Antara Fiqih dan Hukum Positif Tentang Hak Istri Untuk Menolak Talak
A. Memahami Subtansi Perbedaan
Setelah melewati beberapa pembahasan yang dimulai dari pembahasan tentang talak dan hak-hak wanita dalam talak pada dua bab sebelumnya, maka sampailah pada bab analisa penulis tentang perbandingan kontradiktif permasalahan hak istri dalam menolak talak suami. Namun, sebelum penulis melangkah lebih jauh alangkah baiknya jika penulis mengulas sedikit tentang subtansi perbedaan antara fiqih dan hukum positif Indonesia berkenaan dengan peran serta seorang istri dalam perkara talak.
Dari sisi fiqih, penulis menggolongkan menjadi dua bagian yakni pada sisi fiqih klasik1 dan sisi fiqih kontemporer2. Dalam fiqih klasik, para ulama secara umum menyatakan bahwa dalam talak adalah murni hak suami. Hanya suami yang bisa menjatuhkan talak dan ia bisa menjatuhkan hak tersebut kepada istrinya dimanapun dan kapanpun baik dengan persetujuan istrinya maupun tidak asalkan
1
Sekitar abad VII-XII.
2
Dalam Kamus Bahasa Indonesia Terbaru, pengertian kontemporer adalah: (1) sewaktu, semasa, pada masa atau waktu yang sama. (2) pada masa kini, dewasa ini. Dari kedua makna tersebut, penulis memakai makna yang kedua yakni kontemporer adalah masa kini atau dewasa ini. Jadi, “fiqih kontemporer” adalah tentang perkembangan pemikiran fiqih Islam dewasa ini yakni dimulai pada abad XIX.
talak tersebut bukanlah talak bid’i.3 Namun, mereka berbeda pendapat tentang hukum menjatuhkan talak itu sendiri. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa talak adalah makruh tapi
sah-sah saja jika suami ingin menggunakan hak tersebut. Baik dengan persetujuan istri maupun tidak.
2. Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa walaupun hak talak ada ditangan suami, tapi suami tidak dapat mentalak istrinya begitu saja tanpa sebab. Hal ini dikatakan oleh ulama Hanafiyyah sebagai sebuah bentuk kufur ni’mat. Oleh karena itu, mereka mengatakan bahwa hukum asal talak adalah makruh littahrim. Dari sini, suami tidak diperbolehkan mentalak istrinya tanpa adanya sebab yang membolehkannya untuk menggunakan haknya. Penulis dapat mengatakan bahwa ulama Hanafiyyah mengakui hak talak pada suami tapi kemudian mereka membatasi dengan sebuah persyaratan dan mereka bermain pada tataran dosa dan tidaknya seorang suami yang ingin menggunakan hak talaknya.
3. Sedangkan ulama Maliki mengatakan bahwa hukum asal talak adalah lebih dari sekedar “al-man’u”, dengan khilaf aula maka boleh jadi talak tersebut dihukumi haram yakni tatkala seorang suami menceraikan istrinya tanpa adanya sebab-sebab yang dapat dibenarkan.4
3
‘Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-‘Arba’ah, ( Kairo: Dar al-Hadits, 2004), V. IV, h. 242.
4
‘Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-‘Arba’ah, h. 243.
Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada sisi fiqih klasik, permasalahan peran seorang istri dalam talak belumlah diakui. Seorang istri hanya dianggap sebagai mahal (obyek) dari talak itu sendiri.5 oleh karena itu seorang suami dapat saja menjatuhkan talak kepada istrinya walaupun si istri tidak menginginkannya. Namun, di sisi lain dapat ditemukan beberapa pendapat yang berusaha menjamin hak-hak istri agar tidak terdzalimi dengan talak yang dijatuhkan suaminya sehingga para ulama seperti dalam kalangan Hanafiyyah dan Malikiyyah membicarakannya dalam tataran dosa dan tidaknya tapi tetap mengabsahkan talak yang dijatuhkan oleh suami tersebut.
Berbeda dengan uraian pada tataran fiqih klasik, jika melihat dari sisi fiqih kontemporer, maka akan didapatkan beberapa pendapat yang sedikit menyebut peran serta istri dalm talak. Hal ini seperti yang diungkap oleh Abu Zahrah dalam bukunya
al-Ahwal al-Syakhsiyyah bahwa talak tidak ubahnya seperti sebuah akad yang dalam keabsahannya membutuhkan kerelaan dari pihak pertama dan pihak kedua yakni antara suami dan istri. Ketidakrelaan dari salah satu pihak menjadikan akad atau talak tersebut tidak sah. Oleh karena itu, talak hanya akan terjadi jika kedunya menginginkannya dan rela terhadap terjadinya perceraian tersebut.6
Namun, menurut Abu Zahrah bahwa ketika antara suami dan istri sepakat untuk mengakhiri hubungan perkawinannya dengan sebuah perceraian, maka dalam hal ini mereka harus bercerai demi kemaslahatan keduanya. Permasalahan utama
5
Imam Abi Hamid al-Ghazali, al-Wajiz, (Kairo: Dar al-Risalah. 2004), h. 382-387.
6
Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, (Kairo: Dar al-fikr al-‘Arabi, 2005), h. 281.
adalah ketika di antara keduanya tidak terjadi kesepakatan untuk bercerai. Dalam hal seperti ini, maka keduanya harus menyerahkan permasalahannya kepada Hakim untuk diselesaikan bagaimana baiknya. Dengan memasukkan masalah tersebut kepada Pengadilan maka mereka berdua akan mendapatkan keputusan yang lebih adil dan maslahat bagi keduanya.7
Beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa talak adalah salah satu formulasi dari sebuah perceraian yakni sebuah tindakan untuk mengakhiri akad nikah dan akad nikah itu sendiri adalah sebuah perikatan. Oleh karena itu, jika dalam akad nikah dibutuhkan oleh sebuah persetujuan oleh kedua belah pihak, maka tentu saja ketika akan mengakhirinya juga dibutuhkan persetujuan antar keduanya.
Hampir sama dengan pendapat para ulama fiqih kontemporer, dalam hukum positif di Indonesia peran seorang wanita dalam perkara perceraian (talak) diakui adanya. Yang membedakan adalah, jika fiqih baik klasik maupun kontemporer, tidak memandang keharusan seorang suami untuk mentalak istrinya di hadapan majlis hakim Pengadilan Agama, maka dalam hukum positif di Indonesia menyatakan bahwa perceraian (talak) hanya akan diakui jika diucapkan di hadapan majlis hakim.8
Sebaliknya dari konteks fiqih, hukum di Indonesia yang terkait dengan permasalahan ini, seperti dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
7
Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, h. 281-282. 8
Abdul Ghani Abdullah, ed.al., Kompilasi Hukum Islam, pasal 149, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 121. Lihat juga pasal 39 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1991. Lihat juga Pasal 66 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) terkesan mempersulit perceraian tersebut. Untuk dapat mewujudkan sebuah perceraian harus ada alasan-alasan tertentu yang dibenarkan oleh Undang-Undang dan ajaran agama, Jadi tidak semata-mata diserahkan pada aturan-aturan agama.9 Hal ini mengandung pengertian bahwa suami tidak dapat mentalak istrinya tanpa alasan tertentu. Dalam rangka menjaga prinsip maslahat terutama terhadap istri, maka perlu dibatasi hak suami itu sehingga ia tidak mentalak istrinya kecuali sudah cukup alasan untuk itu. Talak tanpa alasan apapun tidak dinyatakan sah.10
Pengajuan permohonan talak oleh suami pada Pengadilan Agama adalah merupakam jenis perkara kontentius tetapi menggunakan istilah permohonan. Dalam perkara tersebut, kedudukan suami adalah sebagai pemohon dan istri sebagai termohon. Antara pemohon dan termohon mempunyai hak dan kedudukan yang sama di muka hakim.11
Permohonan cerai talak meskipun berbentuk permohonan tetapi pada hakikatnya adalah kontentius karena di dalamnya mengandung unsur sengketa. Oleh karena itu, harus diproses sebagai perkara kontentius untuk melindugi hak-hak istri dalam mencari upaya hukum dan keadilan. Selain itu, perkara ini harus diproses sebagai perkara kontentius karena persetujuan istri sangat diperlukan di dalamnya.12
9
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), h. 59.
10
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 216.
11
Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Cet-1, h. 202.
12
Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h. 203.
Dalam jalannya persidangan, peran serta istri sebagai “termohon” tidaklah pasif. Beberapa hal yang membuktikan bahwa peran serta istri dalam perkara permohonan talak tidaklah pasif adalah adanya hak seorang istri untuk menjawab isi permohonan (gugatan) cerai yang diajukan suaminya, hak mengajukan duplik dan hak mengajukan upaya hukum mulai dari banding, kasasi di Mahkamah Agung sampai pada upaya hukum peninjauan kembali.
Untuk lebih memudahkan dalam memetakan perbedaan yang terjadi antara fiqih dan hukum positif maka penulis akan membuat daftar diagram perbedaan berkenaan dengan permasalahan peran istri dalam perkara talak yang diajukan suaminya sebagai berikut:
No Segi perbedaan Fiqih Hukum Positif
1. Hak talak Mutlak pada suami Pada suami tapi bersyarat
2. Saat pengikraran
Diikrarkan oleh suami dimanapun
Diikrarkan suami dihadapan Majlis Hakim Pengadilan Agama.
3. Alasan talak Tidak harus ada Harus ada 4. Peran istri Tidak ada (pasif) Ada (aktif)
5.
Upaya Hukum dari pihak istri
Tidak ada
Ada (banding, kasasi, peninjauan kembali)
6.
Hak istri untuk menolak
Tidak ada Ada (secara implisit)
Demikianlah kurang-lebih perbedaan yang terjadi antara fiqih dan hukum positif di Indonesia dalam permasalahan peran serta seorang istri dalam perkara talak bahkan peran istri untuk dapat menolak permohonan talak dari suaminya. Kasus seperti ini dapat dilihat misalnya pada kasus permohonan talak yang diajukan oleh Bambang Triatmojo kepada Istrinya Halimah. Halimah yang tidak menginginkan rumah tangganya hancur, mengajukan Banding atas permohonan Bambang yang dimenangkan pada Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan nomor putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat tanggal 16 Januari 2008. Sampai akhirnya, Halimah dapat memenangkan kasusnya sampai pada Kasasi di Mahkamah Agung sehingga statusnya sampai saat ini adalah masih resmi menjadi istri dari Bambang Triatmojo. Namun, yang menjadi permasalahan adalah apakah perbedaan antara fiqih dan hukum positif tersebut dapat dibenarkan dari sisi penetapan syari’ah itu sendiri?. Inilah yang akan dianalisis lebih mendalam pada sub bab berikutnya.13
B. Perbedaan Dinamis dan Kontradiktif Antara Hukum Fiqih Dan Hukum
Indonesia
Ikhtilaf menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ikhtilaf berasal dari bahasa Arab yang asal katanya (mashdar) berasal dari khalafa-yakhlifu-khilafan.
13
www.octavita.com/kasasi-bambang-tri-ditolak. di akses pada tanggal 6 Juni 2010.
Maknanya lebih umum daripada al-dhiddu, sebab setiap hal yang berlawanan; al-dhiddain, pasti akan saling bertentangan (mukhtalifain).14
Sedangkan ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua atau beberapa orang terhadap suatu obyek (masalah) tertentu, baik berlainan itu dalam bentuk “tidak sama” ataupun “betentangan secara diametral”. Jadi, yang dimaksud
ikhtilaf adalah tidak samanya atau bertentangannya penilaian (ketentuan) hukum terhadap satu obyek hukum.15
Perbedaan pendapat merupakan sebuah sunnatullah yang sering terjadi pada diri manusia, hal tersebut ditegaskakn Allah dalam beberapa ayat berikut:
ْﻢﻜﱠإ
لْﻮ
ْﺨ
.
)
تﺎ راﺬ ا
:
8
(
Artinya: Sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan berbeda-beda pendapat. (QS. Al-Zariyat: 8)
ْﻮ و
ءﺎﺷ
ﻚ ر
سﺎﱠﻨ ا
ﺔﱠ أ
ةﺪ او
و
نﻮ اﺰ
ﻦﻴ ْﺨ
) .
دﻮﻬ ا
:
118
(
Artinya: Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. (QS. Hud ayat 118)
Perbedaan pendapat dalam hukum Islam bagaikan buah yang banyak yang berasal dari satu pohon, yaitu pohon al-Qur’an dan Sunnah, bukan sebagai buah yang banyak yang berasal dari berbagai macam pohon. Akar dan batang pohon itu adalah al-Qur’an dan Sunnah, cabang-cabangnya adalah dalil aqli dan naqli, sedangkan buahnya adalah hukum Islam (fiqih) meskipun berbeda-beda atau banyak jumlahnya.
Terjadinya perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum Islam, disamping disebabkan oleh faktor yang bersifat manusiawi, juga oleh faktor lain karena adanya
14
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), h. 47.
15
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, h. 48.
segi-segi khusus yang berlainan dengan agama. Syekh Muhammad al-Madani dalam bukunya Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha’ membagi sebab-sebab ikhtilaf kepada empat hal yakni (1) Pemahaman al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, (2) sebab-sebab khusus tentang Sunnah Rasulullah SAW, (3) sebab-sebab yang berkenaan dengan kaidah-kaidah ushuliyyah dan fiqhiyyah, dan (4) sebab-sebab yang khusus mengenai penggunaan dalil di luar al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.16
Faktor penyebab itu mengalami perkembangan sepanjang pertumbuhan hukum pada generasi berikutnya. Semakin lama semakin berkembang sepanjang sejarah hukum Islam, sehingga kadang-kadang menimbulkan pertentangan keras, utamanya di kalangan orang-orang awam. Tetapi pada masa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, masalah khilafiyah tidak begitu dipersoalkan lagi. Apabila ikhtilaf ini hanya dalam masalah furu’iyyah yang terjadi karena perbedaan dalam berijtihad.
Setiap mujtahid berusaha keras mencurahkn tenaga dan pikirannya untuk menemukan hukum Allah dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang memerlukan penjelasan dan penegasan hukumnya. Dasar dan sumber pengambilan mereka yang pokok adalah sama yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Tetapi terkadang hasil temuan mereka berbeda satu sama lain dan masing-masing beramal sesuai dengan ijtihadnya, yang menurut dugaan kuatnya adalah benar dan tepat.
16
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, h. 51.
Jawad Mughniyyah dalam kata pengantar bukunya yang berjudul Fiqih Lima Madzhab mengatakan bahwa fiqih itu adalah sebuah lautan yang tidak diketahui tepinya. Oleh karena itu, satu masalah saja dapat berkembang dan bercabang-cabang menjadi sangat banyak. Biasanya, dalam fiqih satu masalah saja dapat mempunyai beberapa pendapat di antara berbagai madzhab, bahkan bisa jadi perbedaan tersebut terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama dalam satu madzhab tersebut, atau bisa jadi juga terjadi perbedaan yang dikeluarkan oleh satu orang alim saja.17 Variasi hasil ijtihad-ijtihad tersebut adakalanya merupakan sebuah keragaman (tanawwu’) namun bisa jadi merupakan sebuah pertentangan (tanaqud) dari pokok sumber hukum yakni al-Qur’an dan al-Sunnah.
Yusuf al-Qardhawy mengatakan bahwa Allah SWT telah menitipkan sifat kelenturan, fleksibilitas, dan keluasan yang menakjubkan sehingga membuat syari’at Islam dapat dirasakan sebagai rahmat bagi pemeluknya; orang mempelajari syari’at dan fiqih akan merasakan luasnya ruang kemaafan (manthiqah al’afwa) atau ruang kosong yang sengaja oleh nash-nash agama dibiarkan demikian, sebagai ruang gerak bagi para mujtahid untuk diisi dengan hal-hal yang paling baik bagi umat sesuai dengan zaman dan kondisinya.18 Nyatanya, perbedaan yang terjadi dalam pengalaman antara hukum Islam (fiqih) dengan hukum positif seperti yang sudah
17
Muhammad Jawwad Mughniyyah, Fiqih Lima Madzhab. Penerjemah Masykur A.B, dkk., (Jakarta: Lentera 2001), Cet. 7, h. XX.
18
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, h. 66.
penulis paparkan sebelumnya apakah termasuk dalam ruang kemaafan (manthiqah al-‘afwa) seperti yang dikatakan oleh Yusuf Qardhawy?.
Berkenaan dengan hal tersebut, perlu penulis paparkan terlebih dahulu perbedaan antara syari’ah dan fiqih. Mengenai istilah fiqih, penulis akan mengutip pandangan DR. Wahbah al-Zuhaili, dalam bukunya yang berjudul Ushul Fiqh al-Islami mengatakan:
Fiqih ialah suatu ilmu yang mengkaji hukum syara’ yaitu titah Allah yang berkaitan dengan aktivitas mu’allaf berupa tuntutan, seperti wajib, haram, sunnat dan makruh. Atau pilihan yaitu mubah. Ataupun ketetapan seperti sebab, syarat dan mani’, yang kesemuanya digali dari dalil-dalilnya yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah melalui dalil-dalil terperinci seperti ijma’,
qiyas dan lain sebagainya.19
Dalam memahami perbedaan antara fiqih dan syari’ah, ulama berbeda pendapat dalam tiga kelompok. Pertama, bahwa fiqih itu sama pengertiannya dengan syari’at. Hal tersebut seperti yang diucapakan oleh Prof TM Hasbi ash Shiddieqy dalam bukunya yang berjudul Falsafah Hukum Islam sebagai berikut:
Hukum Islam yang sebenarnya tidak lain dari pada Fiqih Islam, atau syari’at Islam, yaitu koleksi daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 20
Kelompok kedua menyatakan bahwa pengertian fiqih dengan syari’at itu sesuatu yang berbeda. Fiqih merupakan produk pemikiran manusia yang bersifat relatif terhadap syari’at Allah, sedangkan syari’at adalah nilai-nilai Islam yang
19
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Kairo : Dar al-Fikr, 2001), h. 19.
20
Muhammad Azhar, Fiqih Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme Islam, (Yogyakarta: Lesiska, 1996), h. 4.
bersifat absolut, universal dan abadi. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Prof. Ibrahim Hosen:
Sengaja saya bedakan antara hukum fiqih dan hukum syari’ah sesuai dengan pendapat ulama muta’akhirrin. Dulu syari’ah lebih luas. Akidah termasuk syari’ah. Semua masuk syari’ah. Sekarang syari’ah dikhususkanpada hukum dengan tingkah laku manusia. Syari’ah tidak menerima penafsiran seperti wajibnya shalat dan haramnya judi. Dalam masalah fiqih, biasa terdapat perbedaan. Itu sudah sifat fiqih. Sedangkan syari’ah hanya satu.21
Sedangkan kelompok ketiga mengatakan bahwa fiqih itu secara historis bukan hanya diorientasikan kepada hukum Islam, tetapi juga mencakup disiplin ilmu lainnya. Jadi, fiqih pada dasarnya berarti faham. Dengan demikian setiap upaya memahami ajaran Islam baik menyangkut hukum, aqidah, akhlak dan lain-lain itu berrti fiqih. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh DR. Nurcholis Madjid:
Fiqih ialah pemahaman keseluruhan ajaran agama, seperti dimaksudkan dalam kitab suci. Sistem hukum dalam al-Qur’am lebih merupakan ketentuan etis dan moral daripada ketentuan legal-formal seperti yang ada dalam pengertian fiqih sekarang. Tapi justru karena kenyataan ini, maka fiqih yang ada sekarang pun tetap mengandung bagian-bagian yang sesungguhnya merupakan perkara etis dan moral. Bukan masalah legal. Contohnya yang paling mudah adalah selalu dimulainya pembahasan dalam kitab-kitan fiqih dengan bab thaharah atau kebersihan badani.22
Melihat uraian di atas, secara implisit dinyatakan bahwa al-Qur’an lebih menekankan aspek moralitas daripada legalitas dalam pemahaman ajaran Islam
21
Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Dalam Masalah Nikah-Talak-Rujuk dan Hukum Kewarisan, (Jakarta: Yayasan Ihya’ Ulumuddin Indonesia, 1971), Cet. 1, h. 3.
22
Nurkhalish Madjid, Keislaman dan Keindonesiaan Menatap Masa Depan, Makalah KAA Paramadina, (Jakarta: 1989).
khususnya yang berkenaan dengan hukum Islam. Dengan kata lain aspek moralitas Islam lebih permanen sedangkan aspek legalitasnya cenderung bersifat relatif kondisional.
Dari ketiga pandangan kelompok ahli Islam di atas, penulis berkesimpulan bahwa pendapat kelompok kedua dan ketiga lebih relevan untuk dijadikan rujukan dalam pembahasan skripsi ini. Dengan catatan sebagai berkut:
Pertama, pembedaan pengertian antara fiqih dan syari’at lebih menjamin dari kekeliruan dalam upaya memahami ajaran Islam. Jelas mana yang syari’at (ajaran Islam yang tetap, tidak diperlukan lagi penafsiran), dan dimana yang disebut fiqih (hasil pemikiran ulama Islam) yang terus menerus mengalami penafsiran sesuai perkembangan zaman.
Kedua, menyamaratakan pengertian syari’at dengan fiqih akan menyulitkan umat Islam sendiri dalam upaya penyesuaian Islam dengan zaman yang berkembang. Karena bila diadakan upaya pembaharuan akan menimbulkan image bahwa ajaran Islam dirubah-rubah secara keseluruhan. Dengan demikian akan menjadikan Islam sebagai lahan yang empuk bagi orang-orang yang anti Islam karena dengan mudah mereka menolak keutuhan ajaran Islam.
Ketiga, harus dapat dibedakan antara aspek moralitas Islam dan aspek legalitasnya. Kerancuan dalam memahami perbedaan tersebut akan mengakibatkan pemahaman umat tentang (hukum) Islam lebih bersifat skriptualistis dan tekstualis, hal tersebut akan menghambat adanya proses pembaruan hukum Islam, yang pada akhirnya menjadikan Islam sebagai agama irrelevan dengan zaman.
Senada dengan hal tersebut, Abdul Ghani Abdullah mengatakan bahwa hukum Islam memang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits. Kata “hukum” di sini berarti wahyu atau produk Allah (syari’). Namun, hukum dari Allah tersebut adakalanya muncul dengan bentuk rumusan norma yang sangat kecil sekali mempunyai peluang interpretasi, sedangkan pada sisi lain rumusan norma menyediakan peluang yang luas bagi interpretasi. Dalam kaitannya dengan bentuk kedua, timbul pertanyaan sejauh mana peran manusia memunculkan hukum sehingga tetap terjaga kemurniannya dan terhindar dari campur tangan manusia itu sendiri?.23
Berkenaan dengan apa yang telah dikatakan oleh Abdul Ghani tersebut, menurut penulis sendiri memang benar bahwa dalam nash-nash Qur’an dan al-Hadits sebagian ada yang mempunyai peluang sangat kecil untuk diinterpretasikan atau bisa juga disebut dengan nash-nash yang qath’i dan sebagian lain sangat mungkin terbuka lebar untuk diinterpretasikan yakni pada nash-nash yang bersifat
dzanni. Namun, yang menjadi masalah adalah apakah nash-nash tentang talak tersebut adalah termasuk bagian nash-nash yang qath’i atau dzanni?.
Memang, pensyari’atan sebuah talak tersebut diserahkan di tangan suami berdasarkan beberapa nash yang menyebutkan permasalahan tentang talak dengan
mempunyai khithab (objek pembicaraan) bagi laki-laki. Hal ini dapat dilihat pada
ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan redaksi ﱠﻦهﻮﻤﺘﻘﱠ نإو (Jika kamu menceraikan
23
Abdul Ghani Abdullah, ed.al., Kompilasi Hukum Islam, h. 15.
Para ulama fiqih memang tidak pernah menyebutkan tentang keterlibatan istri dalam perkara talak, namun jika melihat ruh dari konsep hukum menjatuhkan talak yang tidak dapat dijatuhkan sembarangan, maka akan dapat diambil kesimpulan bahwa dalam menjatuhkan talak haruslah dihindari adanya kedzaliman dari pihak suami kepada pihak istri.
Dalam beberapa ayat tentang talak, misalnya pada surat al-Thalaq ayat 1 yang
mempunyai khitab untuk Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
ْ أو ﱠﻦﻬﺗﱠﺪ ﱠﻦهﻮ ﻓ ءﺎ ﻨ ا ﻢ ْﱠﻃاذإ ﺒﱠﻨ اﺎﻬ أﺎ
ةﱠﺪ ْااﻮﺼ
)
قﻼ ا
:
1
(
Artinya : Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar). (QS. al-Thalaq:1) 24 QS. al-Baqarah: 237. 25 QS. al-Thalaq:1. 26 QS. al-Thalaq:1. 27 QS. al-Baqarah: 228.
Ayat tersebut memang ditujukan kepada Nabi, yang kemudian pensyari’atannya berlaku juga bagi umatnya. Namun, pada faktanya Nabi Muhammad SAW tidak pernah mentalak salah satu dari sekian banyak istrinya. Pada kisah lainnya, memang