• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

1 Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Penelitian ini menyelidiki pemanfaatan modal sosial khususnya jaringan pesantren yang dimiliki dan melekat pada kandidat politisi perempuan asal pesantren dalam mengarungi kontestasi politik elektoral pada Pemilu tahun 2019. Jaringan pesantren adalah organisasi atau komunitas yang melekat dalam institusi pesantren, baik yang bersifat formal atau informal misalnya komunitas santri, keluarga alumni pesantren dan sebagainya.

Jaringan pesantren ini menarik diselidiki karena melibatkan berbagai segmen atau aktor penting dalam arena politik elektoral. Kultur santri yang memiliki ikatan erat dan emosional dengan pesantren dan para pengasuhnya baik kiai maupun nyai merupakan ikatan sosial yang kuat dan memiliki kekuatan untuk memengaruhi prilaku sosial dan politik santri.

Penelitian ini berikhtiar mendalami bagaimana modal sosial

tersebut bisa bertransformasi menjadi modal politik untuk mendukung

proses kandidasi caleg perempuan dengan latar belakang pesantren. Secara

lebih spesifik, penelitian ini menyelidiki tentang model dan strategi

kandidat wakil rakyat pada Pemilu 2019 dalam memaksimalkan jaringan

pesantren di wilayah yang secara geopolitik sering dikategorikan sebagai

daerah basis non santri. Daerah ini lazimnya ditandai dengan mayoritas

pemilih yang terkoneksi dengan partai nasionalis, lalu pimpinan eksekutif

yang berasal dari dukungan partai nasionalis serta institusi legislatif yang

berisi mayoritas dari partai nasionalis. Salah satu daerah yang memenuhi

kondisi demikian adalah wilayah Solo raya.

(2)

2

Proses kandidasi adalah aktivitas yang dilakukan oleh politisi dalam mengarungi berbagai tahapan dalam politik elektoral. Salah satu tahapan penting dalam politik elektoral tersebut adalah pemetaan daya dukung politisi dalam proses memperoleh dukungan suara agar terpilih dalam pemilihan umum (Pemilu).

Dalam proses tersebut, mesin utama yang bekerja dalam menggalang dukungan tentu saja partai politik dan tim relawan atau tim sukses yang dibentuk secara independen oleh kandidat. Tim relawan atau tim sukses ini biasanya bergantung pada jenis dan model konstituen utama dari kandidat. Jika kandidat berlatar belakang buruh, maka biasanya ia akan membentuk tim sukses dengan latar belakang buruh. Diantara tim sukses atau tim relawan yang menarik dicermati adalah ketika calon kandidat berlatar belakang pesantren dimana jaringan pesantren merupakan instrument politik non partai yang juga memiliki daya untuk menggalang dan memengaruhi publik.

Pesantren dan jaringannya menjadi kelompok masyarakat yang unik dan kerap dikunjungi para politisi dari berbagai level. Tidak heran jika cukup banyak pesantren yang sibuk menerima tamu menjelang momentum politik elektoral baik tingkat pusat, provinsi maupun daerah.

Bagi calon dengan latar belakang pesantren, tentu saja hal ini acapkali dimanfaatkan untuk menambah daya dukung dalam proses kandidasi tersebut.

Diantara fenomena yang menarik utuk dicermati adalah proses

kandidasi para politisi perempuan dengan latar belakang pesantren. Selama

ini kontestasi politik pesantren banyak dominan laki-laki. Adanya afirmasi

perempuan sebesar 30 % dalam daftar calon anggota legislatif memberi

angin segar sekaligus menjadi kesempatan politik (political opportunity)

yang membuat partai politik baik yang berbasis pada konstituen muslim

(3)

3

maupun tidak berlomba-lomba mencari kandidat perempuan yang memiliki basis pemilih jelas.

Diantara kelompok perempuan yang memiliki basis pemilih atau konstuten yang jelas dan memungkinkan adanya ikatan emosional adalah politisi perempuan berbasis pesantren. Dalam konteks tersebut, apa dan bagaimana para politisi perempuan memetakan, menggunakan dan mengoptimalkan instrument pesantren ini menarik didalami.

Jika selama ini politik pesantren sangat kental nuansa laki-laki, maka aktivitas politik perempuan dengan latar belakang pesantren ini memberi nuansa baru tentang kiprah politisi perempuan dalam mendayagunakan jaringan pesantren. Apakah dukungan ini berbeda dengan laki-laki dan sejauh mana para politisi perempuan ini berhasil menggunakan jejaring pesantren dalam mengarungi politik elektoral.

Konteks penggunaan jaringan pesantren bagi kandidat perempuan menjadi sangat menarik dicermati jika penyelidikan dilakukan di luar daerah basis santri. Diantara wilayah yang tepat menjadi gambaran wilayah ini adalah Solo raya. Secara politik, Solo raya adalah basis pemilih nasionalis dengan preferensi utama partai politiknya adalah PDI- Perjuangan. Pasca reformasi, PDI-P mendominasi wilayah Solo raya.

Tidak hanya dalam konteks legislatif, bahkan kursi eksekutif juga banyak dikuasai kader atau pasangan yang dijagokan dari PDI-P.

Dalam lanskap politik yang demikian, menjadi menarik untuk

mencermati bagaimana politisi perempuan berbasis pesantren bekerja dan

akhirnya terpilih dalam proses politik elektoral tersebut. Diantara calon

politisi perempuan yang berlatar belakang pesantren dan ikut berkompetisi

dalam Pemilu 2019 lalu adalah Eva Yuliana. Alumni Pondok Pesantren Al

Muayyad Solo ini gagal pada Pemilu 2014 di Dapil V (Solo, Sukoharjo,

Boyolali dan Klaten) melalui PKB. Pada Pemilu 2019, Eva kembali maju

di dapil yang sama melalui Partai Nasdem dengan dukungan pesantren

(4)

4

juga. Dukungan dari jaringan pesantren juga pada akhirnya mengantarkan Eva menjadi anggota DPR RI periode 2019-2024.

Politisi perempuan lain berlatar belakang pesantren lainnya yang ikut meramaikan politik elektoral di Solo raya adalah Luluk Nur Hamidah, M.Si., M.PA. Ia punya hubungan erat dengan Pondok Pesantren Nurul Huda Kalijambe-Sragen yang diasuh Abah Syarif Hidayatulloh. Luluk dalam suatu kesempatan ceramah dalam forum pengajian di Ponpes Nurul Huda mengklaim bahwa ia adalah murid atau santri dari Abah Syarif tersebut. 1 Mbak Luluk, sapaan akrabnya, bertarung pada Pemilu 2014, lewat PKB, bertarung untuk berebut kursi parlemen dari Daerah Pemilihan Jawa Timur VIII tapi gagal. Lalu, pada Pemilihan Legislatif 2019, Mbak Luluk kembali menyalonkan diri sebagai caleg Dapil Jawa Tengah IV dan berhasil terpilih.

Dua kasus kandidasi dan keterpilihan kedua politisi di atas menarik untuk dicermati dalam konteks keduanya mengandalkan jaringan pesantren untuk berkompetisi di wilayah yang secara politik pasca reformasi dikenal sebagai kandang banteng. Latar belakang yang berbeda juga menarik dicermati. Jika Eva Yuliana berbasis partai nasionalis yakni Partai Nasdem, maka Luluk Nur Hamidah merupakan jagoan Partai Kebangkitan Bangsa yang dianggap bagian dari partai Islam karena konstituen utamanya adalah kelompok santri Nahdlatul Ulama.

Kenyataan ini menarik diselidiki mengingat kajian-kajian tentang politik pesantren lebih banyak didominasi kiai atau gus (anak kiai).

Berangkat dari konteks yang demikian, ada tiga hal menarik. Pertama, pesantren menjadi agensi politik dalam mendukung aktivisme politik kandidat terutama caleg perempuan. Jika selama ini wajah politik pesantren didominasi wajah maskulin, kemunculan kandidat caleg

1

“Pengajian Ceramah Luluk Nur Hamidah, M.Si.M.PA Ponpes Nurul Huda Live Kalijambe Sragen

2017” di akun Youtube GMT Media Channel pada link

https://www.youtube.com/watch?v=Cei3KIKipZg/diakses pada 30 Juli 2021.

(5)

5

perempuan menunjukkan bahwa politik pesantren tidak selalu identik dengan laki-laki.

Kedua, pesantren menjadi modal politik bagi kandidat. Sebagai modal politik, menarik untuk dicermati bagaimana jaringan pesantren berperan memenangkan kandidat dalam politik elektoral dengan lanskap pemilih nasionalis. Pertanyaannya, apa faktor yang membuat modal politik tersebut bekerja efektif memenangkan kandidat politisi perempuan tersebut. Ketiga, transformasi modal sosial menjadi modal politik. Dalam konteks di atas, terjadi peralihan pesantren dari yang awalnya modal sosial menjadi modal politik dalam kondisi tertentu.

Penelitian ini bertujuan menyelidiki manfaat dan efektifitas jaringan pesantren dalam mendukung kandidasi perempuan dalam Pemilu legislatif 2019 serta bagaimana caleg perempuan dari latar belakang pesantren mendayagunakan jaringan pesantren untuk mendukung proses kandidasi mereka di Pemilu. Hal ini menarik untuk diselidiki untuk mendalami apa saja faktor yang membuat jaringan pesantren sebagai modal politik bisa bekerja dengan baik dan mengantarkan kandidat caleg perempuan menjadi anggota legislatif.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini ingin melihat transformasi modal sosial menjadi modal politik yang dilakukan oleh para kandidat politisi perempuan berlatar belakang pesantren. Fokus utama modal sosial disini adalah jaringan pesantren.

Ada dua pertanyaan pokok yang diajukan. Pertama, bagaimana

caleg perempuan mendayagunakan jaringan pesantren sebagai modal

politik dalam politik elektoral? Kedua, bagaimana model dan strategi

jaringan pesantren dalam politik elektoral?

(6)

6 C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki dua tujuan utama. Pertama, mencermati pemanfaatan jaringan pesantren sebagai modal politik dalam kontestasi politik elektoral yang dilakukan para politisi perempuan. Kedua, menganalisis model dan strategi pemanfaatan jaringan pesantren dalam lanskap wilayah politik non basis pesantren.

D. Manfaat Penelitian

Dari sisi akademik, penelitian ini merupakan penelitian interdisipliner yang hendak melihat kajian pesantren dan politik dari berbagai sudut pandang yakni organisasi dan jaringan pesantren dan peran politik perempuan dalam bingkai politik elektoral.

Sementara dari sisi substansi, penelitian ini hendak menyelidiki

varian politisi perempuan yang ada di dalam pesantren dimana selama ini

wajahnya lebih banyak didominasi politik laki-laki sebagaimana

terepresentasi dalam diri Kiai atau Gus. Kajian ini akan memberi

sumbangan penting berupa perjuangan politisi perempuan berlatar

pesantren dalam mengikuti kontestasi politik elektoral yang secara bebas

menjadi ajang kompetisi laki-laki maupun perempuan.

(7)

7 Bab II

Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori

A. Aktivitas

Di masa pandemi Covid-19, penelitian ini dilakukan dengan hati- hati dan menyesuaikan dengan kondisi dan situasi yang ada serta selalu berupaya beradaptasi dengan kebijakan pemerintah dalam penanangan dan pencegahan wabah pandemi Covid-19.

Sebagai fase awal, penelitian ini mengidentifikasi terlebih dahulu data dan fakta terkait politisi perempuan yang berlatar belakang pesantren dan terlibat dalam kontestasi politik elektoral pada perhelatan Pemilu tahun 2019. Hal ini penting dilakukan untuk mengetahui siapa saja politisi perempuan yang terlibat lalu siapa saja yang berhasil terpilih dan yang gagal.

Penelitian ini sengaja memilih dan fokus pada politisi perempuan berbasis pesantren yang terpilih karena ingin mendalami apa dan bagaimana jaringan pesantren bisa berperan dalam fase sosialisasi hingga kampanye dalam Pemilu 2019.

Langkah berikutnya adalah melakukan pendalaman pertanyaan penelitian dan pada saat yang sama mendalami kerangka teori tentang modal sosial, modal politik, jaringan pesantren dan peran politik perempuan berlatar belakang pesantren. Fase ini merupakan tahap awal dalam proses pengumpulan data untuk kepentingan kegiatan penelitian dan penulisan laporan penelitian ini.

Aktivitas berikutnya adalah observasi awal kepada calon informan

yang akan dijadikan sebagai subyek penelitian. Observasi ini fokus pada

pendataan dan identifikasi mulai dari latar belakang pesantren, partai

politik yang menaungi, basis organisasi dan jejaring pesantren serta

mengidentifikasi lolos atau tidaknya yang bersangkutan pada perhelatan

Pemilu 2019 lalu. Hal lain adalah mencermati asal daerah pemilihan dan

tingkat Pemilu apakah mengikuti level nasional, provinsi atau Kab/Kota.

(8)

8

Aktivitas selanjutnya adalah proses wawancara kepada para informan yang telah ditetapkan. Proses wawancara ini akan mempertimbangkan aspek kesediaan dari informan apakah bersedia ditemui secara langsung atau lewat fasilitas daring atau online. Peneliti juga mengumpulkan informasi dari orang-orang yang selama Pemilu 2019 ikut terlibat misalnya tim sukses yang tentu mengetahui aktivitas politisi perempuan tersebut.

Pada fase akhir yakni terkait dengan koding, analisis data dan penyusunan laporan penelitian. Dengan memanfaatkan kerangka teori yang ada sekaligus mendiskusikan temuan penelitian dengan karya-karya akademisi lainnya.

B. Pelaksanaan Aktivitas

Secara ringkas, ada beberapa aktivitas penelitian yang telah dilakukan sebagaimana diringkas dalam tabel berikut ini,

No Kegiatan

Mei-Juli (12 pekan)

Agustus September Oktober

Pekan ke - Pekan ke - Pekan ke - Pekan ke -

1- 3

4- 6

7- 9

1 0- 1 2

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

A Tahap Penelitian

1 Pendalaman dan instrumen riset

X

2 pelatihan dengan pembantu peneliti

X

(9)

9 3 Observasi,

wawancara dan dokumentasi

- Review dokumen - Kontak

responden dan janji

wawancara - Melakukan wawancara - Membuat

transkip

X X X X X X

4 Diskusi cerita awal hasil riset (story telling)

X

B Tahap Analisis data dan penulisan laporan penelitian

5 Analisi data dan penyusunan outline laporan riset

X

6 Penulisan laporan riset

X X X

7 Pengumpulan draf laporan riset untuk seminar hasil

X

8 Review hasil penelitian

X

(10)

10 9 Pengumpulan

laporan penelitian

X

C. Tinjauan Pustaka

Studi tentang politik dan pesantren lebih banyak menyinggung soal peran kiai dalam aktivitas politik (Jatmika, 2005; Pribadi, 2013; Patoni, 2007; Karim, 2008 dan Karim, 2009) maupun pesantren sebagai jaringan sosial dan ekonomi (Salehuddin, 2014; Isbah, 2016). Dari kajian yang ada, studi tentang pemanfaatan jaringan pesantren oleh perempuan belum banyak dilakukan oleh para sarjana.

Kajian tentang instrument non partai politik dalam politik elektoral mulai muncul. Beberapa contoh kasus di antaranya keterlibatan Pesantren Al-Munawwir dalam politik elektoral tingkat lokal di daerah Yogyakarta pada Pemilihan Umum tahun 2009 (Ernas dan Siregar 2010) dan keterlibatan para tokoh agama (kiai) pada Pemilihan Umum tahun 2004 di Kabupaten Banyumas (Sundari 2005). Dengan demikian, keterlibatan instumen nonkepartaian pada politik elektoral di Indonesia tidak hanya terjadi di tingkat nasional, tetapi juga di tingkat daerah. Tambah kajian jaringan HAMIDA di Tasikmalaya.

Kontribusi utama penelitian ini adalah berupaya mengisi kajian tentang peran nyai, ning, santri perempuan atau alumni santri perempuan dalam memanfaatkan jaringan pesantren sebagai modal politik dalam proses kandidasi menjadi caleg dalam kontestasi politik elektoral 2019.

D. Landasan Teori

Merujuk Chambers and Conway (1992) ada dua pengertian aset

yaitu aset kasat mata (tangible asset) dan aset yang tak kasat mata

(intangible asset). Tangible asset merupakan sumber daya yang dimiliki

oleh seseorang untuk menggaransi kelangsungan hidupnya seperti modal

sumber daya alam, modal keuangan maupun modal fisik. Dalam konteks

(11)

11

politik, modal ini bisa terlihat dari seberapa banyak uang yang dimiliki oleh seorang politisi atau modal fisik yang bisa mendukungnya dalam politik elektoral. Sedangkan intangible asset adalah modal yang manfaat atau aksesnya tidak dalam kekuasaan seseorang misalnya modal manusia, modal sosial hingga modal politik.

Dalam kasus penelitian ini, jejaring (network), kepercayaan dan saling percaya hingga sumber daya manusia adalah modal sosial yang ada pada diri seseorang yang sedang dalam proses melakukan sosialisasi politik. Sosialisasi ini dilakukan dalam rangka untuk mengikuti dan memenangkan ajang politik elektoral yang diikuti seorang kandidat.

Modal yang penting dicermati adalah jejaring pesantren pasca reformasi yang mulai dikaji dan diperhitungkan oleh para sarjana politik di Indonesia.

Jika dicermati, salah satu aspek menarik pasca reformasi adalah munculnya pesantren, baik secara institusi maupun aktor, sebagai institusi atau kelompok politik dalam politik elektoral (Ernas dan Siregar, 2010).

Sebagai institusi sosial, pesantren memiliki modal sosial yang kuat;

kepercayaan masyarakat terhadap pengasuh pesantren, jaringan santri dan alumni hingga ikatan sosial yang kuat (Portes, 1998; Birner dan Wittmer, 2019). Yang paling sering terlihat muncul adalah aktivitas politik yang dilakukan kiai sebagai pemimpin pondok pesantren.

Dunia pesantren adalah ruang yang unik. Ada hubungan antara kiai atau nyai dengan santri yang begitu kuat dan melekat. Hal ini terlihat dari kuatnya hubungan antara keduanya bahkan setelah santri tidak lagi berada di dalam pondok pesantren. Teori tentang aset ini akan dipakai untuk melihat bagaimana anggota legislatif perempuan memanfaatkan modal sosial seperti jaringan, pertemanan hingga organisasi alumni santri.

Menjadi menarik untuk mencermati bagaimana modal sosial tersebut

didayagunakan dan ditransformasikan menjadi modal politik yang

bermanfaat dalam politik elektoral.

(12)

12

Merujuk pada Hilmy (2011), pesantren di era reformasi memiliki situasi dan kondisi yang berbeda terutama jika dikomparasikan dengan pesantren di masa orde baru. Pada era reformasi dimana kebebasan berpolitik dialami hampir semua kelompok termasuk pesantren, pesantren paling tidak menunjukkan dua pola penting. Pertama, Pesantren menjadi basis perolehan suara bagi kandidat politisi yang sedang terlibat dalam politik elektoral baik pada level eksekutif maupun legislatif. Kedua, Pesantren juga menjadi sumber daya manusia yang memungkinkan mengisi jabatan di level eksekutif dan legislatif.

Penjelasan ini sangat bermanfaat dalam penelitian ini karena riset ini hendak menelusuri bagaimana kandidat politisi perempuan dengan basis pesantren bisa mendayagunakan jaringan pesantren untuk ikut menopang kinerja politik selama proses pencalonan hingga masa sosialisasi dan kampanye politik.

Secara politik, posisi pesantren dan jaringan yang melingkupinya akan mengalami perubahan fungsi dari kelompok kepentingan (interest group), dimana pesantren sebagai sebuah entitas dan bagian dari elemen masyarakat memiliki kepentingan dan tujuan tertentu, menjadi kelompok penekan (pressure group) yang bekerja secara kolektif mendorong kelompok masyarakat tertentu untuk mengikuti pilihan politik pesantren dan jaringannya.

Dengan kemampuan memengaruhi dan membuat orang lain

melakukan suatu permintaan, aktor atau agen dalam ranah Pesantren

seperti pengasuh maupun alumni pesantren berpengaruh sangat berpotensi

menjadi kekuatan politik keseharian dan politik elektoral. Merujuk pada

Isaak dalam Effendy (2001), kekuatan atau kekuasaan adalah kemampuan

untuk memengaruhi prilaku orang lain, mengendalikan orang lain tersebut

dan meminta mereka melakukan suatu permintaan. Dalam ranah politik

elektoral, kepatuhan masyarakat untuk memenuhi permintaan pengasuh

pesantren, misalnya, dalam ajang Pemilu menunjukkan adanya kekuasaan

(13)

13

dalam diri pengasuh pesantren. Hal ini menjadi landasan dasar bagi bekerjanya jaringan pesantren sebagai kekuatan politik.

Sebagai kekuatan politik, pesantren memiliki basis sosial kemasyarakatan yang kuat dan saling terhubung serta memiliki ikatan yang kuat. Hal ini menjadi modal sosial yang kuat untuk bertransformasi menjadi kekuatan politik yang signifikan karena ikatan santri dan pesantren relative terjaga dengan baik dan berkelanjutan. Dengan begitu, maka jejaring pesantren, santri dan alumni pesantren terbentuk menjadi masyarakat politik yang diperhitungkan. Hal ini karena pesantren bertumpu pada kesamaan identitas, kepatuhan dan kepercayaan. (Effendy, 2001) Terpenuhinya elemen-elemen tersebut akan memudahkan kinerja jaringan pesantren dalam konteks berpolitik.

Konteks politik ini tidak lain yang dimaksud adalah peristiwa politik Pemilu 2019. Peristiwa politik ini merupakan kesempatan politik bagi para politisi perempuan untuk melakukan sosialisasi dan menarik dukungan dimana pada akhirnya muncul kesediaan para konstituen di daerah pemilihan untuk memilih politisi tersebut. Untuk menyelidiki dan menganalisis pemanfaatan jaringan pesantren, maka penelitian ini memanfaatkan kerangka pendekatan struktur peluang dan kesempatan dalam politik.

Riset ini akan memanfaatkan pendekatan mobilisasi sumber daya (resource mobilization theory). Merujuk pada teori ini, mobilisasi sumber daya dilakukan untuk sebagai bentuk aksi gerakan kolektif yang memiliki tujuan rasional dan terukur serta terorganisasi. (Hasan, 128 : 2012).

Penggunaan teori mobilisasi sumber daya menarik digunakan untuk

melihat bagaimana kandidat politisi perempuan mengolah kekecawaan

konsituten santri dan kalangan pesantren di wilayah Solo raya yang selama

ini kurang terwakili di level pusat DPR RI terutama dari kelompok

perempuan. Uniknya, perasaan kekecawaan ini tidak diekspresikan secara

negatif tetapi justru menjadi motivasi untuk bergerak secara legal dan

konstitusional melalui arena politik elektoral dimana kompetisi dilakukan

(14)

14

secara terbuka. Kehadiran politisi perempuan berlatar belakang pesantren yang ikut kompetisi Pemilu seolah memberi harapan baru akan adanya wakil perempuan dari kalangan pesantren yang berasal dari Solo raya yang selama ini dikenal sebagai basis partai nasionalis. Membuncahnya kekecewaan ini juga diorganisir dalam wadah jaringan untuk memenangkan calon politisi perempuan.

Kandidasi perempuan yang berlatar pesantren dalam politik elektoral pada dasarnya adalah praktik demokrasi representasi dimana kandidat anggota wakil rakyat tersebut bertindak sebagai calon agen representasi yang nantinya mewakili basis konstituennya di institusi parlemen. Perbincangan tentang representasi memiliki tiga aspek (Houtzager dan Lavalle, 2009).

Pertama, masyarakat yang diwakili (represented) yakni sekolompok orang yang terikat bersama-sama dalam sebuah wadah yang langsung dan konkrit berbasis suara (voice), permintaan (demand) dan tuntutan (petition) maupun dalam sebuah wadah yang tidak langsung serta abstrak misalnya berbasis daerah, tradisi atau hal-hal yang baik (common good). Dalam penelitian ini, kelompok utama yang diklaim diwakili politisi perempuan adalah konstituen yang memiliki ikatan dengan pesantren. Meski demikian, konstituen dengan latar belakang kelompok non pesantren juga menjadi bagian penting yang menopang kelompok konstituen utama.

Kedua, wakil (the representative) yakni orang yang menjembatani (mediator) serta menjaga kepentingan-kepentingan orang yang diwakili.

Wakil ini juga berperan memperjuangkan kepentingan orang yang diwakili dalam berbagai level institusi. Dalam penelitian ini, wakil yang dimaksud adalah politisi perempuan berbasis pesantren yang ikut serta dalam kompetisi Pemilu 2019.

Ketiga, tempat (locus) yakni daerah atau wilayah yang menjadi

yurisdiksi dari praktik representasi. Dalam penelitian ini, wilayah

penelitian yang dipilih adalah area Solo raya yang secara politik dikenal

(15)

15

sebagai wilayah yang menjadi basis partai nasionalis. Tidak mudah bagi

partai yang berbasis agama untuk berkompetisi di wilayah Solo raya yang

selama puluhan tahun menjadi pemilih partai nasionalis.

(16)

16 Bab III Metode Penelitian

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini memilih pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif ini dipilih karena penyelidikan tentang pemanfaatan jaringan pesantren oleh kandidat politisi perempuan pada Pemilu 2019 ini hendak memberi penekanana pada sisi proses dan makna yang ada dalam subyek penelitian (Denzin dan Lincoln, 1994: 4). Proses yang dimaksud adalah pengetahuan dan pilihan kandidat politisi perempuan mulai dari aktivitas menjadi kandidat, kegiatan ketika melakukan konsolidasi hingga ketika melakukan kampanye serta proses terpilihanya kandidat politisi perempuan menjadi anggota legislatif. Secara lebih mendalam, proses dan makna yang hendak didalami adalah terkait dinamika jaringan pesantren baik yang formal maupun informal dalam proses sosialisasi dan kampanye yang dilakukan politisi perempuan tersebut.

Sementara makna yang hendak didalami adalah terkait dengan transformasi modal sosial menjadi modal politik yang dilakukan oleh para kandidat politisi perempuan berlatar belakang pesantren. Modal sosial ini bisa berupa jaringan, kepercayaan dan organisasi yang selama ini diikuti oleh kandidat politisi perempuan tersebut. Pendalaman terkait transformasi ke modal politik terkait bagaimana para kandidat yang menjadi subyek penelitian ini mempergunakan modal sosial yang ada untuk menunjang aktivitas politik yang dilakukan.

Pendalaman makna ini juga terkait dengan persepsi kandidat

politisi perempuan dalam mendayagunakan jaringan pesantren sebagai

modal politik dalam aktivitas politik elektoral. Selain itu, makna lain yang

dimaksud adalah persepsi dan strategi yang dipakai kandidat politisi

perempuan dalam memanfaatkan jaringan pesantren sehingga bisa bekerja

(17)

17

dalam kerangka memenangkan kandidat politisi perempuan dalam perhelatan politik elektoral.

B. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah kandidat politisi perempuan yang menjadi calon anggota legislatif (caleg) perempuan terpilih yang ikut Pemilu 2019 serta memiliki hubungan dengan pondok pesantren. Caleg perempuan berlatar belakang pesantren yang menjadi fokus penelitian ini adalah mereka yang maju ke dalam kontestasi politik elektoral pada Pileg 2019 dan terpilih menjadi anggota legislatif. Arena utama yang dibidik adalah calon wakil rakyat yang bertarung untuk kursi DPR pusat. Selain itu, caleg perempuan tersebut merupakan orang yang memiliki hubungan dengan pondok pesantren. Hubungan atau relasi ini bisa sebagai pengasuh, terlibat dalam yayasan pondok, santri, alumni, atau tergabung dalam organisasi yang memiliki aktivitas terkait pondok pesantren.

Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif karena peristiwa maupun aktivitas yang diselidiki adalah gejala sosial yang dinamis yakni peristiwa seputar kegiatan politik sebelum maupun sesudah Pileg 2019.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara mendalam dan kajian dokumen atau berita yang relevan. Dalam melakukan wawancara, peneliti akan memakai teknik purposive dimana peneliti akan menemui terlebih dulu key person yang sejak awal diidentifikasi untuk diwawancarai.

Dengan teknik ini, maka peneliti akan menghubungi dan membuat

rencana untuk pertemuan dengan key person yang sejak awal sudah

dibidik. Karena pada masa pandemic Covid-19, sebagai bagian dari

protokol kesehatan, maka peneliti selalu meminta ijin dan persetujuan

terlebih dahulu apakah bersedia ditemui secara langsung atau harus

memakai video call atau wawancara secara daring.

(18)

18

Daftar Key Person Politisi Perempuan Berbasis Pesantren di Solo Raya

No Nama/Dapil Tingkat Catatan

DPR DPRD

Provinsi

DPRD Kab/Kota 1 Eva

Yuliana/Dapil V Jawa Tengah (Solo,

Sukoharjo, Boyolali, Klaten)

Partai Nasdem

- - Terpilih

2 Luluk Nur Hamidah, M.Si., M.PA./Dapil IV Jateng

(Wonogiri, Karanganyar dan Sragen)

Partai

Kebangkitan Bangsa

- - Terpilih

Sumber : Berbagai sumber

Setelah melakukan wawancara dengan key person tersebut, peneliti

akan memakai teknik snow ball dimana peneliti akan menemui orang yang

dianggap mengetahui hal ihwal proses pemanfaatan jaringan pesantren

atas petunjuk dari key person tersebut. Dengan teknik snow ball ini,

peneliti akan menemui orang yang ikut terlibat dan mengetahui aktivitas

kandidat politisi perempuan ketika melakukan sosialisasi maupun

kampanye pada Pemilu 2019 lalu.

(19)

19 C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di daerah Solo raya yang meliputi Solo atau Kota Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Klaten, Wonogiri, Karanganyar dan Sragen. Dilihat dari sisi pemilahan daerah pemilihan politik, Solo raya terbagi menjadi dua daerah pemilihan (dapil) yaitu Dapil Jateng 4 yang meliputi Kab. Karanganyar, Kab. Sragen, dan Kab. Wonogiri. Daerah lainnya adalah Dapil 5 yang meliputi Kota Surakarta, Klaten, Sukoharjo dan Boyolali.

Pilihan terhadap daerah pemilihan di wilayah Solo raya ini untuk mencermati efektifitas jaringan pesantren dalam lanskap politik yang preferensi politiknya mayoritas kepada partai nasionalis. Klaim ini bisa dipahami dengan melihat peta politik elektoral legislatif dimana Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menjadi partai pemenang di semua wilayah di Solo raya. Adapun mayoritas konstituen PDI-P ada di Kota Surakarta, Boyolali, Wonogiri.

Dalam lanskap politik yang demikian, menjadi menarik untuk menyelidiki bagaimana politisi perempuan mendayagunakan aset jaringan pesantren dalam situasi pemilih yang mayoritas pemilih partai berhaluan nasionalis seperti PDI-P maupun Partai Golkar. Dengan kata lain, geopolitik Solo raya adalah situasi dan kondisi politik dimana partai berhaluan nasionalis memiliki basis massa kuat. Hal ini yang menjadi alasan pemilihan lokasi Solo raya sebagai daerah penelitian.

Selain itu, pilihan terhadap Eva Yuliana dan Luluk Nur Hamidah dimana keduanya bertarung di daerah Solo raya adalah untuk melihat kiprah dan jaringan pesantren serta perbedaan wilayah politik. Perbedaan ini juga memberi nilai plus karena pada akhirnya riset ini bisa menjangkau wilayah Solo raya secara keseluruhan.

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, kegiatan pengumpulan data diawali dengan

menelusuri berita-berita terkait proses kandidasi politisi perempuan

(20)

20

berlatar belakang pesantren. Penelusuran ini tidak hanya pada media online tetapi juga pada channel youtube. Hasil dari penelusuran ini membantu peneliti untuk memahami apa dan bagaimana kiprah awal para kandidat politisi tersebut dan sekaligus memberi gambaran awal bagi peneliti terkait pemanfaatan jaringan pesantren dalam proses sosialisasi dan kampanye. Data awal ini merupakan data sekunder karena diperoleh peneliti dari sumber media dan bukan secara langsung diperoleh dari informan kunci.

Setelah memahami gambaran awal tersebut, langkah berikutnya adalah melakukan adalah melakukan wawancara sebagai langkah penting guna mendalami temuan awal atau mengkonfirmasi beberapa hal yang diperoleh ketika melakukan penelusuran data sekunder. Teknik wawancara akan dilaksanakan dengan model wawancara semi terstruktur dan tidak terstruktur. Dengan kata lain, peneliti sudah menyiapkan rancangan pertanyaan untuk ditanyakan kepada informan. Tetapi pertanyaan dari peneliti juga akan menyesuaikan dengan respon informan. Sehingga, bisa jadi, pertanyaan dari peneliti di luar rancangan awal pertanyaan penelitian.

Berikut ini adalah daftar pertanyaan yang menjadi panduan dalam penelitian ini.

No Pertanyaan utama Indikator Sub pertanyaan

1 Bagaimana caleg perempuan mengidentifikasi jaringan pesantren dalam politik elektoral?

Jaringan Pesantren

(Organisasi/lembaga/institusi)

Jaringan pesantren:

Formal  organisasi alumni, org wali santri dsb

Informal  grup WA,

1. Ketika kampanye Pemilu 2019 lalu, bagaimana peran pesantren dan jaringannya dalam menopang kampanye ibu?

2. Apa saja jenis jaringan pesantren yang ada?

3. Bagaimana sejarahnya? (kapan

didirikan? dalam konteks dan

(21)

21

paguyuban alumni santri situasi seperti apa?)

4. Bagaimana interaksi atau dinamika diantara jaringan pesantren yang ada?

5. Bagaimana sebaran anggota jaringan pesantren tersebut?

Apakah hanya di sekitar ponpes atau meluas hingga lintas kabupaten?

6. Bagaimana jangkauan jaringan pesantren tersebut? Apakah ada cabang di daerah tertentu?

Apakah hingga desa?

7. Bagaimana jaringan pesantren mengikat anggotanya? Apakah ada pertemuan rutinan?

8. Bagaimana keterlibatan anda dengan pesantren dan jaringan pesantren (sebagai pengurus, santri, wali santri, alumni atau persinggungan diantara ketiganya)

9. Apakah anda menjadi pengurus dalam organisasi tersebut?

Aktivitas dan Organisasi

sosial kemasyarakatan

1. Apa saja program dan kegiatan jaringan pesantren

2. Apakah ada bedanya ketika masa pemilu dan ketika tidak pemilu?

3. Sejauh mana anda terlibat

(22)

22

dalam program dan kegiatan jaringan pesantren yang ada?

Aktor kunci dalam jaringan pesantren

1. Bagaiamana komposisi aktor- aktor yang aktif

menggerakkan jaringan pesantren?

2. Apakah aktor2 tersebut cenderung mendukung atau menghambat pencalonan anda? Atau menyatakan sikap netral

3. Apa bentuk dukungan atau penolakan? Apa alasan mendukung atau menolak?

4. Apakah anda punya orang khusus di jaringan pesantren tersebut? Semacam orang orang yang diplot menjadi tim sukses?

Pola dan strategi sosialisasi (networks of sociability) dan Pola keterlibatan politik (patterns of political engagement)

1. Bagaimana anda

mengenalkan diri kepada calon pemilih?

2. Bagaimana mengenalkan diri sbg bagian dari pesantren kepada calon pemilih

3. Apa yang anda lakukan untuk mengkonsolidasi jaringan pesantren untuk mendukung anda dalam pemilu?

4. Apa saja strategi yang

(23)

23

diterapkan untuk menghimpun anggota dan sumberdaya jaringan pesantren untuk ikut mendukung anda?

Bentuk modal sosial 1. Bagaimana anda membangun kepercayaan kepada para calon pemilih dari jaringan pesantren?

2. Apa saja janji anda terkait kepentingan pesantren dan jaringannya?

3. Bagaimana anda membangun diri menjadi tempat untuk saluran aspirasi jaringan pesantren?

2 Bagaimana

jaringan pesantren bekerja

memenangkan caleg dalam politik elektoral?

Makro  Legitimasi sosial politik konstituen terhadap pesantren

1. Bagaimana anda mendapatkan mandate untuk mencalonkan diri dari kalangan pesantren?

Misal ada dawuh kiai atau didorong pihak pesantren untuk mencalonkan diri.

2. Apakah anda membuat semacam kontrak politik dg calon pemilih dari kalangan pesantren?

3. Bagaimana caranya anda meyakinkan kalangan

pesantren bahwa anda adalah

orang yang tepat menjadi

anggota legislative yang

(24)

24

merupakan representasi pesantren?

Meso  Jaringan sosial santri/alumni pesantren

1. Seberapa manfaat jaringan pesantren dalam proses pencalonan, proses kampanye dan proses pemilihan?

2. Apa saja kontribusi mereka dalam pencalonan anda?

Kontribusi bisa berupa materi (uang, alat peraga dsb) atau immateri (tenaga, pikiran, ide dsb)

Mikro  Afiliasi dan keterpengaruhan politisi terhadap mesin partai politiknya

1. Sejauh mana jaringan

pesantren memiliki hubungan dengan partai politik tertentu?

2. Apakah pesantren atau

jaringan pesantren sering atau pernah menjadi target

kunjungan politisi atau pengurus partai politik?

3. Apakah pesantren terbuka dengan kehadiran para politisi atau cenderung menutup diri?

Kebutuhan untuk melakukan wawancara ini akan dilakukan kepada

beberapa informan. Informan kunci pada penelitian ini adalah politisi

perempuan berlatar belakang pesantren yakni Eva Yuliana dan Luluk Nur

Hamidah. Keduanya lolos sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024.

(25)

25

Foto ketika wawancara dengan Luluk Nur Hamidah yang dilakukan secara daring via zoom (Dok. tim peneliti)

Foto ketika wawancara dengan Eva Yuliana yang dilakukan secara daring via zoom (Dok. tim peneliti)

Dalam penelitian ini, wawancara kepada kedua sumber utama yakni Eva Yuliana dan Luluk Nur Hamidah dilakukan secara daring melalui aplikasi zoom. Hal ini karena ada kebijakan pembatasan dan pengendalian Covid-19.

Foto ketika wawancara dengan salah satu tim sukses Eva Yuliana

(26)

26

Foto wawancara dengan salah satu informan pesantren

Foto wawancara dengan salah satu tim sukses yang menunjukkan jilbab dengan tulisan Eva Yuliana

Adapun wawancara kepada tim sukses atau staf ahli kedua politisi

tersebut dilakukan secara langsung atau tatap muka, ini misalnya

dilakukan dengan beberapa informan tim sukes yang ada di wilayah Solo

raya.

(27)

27 E. Teknik Pemeriksaaan Keabsahan Data

Untuk memastikan keabsahan data, peneliti melakukan beberapa langkah (Tashakkori dan Teddlie, 2010). Pertama, memperpanjang waktu penelitian. Kegiatan riset ini dirancang sejak akhir 2019 dimana peneliti mulai mencermati fenomena terpilihnya politisi perempuan berbasis pesantren. Karena ada pandemi Covid-19 pada awal 2020 dan kebijakan pemangkasan anggaran, peneliti mendapat kesempatan untuk menelusuri dan mencerna banyak data dan kasus yang ada.

Kedua, Pengamatan terus menerus. Dengan durasi waktu yang panjang, akhirnya peneliti memiliki waktu yang cukup untuk melakukan pengamatan secara memadai. Hasil pengamatan ini misalnya adalah soal pilihan kasus yang menjadi fokus riset ini sekaligus menjadi informan utama yakni pilihan peneliti untuk menyelidiki terpilihnya politisi perempuan di wilayah yang secara geopolitik merupakan basis kelompok nasionalis dan wilayah tersebut tidak dikenal luas sebagai daerah basis pesantren.

Ketiga, menggunakan teknik triangulasi. Teknik ini digunakan untuk memastikan bahwa data yang diperoleh dalam kegiatan penelitian saling terkonfirmasi antar berbagai sumber informan maupun sumber sekunder yang lain. Teknik ini dimanfaatkan untuk memastikan bahwa data yang diperoleh adalah valid. Peneliti juga berupaya mengulang beberapa pertanyaan kunci ketika melakukan wawancara untuk memastikan bahwa informasi yang diberikan informan adalah konsisten dan tidak berubah-ubah.

F. Teknik Analisis Data

Penelitian ini adalah riset kualitatif dimana data dan informasi

yang didapatkan merupakan narasi atau persepsi dari informan sebagai

sumber primer maupun dari data sekunder yang valid. Data primer yang

diperoleh dari hasil wawancara akan ditranskip terlebih dahulu lalu

(28)

28

dilakukan koding berdasarkan tema atau kunci tertentu sebagaimana didesain dalam instrument pertanyaan penelitian. Transkip ini akan membantu peneliti dalam membuat klasifikasi data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara.

Untuk menganalisis data tersebut, peneliti akan memanfaatkan kerangka teori atau perspektif yang hendak dipakai dalam penelitian ini yaitu modal sosial, modal politik, jaringan pesantren hingga teori struktur peluang dan kesempatan dalam politik. Dengan mempertimbangkan perspektif yang demikian, penelitian ini berupaya mencermati pandangan politisi perempuan dalam memanfaatkan jaringan pesantren untuk mendukung proses kandidasi selama Pemilu 2019.

(29)

29 Bab IV

Hasil Penelitian dan Pembahasan

A. Hasil Penelitian

Kajian ini menyelidiki tentang aktivisme politisi perempuan berlatar belakang pesantren dalam Pemilu 2019. Kajian tentang pesantren seringkali dihubungkan dengan isu pendidikan, dakwah, kurikulum pesantren maupun pemberdayaan masyarakat. Dalam politik, isu pesantren didominasi oleh kajian pesantren dan aktivisme politik Kiai atau Gus.

Fokus penelitian ini adalah kiprah politisi perempuan berbasis pesantren dalam memanfaatkan jaringan pesantren sebagai modal politik dalam kontestasi politik elektoral. Selain itu, penelitian ini juga hendak menerangkan model dan strategi pemanfaatan jaringan pesantren dalam lanskap wilayah politik non basis pesantren. Lokasi penelitian dilakukan di Solo raya, suatu daerah yang secara politik disebut sebagai wilayah partai nasionalis, khususnya PDI-Perjuangan. Dengan kata lain, Solo raya adalah wilayah politik non pesantren.

Pada bagian ini, peneliti akan menyampaikan hasil penelitian yang dibingkai dalam lima aspek yaitu profil kandidat politisi pesantren, ihwal Solo raya sebagai kandang banteng, ikhtiar kandidat menjemput mandat, melakukan sosialisasi dan mematangkan legitimasi politik, membangun jejaring pesantren di daerah pemilihan serta transformasi modal sosial menjadi modal politik.

1. Akar Pesantren : Profil Kandidat Politisi Perempuan

Penelitian ini menjadikan dua politisi perempuan berlatar

belakang pesantren sebagai studi kasus yakni Eva Yuliana dan Luluk

Nur Hamidah. Sebagai politisi perempuan berbasis pesantren,

keduanya memiliki keberanian berkompetisi di daerah Solo raya yang

terkenal sebagai basis pemilih partai nasionalis, utamanya PDI-

(30)

30

Perjuangan. Eva aktif di Partai Nasdem, sedangkan Luluk Nur Hamidah di Partai Kebangkitan Bangsa. Keduanya memiliki kesamaan organisasi kemasyarakatan yakni berlatar belakang Nahdlatul Ulama.

Lantas, bagaimana profilnya?

Diantara politisi perempuan di Indonesia yang menjadi wakil rakyat adalah Eva Yuliana. Perempuan yang lahir di Semarang ini melibatkan diri sekaligus berpartisipasi dalam kancah perpolitikan nasional. Setelah sempat gagal menjadi legislatif di Pemilihan Umum tahun 2014, ia Kembali untuk berjuang menjadi legislator di periode 2019-2024 dapil V meliputi (Sukoharjo, Klaten, Boyolali, dan Kota Surakarta) melalui partai Nasdem dan berhasil menjadi wakil perempuan di parlemen.

Istri dari Bowo Bayu Agung Martono ini juga seorang santriwati.

Ia dikenal oleh masyarakat sebagai figure representasi dari nahdliyin, yang besar dalam kultur Nahdlatul Ulama (NU). Diketahui pendidikannya sejak kecil tidak lepas dari kalngan pesantren. Ketika sekolah dasar (SD), ia tempuh di SD Ma‟had Islam Surakarta, kemudian berlanjut ke jenjang SMP di Al Muayyad Surakarta dan SMA-nya pun, ia tempuh di tempat yang sama. Sebagai seorang perempuan ia tergolong Wanita yang Tangguh dan peduli akan Pendidikan. Terbukti setelah SMA, ia melanjutkan studi S1 di IAIN Walisongo dan juga menjadi lulusan S2 di Universitas Nasional dan alumni International Academy For Leadership, Friedrich Nauman Stiftung Germany.

Sebagai seorang santri, kalimat yang selalu diingatnya adalah

sebaik-baiknya manusia adalah yang paling banyak bermanfaat bagi

orang lain. Sebuah kalimat sederhana yang begitu dalam nilai

filosofisnnya. Sebuah keyakinan yang bersumber dari ajaran

Rosulullah SAW yang telah tertanam sejak politisi perempuan ini

masih anak-anak. Sebagaimana diketahui, Mbak Eva panggilan akrab

(Eva Yuliana) bukanlah nama baru dalam panggung politik Indonesia.

(31)

31

Di Jawa Tengah, namanya mungkin tidak asing lagi karena pada periode 2009-2004 ia juga menjadi Wanita parlemen untuk DPRD Provinsi Jateng.

Menjadi santri sekaligus wakil rakyat tidak menjadi penghalang baginya untuk selalu berkontribusi dalam melestarikan budaya. Hal ini mungkin berangkat dari pemahaman terkait kaidah fiqih yang pernah ia peroleh di pesantren yakni „al muhafadzah alal Qadim al shalih wal akhdu bil Jadid al aslah‟. Melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan menerapkan nilai-nilai baru yang lebih baik. Hal ini tidak terlepas dari pemahaman keagamaan ahlus sunnah wal jamaah (Aswaja) yang dikenal dengan prinsip moderat dan wasathiyah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh budayawan sekaligus pemerhati keris Mpu Totok Brojodiningrat atas kekagumannya kepada Mbak Eva, menurutnya

“Eva melambangkan kesatuan dari seorang santri yang cinta agama, cerdas, namun tetap memiliki apresiasi tinggi terhadap budaya”.

Lanjutnya, sekarang jarang ditemukan sosok orang yang memiliki kepedulian dan mengapresiasi kebudayaan yang dimiliki bangsa sendiri. Apalagi ia berangkat dari kalangan pesantren. Ini menjadi satu kesatuan komplit yang hadir dengan paham keagamaan, ilmu pengetahuan, kecerdasan dan memiliki kedekatan dengan seni kebudayaan.

Aktifis dan Kepedulian Sosial

Bagi seorang aktifis slogan „agent social of change dan agent social of control’ sudah tidak asing lagi. Kita selalu didorong untuk lebih peduli dengan keadaan masyarakat di sekitar. Begitu juga dengan sosok Mba Eva, perempuan yang pernah menjadi aktifis ini dikenal mulai berkecimpung di organisasi sejak di lingkungan sekolah.

Tercatat Ketika masih di tingkat SMA/MA ia aktif di IPMA semacam

OSIS. Sehingga tak heran jika Mba Eva, menjadi politisi seperti

sekarang ini. Seperti yang diungkapkan oleh Gus Faishol, panggilan

akrab dari Kyai Muhammad Faishol pengelola ponpes al Muayyad,

(32)

32

menurutnya “apa yang diraih mba Eva saat ini adalah berkat keuletan dalam berusaha dan kecintaannnya dalam berorganisasi”.

Kemampuannya semakin mahir dalam berorganisasi tatkala ia melanjutkan studinya di IAIN Walisongo. Di Kampus hijau ini, ia aktif sebagai bendahara senat fakultas, senat mahasiswa Institut, Ketua cabang PMII Kota Semarang, Wakil sekretaris PW Fatayat NU Jateng.

Hingga di tahun 2005-2006 mengantarkan ia sebagai pengurus di PP Fatayat NU. Selain aktif dibeberapa organisasi tersebut, ia juga aktif menjadi staff di beberapa kementrian. Tercatat dalam CV, beliau pernah menjadi staf khusus Menakertrans di Tahun 2007 – 2009 dan staf khusus Mentreri perdaganagan bidang hukum antar Lembaga dan peningkatan sarana perdagangan kemendag.

Di tengah kesibukannya dalam berorganisasi dan sebagai seorang legislator, ia tak lupa dengan jiwa aktifisnya yakni peduli terhdap masyarakat. Diketahui beberapa kali mengadakan pasar murah di Surakarta, klaten, boyolali dan sukoharjo. Keuntungan dari penjualan sembako tersebut tidak lantas dinikmati oleh panitia akan tetapi digunakan untuk pelaksanaan kegiatan yang sama ditempat lainnya (Solopos. Com; 2019).

Selain kegiatan di atas, mbak Eva yang juga anggota Komisi III DPR RI mengadakan kegiatan Vaksinasi dan Rapid tes bagi wartawan.

Menurut mba Eva “ wartawan atau pekerja mendia menjadi kelomok yang rentan terkena virus, karena pekerjaannya yang bersinggngan secara lagsung pasien yang terpapar corona”. (sukoharjonews.com;

2020). Dan yang paling penting keberadaannya saat berkunjung di dapil, ia pergunakan untuk silaturahim ke pesantren-pesantren, masyarakat dan komunitas-komunitas lainnya sebagai bagian dari upaya untuk menyerap aspirasi dari konstituen.

Seperti profil Eva Yuliana, Luluk Nur Hamidah juga menjadi

representasi dari kalangan pesantren, jika dirunut dari jenjang

pendidikan yang pernah Luluk tempuh. Tak ada lagi orang yang berani

(33)

33

menyangsikan kesantriannya. Luluk Nur Hamidah lahir di Jombang, sebuah kota santri sebagai julukan atas kontribusi kota tersebut akan Pendidikan Islam dalam hal ini Pesantren. Sebuah kota dimana terkenal dengan pondok pesantren besarnya, bahkan pencetus ulama- ulama di nusantara. Seperti diketahui di Jombang terdapat 4 Pesantren besar, diantaranya Pondok pesantren Tebu Ireng, Bahrul Ulum Tambak Beras, Mamba‟ul Maarif Denanyar, dan Darul Ulum Peterongan Jombang.

Mbak Luluk, begitu ia biasa dipanggil, merupakan alumni dari salah satu pondok pesantren tersebut di atas. Pendidikannya dimulai dari jenjang MI di Daarul Ma‟arif Brodot Bandar Kedung Mulyo Jombang. Kemudian dijenjang MTs melanjutkan Pendidikan di Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang. Hingga di Aliyah, ia masih setia dengan Darul Ulum dan lulus Tahun 1990.

Seakan masih merasa minim pengetahuan agama kemudian S1 beliau raih di jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Sunan Ampel dan lulus tahun 1996. Tak berhenti disitu, mbak luluk yang mungkin sedikit dari sekian banyak perempuan yang memiliki semangat belajar terus melanjutkan studinya di Master Degree (S2) Ilmu Sosiologi di Universitas Indonesia dan lulus tahun 2005 dan juga Master degree Administrasi Publik (S2) Lee Kuan Yew School of Public Policy – National University of Singapore – Singapore yang diraihnya pada tahun 2007. Sekarang beliau juga tercatat sebagai mahasiswa S3 Progam doktoral di Universitas Indonesia.

Berbagai jenjang Pendidikan seakan membentuk karakternya

menjadi seorang yang Tangguh dan siap tampil dalam berbagai

kegiatan local maupun nasional. Belum lagi ditambah pengalaman ia

di berbagai organisasi. Ia pernah menjabat sebagai ketua umum PB

KORPRI tahun 1997-2000, Pendiri dan ketua Ahimsa 2001 - 2010,

Anggota Board P3M (Pusat pengembangan pesantren dan Masyarakat)

tahun 2002, Wakil Sekjend RMI PBNU periode 2004-2009, Pendiri

(34)

34

JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) tahun 2001, Koordinator Litbang Fatayat NU PBNU periode 2010-2015, Direktur Kampannye Public CTPRC Indonesia (Center for Tropical Peat Swam Restoration and Conservation) periode 2012-2015, Ketua III Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI), Sekjend KPPRI (Kaukus perempuan parlemen republic Indonesia) periode 2019 -2024, Ketua Umum Puskopontren (Pusat Koperasi Pondok Pesantren) periode 2019-2024, dan masih banyak lagi yang lain. Keberadaan aktifitas yang dimiliki Mbak luluk, menunjukkan pribadinya sebagai seorang perempuan yang selalui siap berkontribusi bagi bangsa dan negara.

Penghargaan dari Lembaga lain tak luput diberikan kepadanya, sebagai sosok yang menginspirasi bagi perempuan-perempuan Indonesia. Dalam Salinan CV milik partai kebangkitan bangsa, ia pernah mendapatkan bintang mahaputri pergerakan 2013 oleh PB KORPRI PMII, Beasiswa Lee Kwan Yew Grand Award Singapore Tahun 2006, Beasiswa The Tanoto Foundation Tahun 2006-2007, Perempuan Inspirasi politik tahun 2015. Sebelum berkarir di dunia politik, ia juga pernah menjadi pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama dan FISIP UNAS Jakarta pada tahun 2005.

Di perpolitikan nasional, mbak luluk pernah mencoba menjadi calon legislatif di tahun 2014 dapil Jatim VIII namun gagal.

Selanjutnya sebagai seorang perempuan yang tidak kenal menyerah

dan siap menerima tantangan. Ia kembali meramaikan daftar caleg

perempuan dengan dapil yang berbeda yakni Jateng IV meliputi

(Wonogiri, karanganyar dan Sragen). Keberadaannya sebagai orang

baru dengan dapil berbeda dengan kulturnya selama ini, tidak lantas

menyurutkan semangatnya sebaliknya ini bagiakan pembuktian diri

sebagai seorang aktifis. Walhasil, di periode 2019 -2024 ia berhasil

menjadi legislator dari partai kebangkitan bangsa. Identitas yang

mungkin mudah untuk diingat sosok perempuan enerjik ini yaitu selalu

berkerudung dengan gaya Turban

(35)

35

Seorang santri identik dengan “sami’na wa ato’na” terhadap sang kyai. Secara politik pesantren dengan kyai menjadi basis kekuatan yang cukup potensial, dalam artian jika seorang kyai sudah berfatwa maka siapapun dia jika merasa santri pasti tidak akan berani melanggar anjuran sang kyai. Hal ini juga dialami oleh seorang Luluk Nur Hamidah, tatkala abah syarif seorang ulama kharismatik dari sragen yang ia anggap sebagai guru, kyai sekaligus orang tua menyatakan merestuinya untuk menjadi calon legislative, seketika menjadi pemicu semangatnya untuk berproses dalam pemilihan legislatif di dapil Jateng IV. Menariknya mbak Luluk seakan hadir di tengah poros, dimana wilayah konstituennya berada di kandeng banteng, yakni hampir seluruh daerah di solo raya kepala daerah berafiliasi dengan PDIP yang identik dengan lambing banteng.

Namun, Perempuan yang berparas manis dan cantik (macan) ini memiliki kemampuan orasi yang di atas rata-rata perempuan Indonesia. Suaranya yang lantang dan penuh energi seakan membawa optimisme di Petani, Buruh dan kalangan warga Nahdliyin di Karanganyar, Sragen dan Wonogiri. (Jatengpos.co.id ; 2018). Sebagai sosok yang memiliki beragam pengalaman menjadikannya sebagai Wanita pejuang, aktifis dan wakil rakyat yang mampu menyuarakan aspirasi rakyat di Senayan. Terbukti dari sekian banyak caleg DPR RI dapil Jateng IV, mbak luluk menjadi salah satu wakil rakyat dari PKB yang mampu tampil di Senayan. Dan sekaligus memecahkan persepsi public bahwa daerah tersebut tidak ramah partai selain PDIP.

Dalam beberapa kesempatan ia sering menyampaikan bahwa

politik itu ibadah, jika kerja kita tak bener dampaknya bukan saja di

dunia tapi juga di akhirat. Maka gotong royong, saling mengingatkan

sangat dibutuhkan dalam upaya menjadi pelayan rakyat. Kebersamaan

ini telah dibuktikan saat kampanye, silaturahim antar desa ke desa,

seakan tidak pernah berhenti dilakukan oleh sosok perempuan

inspiratif ini. Silaturahim dilakukannya tidak terbatas pada kaum

(36)

36

nahdliyin, tetapi juga dikalangan buruh, petani, nelayan dan komunitas masyarakat lainnya. Wanita penuh enerjik ini juga sering bersuara lantang terhadap terkait kebijakan-kebijakan pemerintah dan isu-isu kemasyarakatan seperti pesantren (Joglosemarnews.com: 2021), RUU PKS (voaindonesia.com:2020), Kesehatan (Kesehatan.rmol.id : 2021) dan sebagianya

2. Menantang “Kandang Banteng” : Sekilas Geopolitik Solo Raya Secara geopolitik, Solo raya adalah daerah yang didominasi oleh pemilih partai nasionalis, terutama PDI-Perjuangan. Baik kursi parlemen lokal maupun pihak eksekutif, PDI-Perjuangan merupakan partai dominan yang berkuasa. Bukti mutakhir adalah Pemilu 2019 dan Pilkada 2020 pada bulan Desember 2020 silam (https://www.gatra.com/detail/news/489568/politik/kandang-banteng- patok-menang-di-6-daerah-soloraya/diakses pada 17 September 2021).

Penyebutan kandang banteng ini memang merujuk pada dominasi suara dan pilihan pemilik suara di wilayah Solo raya kepada PDI- Perjuangan. Terminologi kandnag banteng juga sering disuarakan para

elit PDI-P

(https://regional.kompas.com/read/2019/03/31/12371311/kampanye- terbuka-di-solo-raya-puan-pastikan-kandang-banteng-tetap-milik- pdi/diakses pada 17 September 2021).

Kasus mutakhir ketika Gibran maju ke Pemilihan Walikota menunjukkan bahwa sulit menandingi pasangan yang diajukan oleh PDI-Perjuangan. Partai atau komunitas warga harus berpikir jika mau maju ke arena pemilihan eksekutif atau legislatif.

Dalam situasi inilah, secara geopolitik, Solo raya menjadi wilayah politik yang unik dan menantang bagi calon yang maju dari partai selain PDI-Perjuangan. Hal ini menjadi semacam tantangan untuk mengakumulasi suara kekecewaan bagi konstituen di luar PDI-P.

Informan penelitian ini menyampaikan isu kekecewaan ini sebagai

(37)

37

poin awal mengkonsolidasi konstituen di luar PDI-Perjuangan tersebut.

Diantara konstituen yang berpotensi dimobilisasi adalah kelompok santri dan kalangan pesantren. (Wawancara dengan Luluk Nur Hamidah pada tanggal 16 September 2021). Di wilayah Solo raya, ceruk dan basis santri ini tidak terepresentasi dalam kamar parlemen pusat. Kurangnya konsolidasi dan tidak adanya pilihan yang dianggap bisa mewakili “membuat basis pesantren, khususnya kalangan Nahdlatul Ulama menjadi minoritas politik,” kata Eva Yuliana (Wawancara dengan Eva Yuliana pada tanggal 23 Agustus 2021).

Dengan kata lain, Solo raya menjadi daerah yang menantang politisi berbasis pesantren untuk menjalankan aktivisme politik elektoral, melakukan investasi politik yang tepat sasaran dan menguji soliditas basis konstituen pesantren. Belum lagi melawan godaan politik uang menjelang perhelatan Pemilu yang sering menjadi momok bagi semua politisi.

Meskipun perhelatan Pemilu dilakukan pada tahun 2019, tetapi langkah politik awal tentu saja dimulai satu bahkan dua tahun sebelumnya. Hal ini berdasarkan cerita dari para informan yang mengatakan bahwa ikhtiar politik awal adalah memilih daerah pemilihan (dapil). Pilihan terhadap dapil ini melibatkan berbagai aspek dan membutuhkan analisis sosial, budaya, politik hingga isu kemasyarakatan.

Menurut Eva Yuliana, daerah pemilihan di Solo raya ini jelas merupakan kandang banteng. Dalam wawancara via daring, perempuan yang akrab dipanggil mbak Eva ini mengatakan sebagai berikut:

“Dapil lima dikenal sebagai dapil merah dan saya memaknai hal itu bukan sebagai hambatan, tapi saya memaknai itu sebagai tantangan.”

(Wawancara dengan Eva Yuliana pada tanggal 23 Agustus 2021)

(38)

38

Perempuan alumni Al Muayyad ini menganggap hal ini bukan hambatan, tetapi justru menjadi tantangan tersendiri. Eva berada di dapil Jateng 5 yang meliputi Kabupaten Boyolali, Klaten, Sukoharjo dan Kota Surakarta. Selain berhadapan dengan kandidat PDI- Perjuangan, kandidat lain yang sama-sama menjadikan kalangan santri sebagai basis konstituen adalah Mohammad Thoha dari PKB dan Gus Nabiel Haroen dari PDI-Perjuangan.

Dapil Solo raya lainnya yang juga kandang banteng adalah Dapil Jateng 4 yang meliputi Kabupaten Sragen, Karanganyar dan Wonogiri.

Menurut Luluk Nur Hamidah, daerah pemilihan tersebut merupakan daerah “merah” (maksudnya daerah yang didominasi PDI-Perjuangan yang memiliki warna dominan merah).

“Saya merasa tertantang karena ini dapil merah. Tapi saya yakin terpilih karena memiliki jaringan disini.” (Wawancara dengan Luluk Nur Hamidah pada tanggal 15 September 2021)

Narasi di atas menunjukkan betapa klaim Solo raya sebagai kandang banteng tidak hanya terkonfirmasi melalui data sekunder di media, tetapi juga diakui oleh para kandidat yang maju di dapil Solo raya yang berasal dari luar PDI-P. Merujuk pada informasi di atas, hal ini justru menjadi tantangan yang sejak semula memang disadari kandidat yang hendak maju dalam Pemilu 2019.

Pemaknaan tantangan ini berkaitan dengan keberanian seorang kandidat politisi perempuan berlatar belakang pesantren untuk berkompetisi di wilayah yang secara geopolitik adalah basis konstituen partai nasionalis.

3. Sowan dan Silaturahmi : Mandat, Sosialisasi, dan Legitimasi

Bagi seorang kandidat wakil rakyat, penentuan dapil menjadi

penting karena menjadi semacam mandat partai politik kepada

kandidat tersebut. Ketika partai politik memutuskan bahwa si A nanti

berkompetisi di dapil X, maka mau tak mau ia harus pergi bertarung di

(39)

39

dapil X tadi. Dengan kata lain, dapil menjadi arena pertarungan seorang kandidat yang wajib dikenali dan dipahami karakternya.

Jika mandat partai politik ditandai dengan perintah untuk maju dari dapil tertentu, maka langkah berikutnya adalah mencari mandat riil dari basis konstituen atau para pemilik suara dan terutama mengunjungi para tokoh yang memiliki pengaruh di dapil tersebut.

Sebagai kandidat yang berasal dari lingkup pesantren, restu dari pimpinan pesantren menjadi krusial dan strategis untuk menguatkan langkah kandidat dalam perhelatan politik elektoral. Eva Yuliana mengakui bahwa dawuh romo kiai (perintah Kiai-terj) menjadi dorongan bagianya untuk berani maju dalam perhelatan Pemilu 2019 lalu.

“Romo Kiai sudah dawuh begini, “Wes ndok wes wayahe” (Sudah waktunya nak, sudah masanya-terj). Hal ini yang membuat saya bergerak maju dalam percaturan politik pada 2019. ” (Wawancara dengan Eva Yuliana pada tanggal 23 Agustus 2021)

Soal restu kiai kepada Eva Yuliana ini diakui beberapa informan, salah satunya adalah Agus Maarif, Ketua Jamaah Muji Rasul (Jamuro) Surakarta (Wawancara dengan Agus Maarif pada tanggal 1 September 2021). Meski secara kelembagaan Jamuro tidak ikut terlibat dalam politik praktis maupun mendukung calon tertentu, tapi secara individu, majunya Eva Yuliana memang mendapat restu dan dukungan dari para Kiai yang berada dalam lingkaran Jamuro.

Soal memberi restu ini juga diakui informan lainnya yakni Nyai Hj Sechah Wal‟afiyah, Ketua Jamaah Mahabbah Rasul Putri (Jamuri) Surakarta. Ibu Nyai Hj Sechah mengatakan bahwa Jamuri Surakarta sebatas memberi restu untuk maju dalam Pemilu 2019, tetapi tidak memberikan mandate apalagi terikat dalam kontrak politik.

“Sebenarnya kita (Jamuri) tidak memandatkan tapi memberikan restu

kepada Mak Eva untuk maju dalam persaingan DPR RI. Tidak ada

(40)

40

kontrak politik di antara Jamuri dan mbak Eva, tapi ini murni demi kebaikan bersama” (Wawancara dengan Nyai Hj Sechah Wal‟afiyah pada tanggal 2 September 2021).

Tidak jauh berbeda dengan Eva Yuliana, soal mandat ini juga menjadi aspek penting yang diperhatikan Luluk Nur Hamidah. Setelah memutuskan berkompetisi di dapil Sragen, Karanganyar dan Wonogiri, perempuan asal Jombang ini berikhtiar segera sowan atau berkunjung ke berbagai Kiai di tiga kabupaten tersebut.

“Lalu mas Habib, Ketua RMI Sragen (alm KH Habib Masduqi Alawy- peneliti) yang membawa saya sowan ke para Kiai, termasuk Abah Syarif.”(Wawancara dengan Luluk Nur Hamidah pada tanggal 15 September 2021)

Narasi di atas memperlihatkan betapa mandat, dalam bahasa politik keseharian adalah restu, menjadi aspek penting dalam proses pencalonan kandidat dalam Pemilu kontemporer. Di dalam pemberian restu ini tentu saja melibatkan adanya aspek emosional, kesamaan identitas, rasa saling percaya dan jejaring.

Setelah mandat dari partai politik dan restu secara sosio kultural diperoleh, maka aktivitas berikutnya adalah melakukan sosialisasi.

Sosialisasi ini utamanya untuk menegaskan kepada para calon pemilih bahwa saat ini para kandidat sedang dalam proses mencalonkan diri ke dalam perhelatan Pemilu 2019. Langkah sosialisasi ini dilakukan dengan mempertimbangkan basis dan target konstituen. Menurut Eva Yuliana, aktivitas sosialisasi ini mencermati siapa yang akan dikunjungi.

“Kita pakai pendekatan berbeda di Solo raya. Kita menyesuaikan dengan

basisnya. Jika kita datang ke basis hijau, maka sosialisasi dilakukan

ketika ada pengajian atau sholawatan. Berbeda jika sasaran konstituen

adalah basis merah, maka saya akan melakukan diskusi atau duduk

bersama. Tapi saya tetap mengenalkan diri sebagai santri.” (Wawancara

dengan Eva Yuliana pada tanggal 23 Agustus 2021.)

(41)

41

Merujuk pada praktik sosialisasi yang dilakukan Eva Yuliana, maka ia sudah melakukan pemetaan basis konstituen terlebih dahulu.

Dapilnya yang meliputi Sukoharjo, Klaten dan Kota Surakarta membuat dirinya harus sangat cermat dan teliti dalam menentukan aktivitas di basis.

Sebagai bagian dari sosialisasi, Eva Yuliana membuat pernak pernik gelas. Barang-barang yang mudah diberikan ke konstituen.

(Foto : Koleksi peneliti)

Bu Anna, informan lain yang aktivis Muslimat NU Sukoharjo, menceritakan bahwa strategi Eva Yuliana dalam mendekati masyarakat disesuaikan dengan karakter masyarakat tersebut sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:

“Kita lihat dalam wilayah yang notabene wilayah hijau, bahkan wilayah santri. Maka pendekatan yang dilakukan oleh Mbak Eva adalah pendekatan kultural seperti pengajian dan penyantunan anak yatim.

Bahkan yang perlu kita ingat adalah sekecil apa pun acara itu Mbak Eva

akan hadir, bahkan ketika ada wali santri yang meninggal, Mbak Eva

hadir. Namun yang perlu digaris bawahi adalah Mbak Eva bisa

menyesuaikan diri, mana yang menjadi urusan politik dan mana yang

menjadi kegiatan sosial-keagamaan. Bahkan ketika masuk di wilayah

Gambar

Foto  ketika  wawancara  dengan  Luluk  Nur  Hamidah  yang  dilakukan secara daring via zoom (Dok
Foto  wawancara  dengan  salah  satu  tim  sukses  yang  menunjukkan  jilbab dengan tulisan Eva Yuliana

Referensi

Dokumen terkait

[r]

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK & MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI

Variabel reliability (X 2 ), yang meliputi indikator petugas memberikan pelayanan yang tepat, petugas memberikan pelayanan yang cepat, petugas memberikan pelayanan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama, keabsahan akta notaris meliputi bentuk isi, kewenangan pejabat yang membuat, serta pembuatannya harus memenuhi

underwear rules ini memiliki aturan sederhana dimana anak tidak boleh disentuh oleh orang lain pada bagian tubuhnya yang ditutupi pakaian dalam (underwear ) anak dan anak

Analisis stilistika pada ayat tersebut adalah Allah memberikan perintah kepada manusia untuk tetap menjaga dirinya dari orang-orang yang akan mencelakainya dengan jalan

Pada tahap pertama ini kajian difokuskan pada kajian yang sifatnya linguistis antropologis untuk mengetahui : bentuk teks atau naskah yang memuat bentuk

Seringkali apabila tunggakan sewa berlaku ianya dikaitkan dengan masalah kemampuan yang dihadapi penyewa dan juga disebabkan faktor pengurusan yang lemah. Ada pula