• Tidak ada hasil yang ditemukan

Solusi Menghadapi Perbedaan

Antara Fiqih dan Hukum Positif Tentang Hak Istri Untuk Menolak Talak

C. Solusi Menghadapi Perbedaan

kondisi kemajuan sekarang ini membutuhkan tafsiran ajaran agama secara konstektual, dan sangat tidak relevan apabila selalu dilihat dengan kacamata tekstual. Konstatansi yang disebut terakhir tersebut akan mengantarkan suatu pandangan bahwa hukum dan fiqih secara kontekstual tidak dapat dibedakan apalagi dipisahkan satu dengan lainnya. Bukan saatnya lagi mempertajam perbedaan tekstual yang memang berlainan, dan melanjutkan kondisi tersebut hanya akan memperkuat anggapan bahwa agama menghambat kemajuan.33

Dalam masalah adanya perbedaan antara fiqih dan hukum positif di Indonesia berkenaan dengan permasalahan hukum keluarga yakni Undang-Undang perkawinan, ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Undang-Undang perkawinan tersebut tidak selaras dengan hukum Islam dan karena itu beberapa umat muslim di negara Indonesia enggan memahami dan melaksanakannya secara baik dan benar. Hal seperti ini menurut penulis perlu dikomentari.

Dalam pembentukan hukum perkawinan nasional, unsur hukum Islam menjadi unsur hukum penentu dalam pembicaraannya di DPR dahulu. Menurut Prof.H.M. Rasjidi, mantan Gurubesar Hukum Islam Dan lembaga-lembaga Islam

      

33

Abdul Ghani Abdullah, ed.al., Kompilasi Hukum Islam, h. 16. 

Universitas Indonesia dalam salah satu percakapan dengan para asistennya di FH-UI tahun 1974 (sesudah Undang-Undang Perkawinan disahkan) ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang Perkawinan yang berlaku juga bagi umat Islam Indonesia adalah hasil ijtihad umat Islam Indonesia, melalui para wakilnya di DPR bersama pemerintah, yang bersifat pengembangan pemahaman tentang hukum syari’at atau hukum agama Islam (fiqih) mengenai perkawinan yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah untuk kemashlahatan umat Islam Indonesia. Bertitik tolak dari pandangan ini, dapatlah dimengerti mengapa ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang terdapat dalam Undang-Undang perkawinan itu kemudian dimasukkan ke dalam KHI dan kemudian dianggap sebagai hukum Islam.34

Mengenai sifat Undang-Undang perkawinan dalam mengangkat harkat dan derajat (kedudukan) kaum wanita yakni para istri dapat dijelaskan dalam uraian singkat bahwa dalam Undang-Undang perkawinan tersebut dinyatakan dengan jelas bahwa hak dan kedudukan suami-istri adalah seimbang dalam kehidupan keluarga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), kata seimbang artinya sama berat (kalau ditimbang), sama kuat (kalau diukur). Akibatnya adalah bahwa antara suami-istri sama-sama berhak melakukan perbuatan yang mempunyai akibat hukum baik bagi dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat. Dalam hal perceraian akibat talak, maka wajar jika istri diberi hak untuk berperan-serta dalam prosesnya.

      

34

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 43. 

Sebagai solusi dari perbedaan yang ada, maka perlu dipahami bahwa keputusan pemerintah yang kemudian dituangkan dalam bentuk Undang-Undang atau peraturan lainnya tentunya tidak lepas daripada kaidah:

فﺮﺼﺗ

مﺎ ﺈْا

ﺔﱠﻴ ﱠﺮ ا

ٌطﻮﻨ

ْﺼ ْﺎ

35

Kebijakan seorang pemimpin atas rakyat harus berdasarkan kemaslahatan.

Dengan demikian, pemimpin dan seluruh perangkatnya dalam mengambil kebijakan sudah seharusnya mendasarkan pertimbangannya pada kebaikan (mashlahah) maupun yang lebih mashlahah yakni al-ashlah di antara hal-hal

mashlahah lainnya. Pemerintah tidak diperbolehkan mengambil sebuah kebijakan berdasarkan satu pertimbangan saja, walaupun hal tersebut bermanfaat jika masih diyakini ada manfaat yang lebih besar lagi. Kecuali apabila dalam pengambilan kebijakan itu akan berdampak pada hal-hal yang merugikan dan fatal. Kewajiban ini dapat diaplikasikan dengan menggunakan prinsip dasar fiqih, yaitu:

ءْرد

ﺪ ﺎ ْا

ﻰ ْوأ

ْﻦ

ْﺟ

ﺎﺼ ْا

36

Mendahulukan upaya pencegahan hal-hal yang merusak daripada menarik kemashlahatan.

Disamping itu, pijakan pemerintah dalam mengambil keputusan adalah memberi perhatian lebih besar pada kemaslahatan yang bersifat umum (kemaslahatan universal/mashlahah al-‘ammah) di atas kemashlahatan individual. Dalam penetapan peraturan yang memberikan ruang peran serta bagi istri dalam permasalahan talak adalah dalam rangka pencapaian mashlahah bahkan ashlah demi keadilan tidak

      

35

al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, (Mesir: Dar al-Salam, 2006), V.1, h. 278. 

36

al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, V. 1, h. 161. 

hanya bagi istri tapi juga bagi suami. Inilah yang penulis maksud dengan kemaslahatan yang bersifat umum (kemaslahatan universal/mashlahah al-‘ammah). Oleh karena itu, sudah sepatutnya bagi rakyat untuk mengikuti arahan dari peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah.

Berkenaan dengan permasalahan menaati peraturan pemerintah, Ibnu Hajar dalam Tuhfah al-Muhtaj menyatakan bahwa mentaati perintah imam (pemerintah) yang berupa pekerjaan haram hanya wajib secara dzahir (tidak berdosa bila bila tidak dilaksanakan). Sedangkan untuk pekerjaan makruh dan mubah akan dibagi hukumnya sebagai berikut:37

Pertama, jika terdapat mashlahah universal (mashlahah al-‘ammah) maka wajib taat secara dzahir dan bathin (taat bathin yakni berdosa jika tidak dilaksanakan). Kedua, sedangkan jika tidak terdapat mashlahah al-‘ammah, maka hanya wajib secara dzahir saja sehingga jika tidak dilakukan tidak akan mendapat dosa.38

Mengenai status hukum sunnah dan mubah, disesuikan sepenuhnya pada keyakinan orang yang diperintah (baca: rakyat).39 Sebab, mungkin saja antara persepsi seorang imam dan rakyatnya berbeda, misalnya antara kedua belah pihak berbeda madzhab. Sehingga kedua belah pihak dalam memandang status hukum sebuah pekerjaan kadang kala berbeda sesuai keyakinan madzhab masing-masing.

      

37

Abdul Haq,. dkk, Formulasi Nalar Fiqih Telaah Kaidah Fiqih Konseptual, (Surabaya: Khalista, 2006), Cet-2, V. II, h. 83. 

38

Abdul Haq,. dkk, Formulasi Nalar Fiqih Telaah Kaidah Fiqih Konseptual, h. 83. 

39

Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba’lawy, Bughyah al-Mustarsyidin, (Libanon: Dar al-Fikr, 1995), h. 57-58. 

 

       

Namun satu hal yang tidak bisa ditinggalkan juga adalah bahwa keputusan pemerintah (hakim) adalah sebagai jembatan dari perbedaan yang terjadi. Hal ini sesuai dengan kaidah:

ﻢْﻜ

ﻢآﺎ ْا

ﺋﺎ ْا

ْا

ْﺨ

ﺎﻬﻴﻓ

ﻓْﺮ

فﺎ ﺨْا

40

 

Keputusan hakim dalam perbedaan pendapat produk ijtihad dapat menghilangkan pluralisme perbedaan pandangan.

Berdasarkan kaidah tersebut, maka dengan adanya keputusan pemerintah dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan lainnya itu sudah cukup untuk menjembatani perbedaan yang ada sekaligus menghilangkan pluralisme perbedaan pandangan.

 

 

40

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari kajian-kajian sebelumnya dan kesimpulan ini sekaligus sebagai jawaban daripada rumusan masalah yang sudah penulis sebutkan di awal pembahasan skripsi ini. Adapun point-point kesimpulan tersebut adalah sebagai berkut:

1. Otoritas istri dalam menerima dan menolak talak, pada dasarnya terdapat perbedaan (ikhtilaf) antara fiqih dan hukum positif Indonesia. Perbedaan tersebut bukanlah sesuatu yang menyalahi dikarenakan saling bertentangan (tanaqud) dari pensyari’atan ketentuan talak itu sendiri, tapi merupakan sebuah perbedaan yang mencerminkan keragaman perbedaan yang saling mewarnai (tanawwu’) demi menghidupkan esensi dari pensyariatan ketentuan talak itu sendiri.

2. Dalam fiqih klasik tidak mengakui adanya peran serta istri dalam permasalahan talak lebih-lebih hak untuk dapat menolak talak tersebut, maka sedikit berbeda dari fiqih klasik, dalam fiqih kontemporer ditetapkan adanya peran serta istri dalam talak. Yakni, bahwa sebelum talak terjadi, pendapat istri juga harus dipertimbangkan. Talak tidak ubahnya seperti sebuah akad yang dalam keabsahanya membutuhkan kerelaan dari pihak pertama dan pihak kedua yakni antara suami dan istri. Ketidakrelaan dari salah satu pihak menjadikan akad atau

talak tersebut tidak sah. Oleh karena itu, talak hanya akan terjadi jika kedunya menginginkannya dan rela terhadap terjadinya perceraian tersebut. Namun, jika tidak dapat ditemukan jalan tengah karena keduanya tetap pada pendirian masing-masing, maka hakimlah yang akan memutuskan.

3. Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara implisit menjamin wanita untuk dapat berperan serta dalam proses perceraian dan melakukan penolakan terhadap permohonan talak yang diajukan suaminya. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa pasal yang menjamin hak istri untuk berperan serta dalam penyelesaian perkara talak, yakni adanya hak

untuk menjawab gugatan (permohonan) talak dari suaminya, hak duplik dan hak mengajukan upaya hukum mulai dari banding di pengadilan tingkat pertama sampai pada kasasi pada tinkat Mahkamah Agung. Bahkan, kalau masih dirasa perlu maka istri yang masih ingin mempertahankan rumahnya dapat mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan-putusan yang didapatkannya.

4. Apa yang sudah ditetapkan oleh Undang-Undang atau peraturan lainnya yang

terdapat di Indonesia berkenaan dengan permasalahan ini sudah memenuhi

ketentuan prinsip dasar fiqih, yaitu:

ءْرد

ا

ﺪ ﺎ ْ

ﻰ ْوأ

ْﻦ

ْﺟ

ﺎﺼ ْا

Mendahulukan upaya pencegahan hal-hal yang merusak daripada menarik kemashlahatan.

Dimana pada dasarnya keputusan pemerintah berupa Undang-Undang atau peraturan lainnya tersebut tidak dapat lepas dari dua kaidah berikut:

فﺮﺼﺗ

مﺎ ﺈْا

ﺔﱠﻴ ﱠﺮ ا

ٌطﻮﻨ

ﺔ ْﺼ ْﺎ

Kebijakan seorang pemimpin atas rakyat harus berdasarkan kemaslahatan.

ﻢْﻜ

ﻢآﺎ ْا

ﺋﺎ ْا

ْﺨ ْا

ﺎﻬﻴﻓ

ﻓْﺮ

فﺎ ﺨْا

 

Keputusan hakim dalam perbedaan pendapat produk ijtihad dapat menghilangkan pluralisme perbedaan pandangan.

Berdasarkan kaidah tersebut, maka dengan adanya keputusan pemerintah dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan lainnya itu sudah cukup untuk menjembatani perbedaan yang ada sekaligus menghilangkan pluralisme perbedaan pandangan.

B. Saran

Dari pembahasan di atas, besar harapan penulis bahwa tulisan ini akan memberikan sedikit masukan kepada pemerintah, ulama dan masyarakat untuk bersama-sama membangun suatu tatanan hukum yang baik demi kemaslahatan bersama.

Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan di negara ini, diharapkan untuk peka dengan gejala hukum yang ada di masyarakat. Kemudian mengatur hal-hal yang dirasa dapat meresakan warganya, sehingga masyarakat akan merasa terjamin hak-haknya. Selain itu, ketegasan pemerintah dalam pelaksanaan hukum yang ada

 

juga sangat diperlukan, sehingga hukum yang ada tidak hanya ditakuti tapi juga mempunyai wibawa untuk ditaati dan dipegang teguh oleh warganya.

Begitu juga bagi para ulama yang merupakan komponen penting dalam penentuan hukum, untuk lebih bisa mengayomi dan menjadi maraji’ bagi masyarakat secara umum, khususnya bagi masyarakat awam. Peran ulama dalam memberikan pengertian atas pentingnya pelaksanaan suatu hukum perlu melihat konteks kekinian sehingga tidak terasa saklek atau tekstual dengan nash-nash yang ada. Karena bagaimanapun juga, hukum selalu berkembang seiring dengan berkembangnya waktu dan tempat.

Adanya pemerintah maupun ulama dalam penentuan hukum, tentu tidak akan seimbang jika masyarakat tidak bisa diajak untuk bekerja sama. Sudah seharusnya masyarakat mendukung aturan-aturan baik yang ada. Bukan hanya untuk kepentingan pribadi saja tapi untuk kepentingan bersama.

Terakhir, penulis merasa bahwa pembahasa pada skripsi ini tentunya masih sangat sederhana dan tentu saja memiliki ketidaksempurnaan. Oleh karena itu diharapkan saran dan kritik yang sehat agar lebih bermanfaat. Semoga tulisan ini menjadi penyambung lidah positif bagi para pengkaji hukum.

Dokumen terkait