan dengan pemberian probiotik, karena mencakup jumlah spesies mikrobiota yang lebih banyak (Kang et al, 2017).

Mikrobiota bersinergi dengan nutrisi diketahui akan mempengaruhi sistem imun mukosa. Berikut ini gambaran skematik modulasi sistem imun oleh kolonisasi mikrobiota dan makanan:

commit to user

Gambar 2.8.Contoh imunomodulasi oleh mikrobiota dan komponen makanan (Cahenzli J et al, 2012)

52

Mikrobiota yang terpapar pada epitel permukaan mukosa akan berinteraksi dengan sel epitel dengan menggunakan reseptor Toll like receptor (TLRs). Bakteri gram positif akan memicu sekresi anti bakteri Reglly, yang menyebabkan bakteri tidak bisa menempel pada epitel. Sel epitel juga akan memproduksi sitokin seperti 1, 6, 8,17C, IL-25,1L-33 dan thymic stromal lymphopoetin (TSLP). Semua sitokin ini akan mempengaruhi sel-sel imun kompeten dalam lamina propia yang juga dapat memproduksi sitokin. Thymic stromal lymphopoetin (TSLP) merupakan faktor pertumbuhan yang akan memicu perkembangan sel B di mukosa (Cahenzli et al, 2012).

2) Nutrisi

a) Vitamin A dan vitamin D

Vitamin A adalah vitamin terlarut lemak yang dalam tumbuhan berada dalam bentuk carotenoids (seperti β-carotene), sedangkan pada hewan berada dalam bentuk retinol. Vitamin A ini dapat diubah menjadi beberapa bentuk metabolit meliputi retinal dan retinoic acid. Perubahan karoten menjadi retinal membutuhkan oksidasi enzimatik, dan retinal secara reversibel akan direduksi menjadi retinol sehingga dapat di-up take oleh sel. Selanjutnya retinol akan diubah menjadi retinoic acid melalui 2 macam proses. Proses I adalah oksidasi retinal yang terjadi dengan bantuan kelompok enzim alcohol dehydrogenase (ADH) atau retinol dehydrogenase (RDH). Pada proses II terjadi proses enzimatik yang dikendalikan oleh kelompok enzim retinal dehydrogenase (RALDH) yang juga disebut sebagai aldehyde dehydrogenase (ALDH) , yang menghasilkan all-trans-retinoic acid dan 9-cis-retinoic acid. Retinoic acid ini berukuran kecil, bersifat lipofilik, dan mudah mengalami difusi(Veldhoen dan Bruchalcher-Waldert, 2012; Srisinha, 2015).

Mukosa terutama di sistem gastroinstestinal merupakan tempat utama absorbsi vitamin A dan D. Sel-sel di mukosa yang mengekspresikan

commit to user

reseptor inti (seperti RORs, RARs, RXRs, LXRs dan PPARs) terhadap metabolit vitamin terutama adalah sel-sel imun seperti sel TReg, TH17 dan ILCs. Sel dendritik Peyer’s patch mengekspresikan RALDH1 dan limfonodi mesenterika mengekspresikan mesenteric RALDH2. Vitamin A yang sudah di metabolisme akan memicu respon transkripsi dengan berikatan dengan retinoic acid receptors (RARs) dan retinoid X receptors (RXRs). Terdapat 3 isotype dari keluarga reseptor inti RARs. All-trans- retinoic acid akan berikatan dengan RARs yang mengalami heterodimerisasi dengan RXRs. Molekul kompleks ini kemudian akan berikatan dengan sekuens DNA. All-trans-retinoic acid akan mengalami isomerisasi menjadi 9-cisretinoic acid, yang merupakan ligan dari homodimer RXR. Berbeda dengan RARs, RXRs dapat bersifat homodimer atau berpasangan dengan reseptor inti yang mensensor lipid seperti vitamin D receptor (VDR), peroxisome proliferator-activated receptors (PPARs), liver X receptors (LXRs), pregnane X receptor (PXR) dan farnesoid X receptor (FXR). (Veldhoen dan Bruchalcher-Waldert, 2012; Srisinha, 2015).

Retinoic acid adalah metabolit vitamin A yang mempunyai efek pleitrofik pada sistem imun innate dan adaptif. Retinoic acid (RA) diperlukan dalam mengedukasi DCs, diferensiasi dan homing limfosit serta produksi antibodi SigA di mukosa. Selain itu RA akan menyebabkan stimulasi efektif pada sel T mukosa. Dalam produksi vaksin intramukosa, vitamin A ini digunakan sebagai adjuvan dalam bentuk all-trans-retinoic acid (ATRA). Retinoic acid (RA) diketahui dapat meningkatkan interaksi antara DCs dan sel T CD8 yang bersifat spesifik antigen. Dendritic cells (DCs) mengeluarkan enzim yang dapat merubah vitamin A menjadi ATRA. Sinyal ATRA terjadi melalui ikatannya dengan nuclear retinoic acid receptor (RARα,β,dan γ) yang akan menyebabkan efek pleitropik memicu perkembangan dan diferensiasi banyak tipe sel baik sel imun innate dan sel imun adaptif. all-trans-retinoic acid (ATRA). dapat meningkatkan proliferasi sel T dan meng-upregulasi ekspresi gut-homing commit to user

Limfosit di mukosa mengekspresikan penanda berupa integrin, reseptor kemokin / CC- chemokine receptor-9 (CCR-9) dan CCR-10. Molekul-molekul ini juga merupakan Molekul-molekul adesi yang spesifik pada sel endotel dan mukosa. Contohnya α4β7 integrin diekspresikan oleh beberapa sel seperti sel B IgA+, plasmablas, sel T mukosa yang mengekspresikan CD4+ dan CD8+ yang diaktivasi pada limfonodi mesenterika dan Peyer’s patches.

Integrin ini secara spesifik dapat melekat pada mucosal addressin cell adhesion molecule 1 (MADCAM1) yang merupakan suatu molekul adesi jaringan yang bersifat spesifik yang banyak diekspresikan pada venula dalam mukosa usus (Veldhoen dan Bruchalcher-Waldert, 2012; Srisinha, 2015).

Limfosit yang mengekspresikan CCR-9 akan tertarik ke epitel yang mengekspresikan CC-chemokine ligand 25 (CCL25) yang ada pada usus halus. Kemampuan homing ini akan didapatkan oleh limfosit yang teraktifasi oleh antigen yang dipaparkan oleh DCs di mukosa yang mengekspresikan CD103+ yang berfungsi di inductive site. Fungsi imprinting dari DCs yang mengekspresikan CD103+ tergantung dari kemampuannya memetabolisme vitamin A dan memproduksi retinoic acid. Selanjutnya di traktus gastrointestinal dan genitalis diekspresikan CCL28, yang secara selektif akan menarik sel B IgA+ dan plasmablas yang keduanya mengekspresikan reseptor CCR-10. Inilah yang menjelaskan mengapa imunisasi intranasal dapat menstimulasi produksi antibodi IgA di traktus genetalia. Sehingga ekspresi CCR-10 pada nasopharynx-associated lymphoid tissue, menyebabkan sel B dapat melakukan homing pada jaringan genital (Veldhoen dan Bruchalcher-Waldert, 2012). Sirisinha (2015) menjelaskan lingkungan sel yang kaya dengan retinoic acid akan menyebabkan stimulasi sistem imun innate dan adaptif menjadi stimulasi yang seimbang baik protektif maupun toleransi, mencegah terjadinya inflamasi yang berlebihan. Keberadaan RA bersama faktor pertumbuhan dan sitokin seperti IL-10 dan IL-4 akan mengaktivasi sel limfosit naif

commit to user

berdiferensiasi terutama menjadi Treg dan Th2 yang lebih tinggi, sedangkan Th17 akan ditekan . Hal ini terjadi karena RA menghambat IL- 6. Selain itu RA juga mengurangi kemampuan Th1 untuk mengeluarkan IL-12 yang bisa menyebabkan inflamasi berlebihan. Di permukaan mukosa keberadaan vitamin A dan mikrobiota akan memegang peranan penting dalam fungsi pertahanan mukosa baik innate maupun adaptif dapat digambarkan seperti gambar di bawah ini:

Gambar 2.9. Efek pleitrofik retinoic acid pada sistem imun mukosa (Sirisinha 2015)

Defisiensi vitamin A dapat menimbulkan gangguan kesehatan karena regulasi sistem imun yang terganggu, yang manifestasinya bisa berupa penyakit infeksi maupun penyakit hipersensitivitas dan autoimun (Rosabono et al, 2016). Berikut ini adalah dampak defisiensi vitamin A pada respon imun yang diperantarai limfosit T:

Tabel.2.3. Dampak defisiensi vit A dan RA pada diferensiasi sel T

Treg Sinyal yang diperlukan untuk perkembangan Treg.

Selain vitamin A, vitamin D adalah vitamin yang penting dalam perkembangan sistem imun. Vitamin D adalah vitamin yang dapat kita jumpai pada makanan. Selain itu tubuh juga memproduksi vitamin D3 yang berasal dari isomerisasi pre-vitamin D3 yang diproduksi dari fotosintesis dari pro-vitamin D3 (7-dehydrocholesterol) ketika kulit terpapar ultraviolet B. Secara fisiologis metabolit aktif vitamin D3 (1,25- dihydroxyvitamin D3 (1,25(OH)2D3) atau disebut juga sebagai kalsitriol, dapat diproduksi di hati dan ginjal, atau oleh sel-sel imun. Metabolisme vitamin D3 menjadi benuknya yang aktif 1,25(OH)2D3 terjadi terutama di ginjal dan hepar, akan tetapi saat ini diketahui bahwa enzim yang dibutuhkan untuk produksi metabolit vitamin D3 yang aktif (1,25(OH)2D3) juga dipunyai oleh makrofag dan DCs. Vitamin D melalui ikatannya dengan reseptor VDR diketahui dapat meningkatkan ekspresi TLR2/4 dan CD14 (White, 2009).

commit to user

b) Polifenol

Polifenol merupakan molekul yang banyak terdapat dalam makanan yang mempunyai struktur polifenol (seperti gugus hidroksil, atau cincin aromatik), cincin fenol seperti asam fenolik dan alkohol fenolik. Polifenol terdiri dari beberapa kelas sesuai cincin fenolnya, meliputi flavonoid, asam fenolik, alkohol fenolik dan stilbenes dan lignan. Absorbsinya beberapa terjadi di usus halus, akan tetapi sebelum diabsorbsi beberapa membutuhkan hidrolisa oleh enzim usus. Beberapa polifenol seperti aglikon dapat masuk melalui sel epitel secara difusi pasif karena peningkatan lipositas, atau transpor aktif. Beberapa polifenol yang tidak diabsorbsi di usus halus akan mencapai usus besar dan mengalami modifikasi struktural oleh bakteri mikroflora yang akan menghidrolisa glikosida menjadi aglikon dan mendegradasinya menjadi asam fenolik sederhana. Oleh karena polifenol tunggal bisa membentuk banyak metabolit dan komponen yang mencapai sel dan jaringan itu banyak, maka sulit ditentukan polifenol apa yang spesifik berperan dalam mekanisme aksinya. Selain mempunyai efek stimulasi sel T, polifenol ternyata juga mempunyai efek antibakteri melalui efek presipitasi protein dan inhibisi enzim mikroorganisme (Corno et al, 2012).

Gambar.2.10. Gambar efek pleitropik stimulasi sel DCs (Cornò et al, 2012)

Dalam gambar 2.10. tersebut ditunjukkan bahwa polifenol dapat mengatur aktifitas dan fungsi DCs. Polifenol dapat mempengaruhi jalur sinyal seluler seperti MAPK dan NfkB sendirian atau bersinergi dengan jalur lain, sehingga dapat meningkatkan ekspresi molekul yang terkait dengan efek toleransi seperti IDO. Polifenol tertentu juga dapat mempengaruhi jalur sinyal transkripsi seperti STAT1.

c) Melatonin

Melatonin (N-acetyl-5-methoxytryptamine) adalah molekul yang secara alamiah dipunyai baik oleh organisme uniseluler, fungi, tumbuhan, hewan dan manusia. Melatonin bermanfaat dalam modulasi irama sirkadian, mood, gangguan tidur, pengaturan suhu tubuh, aktifitas lokomotor, nafsu makan, fisiologi retina, perilaku seksual dan sistem imun.

Secara biokimiawi melatonin tumbuhan merupakan turunan dari triptofan.

Konsumsi melatonin tumbuhan akan diserap oleh sistem gastrointestinal dan masuk ke dalam peredaran darah, meningkatkan kadar melatonin darah hingga 4 kali lipat. Melatonin juga diketahui memberi perlindungan pada

commit to user

sistem gastroinstestinal dengan mencegah ulserasi mukosa gastrointestinal, menurunkan sekresi asam hidroklorida dari lambung, menstimulasi sistem imun dan mikrosirkulasi, dan memicu regenerasi epitel (Arnao dan Hernandez-Ruiz, 2018).

d) Karbohidrat dan Asam lemak rantai pendek

Kandungan pada makanan contohnya karbohidrat akan berikatan dengan sel epitel dan sel imun dan dapat memicu efek protektif.

Kandungan makanan akan berikatan dengan aryl hidrocarbon receptor (AHR), memicu pembentukan intra epithelial lymphocytes (IELs)dan isolated lymphoid folikel dalam lamina propia. Di sisi lain adanya asam lemak bebas dan ATP dapat men-down regulasi TLR2/4 dan inflamasome sehingga terjadi respon anti inflamasi. Mikrobiota dapat memetabolisme serat makanan menjadi short chain fatty accid (SCFA) yang akan meningkatkan integritas epitel dan memicu respon anti inflamasi. Jenis mikrobiota akan mempengaruhi jenis respon imun. Bakteri komensal cenderung memicu respon toleransi dengan meningkatkan diferensiasi sel T reg, sedangkan bakteri patobion/patogen cenderung memicu sel Th17.

Selain itu mikrobiota juga akan memicu sekresi IgA yang akan melindungi mukosa dari infeksi(Cahenzli et al, 2012).

Dalam dokumen BAB II LANDASAN TEORI (Halaman 40-52)

Dokumen terkait