Universitas Islam Negeri
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Oleh:
ELI ERMAWATI MS NIM: 1060 4410 13 67
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PRODI AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam ranah hukum ada suatu pepatah yuridis yang berbunyi “ibi ius ibi, societas”, dimana ada masyarakat, maka disana ada hukum. Hal ini berarti pada setiap perkembangan, corak dan dinamika kehidupan masyarakat, akan ada tatanan, norma dan kaedah hukum yang mengaturnya. Berdasarkan kaedah ini masyarakat diatur, dibimbing dan diarahkan supaya pola hidup yang dijalani tetap teratur dan tertib (rule and order) serta dapat terjaga hak-hak masing-masing individu.1
Setiap perkembangan dan dinamika masyarakat, terutama pergulatan sosial, ekonomi, politik dan budaya adalah butuh jawaban/solusi dan pembenaran. Hal ini dapat membawa kalangan ahli hukum untuk melakukan telaah dan kajian ulang terhadap berbagai dasar hukum yang selama ini digunakan sebagai pijakannya. Hal itu perlu dilakukan sebagai bagian dari proses untuk mewujudkan idealitas pencarian dan penemuan hukum yang dikenal sebagai proses “recht vinding”. Hal ini berarti ada upaya penggalian dan penemuan kembali berbagai solusi hukum sehubungan dengan kemunculan berbagai persoalan sosial, hukum, politik dan lainnya yang tidak ditemukan dalam dasar hukum utamanya.2
1
Muhammad Tholchah Hasan, Diskursus Islam Kontemporer, (Jakarta: Lintafariska Putra, 2001), Cet. 2, h. 1.
2
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam masalah perkawinan juga terdapat beberapa permasalahan yang butuh solusi pemecahan. Masalah akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan suci (mitsâqan ghalîzhan) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Hal ini menunjukkan ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa rahmah) dapat terwujud.
Namun, seringkali apa yang menjadi tujuan perkawinan kandas di perjalanan. Apabila pergaulan suami istri tidak dapat mencapai tujuan perkawinan seperti yang didambakan, maka hal itu akan mengakibatkan perkawinan harus putus di tengah jalan. Karena tidak ada kesepakatan antara suami istri, maka di dalam Islam terdapat suatu jalan keluar dari segala kesukaran itu, yakni pintu perceraian/talak.
putusnya perkawinan adalah thalâq, khulu' fasakh, khiyâr, syiqâq, nusyûz, ila', dzihâr dan li'ân.3
Dalam kitab-kitab fiqih klasik putusnya perkawinan yang disebabkan talak ada di tangan laki-laki.4 Bahkan jika diamati, seolah-olah fiqih memberikan aturan yang sangat longgar bahkan dalam tingkat tertentu memberikan kekuasaan yang terlalu besar pada laki-laki. Seolah-olah talak menjadi hak prerogatif5 laki-laki sehingga bisa saja seorang suami bertindak otoriter, misalnya menceraikan istri secara sepihak.6
Berkenaan dengan hal ini, Sayyid Sabiq berpendapat bahwa Islam memberikan hak talaknya kepada kaum laki-laki karena kaum laki-lakilah yang memiliki ambisi untuk melanggengkan tali perkawinan yang dibiayai dengan mahal sehingga apabila mereka ingin bercerai dan kawin lagi akan membutuhkan biaya yang banyak. Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa laki-laki mempunyai akal tabiat yang lebih sabar menghadapi perangai istrinya. Dia tidak cepat-cepat menceraikannya. Sebaliknya, perempuan lebih cepat marah, terburu-buru dan tidak menanggung beban perceraian.7
3
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), h. 208.
4
Ahmad al-Ghandur, al-Thalaq Fi al-Syari’ati al-Islamiyati Wa al-Qanun, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1967), Cet. Ke-1, h. 32.
5
Yaitu hak Istimewa. Lihat di Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), Cet. Ke-5, hal. 370.
6
Syafiq Hasyim, Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam Islam (Bandung: Mizan, 2001), h. 170.
7
Pelaksanaan talak adalah tindakan sepihak dari suami; oleh karena itu tidak dikenal istilah qabul. Namun apakah keabsahan talak itu diperlukan persetujuan istri, kelihatannya tidak dibahas oleh ulama fiqih, baik secara umum atau dalam bahasan khusus. Hal ini disebabkan karena pendapat ulama secara umum talak itu adalah otoritas8 mutlak seorang suami. Otoritas itu dapat digunakannya meskipun tidak mendapat persetujuan dari istri yang ditalaknya.9
Di sisi lain, ternyata beberapa ulama kontemporer menyatakan bahwa walaupun hak talak ada di tangan laki-laki, tapi ia tidak boleh menggunakannya dengan sewenang-wenang. Abu Zahrah bahkan mengatakan bahwa antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam permasalahan aqad termasuk di dalamnya tentang aqad pernikahan dan perceraian. Oleh karena itu dalam suatu perceraian butuh adanya kesepakatan dari kedua belah pihak.10
Dari berbagai pendapat yang ada, Hukum Perkawinan di Indonesia lebih mengadopsi pendapat yang membatasi hak talak suami. Hal tersebut dapat dilihat dalam Hukum Acara Peradilan Agama yakni dalam rangkaian proses pengajuan permohonan cerai/talak seorang istri diberikan kesempatan untuk menjawab permohonan talak dari suaminya. Pada Hukum Acara Perdata menyatakan bahwa tergugat/termohon, dalam hal ini adalah istri sebagai termohon, dapat mengajukan
8
Yaitu hak untuk bertindak, kekuasaan: wewenang. Lihat di Sudarsono, Kamus Hukum, h. 332
9
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), Cet. ke-2, h. 214.
10
jawaban secara tertulis atau lisan. Pada tahap ini ada beberapa kemungkinan jawaban dari termohon yakni ia bisa mengiyakan permohonan talak suaminya atau sebaliknya ia akan menjawab untuk tetap mempertahankan rumah tangganya dan menolak permohonan talak dari suaminya.11 Kesempatan untuk menjawab ini bahkan tidak hanya sekali tapi dua kali yakni dilanjutkan lagi dengan duplik (jawaban dari replik pemohon).
Dalam praktek perkara perdata pada Pengadilan Agama juga dikenal istilah upaya hukum, yakni suatu usaha bagi setiap pribadi yang merasa dirugikan haknya atau atas kepentingannya untuk memperoleh keadilan dan perlindungan/kepastian hukum, menurut cara yang telah ditetapkan undang-undang.12 Upaya hukum dibagi menjadi beberapa jenis yakni adakalanya untuk melawan gugatan, melawan putusan upaya hukum luar biasa (istimewa). Adapun upaya hukum untuk melawan putusan di antaranya adalah verzet, banding (pasal 61 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989) dan kasasi (pasal 10 ayat 3 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 jo pasal 63 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo KHI pasal 130). Dengan adanya upaya hukum ini, seandainya hakim mengeluarkan putusan yang mengabulkan permohonan perceraian dari suami pada tahap pengadilan tingkat pertama, sedangkan ia (istri) masih bersikeras untuk tetap mempertahankan keutuhan rumah tangganya dan tidak ingin
11
Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Cet-1, h. 97.
12
dicerai, maka ia dapat mengajukan upaya hukum untuk mempertahankan haknya. Bahkan, jika ia tidak bisa mendapatkan haknya pada Pengadilan tingkat pertama dengan cara banding, maka ia masih bisa mengajukan upaya hukum pada tingkat Mahkamah Agung yang biasa disebut dengan kasasi.
Dari semua realita tersebut, dapat ditemukan indikasi adanya perbedaan antara hukum fiqih dengan hukum positif di Indonesia. Yakni, jika fiqih terkesan tidak memberikan hak bagi seorang istri untuk terlibat dalam talak lebih-lebih dapat mengajukan penolakan terhadap talak yang diajukan suaminya, maka hukum positif Indonesia justru sebaliknya memberikan hak kepada seorang istri untuk dapat turut andil dalam proses talak dan pada beberapa pasalnya menyatakan secara implisit
bahwa istri dapat mengajukan hak-nya untuk menolak talak yang diajukan suaminya. Berdasarkan sebuah kesimpulan awal bahwa terdapat perbedaan antara fiqih dengan hukum positif di Indonesia berkenaan dengan ada atau tidaknya hak istri dalam menolak talak yang diajukan suaminya, maka penulis terinspirasi mengambil judul untuk skripsi ini adalah: “Hak Istri Untuk Menolak Talak Perspektif Fiqih dan Hukum Positif”.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Untuk mempertegas arah pembahasan dalam skripsi ini, maka penulis akan merinci rumusan permasalahannya dalam bentuk pertanyaan. Adapun rumusan permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
2. Bagaimana batas hak wanita dapat menolak talak berdasarkan Fiqih klasik dan kontemporer?
3. Bagaimana batas hak wanita dapat menolak talak berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)?.
4. Bagaimana perbandingan antara Fiqih dan Hukum Positif dalam memandang permasalahan hak istri untuk menolak talak?.
Agar pokok permasalahan dalam memahami skripsi ini tidak terlalu meluas dan tetap pada pembahasan utamanya sehingga dapat lebih terfokus, oleh karena itu penulis akan mengemukakan batasan-batasan persoalan dalam skripsi ini hanya pada beberapa permasalahan. Secara lebih spesifik penulis hanya membatasi pada masalah perbedaan hak seorang istri untuk menolak talak perspektif fiqih lintas lima madzhab (Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi dan Ja’fari) dan hukum positif.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari kajian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengungkapkan tentang ada tidaknya hak seorang istri dalam menerima dan menolak talak.
3. Untuk mengungkapkan bagaimana batasan peran seorang istri dalam menolak talak berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
4. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan Fiqih dan Hukum Positif dalam memandang permasalahan hak istri dalam menolak talak.
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Memberikan pengertian secara akademis mengenai hak istri dalam permasalahan talak.
2. Memberikan wacana tentang peran seorang istri dalam menolak talak ditinjau dari kajian lintas perspektif Fiqih lintas lima madzhab; Syafi’I, Hambali, Maliki, Hanafi dan Ja’fari dan Hukum Positif serta perbandingan dari kedua perspektif tersebut.
3. Memberikan kesadaran bagi wanita agar dapat mengerti tentang hak-hak dan peran sertanya dalam permasalahan talak.
D. Studi Kajian Terdahulu
Pemaparan seperti ini biasanya terdapat dalam bab talak yang tersebar pada kitab-kitab fiqih klasik.
Adapun pencarian dari beberapa skripsi yang sudah penulis lakukan berkenaan dengan tema tersebut hanya berkisar pada gender dan kedudukan wanita dalam perkawinan. Adapun beberapa skripsi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Huzaemah. Kesetaraan Gender Dalam Buku I KHI (Studi Analisis Bab III, IV, VIII, IX dan XII). (Jakarta: Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah. 2004). Skripsi ini mengfokuskan pembahasannya pada permasalahan kesetaraan gender yang terkandung dalam buku I KHI. Sumber data yang dipakai olehnya berasal dari buku-buku sebagai rujukan primer dan skunder dengan metode library research. Hasil penelitiannya adalah bahwa dalam KHI sudah terdapat beberapa point penting yang mengakomodir posisi wanita dalam hukum. Wanita mempunyai kesetaraan dalam hukum. Walaupun Huzaemah membahas kesetaraan gender dalam KHI, tapi ia meluputkan satu pembasan khusus tentang hak istri dalam menolak talak suami seperti yang tercantum dalam pasal 130 KHI. Disinilah point yang akan penulis ambil untuk dijadikan kajian dalam skripsi ini.
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam skripsi ini penulis menggunakan sumber data yang berasal dari buku-buku sebagai rujukan primer dan skunder dengan metode library research. Hasil penelitiannya adalah bahwa status wanita dalam fiqih masih sangat terbatas sedangkan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan peluang kepada wanita untuk mempunyai status yang sama di hadapan hukum. Dalam skripsi ini juga tidak temukan pembahasan tentang hak banding seorang istri yang ditalak.
3. Zaenudi, Cecep Miftah. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Gender Maistreaming KHI. (Jakarta: Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah. 2006). Skripsi ini mengfokuskan pembahasannya pada permasalahan gender mainsteaming yang terdapat dalam KHI ditinjau dari Hukum Islam. Dalam skripsi ini penulis menggunakan sumber data yang berasal dari buku-buku sebagai rujukan primer dan skunder dengan metode library research. Hasil penelitiannya adalah bahwa tinjauan Islam tentang gender mainsteaming yang diadopsi oleh KHI dapat dibenarkan. Namun, ia tidak membahas lebih spesifik tentang hak istri dalam menolak talak.
klasik (madzhab Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi dan Ja’fari), Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dari sini, penulis dapat berkesimpulan bahwa pembahasan tentang hak istri untuk menolak (banding) terhadap putusan talak suaminya perspektif Fiqih dan Hukum Positif belumlah dibahas secara spesifik bahkan di fiqih-pun juga masih belum ada pembahasan secara khusus, hal ini seperti yang telah disampaikan oleh Prof. Dr. Amir Syarifudin dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan.13
E. Objek Penelitian
Objek penelitian skripsi ini adalah berawal dari sebuah perbedaan yang terjadi antara teori-teori dalam fiqih dengan Hukum Positif dalam hal ini adalah KHI dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni berkenaan dengan permasalahan ada atau tidaknya hak istri dalam menolak talak.
Dalam fiqih, secara umum para ulama menyatakan bahwa hak menjatuhkan talak merupakan hak prerogatif bagi suami secara mutlak. Kapanpun dan dimanapun ia ingin menjatuhkannya kepada istrinya, maka talak itupun akan dianggap jatuh dan dihukumi absah. Sedangkan sebagian ulama lainnya menyatakan bahwa walaupun talak ada di tangan suami tapi suami tidak dapat melakukan hal tersebut sekehendak hatinya. Hal ini terkait dengan bagaimana suami itu memandang
13
maslahat dari sebuah talak yang akan dijatuhkannya. Suami haruslah amanah dengan kekuasaan (untuk mentalak) yang telah diberikan Allah SWT kepadanya.
Adapun dalam Hukum Positif Indonesia menyatakan bahwa perceraian hanya dapat terjadi jika diucapkan di hadapan Pengadilan Agama. Tentu saja dengan segala prosedur yang harus dipenuhi, misalnya suami harus mempunyai alasan ketika akan mentalak istrinya.
Hal yang paling berbeda adalah ketika fiqih tidak membahas tentang ada atau tidaknya persetujuan dari istri yang ditalak, maka pada hukum keluarga Islam kontemporer telah membahas masalah ini. KHI menyatakan jika Pengadilan Agama di tingkat pertama memutuskan antara suami-istri tersebut telah bercerai (talak), sedangkan istri tetap masih berkeinginan untuk mempertahankan keutuhan rumah tangganya, maka istri tersebut dapat mengajukan hak banding (Pasal 130).
Dari uraian di atas, penulis akan meringkas bahwa objek penelitian ini adalah berkenaan dengan masalah kontradiktif tentang adanya hak menolak talak bagi seorang istri perspektif fiqih dan hukum positif.
F. Metode Penelitian
Untuk menjawab rumusan masalah yang sudah dipaparkan penulis sebelumnya, maka kajian ini dilakukan dengan metode kepustakaan (library research) atau kualitatif.14 Yaitu dengan cara membaca, mempelajari buku-buku
14
yang berkaitan dengan masalah yang menjadi pembahasan. Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah pendekatan normatif, yaitu analisis data didekati dari norma-norma hukum, maksudnya menganalisis dalil dan metode penetapan hukum yang digunakan Fiqih dan Hukum Positif. Selanjutnya dalam penjabaran skripsi ini penulis menggunakan studi analisis komparatif yaitu dengan cara membandingkan hukumnya antara perspektif Fiqih (klasik dan Kontemporer) dan hukum positif (Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)) agar dapat mengetahui perbedaan dan persamaan pendapat pada kedua perspektif. Selanjutnya kedua perspektif tersebut dikomparasikan, sehingga dapat diketahui diantara dua perspentif tersebut manakah yang lebih relevan dengan kondisi sekarang ini.
Kemudian penelitian yang digunakan dengan pendekatan penelitian kualitatif yaitu sebagai prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dengan mengggunakan metode sebagai berikut:
1) Sumber Data
Dalam penyusunan ini penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu:
a. Data primer, yakni kebanyakan menggunakan literatur berbahasa Arab seperti kitab-kitab fiqih klasik lima madzhab, Fiqh ‘Ala Madzahib al-Khamsah karya Muhammad Jawad al-Mughniyyah, al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah karya al-Jaziri, Kifayah al-Akhyar dari madzhab Syafi’i,
kontemporer seperti al-Ahwal al-Syakhsiyah karya Abu Zahroh, Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu karya Wahbah al-Zuhaili dan lain sebagainya. Selain itu juga ditunjang kitab-kitab ushul al-fiqh, kitab-kitab qawaid al-fiqhiyyah, kitab-kitab tafsir kenamaan dan kitab-kitab hadis utama seperti kutub al-sittah sebagai bahan acuan takhrij hadis. Adapun kitab hukum yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Data buku-buku primer ini sebagian sudah dimiliki oleh penulis dan untuk sebagian besar lainnya penulis mendapatkannya dari Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Syariah Dan Hukum dan beberapa perpustakaan yang berada di di sekitar kampus UIN seperti perpustakaan Darus Sunnah.
b. Data sekunder, yakni memanfaatkan berbagai literatur yang terkait dengan pembahasan ini, bisa dari literatur buku-buku fikih munakahat berbahasa Indonesia dan literatur-literatur lainnya. Tidak lupa juga penulis akan mengambil beberapa data dari koran, artikel dan internet jika diperlukan. 2) Teknik Pengumpulan Data
3) Analisa Data
Seluruh data yang diperoleh kemudian dianalisa dan disusun secara sistematis dengan mengunakan metode deskriptif analitis yakni dengan memberikan gambaran terhadap objek permasalahan, sekaligus memberikan analisanya dengan berpedoman pada sumber-sumber tertulis.
Adapun untuk teknik penulisan, penulis merujuk kepada buku panduan penulisan karya ilmiah yang dikeluarkan oleh Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.
G. Sistematika Penulisan
Adapun untuk menjaga sistematika penulisan sehingga terfokus pada kajian yang dimaksudkan, maka penulisan ini disusun berdasarkan sistematika berikut ini.
Pada bab kedua, akan dikemukakan tentang tinjauan teoritis tentang akad nikah sebagai sebuah perikatan. Penulis memulai tinjauan teoritisnya dari permasalahan perikatan yang kemudian dikaitkan dengan perikatan/akad nikah sampai pada berakhirnya sebuah perikatan/akad nikah. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tentang subtansi perikatan/akad nikah. Dari sini, penulis akan dapat mengetahui apakah talak itu merupakan sebuah “aqad” yang di dalamnya terkandung unsur ijab dan qabul atau ia tidak mengandung unsur ijab dan qabul. Hal ini sangat berpengaruh dalam menganalisa tentang ada tidaknya hak istri untuk menolak talak. Jika talak itu merupakan sebuah akad maka dibutuhkan adanya orang yang akan menjadi pengucap ijab dan qabul dan hal ini memerlukan kesepakatan keduanya agar akad tersebut menjadi absah. Sebaliknya, jika shigat talak ini tidak mempunyai unsur-unsur ijab dan qabul maka dalam keabsahannya tidak dibutuhkan adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Dalam pembahasan ini akan diuraikan tentang perikatan dan aqad, yang kemudian mengarah pada masalah akad nikah hingga berakhirnya pernikahan tersebut.
Pada bab keempat, akan dikemukakan tentang analisa penulis tentang perbandingan otoritas istri untuk menolak talak setelah melihat dari berbagai perspektif yang sudah dikemukakan sebelumnya. Adapun yang menjadi pembahasan adalah persamaan dan perbedaan serta analisa dari penulis sendiri berkenaan dengan masalah yang dikaji. Pembahasan itu meliputi apakah kontradiktif permasalahan ini bagian dari perbedaan dinamis atau bahkan perbedaan kontradiktif antara hukum fiqih dan hukum positif, memahami subtansi perbedaan dan bagaimana solusi menghadapi perbedaan.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG AKAD NIKAH
SEBAGAI SEBUAH PERIKATAN
A. Perikatan
1. Arti Perikatan, Akad dan Perjanjian
Dua pihak subyek hukum terdiri dari dua unsur, apabila mempunyai kemauan atau kesanggupan yang dipadukan dalam satu ketentuan dan dinyatakan
dengan kata-kata atau sesuatu yang bisa dipahami demikian, maka dengan itu terjadilah peristiwa hukum yang disebut dengan perikatan. Perikatan menurut
para ulama ahli fiqih biasa disebut dengan ‘aqdun (ﺪﻘ ).1
Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan dan mengikat. Dikatakan
ikatan ( ﺑﺮ ا) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali
yang mengikatkan salah satunya pada yang lainnya sehingga keduanya
bersambung dan menjadi seperti seuntas tali yang satu.2 Para ahli hukum Islam
(jumhur ulama) memberikan definisi akad adalah:
ﻓ
ﺮ أ
ﺒ
ﺮﺷ
ﺟو
ﻰ
لﻮﺒ
بﺎ إ
طﺎﺒﺗرإ
Pertalian antara ijâb dan qabûl yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.3
1
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), Cet-1, h. 1.
2
Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet-1, h. 75.
3
Pengertian lebih lengkap tentang akad atau perikatan adalah:
ﺮﻴﻏو
مﻼآ
ﻦ
ﻦﻴﺗدارإ
ﻦﻴ
طﺎﺒﺗرﻹا
ﻢ
ﺎ
ﻮه
ﺪ ا
ﻦﻴﻓﺮﻃ
ﻦﻴ
ماﺰ ﻹا
ﻴ
ﺗﺮ و
Akad adalah suatu yang dengannya akan sempurna perpaduan antara dua macam kehendak, baik dengan kata atau yang lain dan kemudian karenanya timbul ketentuan/kepastian pada dua sisinya.4
Dalam KUH Perdata, Subekti memberi pengertian perikatan adalah suatu
hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.5 Sedangkan pengertian perjanjian menurut Subekti adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu
hal.6
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, diantaranya seperti yang telah
dipaparkan oleh Subekti, maka dapat diambil kesimpulan bahwa peristiwa
perjanjian itu menimbulkan suatu hubungan di antara para pihak tertentu yang
disebut dengan perikatan. Dengan demikian, hubungan perikatan dengan
perjanjian adalah bahwa perjanjian menerbitkan perikatan. Seperti yang tercantum
dalam Pasal 1233 KUH Perdata: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
Mu’amalat (Hukum Perdata Islam), ed. Revisi, (Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 65: dan Teuku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalat, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 14.
4
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, h. 1.
5
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1992), Cet. 14, h. 1.
6
persetujuan baik karena Undang-Undang”. Dari pasal ini, maka dapat dikatakan
bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan.7
Abdoerrauf mengemukakan bahwa terjadinya suatu perikatan (ﺪﻘ ا) adalah
melalui tiga tahap sebagai berikut:
1. ﺪﻬ ا (perjanjian), yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan
orang lain. Janji ini mengikat orang orang yang menyatakanya untuk
melaksanakan janjinya tersebut. Hal ini berdasarkan Firman Allah SWT
dalam surat Ali Imran ayat 76 yang mempunyai arti:
“Bagi siapa yang menepati janji dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa”. (QS. Ali Imran: 76)
2. ﻰﺿﺮ ا (persetujuan) yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang
dinyatakan oleh pihak pertama. Persetujuan tersebut harus sesuai dengan janji
pihak pertama.
3. Apabila dua janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka terjadilah apa yang dinamakan ﺪﻘ ا oleh al-Qur’an yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 1 yang mempunyai arti sebagaimana berikut:
Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji yang sudah diakadkan. (QS. al-Maidah ayat 1) 8
7
Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), Cet-2, h. 47.
8
Setelah itu, maka yang mengikat masing-masing pihak sesudah pelaksanaan
perjanjian itu bukan lagi perjanjian (ﺪﻬ ا) tapi sudah menjadi ﺪﻘ ا .9
Proses di atas senada dengan esensi akad yang dipaparkan oleh Ibnu Taymiyyah dari madzhab Hambali sebagai berikut:
ﺎ ر
دﻮ ا
ﻓ
ﻷا
ﺎﻬﺒﺟوأ
ﺎ
ه
ﺎﻬ ﻴ و
ﻦ ﺪ ﺎ ا
Asal akad itu adalah kerelaaan dua pihak yang berakad, dan akibatnya adalah kewajiban yang mereka tentukan.10
Proses akad ini tidak terlalu berbeda dengan proses perikatan yang
dikemukakan oleh Subekti yang didasarkan pada KUH Perdata. Karena merupakan hubungan, maka perikatan atau akad ini timbul bisa karena perjanjian. Misalnya seorang mengemukakan janji menyerahkan barang untuk mendapatkan
uang dan pembeli mengemukakan janji membayarkan uang untuk bisa menikmati barang. Dalam contoh ini perikatan yang terjadi kelihatan kongkret, ada pihak
pertama yaitu penjual, pihak kedua yaitu pembeli, ada prestasi yaitu barang dan uang, kemudian ada ijâb dan qabûl dari masing-masing pihak. Sifat kongkret ini timbul karena perikatan tersebut timbul dari sebuah perjanjian.11
Namun, dalam penuturan lainnya Subekti mengatakan perikatan merupakan suatu pengertian abstrak, yakni suatu pengertian yang tidak dapat
dilihat tapi dapat dibayangkan dalam pikiran. Hal tersebut dikarenakan bahwa
9
Abdoerraoef, al-Qur’an dan Ilmu Hukum: A Comparative Study, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 122-123.
10
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Mu’amalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 84.
11
perikatan tersebut timbul tidaklah terbatas karena sebuah perjanjian atau
persetujuan dua pihak namun dapat juga timbul karena ketentuan undang-undang, syara’, atau dari Undang-Undang karena perbuatan manusia.12
2. Unsur Perikatan
Menurut jumhur ulama selain madzhab Hanafi mengatakan bahwa unsur
atau rukun dari akad itu ada lima, yaitu:
1. al-Aqidun, pelaku perikatan, baik yang terdiri dari seseorang atau sejumlah beberapa orang tertentu, sepihak atau beberapa pihak.
2. Mahall al-aqd, bisa juga disebut ma’qud ‘alaihi yaitu benda yang menjadi objek. Kalau dalam akad jual beli, maka contohnya adalah barang yang
diperjualbelikan.
3. Maudû’ al-aqd yaitu tujuan atau maksud pokok dari adanya akad. Misalnya dalam jual beli adalah seperti pemindahan hak milik melalui pembayaran.
4. Ijâb yaitu salah satu shigat al-aqd adalah suatu perkataan yang menunjukkan kehendak mengenai suatu akad dan diucapkan oleh pihak pertama.
5. Qabûl, yaitu salah satu shigat al-aqd adalah perkataan yang menunjukkan
persetujuan terhadap kehendak akad diungkapkan sebagai jawaban terhadap
ijâb.13
12
Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasioanal, (Bandung: Alumni, 1984), h. 10.
13
Untuk setiap rukun akad tersebut oleh para ulama dtentukan syarat
masing-masing dan secara keseluruhan di dalam KUH Perdata pasal 1320 disebutkan sebagai berikut:
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal.
Mas’adi dan Fathurrahman Djamil menuturkan lebih komplek tentang unsur akad dalam Islam adalah sebagai berikut:
1. Pertalian ijâb dan qabûl
2. Dibenarkan oleh syara’, akad yang bertentangan dengan syari’ah atau hal-hal yang diatur oleh Allah SWT dan Rasulnya mengakibatkan tidak sahnya suatu
akad.
3. Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya.14
Menurut pandangan madzhab Hanafi, bahwa yang merupakan bagian tak terpisahkan dari perikatan atau akad adalah hanya dua unsur saja yaitu ijâb dan
qabûl. Artinya, jika hanya ada ijâb saja tanpa qabûl atau hanya ada qabûl tanpa
ijâb, maka perikatan tidak akan pernah terwujud sama sekali. Oleh karena itu, menurut mereka ialah dua hal tersebut. Sementara hal yang lain misalnya orang
yang berakad hanyalah merupakan konsekwensi logis dari terwujudnya suatu ijâb
14
dan qabûl, bukan rukun yang berdiri sendiri yang menjadi sebab terwujudnya
akad tersebut.15 Alasan lainnya adalah bahwa selain shighat, semuanya itu bukanlah bagian dari tasharruf al-aqd (perbuatan hukum akad). Semua itu adalah berada di luar perbuatan akad (syarat).16 Perbedaan mengenai rukun dan syarat
menurut ulama fiqih adalah bahwa rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum dan ia termasuk dalam hukum itu sendiri.
Sedangkan syarat adalah merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum, tetapi berad di luar hukum itu sendiri.17
Menurut Fathurrahman Djamil, istilah al-aqdu dapat disamakan dengan
istilah perikatan (vebintenis) dalam KUH Perdata.18 Namun, perikatan dalam
KUH Perdata hanya dibatasi pada permasalahan harta. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh Jaenal Aripin dan Kama Rusdiana dalam bukunya yang
berjudul Perbandingan Hukum Perdata, bahwa yang dimaksud perikatan dalam
KUH Perdata adalah hubungan hukum yang terletak dalam lapangan harta
kekayaan yang terjadi antara dua orang atau lebih, dimana salah satu pihak berhak
atas prestasi (kreditur) dan pihak lainnya berkewajiban menyerahkan prestasi
15
Muhammad Salam Madzkur, al-Fiqh al-Islami al-Madkhal Wa al-Amwal Wa al-Huquq Wa al-Maliyah Wa al-‘Uqud, (t.tp: 1955), h. 356.
16
Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, h. 79.
17
Abdul Aziz Dahlan, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996). H. 1510.
18
(debitur).19 Sedangkan dalam perikatan Islam secara tradisional dapat dikatakan
bahwa materi pembahasannya merupakan bagian dari hukum mu’amalah dalam
kitab-kitab fiqih yang biasanya bahkan meliputi cakupan yang lebih luas,
termasuk di dalamnya bidang perkawinan (akad nikah), wakaf, kontrak kerja dan
sebagainya.20 Hal ini senada dengan perkataan Prof. Amin Suma dalam bukunya
Teori dan Praktek Ijtihad di Negara Modern Pengamalan Indonesia yang
menukil dari perkataan Zaid bin Aslam bahwa al-‘uqud dibagi kedalam enam
macam yakni: (1) janji Allah (‘ahd Allah), (2) janji dalam bentuk sumpah (‘aqd
al-halaf), (3) janji bersyarikat (‘aqd al-syarikah), (4) perikatan jual-beli (‘aqd
al-bay’), (5) perikatan perkawinan (‘aqd al-nikah) dan (6) janji sumpah (‘aqd
al-yamin).21
Dapat disimpulkan, bahwa subtansi dari perikatan hukum Islam lebih luas
dari materi yang terdapat dalam hukum perikatan perdata Barat. Hal ini dapat
dilihat bahwa jika dalam hukum perikatan perdata Barat hanya dibatasi pada
permasalahan harta benda maka dalam perikatan Islam lebih dari itu, yakni
termasuk juga di dalamnya adalah masalah perkawinan dan lain sebagainya. Dan
memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam masalah perkawinan juga tidak
dapat lepas dari permasalahan harta antara suami-istri nantinya.
19
Kama Rusdiana dan Jaenal aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Press, 2007), Cet-1, h. 99.s
20
Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, h. 2.
21
Bukti keluasan hukum perikatan Islam lainnya adalah bahwa jika dalam
hukum perikatan perdata barat hanya mengatur hubungan antara manusia dengan
manusia saja maka dalam perikatan hukum Islam tidak hanya mengatur hubungan
antar manusia (hablum minannas) tapi juga mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan (hablum minallah) sehingga hubungan tersebut merupakan hubungan
vertikal dan horizontal. Seperti halnya dalam akad perkawinan yang merupakan
tidak hanya berkaitan dengan hubungan antar manusia tapi terdapat unsur ibadah
di dalamnya. Bahkan di dalam al-Qur’an sebuah pernikahan merupakan sebuah
janji yang kuat ( ﻆ ﻏ قﺎﺜ ﻣ ).
B. Akad Nikah dan Prosesnya
1. Akad Nikah
Al-Qur’an mengambarkan sifat yang luhur bagi ikatan yang dijalin oleh
dua orang insan berbeda jenis yakni ikatan perkawinan dengan dengan gambaran
yang dikemukakan oleh beberapa ayat sebagai berikut:
ْﻴآو
وﺬ ْﺄﺗ
ْﺪ و
ﻰ ْﻓأ
ْﻢﻜ ْ
ﻰ إ
ْ
و
نْﺬ أ
ْﻢﻜْﻨ
ﺎ ﺎ ﻴ
ﺎﻈﻴ ﻏ
) ءﺎ ﻨ ا : (21
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS. Al-Nisa’: 21)
Dalam Surat al-Nisa’ ayat 21 tersebut ikatan perkawinan dinamakan
dengan ungkapan (ﻆ ﻏ قﺎﺜ ﻣ) suatu ikatan janji yang kokoh. Berkenaan dengan hal
Sedangkan dalam surat al-Baqarah ayat 187 dinyatakan bahwa jalinan
suami istri bagaikan hubungan pakaian, berikut aneka fungsinya dengan orang
yang mengenakannya.22 Firman Allah SWT:
ﱠﻦه
ٌسﺎﺒ
ْﻢﻜ
ْﻢ ْأو
ٌسﺎﺒ
ﱠﻦﻬ
)
ةﺮ ﺒ ا
: 187
(
Artinya: Mereka adalah pakaian bagimu dan kalian adalah pakaian bagi mereka. (QS. al-Baqarah: 187)
Demikian juga menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, dalam pasal 1 disebutkan definisi perkawinan dengan istilah ikatan
lahir bathin. Arti dari kata ini adalah bahwa perkawinan di samping mempunyai
nilai ikatan yang formil, secara lahir dapat tampak, tapi juga mempunyai ikatan
bathin yang dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan dan ikatan bathin
ini tentunya merupakan inti dari perkawinan maupun hubungan yang erat sekali
dengan kerohanian sehingga bukan saja unsur jasmani tapi juga peran penting
unsur bathin.
22
Dengan keterangan tersebut di atas, maka akad perkawinan setidaknya
mempunyai dua segi pandang yaitu dari segi formil dan sosial keagamaan. Para
ulama yang memandang hanya dari segi formil ketika mengemukaan definisi
nikah misalnya seperti apa yang disampaikan Malibari dalam bukunya Qurratu
al-‘Ain bi Muhimmat al-Din yang merupakan syarah dari kitab Fathul Mu’in:
ءطو
ﺔ ﺎ إ
ﻦ
ﺪ
وﺰﺗ
وأ
حﺎﻜ
23
Akad yang mengandung kebolehan persetubuhan dengan kata nikah atau tazwij.
Sedangkan dari sisi sosial keagamaan pengertian nikah lebih lengkap
disampaikan oleh Abu Zahrah dalam bukunya al-Ahwal al-Syaksiyah sebagai
berikut:
ﺎ ﻬﻜ ﺎ
ﺪ و
ﺎﻬ وﺎ ﺗو
ةءﺮ او
ﺟﺮ ا
ﻦﻴ
ةﺮ ا
لﺎ
ﺪﻴ
ﺪ
ﻦ
ﻴ
ﺎ و
قﻮ
ﻦ
تﺎﺒﺟاو
24Akad yang mengakibatkan hukum halal pergaulan antara laki-laki dengan perempuan dengan pertolongan serta milk hak dan kewajiban.
Definisi al-Malibari hanya melihat kebolehan hukum dalam hal hubungan
laki-laki dengan perempuan yang semula hukumnya adalah haram. Adapun
definisi dari Abu Zahrah disamping melihat hukum halalnya hubungan suami-istri
juga melihat kepada aspek akibat hukumnya.25 Bandingkan hal tersebut di atas
dengan segi-segi yang dimuat dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan yang berbunyi:
23
Al-Malibari, Qurrat al-‘Ain, (Jakarta : Dar al-Kutub al-Islami, 2010), h. 199.
24
Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, (Kairo: Dar al-fikr al-‘Arabi, 2005), h. 19.
25
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
Jelas kiranya bahwa yang termuat tidak hanya segi hukum formal, tapi
sampai kepada maksud sosial keagamaan yakni dengan disebutkannya
“membentuk keluarga” dan “yang berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.
Menururt Hanafiyyah, Akad nikah mempunyai dua unsur yaitu ijâb dan
qabûl. Sesuai dengan pandangan bahwa orang yang berakad (‘aqidun) merupakan
konsekwensi logis dari adanya ijâb dan qabûl. Pendapat tersebut senada dengan
apa yang dipaparkan oleh Abu zahrah dalam bukunya al-Ahwal al-Syakhsiyah
bahwa adanya akad nikah adalah dikarenakan dua hal yaitu ijâb dan qabûl.
Adapun yang berkaitan dengannya hanya terjadi yakni sebuah syarat.
Syarat-syarat tersebut menurutnya ada lima yaitu: (1) dua orang yang berakad cakap
bertindak, (2) Ijâb dan qabûl terjadi dalam satu majlis, (3) sebelum ada ijâb-kabul
tidak boleh diulang (4) antara ijâb dan qabul tidak boleh dipisahkan dengan
hal-hal yang menyimpang seperti disela dengan ungkapan kata yang lain, dan (5) ada
persesuain antara ijâb dan qabûl.26
26
Menurut Imam Malik rukun akad nikah ada lima yaitu; (1) wali dari
memepelai perempuan, (2) maskawin, (3) Mempelai Pria, (4) mempelai wanita
dan (5) shighat, yakni unkapan kata yang menyatakan maksud akad.27
Adapun menurut Imam Syafi’i juga ada lima rukun tetapi perinciannya
berbeda yaitu (1) calon memepelai laki-laki, (2) calon mempelai perempuan, (3) wali, (4) dua orang saksi dan (5) shighat atau ijâbqabûl.28 Rumusan terakhir inilah
yang kemudian dipakai dalam Kompilasi Hukum Islam Inpres Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Pasal 14:
Untuk melakukan perkawinan harus ada: a. Calon suami
b. Calon istri c. Wali nikah
d. Dua orang saksi, dan e. Ijan dan kabul.
2. Proses Nikah
A. Gani Abdullah menuturkan bahwa dalam perikatan hukum Islam titik
tolak yang paling membedakannya adalah pada pentingnya unsur ikrar (ijâb dan
qabûl) dalam tiap perbuatan hukum. Berdasarkan uraian tentang proses terjadinya
akad seperti yang sudah dipaparkan oleh Abdoerrauf sebelumnya, maka dalam
konteks akad pernikahan apabila dua janji antara para pihak tersebut disepakati
dan dilanjutkan dengan ikrar (ijâb dan qabûl) akan terjadilah akad pernikahan
27
‘Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-‘Arba’ah, (Kairo: Dar al-Hadits, 2004), V. IV, h.12.
28
tersebut (perikatan). Dari uraian yang dipaparkan oleh Abdoerrauf tersebut, jika
dikaitkan dengan sebuah akad pernikahan, maka dalam akad pernikahan akan
dianggap sah jika melalui tiga tahap di atas.
Tahap yang pertama adalah ﺪﻬ ا (perjanjian). Tahap ini terjadi pada pra
akad. Pada tahap ini yang menjadi pihak pertama bisa jadi dari pihak laki-laki
atau sebaliknya yakni dari pihak wanita. Pihak pertama adalah pihak yang
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya
dengan kemauan orang lain. Jika dalam tahap ini dari pihak laki-laki yang
menawarkan diri maka ialah yang dianggap sebagai pihak pertama begitu juga
sebaliknya. Misalnya ketika seorang laki-laki berkata kepada seorang wanita atau
kepada wali wanita tersebut “saya ingin menikahimu/putrimu” atau sebaliknya
ketika seorang wanita atau walinya mengatakan kepada laki-laki “nikahilah aku”
atau dengan kalimat “saya ingin menikahkanmu dengan putriku”. kalimat
penawaran-penawaran seperti inilah yang menjadi point dalam perjanjian (ﺪﻬ ا )
sebelum pernikahan. Penawaran-penawaran seperti ini biasanya terjadi pada tahap
khitbah.
Adapun proses yang kedua adalah ﻰﺿﺮ ا (persetujuan). Dalam proses akad
nikah, Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayah al-Mujtahid mengatakan bahwa
sah-nya suatu akad perkawinan salah satusah-nya adalah adasah-nya keridhoan dari para pihak
yang akan menikah yakni wanita dan laki-laki calon pengantin juga wali.29 Semua
29
و
ﺎﻨ ﱠﺪ
ﺔﺒْﻴ
ﻦْ
ﺪﻴ
ﺎﻨ ﱠﺪ
نﺎﻴْ
ْﻦ
دﺎ ز
ﻦْ
ﺪْ
ْﻦ
ﺪْﺒ
ﱠ ا
ﻦْ
ْ ْا
ﻓﺎ
ﻦْ
ﺮْﻴﺒﺟ
ﺮﺒْﺨ
ْﻦ
ﻦْا
سﺎﱠﺒ
ﱠنأ
ﱠ ﺒﱠﻨ ا
ﻰﱠ
ﱠ ا
ْﻴ
ﻢﱠ و
لﺎ
:
ﻴﱠ ا
أ
ﺎﻬ ْﻨ
...
)
ﺟﺮ أ
ﻢ
(
Artinya: Seorang janda lebih berhak atas dirinya. (HR. Muslim, nomor hadis 2546).
Sedangkan bagi gadis, para ulama berbeda pendapat tentang hal tersebut,
termasuk juga perbedaan pendapat terhadap janda yang belum baligh. Dalam hal ini Malik, Syafi’i dan Ibn Abi Laila berpendapat bahwa seorang ayah dapat
menjadi wali mujbir bagi gadis dan janda yang belum baligh. Sedangkan Abu Hanifah, al-Tsaury, al-Auza’i dan Abu al-Tsaur mengatakan bahwa dalam pernikahan harus memuat keridhoan mereka.30
Dari keseluruhan perbedaan pendapat yang ada, maka penulis lebih
cenderung kepada pendapat madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa keridhoan
pihak wanita dalam pernikahan juga dibutuhkan sebagai penentu absahnya suatu
akad pernikahan. Disyariatkannya wali mujbir adalah untuk menjaga
kemashlahatan wanita yang belum baligh dan masih kecil bukan untuk memaksa
30
wanita yang sudah baligh dan berakal. Sedangkan bagi wanita yang sudah baligh
dan berakal tentunya sudah dapat memilih calon suami yang pantas baginya.
Posisi wali dalam hal ini adalah sebagai orang tua untuk tempat bermusyawarah
dan memberikan pengarahan serta pendapat sebagai bekal untuk menempuh
kehidupan yang baru bagi putri-putrinya, karena boleh jadi ada beberapa hal yang
belum diketahuinya sedangkan ia belum mencoba kehidupan rumah tangga.
Maka, para wali dalam hal ini bertindak sebagai penasehat dalam hal yang
dianggap perlu demi kemaslahatan.
Jadi, kuasa yang diberikan kepada laki-laki bukan untuk merampas
hak-hak wanita. Apapun statusnya, seorang wanita berhak-hak dalam mengutarakan
pendapat untuk perkawinannya. Hal ini dapat dilihat dari dua hadis yang
masing-masing menunjukkan betapa pentingnya mendapat keridhoan dari wanita sebagai
syarat kesempurnaan akad nikah.
Hadis yang pertama adalah hadis yang diriwayatkan dari kisah Khansa’
binti Khalid al-Anshary:
ﺎﻨ ﱠﺪ
ﺒﻨْ ْا
ْﻦ
ﻚ ﺎ
ْﻦ
ﺪْﺒ
ﻦ ْ ﱠﺮ ا
ﻦْ
ﻢ ﺎ ْا
ْﻦ
ﻴ أ
ْﻦ
ﺪْﺒ
ﻦ ْ ﱠﺮ ا
و
ْ ﻨْا
ﺪ ﺰ
ﻦْﻴﱠرﺎﺼْﺄْا
ْﻦ
ءﺎ ْﻨ
ْﻨ
ماﺬ
ﺔﱠرﺎﺼْﺄْا
:
ﱠنأ
ﺎهﺎ أ
ﺎﻬﺟﱠوز
هو
ٌ ﻴ
ْ هﺮﻜﻓ
ﻚ ذ
ْتءﺎ ﻓ
لﻮ ر
ﱠ ا
ﻰﱠ
ﱠ ا
ْﻴ
ﻢﱠ و
ْتﺮآﺬﻓ
ﻚ ذ
ﱠدﺮﻓ
ﺎﻬ ﺎﻜ
.
)
اور
ﻮ أ
دواد
ئﺎ ﻨ او
(
Artinya: Bahwa ia telah dikawinkan oleh ayahnya padahal ia janda dan tidak menyukai hal tersebut. Karena itu ia datang dan mengadu kepada Rasulullah. Setelah itu beliau membatalkan perkawinan tersebut. (HR. Abu Dawud, hadis nomor 1797 dan al-Nasa’i, hadis nomor 3216).
ﺎﻨ ﱠﺪ
نﺎ ْ
ﻦْ
أ
ﺔﺒْﻴﺷ
ﺎﻨ ﱠﺪ
ﻦْﻴ
ﻦْ
ﺪﱠ
ﺎﻨ ﱠﺪ
ﺮ ﺮﺟ
ﻦْ
مزﺎ
ْﻦ
بﻮ أ
ْﻦ
ﺔ ﺮْﻜ
ْﻦ
ﻦْا
سﺎﱠﺒ
ﱠنأ
ﺔ رﺎﺟ
اﺮْﻜ
ﺗأ
ْ
ﱠ ﺒﱠﻨ ا
ﻰﱠ
ﱠ ا
ْﻴ
ﻢﱠ و
ْتﺮآﺬﻓ
ﱠنأ
ﺎهﺎ أ
ﺎﻬﺟﱠوز
هو
ٌﺔهرﺎآ
ﺎهﺮﱠﻴﺨﻓ
ﺒﱠﻨ ا
.
)
اور
ﻮ أ
دواد
(
Artinya: Bahwa seorang gadis datang dan mengadu kepada Rasulullah SAW, bahwa ia telah dinikahkan oleh ayahnya padahal ia tidak menyukai. Lalu beliau memberinya kesempatan untuk memilih. (HR. Sunan Abi Dawud, hadis nomor 1794).
Dalam kelanjutan hadis tersebut, kemudian wanita itu berkata:
Ya Rasulullah, saya sekarang telah memperkenankan apa yang dilakukan ayah saya itu, sebenarnya saya hanya menginginkan agar kaum wanita tahu bahwa para orang tua tidak memiliki hak memaksa dalam persoalan ini.
Menurut keterangan kitab Subulu al-Salam bahwa boleh jadi wanita tersebut (ﺔ رﺎﺠ ا)adalah gadis yang disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas, yang telah dinikahkan secara paksa oleh ayahnya dengan sepupunya yang sekufu’. Sekalipun sandainya wanita tersebut seorang janda, maka ia hanya ingin
menegaskan bahwa kaum wanita hendaknya tahu bahwa para orang tua tidak berhak memaksa dalam urusan ini dan Nabi-pun menyetujuinya dengan tidak adanya sanggahan dari beliau.
Islam memberi dua kesempatan kepada wanita untuk mengemukakan
pendapat dan tanggapan sebagaimana yang diberikan pada laki-laki, yakni pada
saat khitbah dan pada saat berlangsungnya akad nikah. Pada saat khitbah, Islam
untuk memperoleh kesan di dalam hatinya tentang calon suaminya tersebut.
begitu juga sebaliknya bagi laki-laki terhadap calon istrinya.31
Jika pada saat khitbah saja wanita diminta pendapatnya tentang calon
suaminya dengan diadakannya tatap muka, maka lebih-lebih jika di saat
terjadinya pelaksanaan akad. Hanya saja, jika wanita tersebut berstatus gadis
memang tidak diminta untuk menyatakan pendapat dan tanggapannya secara
terbuka dan berterus terang, hal ini barangkali terbentur dengan rasa malu. Lagi
pula, Islam tidak menginginkan seorang gadis menyatakan hasrat serta minatnya
secara terbuka dan berterus terang dalam pertemuannya dengan laki-laki,
sedangkan ia masih jauh dari ambang kehidupan suami-istri. Artinya, si calon
suami tidak akan menolak sikapnya sekalipun tidak menyatakan isi hatinya secara
terbuka.32
Memang akad nikah seorang gadis diwakili oleh walinya, berbeda dengan
janda yang dapat melakukannya sendiri, bahkan lebih utama apabila dilakukannya
sendiri. Misalnya saja dalam akad nikah terdapat shighat yang terdiri dari adanya
sebuah ijâb dari pihak perempuan dan qabûl dari pihak laki-laki. Artinya, dalam
akad perkawinan pihak wanita menyatakan perkawinannya kepada pihak
laki-laki, dan dalam waktu yang bersamaan pula pihak pria menerima pernyataan
tersebut. Tentunya bagi seorang gadis yang belum pernah berhubungan badan
31
Muhammad al-Bahi, Langkah Wanita Islam Masa Kini Gejala-Gejala dan Segala Jawaban, alih bahasa oleh Fathurrahman, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1990), cet-6, h. 48.
32
dengan laki-laki akan merasa malu untuk menyatakan kesediannya. Dari sinilah
timbul adanya perwalian tersebut.33 Oleh karena itu dalam sebuah hadis
disebutkan:
ﱠﺪ
ﺎﻨ
ﺪﱠ
ﻦْ
ﺔ اﺪ
ﻦْ
ﻦﻴْ أ
ﺎﻨ ﱠﺪ
ﻮ أ
ةﺪْﻴﺒ
داﱠﺪ ْا
ْﻦ
ﻮ
ﻴﺋاﺮْ إو
ْﻦ
أ
ْ إ
ْﻦ
أ
ةدْﺮ
ْﻦ
أ
ﻰ ﻮ
ﱠنأ
ﱠ ﺒﱠﻨ ا
ﻰﱠ
ﱠ ا
ْﻴ
ﻢﱠ و
لﺎ
:
ﺎ
حﺎﻜ
ﺎﱠإ
ﻮ
.
اور
ﻮ أ
دواد
يﺬ ﺮ او
ﻦ او
ﺟﺎ
(
Artinya: Tidaklah sah pernikahan kecuali dengan (adanya) wali”. (HR. Sunan Abi Dawud, hadis nomor 1785. Tirmidzi, hadis nomor 1020. Ibnu Majah, hadis nomor 1869)
Dalam masalah adanya pendapat fiqih bahwa seorang ayah berhak mengawinkan putrinya yang telah baligh tanpa meminta persetujuannya terlebih
dahulu sebagaimana populer dalam mazhab Syafi’i, maka kita sebelumnya harus mendudukkan persoalan dalam koridor prinsip dan kaidah syariah. Setiap
mujtahid boleh jadi benar atau bisa pula keliru dan bahwa setiap orang boleh diambil dan ditinggalkan pendapatnya kecuali Rasulullah, termasuk dalam hal ini adalah Imam Syafi’i. Meskipun beliau adalah seorang Imam besar, tetapi beliau
adalah manusia biasa yang tidak ma’shum, dan beliau pernah berkata: “Pendapatku ini benar tetapi mengandung kemungkinan salah, dan pendapat orang selainku adalah salah tetapi mengandung kemungkinan benar”. 34 Beliau
33
Muhammad al-Bahi, Langkah Wanita Islam Masa Kini Gejala-Gejala dan Segala Jawaban, h. 49.
34
juga pernah mengatakan: “Bila suatu hadits adalah ternyata shahih, maka itulah
mazhabku”.35
Dalam masalah perjodohan Nabi saw mewajibkan adanya musyawarah untuk berunding dan meminta izin kepada objek perjodohan (calon pengantin
laki-laki maupun perempuan). Hal itu karena perjodohan tidak sah tanpa didasari prinsip sukarela (‘an taradhin wa tasyawurin) sekalipun yang menikahkannya
ayahnya sendiri. Nabi saw bersabda yang artinya:
Tidak boleh seorang gadis dinikahkan sehingga ia diminta persetujuannya terlebih dahulu.” Para sahabat bertanya, “bagaimanakah izin (persetujuannya) itu?” beliau menjawab, “jika ia diam (tidak menolak)”. “seorang gadis harus diminta persetujuannya dalam pernikahan dirinya dan persetujuannya cukup dengan diamnya. (HR. Abu Dawud)
Sudah diketahui bahwa Islam mengatur bahwa permasalahan harta yang
dimiliki seorang anak perempuan saja seorang ayah tidak berhak membelanjakannya tanpa seizin anaknya bila ia telah dewasa dan normal
pikirannya apalagi dalam hal penentuan nasib dirinya dalam perjodohannya. Oleh karena itu kawin paksa dengan orang yang tidak ia sukai bertentangan dengan prinsip Islam dan logika karena dalam hal jual beli atau sewa-menyewa bagi
kepentingan anak Allah tidak memperkenankan seorang wali memaksakan kehendaknya melainkan dengan persetujuan anak tersebut, termasuk dalam
masalah makan, minum, pakaian yang tidak disukainya. Maka, bagaimana
35
mungkin wali anak diperbolehkan memaksa anaknya untuk melakukan hubungan
suami istri dengan orang yang tidak disukainya atau dibencinya?
Allah menjalinkan cinta dan kasih sayang antara suami-istri. Oleh karena itu, jika pernikahan itu sendiri dilandasi oleh perasaan tidak suka dan ingin
melarikan diri dari calon suami, maka akankah tumbuh cinta dan kasih sayang dalam perkawinan tersebut?.
Namun dalam beberapa kasus tertentu seorang anak dapat dijodohkan dan dipaksa dalam pernikahan ataupun sebaliknya. Pelarangan menikah sebagaimana dijelaskan oleh madzhab Syafi’i tersebut di atas, disamping itu yang paling utama
adalah apabila dikarenakan alasan penjagaan agama (hifdzuddin) dan pertimbangan moral ataupun unsur kufu’ lainnya selama tidak merugikan
kepentingan anak dan sesuai kaedah syariah.36
Adapun posisi wali dalam pernikahan merupakan syarat yang harus dipenuhi. Hikmahnya adalah agar pernikahan tersebut sempurna dengan adanya
kerelaan dari berbagai pihak yang terkait secara keseluruhan. Selain itu, agar wanita yang menikah tidak hanya berada di bawah kasih sayang atau kekuasaan suami saja, karena wanita yang menikah tanpa seizin keluarganya, pada umumnya
tidak lagi mendapatkan perhatian.
36
Adapun beberapa pertimbangan mengapa dalam suatu akad pernikahan itu
perlu mendapatkan persetujuan baik dari pihak laki-laki dan wanita calon
pengantin adalah:
1. Sebagai pengakuan terhadap nilai martabat wanita bahwa ia bukanlah
komoditi yang bisa diperjual-belikan dengan mahar oleh walinya melalui jalan
pernikahan.
2. Tercapainya kesepakatan dari kedua belah pihak (wanita dan laki-laki calon
pengantin) merupakan salah satu dasar dari kebahagiaan bagi keduanya
setelah menjadi suami-istri. Hal tersebut tentu saja dapat didapatkan jika
perkawinan tersebut berlangsung melalui pilihan masing-masing dan suka
sama suka. Bagaimanapun juga, yang akan menjalani biduk rumah tangga
bukanlah wali dengan calon pengantin laki-laki tersebut tapi antara wanita dan
laki-laki calon pengantin yang nantinya akan menjadi sepasang suami-istri.
3. Memaksakan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan seorang pasti
mengakibatkan banyak kesulitan. Perkawinan yang dipaksakan hanya
membuat perkawinan tersebut sulit dibangun dengan kasih sayang.37
Selanjutnya, setelah keridhoan diperoleh, maka proses akad (perikatan) ini
sampai pada tahap pengucapan ikrar ijâb dan qabûl. Ijâb diawali dari pihak wanita melalui walinya yang kemudian dilanjutkan dengan qabûl dari pihak
laki-laki. Setelah aqad dianggap sah, maka ia akan mengikat para pihak-pihaknya
37
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuai terhadap tugas dan kewajiban
masing-masing yang disebut dengan iltizam. Iltizam sendiri selalu berjalan beriringan dengan sebuah hak. Jadi, antara hak dan iltizam keduanya terkait dalam satu konsep. 38
C. Putusnya Ikatan Perkawinan
Konsep hak dan iltizam dalam akad perkawinan akan terus berjalan selama
akad tersebut masih dipegang oleh kedua belah pihak. Yang menjadi masalah adalah
apabila dari salah satu pihak menyalahi perjajian (wanprestasi) dan dapat
menimbulkan perselisihan dan sengketa sampai pada hal yang merusak dan
membatalakan akad yang ada. Dalam perikatan Islam, pembatalan atau berakhirnya
suatu akad ini dapat terjadi karena beberapa sebab diantaranya adalah:
a. Fasakh yakni pembatalan yang dikarenakan adanya hal-hal yang tidak dibenarkan
oleh syara’. Dalam masalah akad pernikahan, misalnya batalnya (fasakh)
pernikahan sedarah.
b. Dengan sebab adanya khiyar (khiyar cacat, rukyat, syarat atau majlis). Dalam
masalah akad pernikahan misalnya berakhirnya akad nikah karena suami/istri
mempunyai cacat yang ditutup-tutupi dan baru diketahui setelah akad
berlangsung.
38
c. Iqalah, yakni pembatalan dari salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain
untuk membatalkan karena menyesal. Misalnya berakhirnya akad nikah karena
khulu’, yakni gugatan dari pihak istri yang disetujui oleh pihak suami.
d. Karena habis waktunya, misalnya berakhirnya akad nikah mut’ah sesuai dengan
waktu yang disepakati.
e. Karena kematian, yakni berakhirnya hubungan suami-istri ketika salah satu
dianataranya telah meninggal.
f. Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh
pihak-pihak yang bersangkutan. 39
Pada alasan yang terakhir ini, penulis mengalami kesulitan dalam memahami
keambiguan tentang apa yang dimaksud dengan pihak suami-istri yang bersangkutan.
Apakah yang dimaksud pihak disini hanya mengenai suami saja, istri saja atau
suami-istri bersama-sama. Jika yang dimaksud disini adalah pihak suami yang tidak
melakukan kewajibannya, maka disinilah para ulama mengatakan bahwa berakhirnya
sebuah pernikahan karena khulu’ adalah hak wanita untuk dapat mengajukan gugatan
pengakhiran akad nikah karena suami yang tidak melaksanakan kewajibannya.
Sebaliknya, jika yang dimaksud disini adalah pihak istri yang tidak melakukan
kewajibannya, maka disinilah para ulama mengatakan bahwa berakhirnya sebuah
pernikahan karena talak yang dilakukan oleh suami adalah hak baginya atas
pelanggaran yang dilakukan oleh istri.
39
Perkataan " "قﻼ ا dan "ﺔ ﺮﻔ ا" dalam istilah fiqih mempunyai arti yang umum dan arti yang khusus. Arti yang umum ialah segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim dan perceraian yang jatuh dengan sendirinya, seperti perceraian yang disebabkan
meninggalnya salah seorang suami atau istri. Sedangkan dalam arti khusus adalah perceraian yang dijatuhkan oleh suami saja.40
Perkataan talak oleh ahli fiqih klasik41 lebih banyak diartikan dengan arti yang umum daripada arti yang khusus. Hal ini dapat dilihat pada kitab-kitab fiqih klasik yang yang menyebut bab perceraian dengan kitab al-thalaq. Sedangkan
para ahli fiqih kontemporer lebih banyak mengartikan talak lebih khusus dari arti yang umum. Perkataan furqah sendiri lebih diartikan dengan arti yang umum dari
yang khusus.42
Untuk selanjutnya adalah arti talak. Secara harfiyah (etimologi) kata talak
adalah bentukan kata (musytaq) dari kata قﻼ ﻹا yang berarti كﺮﺘ او لﺎﺳرﻹا yakni melepaskan dan meninggalkan. Ketika seorang berkata “ ﺎ ﺔ ﺎﻧ” maka ini berarti
“unta itu lepas dari pemeliharaan dan bebas semaunya”.43 Jika dihubungkan dengan masalah perkawinan, maka talak dalam arti ini adalah putusnya
40
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang. 1974), h. 143.
41
Yang dimaksud ulama fiqih klasik adalah ulama fiqih sebelum abad ke-19 M.
42
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 144.
43
Dalam mengartikan talak secara terminologis kelihatannya ulama mengemukakan rumusan yang berbeda namun esensinya sama. al-Mahalli dalam
kitab Syarh Minhaj al-Thalibin merumuskan:
ﻮ و
قﻼﻃ
ﻆ
حﺎﻜﻨ ا
ﺪﻴ
Melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafadz thalaq dan sejenisnya.45
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh al-Sunnah mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri
hubungan perkawinan itu sendiri.46 Definisi yang agak panjang dapat dilihat di dalam kitab Kifayah al-Akhyar yang menjelaskan talak sebagai sebuah nama
untuk melepaskan ikatan nikah dan talak adalah lafadz jahiliyyah yang setelah Islam datang menetapkan lafadz itu sebagai kata untuk melepaskan nikah. Dalil-dalil tentang talak itu berdasarkan al-Qur’an, hadis, ijma’ ahli agama dan ahli
sunnah.47
Abu Zahrah dalam kitabnya al-Ahwal al-Syakhsiyah memberikan definisi
yang lebih lengkap, beliau merumuskan talak adalah:
44
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, h. 198.
45
Al-Mahalli, Kanzu al-Raghibin, (Kairo: Maktabah al-Taufiqiyah, T.Th), V. 3, h. 496.
46
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), V. II, h. 206.
47
ﻆ
لﺎ ا
ﻰﻓ
وأ
،لﺎ ا
ﻰﻓ
حﺎﻜﻨ ا
ﺪﻴ
ﻓر
ﺎهﺎﻨ
ﻰﻓ
وأ
قﻼ ا
ةدﺎ
ﻦ
Melepaskan ikatan nikah dari sisi kehalalan hubungan dan atau dari sisi hubungan harta dengan menggunakan lafadz thalaq atau dengan lafadz lain yang semakna dengan lafadz thalaq tersebut.48
Ahmad al-Ghandur dalam bukunya al-Thalaq Fi al-Syari’ati al-Islamiyati
Wa al-Qanun mengatakan bahwa perceraian yang diinginkan salah satu dari suami atau istri dalam istilah hukum yang berlaku di Mesir dan Sudan adalah
disebut “thalaq”. Sedangkan jika masalah perceraian itu diselesaikan oleh Pengadilan, maka hal tersebut disebut “al-tathliq”.49
Dari beberapa rumusan yang dikemukakan oleh ulama yang mewakili
definisi yang diberikan kitab-kitab fiqih terdapat tiga kata kunci yang menunjukkan hakikat dari perceraian yang bernama talak, yaitu;
Pertama, kata “melepaskan” atau membuka atau menggagalkan berarti bahwa talak itu melepaskan sesuatu yang selama ini telah terikat, yakni ikatan perkawinan.
Kedua, kata “ikatan perkawinan” yang mengandung arti bahwa talak itu mengakhiri hubungan perkawinan yang terjadi selama ini. Bila ikatan perkawinan
itu membolehkan hubungan antara suami-istri, maka dengan telah dibukakannya ikatan tersebut status suami dan istri kembali pada keadaan semula yaitu haram.
Ketiga, kata “dengan lafadz thalaqah dan kalimat lain yang mengandung
makna sejenis” mengandung arti bahwa putusnya perkawinan itu melalui suatu
48
Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, (Kairo: Dar al-fikr al-‘Arabi, 2005), h. 279.
49
ucapan (shighat) dan ucapan yang digunakan itu adalah dengan kata thalaq.
Tidaklah disebut putus perkawinan bila tidak dengan cara pengucapan tersebut, seperti putus karena kematian.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
masalah talak tidak tercantum di dalamnya. Namun, dalam pasal 38 disebutkan bahwa:
Perkawinan dapat putus karena (a) kematian, (b) perceraian dan (c) atas putusan pengadilan.
KHI juga tampaknya mengikuti alur yang digunakan oleh UUP, walaupun pasal-pasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukkan aturan-aturan yang lebih
rinci. KHI memuat masalah putusnya perkawinan pada Bab XVI. Pasal 113 menyatakan bahwa:
Perkawinan dapat putus karena; (a) kematian, (b) perceraian dan (c) atas putusan pengadilan.
Dalam perkawinan dapat putus karena perceraian dijelaskan dalam pasal 114 yang membagi perceraian kepada dua bagian yaitu perceraian karena talak dan
perceraian karena gugatan.50
Berbeda dengan UUP yang tidak mengenal istilah talak, KHI Pasal 117 menjelaskan yang dimaksud dengan talak adalah:
Ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131.
50
Dari semua uraian tersebut di atas tentang arti dari kata talak, baik secara
bahasa maupun istilah, maka dapat disimpulkan bahwa talak adalah bentuk ucapan yang mengandung arti untuk mengakhiri hubungan perkawinan dengan melafazkan “thalaq” atau kalimat lain yang sejenis.
Demikianlah sengketa yang kadang terjadi dalam akad pernikahan
sehingga sampai pada keputusan berakhirnya suatu akad pernikahan. Namun,
dalam keputusan berakhirnya hubungan akad pernikahan tersebut tidaklah
semudah membalikkan telapak tangan. Sebagai ilustrasi, berikut dapat dilihat
skema mengenai bagaimana sengketa dalam akad dapat timbul dan jalan
penyelesaiannya apabila perdamaian tidak dapat diperoleh, dan ke lembaga mana
[image:47.612.113.516.218.676.2]sengketa tersebut dapat diselesaikan sebagaimana berikut:
Gambar Bagaimana Bisa Timbul Sengketa51
Terlaksana
Beda Pendapat dalam memahami isi
Tidak terlaksana
Tidak sempurna Dengan sempurna
Akan timbul sengketa
Bagaiman menyelesaikannya? Perjanjian
51
Harus dilihat apa yang disepakati oleh kedua belah pihak menegenai cara
penyelesaian sengketa Melalui
Pengadilan
Melalui
BAB III
HAK ISTRI UNTUK MENOLAK TALAK
A. Pengertian Hak
Sudah maklum bahwa dalam perkawinan terdapat hak dan kewajiban yang
harus dipenuhi oleh masing-masing pasangan. Pemenuhan hak oleh suami dan istri
setara dan sebanding dengan beban kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami dan
istri. Masing-masing dari pasangan tersebut tidak ada yang lebih dan yang kurang
dalam kadar pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajibannya. Keseimbangan ini
adalah sebagai langkah awal dalam menyelaraskan motif ideal perkawinan dengan
realitas perkawinan yang dijalani oleh suami-istri tersebut.
Dalam hal ini, jika terdapat indikator dalam sebuah perkawinan bahwa suami
lebih mendominasi istri, atau suami memiliki hak yang lebih dibandingkan dengan
istri, dan sebaliknya istri dalam posisi yang didominasi dan memiliki kewajiban yang
lebih jika dibandingkan dengan suami, maka hal yang demikian akan menjadi
pemikiran dan kajian kritis untuk dapat dicari akar persoalannya dan diselesaikan
secara konsepsional. Bisa jadi diskriminasi yang terjadi adalah akibat perlakuan
hukum yang tidak adil terhadap perempuan.
Hak-hak perkawinan (marital right) marupakan salah satu indikator penting
bagi status perempuan dalam masyarakat. Persamaan hak dalam perkawinan
menunjukkan kesetaraan dan kesejajaran antara pihak suami dan istri. Akan tetapi,
jika dalam sebuah keluarga terjadi ketidakadilan dalam soal hak, dan kebanyakan
perempuan yang menjadi korbannya, maka perlu dipikirkan dan dicari jalan keluar
dalam mengatasi hal tersebut.
Pada prinsipnya, perkawinan dalam Islam membawa norma-norma yang
mendukung terciptanya suasana damai, sejahtera, adil dan setara dalam keluarga.
Akan tetapi, karena pengaruh interpretasi ajaran yang kurang benar, maka terjadi
beberapa rumusan ajaran Islam yang tidak membela kepentingan—bahkan
menyudutkan—perempuan. Berikut ini, penulis akan menguraikan tentang
permasalahan hak perempuan dalam perkawinan lebih khususnya dalam masalah
perceraian (thalaq) berdasarkan dari hasil bacaan penulis terhadap nash-nash
al-Qur’an dan al-Hadis yang penulis dekati dengan pendekataan kesetaraan hak laki-laki
dan perempuan serta undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada di Indonesia
(hukum positif).
Sebelum menuju pada pembahasan lebih mendetail alangkah baiknya jika
penulis mengemukakan apa yang dimaksud dengan “hak” dalam pembahasan
permasalahan ini. Dalam kamus hukum, kata “hak” mempunyai beberapa arti
diantaranya adalah: (1) sesuatu yang benar, (2) kepunyaan, milik, (3) kewenangan,
(4) kekuasaan untuk melakukan sesuatu karena telah ditentukan oleh Undang-Undang
atau peraturan lain, (5) kekuasaan yang benar untuk menuntut sesuatu atau kekuasaan
yang benar atas sesuatu.1 Arti lain adalah wewenang menurut hukum.2
1
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta. 2007), h. 154.
Para ahli fiqih ternyata mempunyai banyak opini dalam memberikan
pengertian “hak”, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Menurut sebagian ulama mutaakhirin; hak adalah sesuatu hukum yang telah
ditetapkan secara syara’.
2. Menurut Syekh Ali al-Khafifi (dari Mesir); hak adalah kemaslahatan yang
diperoleh secara syara’
3. Menurut Musthafa al-Zarqa (Ahli fiqih Yordania asal Suriah); hak adalah suatu
kekhususan yang padanya di tetapkan syara’ suatu kekuasaan atau taklif.
4. Menurut Ibn Nujaim (Ahli fiqih dari madzhab Hanafi); hak adalah suatu
kekhususan yang terlindungi.3
Dari beberapa pengertian tersebut, jika dihubungkan dengan permasalahan
pada bab ini, maka penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hak istri adalah kewenangan atau kekuasaan bagi seorang istri untuk dapat melakukan sesuatu dan atau menuntut sesuatu karena adanya ketentuan dari syara’, Undang-Undang dan
peraturan lain yang menjaminnya. Artinya, bahwa hukum memberikan jaminan bagi seorang istri untuk dapat bertindak dan menuntut dalam permasalahan perceraian sesuai dengan aturan yang ada.
2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 382.
3
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqih Mu’amalat), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 3.
B. Hak Istri Untuk Menolak Talak Perspektif Fiqih
Dalam sudut pandang fiqih, perceraian karena talak adalah hak laki-laki.
Begitu seorang laki-laki mengucapkan lafadz talak terhadap istrinya, misalnya “kamu
saya cerai (thallaqtuki, anti thâliqun, dan seterusnya)�