• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membaca Kritik dan Esa

Dalam dokumen 126 156 pendan materi bahasa indonesia (Halaman 141-145)

geleng kepala dan tertawa-tawa sendiri Diamati-amatinya teman temannya satu persatu sambil tersenyum-senyum)

TANGIS P Hariyanto

F. Menulis Sastra 1 Pengantar

1) Membaca Kritik dan Esa

Dalam Kamus Elektronik, kritik (n) berarti kecaman, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Orang yang melakukan kegiatan kritik sering disebut kritikus. Kritikus (n) adalah (1) orang yang ahli dalam memberikan pertimbangan (pembahasan) tentang baik-buruknya sesuatu; (2) orang yang memberikan pertimbangan (pembahasan) tentang baik buruknya sesuatu.

Esai adalah karangan yang berisi analisis atau tafsiran, biasanya dipandang secara pribadi atau terbatas. Orang yang melakukan esai disebut esais, yaitu penulis esai.

Simak tulisan berikut ini.

Pulang Kembali ke Blora:

Mengenang Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo (5 Februari 1940 – 23 Februari 2001)

oleh Jack Parmin Habis kikis

Segala cintaku hilang terbang pulang kembali aku padamu Seperti dahulu

Begitulah kira-kira kalimat yang tepat mengiringi kepergian Sang Guru Besar Sastra Lisan ini untuk selama-lamanya, menghadap Ilahi. Sepenggal sajak di atas diambil dari sajak Amir Hamzah yang berjudul “Padamu Jua”. Begitulah pada akhirnya, semua manusia akan kembali pulang, dan tak akan pernah kembali. Beristirahatlah Profesor, di sana damai itu ada. Ke Blora, sebagai tanah lahirnya, Doktor Kentrung ini bersemayam, sebagaimana pesan wasiat yang disampaikannya sebelum ajal itu menjemputnya.

Ada banyak yang patut dicatat dari perjalanan hidup ahli folklor humanistik ini. Tulisan pendek ini hanya mengungkap secuil catatan tentang almarhum sebagai penyair. Beberapa kumpulan sajak telah dihasilkan Suripan Sadi Hutomo, salah satunya adalah kumpulan sajak Hartati yang diterbitkan oleh Dioma Malang tahun 1988. Kumpulan sajak ini menjadi menarik sepeninggal penyairnya, karena pada halaman persembahan buku tersebut tertulis: kepada blora dan jiwanya. Kecintaan penyair luruh penuh pada tanah kelahirannya: Blora. Tak terhalangi oleh apa pun.

Diksi ‘Kampung’ Yang Khas

Membaca kumpulan sajak ini, melalui diksi, pembaca serasa diajak memasuki wilayah perkampungan. Tiba-tiba, bagi pembaca yang lahir dari kampung (terutama Jawa), serasa berada di rumahnya sendiri. Akrab dan tak berjarak. Simak sajak yang dijadikan judul kumpulan ini!

Hartati

Hartati nama kidungku

Kidung daun kemangi bunga turi Hartati nama kidungku

Kidung sayur lumbu ikan teri Adas pulasari brambang

Ini bukan sekadar angan-angan Sebab daun sambirata

Hartati nama kidungku

Kidung daun kemangi bunga turi Hartati nama kidungku

Kidung sayur lumbu ikan teri Aduh, aduh

Hatiku sudah berlabuh 1976

Kali pertama membaca judul sajak ini, mungkin pikiran pembaca akan tertuju pada seorang gadis manis. Bisa jadi jika tidak berhati-hati, maka pembaca akan/telah terjebak. Hartati sesungguhnya merupakan kata yang dipakai untuk sasmita ‘manis’ dalam tembang dhandhanggula. Dhandhanggula berwatak manis, luwes, dan memukau. Jenis tembang ini sesuai untuk menggambarkan berbagai hal atau suasana. Dhandhanggula berasal dari kata dhandhang dan gula. Dhandhang berarti: 1) burung gagak, 2) alat untuk menyungkal, 3) jelas sekali, dan 4) mengharap supaya... Dari keempat arti di atas yang paling tepat adalah mengharap supaya...(ngajab). Gula berarti gula, mengisyaratkan makna manis, menyenangkan (ngresepake) atau baik. Dengan demikian dhandhanggula berarti mengharap supaya baik dan menyenangkan. Dhandhanggula sangat tepat untuk melahirkan perasaan yang menyenangkan, untuk melahirkan ajaran-ajaran yang baik, serta melahirkan rasa kasih.

Kumpulan sajak ini dimulai dengan sajak “Hartati”. Makna siratan dari sajak pertama, yang secara langsung maupun tidak, adalah pengharapan akan sesuatu yang baik. Pengharapan seorang Suripan Sadi Hutomo yang dibesarkan dari dan oleh kampung (Jawa) tentang banyak hal, terutama kebaikan bagi kampung halaman. Maka sajak yang mengambil judul sasmita tembang macapat itu menjadi ruh dari keseluruhan sajak-sajak yang terkumpul di dalamnya.

Magnes-Soeseno mengatakan bahwa tolok-ukur pandangan dunia bagi orang Jawa adalah nilai pragmatisnya untuk mencapai suatu keadaan psikis tertentu, yaitu ketenangan, ketentraman, dan keseimbangan batin. Maka pandangan dunia akan kelakuan dalam dunia tidak dapat dipisahkan seluruhnya. Keyakinan-keyakinan deskriptif orang Jawa terasa benar sejauh membantu untuk mencapai keadaan batin di atas. Bagi orang Jawa, suatu pandangan dunia dapat diterima jika semua unsur-unsurnya mewujudkan suatu kesatuan pengalaman yang harmonis, jika unsur-unsur itu cocok satu sama lain (sreg) dan kecocokan itu merupakan suatu kategori psikologis yang menyatakan diri tidak adanya ketegangan dan gangguan batin.

Terasa sekali bahwa kebutuhan batin lebih dominan dibanding yang lain. Sedang kebutuhan batin adalah ketentraman dan tanpa gangguan, maka jika hanya itu yang dibutuhkan, tak ada yang lain. Tak juga ada materi yang berlebihan. Kesederhanaan menjadi pilihan hidup. Demikianlah yang terjadi pada penyair ini.

Sebagai seorang seniman, kata Tengsoe Tjahjono, Suripan Sadi Hutomo sangat sederhana sosoknya. Bahkan sebagai seorang doktor, ia juga masih sangat sederhana. Tak ada perabot berlebihan di rumahnya. Berkunjung ke rumahnya, seseorang akan langsung dihadapkan pada kekayaan ‘luar biasa’ yang dimiliki penyair berupa Pusat Dokumentasi Sastra Suripan Sadi Hutomo. Kesederhanaan adalah pilihan hidupnya, itu pula yang mewarnai kumpulan sajak ini.Tema yang diambil sederhana, dipadu dengan bunyi yang akrab dan sederhana. Diksinya pun sederhana, menjadi begitu dekat dan akrab dengan orang desa (kampung).

Secara keseluruhan, kumpulan sajak ini memuat sajak antara lain “Hartati”, “Si Kikir”, “Ke Blora”, “Sebuah Sungai”, “Ki Ajisaka”, “Bukit”, “Tri”, “Curut”, “Hari Ini”, “Rempuyang”, “Kita”, “Uwi”, “Terong Glatik”, “Gergaji”, “Kilang Minyak”, “Kesetiaan”, “Sebentar”, “Kolang Kaling”, “Lalijiwa”, “Legundi”, dan “Kecipir”. Dari keseluruhan sajak

tersebut kemudian ditambah dengan lima sajak lainnya. Sebuah sajak yang berjudul “Barangkali” muncul dalam tulisan D. Zawawi Imron “Suripan Sadi Hutomo Penyair Beras Kencur” yang disertakan dalam kumpulan ini. Empat sajak yakni “Sepanjang Kanal”, “Kuingat Jalan Batu”, “Stanza Blora”, “Bulan Tertikam Kali Lusi” muncul dalam tulisan Setya Yuwono Sudikan “Kampungan, Sajak-Sajak Suripan Sadi Hutomo” yang juga disertakan dalam kumpulan sajak ini.

Membaca sebagian besar judul sajak Suripan Sadi Hutomo, mengingatkan seseorang akan kampung yang jauh dari kebisingan metropolis. Idiom serta simbol yang dipakai penyair memberi nuansa kampung. Diksi daun kemangi, daun turi, adas pulasari, brambang, lumbu, rambut jagung, sungai, dandang, blumbung, nagasari, air cebokan, rempuyang, daun sente, duri bandotan, uwi, gembili, kecubung, grabah, kolang-kaling, dawet, lalijiwa, legundi, dan kecipir adalah diksi yang akrab dengan kehidupan sehari-hari di kampung. Kecenderungan Suripan Sadi Hutomo memilih diksi yang ‘ndesani’ tidak terlepas dari keberadaan penyair yang akrab dengan kehidupan kampung (desa). Keakrabannya dengan tanah kelahirannya membuat diksi yang dipilih tidak terkesan dipaksakan untuk ada. Diksi tersebut hadir bersama ruhnya.

Rempuyang

Rempuyang cabe dalam bungkus daun sente Pohon ganyong di kebun rumah kita

Dalam pagar tumbuhan pohon rawe Kita mufakat untuk seia sekata Demikian jika pohon kelor itu Buat obat mata yang rebun tuju Akan juga baik

Pohon meniran dan babakan pule Batu padas gunung gamping Akar ilalang dan daun remujung Sembilan bulan dalam kandungan ibu Dunia adalah sarang burung

Lekuk liku lekuk gerit pintuMu

Semua mengristal dalam daun jambu 1975

Diksi yang dipilih lebih banyak dipengaruhi oleh karena penyair adalah orang Jawa. Pemanfaatan diksi ini lebih lanjut adalah untuk memetaforkan sesuatu, kembali ke alam dalam mengakrabi kehidupan yang bersumber dari air dan tanah. Salah satu ciri manusia Jawa, menurut Tukiman Taruna dalam bukunya Ciri Budaya Manusia Jawa (1987) adalah mudah memahami, dan dengan cepat memahami orang lain yang berbicara dengan menggunakan metafor. Metafor yang pilih adalah yang berada di sekitar kehidupan orang-orang kampung. Diksi itu memetaforkan tentang kehidupan itu sendiri. Kembali ke Blora

Kumpulan sajak ini adalah persembahan penyair kepada tanah kelahirannya: Blora. Blora menjadi pijakan awal dan sekaligus menjadi pemberhentian paling akhir, juga bagi kehidupan penyairnya. Blora, dalam kumpulan ini diungkap dengan dua cara, secara tak langsung dan secara langsung.

Ungkapan pertama, ungkapan secara tak langsung, tampak dalam setiap diksi yang dipilih. Blora yang sudah menjadi darah-daging bagi penyair mengristalkan dan memunculkan diksi khas kampung yang mula-mula dikenal penyair melalui Blora. Meskipun diksi itu juga banyak dikenal di masyarakat di luar Blora, tetapi jelas kemunculannya bermula dari Blora oleh seorang penyair yang bernama Suripan Sadi Hutomo. Diksi itu memang milik semua orang kampung, tetapi diksi itu dimunculkan oleh orang Blora. Sehingga diksi-diksi yang dimunculkan oleh penyair telah menyiratkan tentang tanah Blora.

Ungkapan kedua, ungkapan secara langsung, terdapat dalam tiga sajak, yakni “Stanza Blora”, “Kuingat Jalan Batu”, dan “Ke Blora”. Perhatikan kutipan di bawah ini!

Stanza Blora

Begitu napas tertumpuk di batu Gelora jiwa memapah anganmu Yang tegak di rel kereta tua Sia-sia mencari, sia-sia menyapa Manila, 1982

Sajak ini menjadi menarik karena ditulis di luar negeri. Penyair seolah ingin selalu melihat dan mengingat tentang tanah kelahirannya, di mana pun berada. Suatu bentuk kecintaan yang tak terperikan. Masa lalu dan masa kini hadir dalam satu cakrawala lewat satu kata: Blora.

Sajak kedua juga ditulis di luar negeri, tepatnya di Tokio tahun 1982. Tahun penulisannya sama. Napas sajak kedua ini masih sama dengan sajak “Stanza Blora”, hanya saja pada sajak kedua ini diungkapkan lebih optimis.

Kuingat jalan batu

Antara Blora dan kota Cepu Gadis-gadis pun senyum malu Ketika kelelawar pulang berburu

Bukit kecil yang ramping

Di sisinya kali kecil menyumping Larut dalam nyala udara

Menyambut hari depan yang gila Kuingat itu semua

Karena aku adalah miliknya

Keindahan alam pedesaan (Blora) lewat jalan batu, gadis-gadis, dan bukitan dilukiskan sebagai ungkapan seseorang yang merindu kampung halaman. Kerinduan itu begitu pekat, sehingga penyair tidak hanya memiliki Blora tetapi juga dimiliki. Maka suatu saat kelak ia harus kembali.

Sajak ketiga, “Ke Blora”, menjadi awal dan akhir dari seluruh perjalanan hidup penyair. //Ke Blora ia akan pulang/Ke Blora ia akan memikul cendawan/. Dua baris pertama sajak ini mengisyaratkan kabar akhir bahwa penyair memang harus pulang. Penyair akan pulang menuju kali Lusi yang gersang yang dilingkupi kemiskinan, dan tanah yang berbukit-bukit. Sajak ini ditutup dengan dua bait di bawah.

Ke Blora rindunya ranum Bapa ibu mengulum senyum - Anakku pergilah

Dunia tidak sepanjang galah Sumber-sumber air yang dalam Batu padas menikam-nikam Ke Blora untuk apa kau kembali Ke Blora untuk apa kau mencari?

Seolah ingin membuktikan bahwa dunia memang tidak sepanjang galah, maka penyair pergi meninggalkan Blora, tanah lahir yang amat dicintainya. Ia tinggalkan kenangan tentang bumi yang mewartakan damai, menuju tempat ramai yang barangkali mengundang ribuan sunyi dan sepi. Dan, di antara kehidupan yang baru itu ditemukan sekian kesibukan yang tak tercatatkan. Perhatian penyair ternyata sangat luas, mulai dari sastra lisan klasik hingga sastra modern, juga sastra mancanegara. Bukunya banyak yang sudah terbit. Kesetiaan dan kecintaannya terhadap sastra tak perlu diragukan. Perpustakaan pribadi di rumahnya tak ubahnya seperti museum (ilmu) sastra. Di sela-sela sibuk itu, toh ia masih seorang Blora, yang rindu kampung halaman yang mewartakan damai dalam arti yang sebenar-benarnya. Betapa mencengkeram kerinduan itu, kerinduan untuk kembali pulang.

Ke Blora untuk apa kau kembali Ke Blora untuk apa kau mencari?

Ke Blora adalah jawaban pasti bagi kerinduan akan kampung halaman. Dan di sana, ia tak mencari apa-apa, karena di sana penyair menemukan damai. “Sekali berarti, sesudah itu mati” kata penyair Chairil Anwar. Ke Blora ia akan kembali. Dan, Jumat, 23 Februari 2001 Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo kembali ke haribaan Ilahi. Selamat menuju damai, Profesor!

(Dalam GEMA, No. 141 Tahun XIX, Januari-April 2001, dimuat kembali dalam buku Suripan Membangun Kerajaan Sastra Jawa. 2001. Disunting oleh Setya Yuwana. Surabaya: Citra Wacana)

Dalam dokumen 126 156 pendan materi bahasa indonesia (Halaman 141-145)