1 Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Penelitian ini menyelidiki pemanfaatan modal sosial khususnya jaringan pesantren yang dimiliki dan melekat pada kandidat politisi perempuan asal pesantren dalam mengarungi kontestasi politik elektoral pada Pemilu tahun 2019. Jaringan pesantren adalah organisasi atau komunitas yang melekat dalam institusi pesantren, baik yang bersifat formal atau informal misalnya komunitas santri, keluarga alumni pesantren dan sebagainya.
Jaringan pesantren ini menarik diselidiki karena melibatkan berbagai segmen atau aktor penting dalam arena politik elektoral. Kultur santri yang memiliki ikatan erat dan emosional dengan pesantren dan para pengasuhnya baik kiai maupun nyai merupakan ikatan sosial yang kuat dan memiliki kekuatan untuk memengaruhi prilaku sosial dan politik santri.
Penelitian ini berikhtiar mendalami bagaimana modal sosial
tersebut bisa bertransformasi menjadi modal politik untuk mendukung
proses kandidasi caleg perempuan dengan latar belakang pesantren. Secara
lebih spesifik, penelitian ini menyelidiki tentang model dan strategi
kandidat wakil rakyat pada Pemilu 2019 dalam memaksimalkan jaringan
pesantren di wilayah yang secara geopolitik sering dikategorikan sebagai
daerah basis non santri. Daerah ini lazimnya ditandai dengan mayoritas
pemilih yang terkoneksi dengan partai nasionalis, lalu pimpinan eksekutif
yang berasal dari dukungan partai nasionalis serta institusi legislatif yang
berisi mayoritas dari partai nasionalis. Salah satu daerah yang memenuhi
kondisi demikian adalah wilayah Solo raya.
2
Proses kandidasi adalah aktivitas yang dilakukan oleh politisi dalam mengarungi berbagai tahapan dalam politik elektoral. Salah satu tahapan penting dalam politik elektoral tersebut adalah pemetaan daya dukung politisi dalam proses memperoleh dukungan suara agar terpilih dalam pemilihan umum (Pemilu).
Dalam proses tersebut, mesin utama yang bekerja dalam menggalang dukungan tentu saja partai politik dan tim relawan atau tim sukses yang dibentuk secara independen oleh kandidat. Tim relawan atau tim sukses ini biasanya bergantung pada jenis dan model konstituen utama dari kandidat. Jika kandidat berlatar belakang buruh, maka biasanya ia akan membentuk tim sukses dengan latar belakang buruh. Diantara tim sukses atau tim relawan yang menarik dicermati adalah ketika calon kandidat berlatar belakang pesantren dimana jaringan pesantren merupakan instrument politik non partai yang juga memiliki daya untuk menggalang dan memengaruhi publik.
Pesantren dan jaringannya menjadi kelompok masyarakat yang unik dan kerap dikunjungi para politisi dari berbagai level. Tidak heran jika cukup banyak pesantren yang sibuk menerima tamu menjelang momentum politik elektoral baik tingkat pusat, provinsi maupun daerah.
Bagi calon dengan latar belakang pesantren, tentu saja hal ini acapkali dimanfaatkan untuk menambah daya dukung dalam proses kandidasi tersebut.
Diantara fenomena yang menarik utuk dicermati adalah proses
kandidasi para politisi perempuan dengan latar belakang pesantren. Selama
ini kontestasi politik pesantren banyak dominan laki-laki. Adanya afirmasi
perempuan sebesar 30 % dalam daftar calon anggota legislatif memberi
angin segar sekaligus menjadi kesempatan politik (political opportunity)
yang membuat partai politik baik yang berbasis pada konstituen muslim
3
maupun tidak berlomba-lomba mencari kandidat perempuan yang memiliki basis pemilih jelas.
Diantara kelompok perempuan yang memiliki basis pemilih atau konstuten yang jelas dan memungkinkan adanya ikatan emosional adalah politisi perempuan berbasis pesantren. Dalam konteks tersebut, apa dan bagaimana para politisi perempuan memetakan, menggunakan dan mengoptimalkan instrument pesantren ini menarik didalami.
Jika selama ini politik pesantren sangat kental nuansa laki-laki, maka aktivitas politik perempuan dengan latar belakang pesantren ini memberi nuansa baru tentang kiprah politisi perempuan dalam mendayagunakan jaringan pesantren. Apakah dukungan ini berbeda dengan laki-laki dan sejauh mana para politisi perempuan ini berhasil menggunakan jejaring pesantren dalam mengarungi politik elektoral.
Konteks penggunaan jaringan pesantren bagi kandidat perempuan menjadi sangat menarik dicermati jika penyelidikan dilakukan di luar daerah basis santri. Diantara wilayah yang tepat menjadi gambaran wilayah ini adalah Solo raya. Secara politik, Solo raya adalah basis pemilih nasionalis dengan preferensi utama partai politiknya adalah PDI- Perjuangan. Pasca reformasi, PDI-P mendominasi wilayah Solo raya.
Tidak hanya dalam konteks legislatif, bahkan kursi eksekutif juga banyak dikuasai kader atau pasangan yang dijagokan dari PDI-P.
Dalam lanskap politik yang demikian, menjadi menarik untuk
mencermati bagaimana politisi perempuan berbasis pesantren bekerja dan
akhirnya terpilih dalam proses politik elektoral tersebut. Diantara calon
politisi perempuan yang berlatar belakang pesantren dan ikut berkompetisi
dalam Pemilu 2019 lalu adalah Eva Yuliana. Alumni Pondok Pesantren Al
Muayyad Solo ini gagal pada Pemilu 2014 di Dapil V (Solo, Sukoharjo,
Boyolali dan Klaten) melalui PKB. Pada Pemilu 2019, Eva kembali maju
di dapil yang sama melalui Partai Nasdem dengan dukungan pesantren
4
juga. Dukungan dari jaringan pesantren juga pada akhirnya mengantarkan Eva menjadi anggota DPR RI periode 2019-2024.
Politisi perempuan lain berlatar belakang pesantren lainnya yang ikut meramaikan politik elektoral di Solo raya adalah Luluk Nur Hamidah, M.Si., M.PA. Ia punya hubungan erat dengan Pondok Pesantren Nurul Huda Kalijambe-Sragen yang diasuh Abah Syarif Hidayatulloh. Luluk dalam suatu kesempatan ceramah dalam forum pengajian di Ponpes Nurul Huda mengklaim bahwa ia adalah murid atau santri dari Abah Syarif tersebut. 1 Mbak Luluk, sapaan akrabnya, bertarung pada Pemilu 2014, lewat PKB, bertarung untuk berebut kursi parlemen dari Daerah Pemilihan Jawa Timur VIII tapi gagal. Lalu, pada Pemilihan Legislatif 2019, Mbak Luluk kembali menyalonkan diri sebagai caleg Dapil Jawa Tengah IV dan berhasil terpilih.
Dua kasus kandidasi dan keterpilihan kedua politisi di atas menarik untuk dicermati dalam konteks keduanya mengandalkan jaringan pesantren untuk berkompetisi di wilayah yang secara politik pasca reformasi dikenal sebagai kandang banteng. Latar belakang yang berbeda juga menarik dicermati. Jika Eva Yuliana berbasis partai nasionalis yakni Partai Nasdem, maka Luluk Nur Hamidah merupakan jagoan Partai Kebangkitan Bangsa yang dianggap bagian dari partai Islam karena konstituen utamanya adalah kelompok santri Nahdlatul Ulama.
Kenyataan ini menarik diselidiki mengingat kajian-kajian tentang politik pesantren lebih banyak didominasi kiai atau gus (anak kiai).
Berangkat dari konteks yang demikian, ada tiga hal menarik. Pertama, pesantren menjadi agensi politik dalam mendukung aktivisme politik kandidat terutama caleg perempuan. Jika selama ini wajah politik pesantren didominasi wajah maskulin, kemunculan kandidat caleg
1