• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membangun Kepercayaan dan Saluran Aspirasi Politik

Dalam dokumen Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah (Halaman 49-62)

A. Hasil Penelitian

5. Membangun Kepercayaan dan Saluran Aspirasi Politik

5. Membangun Kepercayaan dan Saluran Aspirasi Politik

Jejaring pesantren dan restu pengasuh pesantren merupakan aspek penting dalam proses kandidasi politisi berbasis pesantren. Dalam kasus Eva Yuliana dan Luluk Nur Hamidah, keduanya memiliki performa individu yang penting untuk melengkapi modal sosial yang ada. Ibaratnya, aspek silaturahmi kepada masyarakat luas dan rasa kepercayaan kepada publik menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Menurut Eva, ketika melakukan aktivitas kampanye politik, dirinya tidak pernah menyatakan atau mengklaim diri sebagai orang baik dan jujur serta layak dipilih. Eva memilih melakukan

tindakan-50

tindakan yang baik dan positif sehingga pada akhirnya masyarakat menilai dirinya orang baik.

“Dalam kampanye, saya tidak pernah menyampaikan diri saya baik, asal pesantren saya baik dan lain sebagainya yang itu membuat citra saya dan pesantren saya menjadi baik. Tapi tindakan kepada masyarakat yang akan menilai saya dan pesantren saya nantinya.” (Wawancara dengan Eva Yuliana pada tanggal 23 Agustus 2021)

Dalam pandangan Agus Maarif, Ketua Jamuro Surakarta, sosok Eva adalah pribadi yang bisa dipercaya dan memiliki integritas yang kuat.

“Saya kenal Eva Yuliana secara pribadi orangnya amanah, cakap, dan memiliki integritas yang tinggi. Secara pribadi saya mengenal dia orang yang baik maka dengan begitu saya memilih dia dalam bursa calon DPR RI 2019 lalu.” (Wawancara dengan Agus Maarif pada tanggal 1 September 2021)

Narasi di atas menggambarkan sosok Eva Yuliana yang didalam pandangan tokoh agama di level lokal dikenal sebagai pribadi yang bisa dipercaya. Kepercayaan ini sangat penting karena menjadi kunci orang untuk memilih seorang kandidat, terutama di tengah citra wakil rakyat yang dianggap tidak bisa mewakili dengan baik apalagi membawa suara lokal di daerah pemilihan. Munculnya Eva seolah menjadi sosok yang dianggap mewakili konstituen pesantren di wilayah Solo raya yang dianggap sebagai kandang banteng.

Munculnya aspek kepercayaan dan integritas tentu melempangkan jalan Eva Yuliana untuk menjadi saluran aspirasi politik representasi. Dalam hal saluran aspirasi, Anna menambahkan bahwa sosok Eva yang nota bene perempuan juga menjadi faktor penting yang memudahkan pengorganisasian konstituen dari kelompok perempuan.

“Perempuan memang menjadi pembicaran yang seksis, perempuan dijual ke ranah publik lebih enak dan gampang. Apalagi calonnya perempuan, tim pemenangannya perempuan, dan suaranya yang dituju adalah

51

perempuan itu sangat mudah sekali.” (Wawancara dengan Anna pada tanggal 14 Agustus 2021)

Representasi konstituen perempuan menjadi narasi penting dalam membangun dan memperkuat kepercayaan serta menumbuhkan integritas pada konstituen pesantren yang menjadi salah satu sasaran utama Eva Yuliana dan tim.

Jalan Luluk Nur Hamidah untuk membangun kepercayaan jelas lebih terjal karena Solo raya bukan wilayah dimana Luluk berasal.

Menurut Saiful Bahri, Tenaga Ahli Luluk Nur Hamidah, Luluk berkeliling ke daerah untuk bertemu dengan para pemilik suara. Hal ini perlu dilakukan agar terjadi kedekatan dan perasaan mewakili dalam politik.

“Ibu rela terjun selama satu hari penuh, bahkan terkadang sampai 4 kali ke dapil mendampingi para petani, menanam padi, mendampingi ibu-ibu pengajian, hingga bersosialisasi. Kedekatan itulah yang membuat orang bersatu padu membuat kemaslahatan untuk sekitarnya. Yang perlu diingat bahwa ibu tidak money politics dan tidak ada kontrak politik. Dan itu yang meyakinkan para pesantren, masyarakat untuk menentukan pilihan ke ibu Luluk.” (Wawancara dengan Saiful Bahri pada tanggal 11 Agustus 2021)

Politik perasaan juga menjadi perhatian Handoko, pengurus DPC PKB Wonogiri, yang mengatakan bahwa Luluk Nur Hamidah merupakan pribadi yang bisa berkomunikasi dengan masyarakat berbagai lapisan. Dengan begitu akhirnya ada perasaan kedekatan antara pemilik suara dengan kandidat wakil rakyat.

“Politik yang digunakan oleh ibu Luluk adalah politik perasaan, artinya ibu itu mendengarkan apa yang dikeluhkan oleh masyarakat, terus terjun langsung dan mencarikan solusinya. Hari ini sebenarnya pemimpin yang semacam demikian yang dibutuhkan oleh masyarakat kita terutama yang ada di dapil dan warga NU.” (Wawancara dengan Handoko pada tanggal 10 Agustus 2021)

Upaya Luluk untuk membangun kepercayaan ke kantong konstituen menjadi faktor penting dalam upaya meraih simpati

52

konstituen. Selain mengandalkan jaringan pesantren, Luluk secara individual menampilkan performa politisi yang mau mendatangi warga, mendengarkan keluhan mereka dan menjadi saluran aspirasi bagi warga.

“Sebenarnya Ibu Luluk bukan semata-mata mengandalkan jaringan pesantren yang ada. Tetapi ibu Luluk benar-benar mengabdi ke masyarakat dan terjun ke masyarakat tanpa pandang bulu. Jadi memang integritas beliau yang membuat dipercaya oleh rakyat dapil yang dikenal nasionalis ini. Dan secara sadar kita orang NU dan pesantren beserta jaringan akan terus memumpuk jaringan ini untuk kemaslahatan NU dan masyarakat.” (Wawancara dengan nawir pada tanggal 8 Agustus 2021)

Luluk Nur Hamidah sendiri mengatakan bahwa dirinya membangun persepsi sebagai wakil perempuan dari NU dalam kancah politik nasional dan tidak sungkan turun ke basis rakyat di mana saja berada. Upaya turun ke bawah ini penting dilakukan karena Luluk bukan kandidat asli dari daerah pemilihan.

“Saya siap menjadi saluran politik.” (Wawancara dengan Luluk Nur Hamidah pada tnggal.)

Narasi tentang Eva Yuliana dan Luluk Nur Hamidah memberi gambaran tentang politisi perempuan berbasis pesantren yang mampu menembus sekat sosial budaya sehingga memiliki performa yang tidak hanya dikenal di dunia pesantren tetapi juga mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan konstituen yang lebih luas.

B. Pembahasan

Penelitian terhadap kasus Eva Yuliana dan Luluk Nur Hamidah di Solo raya ini menunjukkan tentang transformasi modal sosial menjadi modal politik. Dengan modal sosial berupa jejaring pesantren, jaringan yang solid, dan kepercayaan dan militansi konstituen, akhirnya Eva Yuliana dan Luluk Nur Hamidah mampu menaklukkan kandang banteng yang selama ini tidak mudah ditembus. Apalagi partai politik keduanya

53

bukan PDI-Perjuangan yang selama ini menjadi afiliasi politik mayoritas konstituen di Solo raya.

Fenomena Eva Yuliana dan Luluk Nur Hamidah ini menarik ditelusuri karena mampu memetakan kekecewaan konstituen terutama konstituen perempuan santri berlatar belakang Nahdlatul Ulama yang selama ini merasa belum terwakili suaranya. Dalam beberapa Pemilu, memang ada representasi NU yakni Mohammad Thoha dari Partai Kebangkitan Bangsa di Dapil 5. Tetapi representasi dari konstituen santri perempuan belum ada. (Wawancara dengan Ajie Najmuddin pada tanggal 22 September 2021)

Belum adanya representasi santri perempuan ini menjadi kekecewaan politik konstituen pesantren khususnya yang terafiliasi dengan Nahdlatul Ulama. Kekecewaan politik ini menjadi amunisi yang diolah oleh kedua kandidat politisi perempuan sebagai cara untuk membangkitkan dan mengorganisir konstituen. Hal ini sekaligus menunjukkan bagaimana kandidat politisi perempuan mampu mencermati persoalan konstituen yang selama ini terpinggirkan dan mampu melakukan mobilisasi kekecewaan secara terstruktur dan memiliki tujuan jelas yakni menjadikan kandidat politisi perempuan berbasis pesantren sebagai wakil representasi di level pusat.

Mengolah kekecewaan menjadi sumber kekuatan ini menjadi poin penting sebagai penopang modal sosial yang selama ini sudah ada di dalam diri kandidat politisi perempuan tersebut. Basis aktivis yang ada pada dua studi kasus ini menjadi jalan yang melempangkan aktivitas pengorganisasian jaringan dan membangun soliditas dan militansi konstituen.

Dengan jejaring pesantren baik yang berupa jaringan para pengasuh pesantren, jaringan alumni maupun jaringan organisasi kemasyarakatan misalnya Fatayat NU maupun Muslimat NU, kedua kandidat menunjukkan betapa penting pemilihan dan pemilahan konstituen. Dengan kata lain, Eva

54

Yuliana dan Luluk Nur Hamidah mampu membangkitkan suara-suara minoritas politik yang selama ini seolah tenggelam di kandang banteng.

Selain membangun militansi pemilih di level konstituen santri, kedua politisi perempuan ini juga memperluas basis pemilih. Eva Yuliana misalnya masuk ke basis pemilih non pesantren dengan membuat jejaring bolone mbak Eva (temannya Mbak Eva-red) yang menyasar ke wilayah non pesantren. Sementara Luluk juga membangun kedekatan dengan para pemilih melalui trah leluhur keluarga di Karanganyar.

Ekspansi pemilih ini penting dilakukan karena konstituen santri atau pesantren juga banyak yang membidik, baik dari internal Nahdlatul Ulama maupun dari pihak luar NU. Hal ini bisa cukup baik dilakukan karena Eva Yuliana dan Luluk Nur Hamidah merupakan tipikal santri yang inklusif dan mampu berbaur serta berkomunikasi dengan baik di berbagai segmen masyarakat.

Studi kasus penelitian ini membuktikan argumen penelitian bahwa soliditas basis konstituen santri dan pesantren serta perluasan basis pemilih ditambah dengan dukungan elit agama dan performa kandidat politisi perempuan berbasis pesantren menjadi kunci keberhasilan transformasi modal sosial menjadi modal politik untuk memenangkan politik elektoral di wilayah yang bukan menjadi basis pesantren.

Ditilik dari sisi model jaringan yang dikembangkan Eva Yuliana maupun Luluk Nur Hamidah, maka keduanya terlihat memilih cara konsolidasi jaringan antar pihak. Artinya, baik Eva Yuliana maupun Luluk Nur Hamidah melakukan strategi kombinasi jaringan di lingkup pesantren, memperkuat struktur organisasi partai politik di daerah pemilihan serta menopang kombinasi jaringan tersebut dengan modal sosial yang melekat pada individu Eva Yuliana maupun Luluk Nur Hamidah.

Hubungan kuat antara pemimpin pesantren dengan para santri dan alumni melempangkan jalan keduanya dalam mengarungi kompetisi politik electoral. Eva Yuliana dan Luluk Nur Hamidah adalah tipikal alumni pesantren yang mampu menjaga relasi dan mengolahnya menjadi

55

kekuatan yang menopang aktivisme politik di ranah lokal. Hal ini makin membuktikan apa yang disampaikan oleh Hilmy (2011) tentang pesantren sebagai lokus politik untuk lumbung suara dan sekaligus menjadi lokus yang bisa menyediakan sumber daya untuk mengisi ruang politik di berbagai level.

Penelitian ini dengan gamblang menunjukkan bagaimana kandidat politisi perempuan dengan latar belakang pesantren mampu mengoptimalkan aset sosial dan politik yang melekat pada pesantren. Jika biasanya aktor non pesantren yang memanfaatkan suara dari pesantren melalui kunjungan atau safari politik jelang perhelatan politik electoral, maka kasus Eva Yuliana dan Luluk Nur Hamidah adalah gambaran tentang santri atau alumni pesantren yang mampu mengelola suara pesantren untuk memilih kandidat yang memiliki ikatan dengan pondok pesantren. Baik Eva Yuliana maupun Luluk Nur Hamidah mampu memetakan aset sosial dan politik di pesantren sehingga mampu menopang kinerja mereka berdua dalam Pemilu 2019.

Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan tentang potret kekuatan pesantren di wilayah basis konstituen nasionalis dalam ranah lokal khususnya yang dilakukan perempuan. Aktivisme politik Eva Yuliana dan Luluk Nur Hamidah menegaskan tentang bagaimana pesantren juga memiliki legitimasi dan basis sosial yang kuat meski berada di ruang politik yang didominasi kelompok konstituen nasionalis. Menariknya, hal ini dilakukan oleh kekuatan politik yang berlatar belakang pesantren.

Dengan kata lain, studi ini membuktikan bahwa kekuatan politik pesantren tidak hanya teruji di basis masyarakat santri, tetapi juga mampu menunjukkan eksistensinya di wilayah politik yang didominasi kelompok nasionalis.

Studi kasus Eva Yuliana dan Luluk Nur Hamidah, jika merujuk pada Isaak dalam Effendy (2001), menunjukkan bahwa jaringan pesantren bekerja dengan baik dengan ditopang oleh adanya kekuatan dan pengaruh yang kuat dari para pengasuh pesantren. Meski secara formal pesantren

56

tidak terlibat dalam politik praktis, tetapi kecenderungan politik yang ditunjukkan dalam perhelatan Pemilu 2019 mampu dibaca konstituen politik santri dan ada kepatuhan politik didalamnya. Hal ini menjadi aspek penting bagi bekerjanya jaringan pesantren sebagai kekuatan politik.

Lantas, apa kuncinya?

Jika mencermati dari data yang ada, sebagaimana disinggung oleh Effendy (2001), maka ada tiga aspek penting yang menjadi faktor penggeraknya yaitu kesamaan identitas, kepatuhan dan kepercayaan. Ada kesamaan identitas yang muncul jika belajar dari kasus Eva Yuliana dan Luluk Nur Hamidah yakni identitas santri dan identitas pesantren yang melekat pada keduanya.

Terpilihnya Eva Yuliana dan Luluk Nur Hamidah juga menunjukkan bahwa aspek kepatuhan dan kepercayaan masih bisa ditemui dan terbukti dengan terpilihnya mereka berdua. Salah satu informan menceritakan bahwa dawuh kiai (perintah Kiai-terj) untuk memilih salah satu calon menjadi pertimbangan penting dan memudahkan para tim sukses di akar rumput untuk “menjual” kandidat Eva Yuliana dan Luluk Nur Hamidah. Ditambah dengan performa keduanya yang bisa dipercaya atau memiliki aspek amanah (kepercayaan-terj), maka aspek kepatuhan dan kepercayaan menjadi faktor yang kokoh melekat pada diri Eva Yuliana dan Luluk Nur Hamidah.

Yang tidak bisa diabaikan adalah factor kemampuan Eva Yuliana dan Luluk Nur Hamidah dalam memobilisasi dan mengelola politik kekecewaan konstituen santri di wilayah Solo raya. Belum adanya wakil rakyat di level DPR RI dari kalangan perempuan dengan latar belakang pesantren menjadi amunisi ampuh untuk membangkitkan daya juang terutama kelompok pemilih perempuan berlatar belakang pesantren.

Beberapa informan mengakui bahwa sangat mudah sekali mengajak kelompok perempuan berbasis santri atau pesantren karena yang menjadi calon juga dari unsur perempuan berlatar belakang pesantren. Informan ini

57

juga mengatakan bahwa perempuan memperjuangkan dan memilih perempuan lebih mudah dilakukan.

Jika merujuk pada teori mobilisasi sumber daya, maka Eva Yuliana dan Luluk Nur Hamidah mampu mengorganisir suara-suara terpinggirkan yang selama ini memilih tetapi sebetulnya mengambang. Konstituen perempuan berlatar belakang pesantren selama ini memang punya pilihan dari calon berlatar belakang pesantren tetapi sebetulnya mereka menunggu adanya calon wakil rakyat yang mendekati kesamaan identitas dengan konstituen perempuan tersebut yakni perempuan dan berlatar belakang pesantren serta dari kalangan santri.

Kajian terhadap aktivisme politik Eva Yuliana dan Luluk Nur Hamidah ini menunjukkan bahwa kandidasi perempuan berlatar belakang pesantren menunjukkan adanya representasi yang kuat dan kokoh di kalangan pesantren. Eva dan Luluk sama-sama menunjukkan bahwa basis konstituen pesantren di daeran pemilihan berbasis kelompok nasionalis juga membutuhkan wakil di institusi parlemen pusat. Eva dan Luluk menunjukkan betapa penting kehadiran agen representasi konstituen santri di daerah pemilihan non santri. Hal ini untuk memastikan bahwa kepentingan, kebutuhan dan masalah yang dihadapi konstituen pesantren memiliki saluran khusus untuk bisa didengarkan dan diperjuangkan secara nasional.

Gambaran soal hubungan agen representasi dengan kelompokk yang diwakili bisa dilihat dari penjelasan yang Hal ini sebagaimana disinggung oleh Houtzager dan Lavalle, (2009). Pertama, masyarakat yang diwakili (represented) dalam penelitian ini adalah kelompok santri dan pesantren sebagai kelompok utama. Kelompok utama ini menjadi basis utama dari Eva Yuliana dan Luluk Nur Hamidah. Kelompok utama ini terikat dalam perjuangan bersama untuk mendorong adanya wakil atau agen representasi dari kalangan santri perempuan. Meski demikian, konstituen dengan latar belakang kelompok non pesantren juga menjadi bagian penting yang menopang kelompok konstituen utama.

58

Secara teoritis, jaringan pesantren dan modal sosial yang melekat pada actor politik berbasis pesantren memiliki potensi dan kekuatan ketika dikelola dan dikonsolidasi dengan baik dan dilakukan secara tepat.

Apalagi kelompok pemilih perempuan memiliki loyalitas dan militansi yang sangat kuat. Dalam kasus Eva Yuliana dan Luluk Nur Hamidah, loyalitas dan militansi kelompok pemilih perempuan sangat penting dalam menopang aktivisme politik electoral mereka berdua di daerah pemilihan Solo raya.

Fenomena Eva Yuliana dan Luluk Nur Hamidah yang mampu menggabungkan kekuatan politik formal dan informal serta mengelola sumber daya yang ada pada akhirnya menjadi kunci yang mampu mengantarkan mereka berdua untuk terpilih dan mewakili konstituen politik di Solo raya terutama dari basis pemilih santri perempuan.

59 Bab V

Kesimpulan dan Rekomendasi

A. Kesimpulan

Penelitian ini membahas tentang transformasi modal sosial menjadi modal politik dengan mengajukan studi kasus Eva Yuliana dan Luluk Nur Hamidah. Keduanya merupakan tipe politisi perempuan berlatar belakang pesantren yang ikut kompetisi politik elektoral di Solo raya. Keduanya merupakan kandidat wakil rakyat yang maju pada perhelatan Pemilu 2019 di daerah pemilihan Solo raya. Eva maju di Dapil 5 Jawa Tengah (Klaten, Sukoharjo, Boyolali dan Kota Surakarta) dengan partai Nasdem.

Sementara Luluk Nur Hamidah dari Dapil 4 Jawa Tengah (Karanganyar, Sragen dan Wonogiri).

Kemampuannya mengoptimalkan modal sosial dan mengolah kekecewaan politik konstituen santri menjadikan mereka berdua terpilih mewakili Dapil masing-masing. Menariknya, meskipun keduanya berbasis pesantren, tetapi berhasil memenangkan kompetisi politik di wilayah yang secara politik dianggap kandang banteng atau wilayah basis politik non pesantren. Dengan kata lain, mereka berdua mampu membangun soliditas dan kepercayaan di jejaring pesantren sehingga bisa solid memilih Eva dan Luluk sebagai wakilnya di parlemen pusat.

Studi ini membuktikan bahwa minoritas yang solid sebagaimana ditunjukkan oleh konstituen santri di Solo raya dan ekspansi pemilih mampu mengantarkan seorang kandidat menjadi anggota parlemen di level pusat.

B. Rekomendasi

Penelitian ini merekomendasikan komparasi politisi perempuan di wilayah basis pesantren. Perbandingan ini menarik dilakukan untuk mengetahui faktor keterpilihan sekaligus menyelidiki kompetisi internal

60

diantara para kandidat. Aspek persaingan internal ini menarik diketahui karena relative tidak terjadi dalam kasus Eva Yuliana dan Luluk Nur Hamidah.

61

Daftar Pustaka

Birner, R dan Wittmer, H. “Converting Social Capital into Political Capital: How Do Local Communities Gain Political Influence? A Theoretical Approach and Empirical Evidence from Thailand and Colombia”. Paper submitted to the 8th Biennial Conference of the International Association for the Study of Common Property (IASCP) 2019.

Effendy, B., Teologi Baru Politik Islam;Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi. Yogyakarta, Galangpress, 2001.

Ernas, S dan Siregar, FM. “Dampak Keterlibatan Pesantren dalam Politik : Studi Kasus Pesantren di Yogyakarta.” Jurnal Kontekstualitas Vol 25, No 2, Tahun 2010.

Hilmy, M. “Towards a “Wider Mandate” of Pesantren: In Search for A New Nomenclature of Political Role of Pesantren in an Era of Democracy” Jurnal Millah Vol. XI, No. 1, Agustus 2011.

Isbah, F. “Examining the Socio-Economic Role of Islamic Boarding Schools (Pesantren) in Indonesia.” Disertasi UNSW Canberra, Tidak diterbitkan. 2016.

Jatmika, S. “Kiai dan Politik Lokal : Studi Kasus Reposisi Politik Kiai NU Kebumen, Jawa Tengah Memanfaatkan Peluang Keterbukaan Partisipasi di Era Reformasi” Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta, 2005. Disertasi tidak diterbitkan.

Karim, AG. “Pesantren'in Power: Religious Institutions and Political Recruitment in Sumenep, Madura” RIMA: Review of Indonesian and Malaysian Affairs, 2008.

________. “The pesantren-based ruling elite in Sumenep in the post-new order Indonesia” Journal of Indonesian Islam, 2009.

Patoni, A. Peran Kiai Pesantren dalam Partai Politik. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007.

Portes, A. “Social capital: Its origins and applications in modern sociology,” Annual Review of Sociology, 1998.

Pribadi,Y. “Religoius Network in Madura : Pesantren, Nahdlatul Ulama and Kiai as the Core of Santri Culture.” Jurnal Al Jamiah, Vol 51.

No.1, Tahun 2013.

Salehuddin, A. “Konstruksi Jaringan Sosial Pesantren: Strategi Eksis di Tengah Perubahan.” Jurnal Religi, Vol. X. No 2. Juli 2014.

Chambers, R dan G. Conway. Sustainable rural livelihoods: practical concepts for the 21st century.Institute of Development Studies (Brighton, England). 1992

62 Wawancara

Wawancara dengan Eva Yuliana, anggota DPR RI Partai Nasdem, via zoom pada tanggal 23 Agustus 2021

Wawancara dengan Luluk Nur Hamidah, anggota DPR RI PKB, via zoom pada tanggal 15 September 2021

Wawancara dengan Nawir, pengurus PKB DPC Wonogiri, pada tanggal 8 Agustus 2021

Wawancara dengan Handoko, pengurus DPC PKB Sragen, pada tanggal 10 Agustus 2021

Wawancara dengan Saiful Bahri, Tenaga Ahli DPR RI, pada tanggal 11 Agustus 2021

Wawancara dengan Anna, Muslimat NU Sukoharjo dan tim sukses Eva Yuliana, pada tanggal 14 Agustus 2021

Wawancara dengan Sunarno, Relawan Mbak Luluk, pada tanggal 16 Agustus 2021

Wawancara dengan Khoirul, Tenaga Ahli Eva Yuliana di daerah, pada tanggal 24 Agustus 2021

Wawancara dengan Ahmad Alfi, Alumni PP Al-Muayyad (AKAMAL) dan Guru SMP Al-Muayyad, pada tanggal 26 Agustus 2021

Wawancara dengan Agus Maarif, Ketua Jamuro Surakarta, pada tanggal 1 September 2021

Wawancara dengan Ibu Nyai Hj Sekhah Wal‟afiyah/Ketua Jamuri Surakarta, pada tanggal 2 September 2021

Wawancara dengan Ajie Najmuddin/Gusdurian Solo raya dan NU Online pada tanggal 22 September 2021.

Dalam dokumen Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah (Halaman 49-62)