• Tidak ada hasil yang ditemukan

yang Baik di Pasar Tenaga Kerja

Pendahuluan

2

Indonesia harus mempercepat pertumbuhannya untuk menciptakan kondisi-kondisi yang diperlukan untuk menurunkan tingkat dan untuk mencapai MDGs. Untuk mencapai pertumbuhan tersebut, perlu dibangun iklim investasi yang kuat. Dengan tanpa mengabaikan kemajuan yang dicapai sampai saat ini, harus diakui iklim investasi di Indonesia masih tetap lemah. Walaupun kondisi pasar finansial telah membaik begitu pesat, sejumlah pengamat melihat beberapa kasus hukum tingkat tinggi telah menjadi penyebab lambatnya laju reformasi di bidang hukum dan dunia peradilan. Pembentukan Komisi Anti-korupsi belum lama ini banyak disambut dengan gembira, namun hasilnya akan sangat bergantung pada penerapan dan kegiatan operasionalnya (hal yang sama juga berlaku bagi Komisi Pengawasan Persaingan Usaha-KPPU). Desentralisasi yang secara keseluruhan telah berlangsung relatif bagus, juga telah memunculkan masalah-masalah baik bagi perusahaan yang sudah ada maupun calon investor, dalam bentuk peraturan dan perpajakan baru yang saling bertentangan. Para investor juga telah menyuarakan keprihatinan mereka tentang peraturan ketenagakerjaan dan kecenderungan makin tingginya upah minimum. Serangan teroris baru-baru ini telah mempertinggi keprihatinan berkaitan dengan keamanan dalam negeri. Pembuat kebijakan harus berusaha sekeras mungkin untuk memperbaiki iklim investasi, meningkatkan daya saing Indonesia dan membangun prospek pertumbuhan untuk periode mendatang.

Dari sejarahnya, kekuatan ekonomi Indonesia yang besar telah membuat negara ini menjadi tujuan menarik bagi investasi asing: pasar domestik dan tenaga kerja yang besar, sumber daya alam yang berlimpah, infrastruktur yang kokoh, dan lokasi strategis di antara jalur perdagangan utama di dunia. Namun, aliran investasi asing langsung (foreign direct investment-FDI) ke Indonesia masih tetap lebih kecil dan hanya setengah dari kondisi sebelum krisis moneter. Investasi oleh investor Indonesia sendiri juga lesu, dengan pembentukan modal tetap kotor (gross fixed capital formation) secara signifikan tetap di bawah laju pada tahun 1997 (sumbangan FDI terhadap pembentukan GDP cenderung terus menurun dan pada tahun 2002 jatuh pada posisi 32,2% dari sebelumnya 40,4% pada tahun 2000) 1. Berdasarkan Inward FDI Performance Index terbaru yang dirilis UNCTAD,2 Indonesia menempati ranking ke-138 (dari 196 negara). Dalam soal daya saing, peringkat

1 UNCTAD World Investment Report, 2003

Indonesia juga anjlok dari posisi ke- 25 pada tahun 2002 menjadi nomor 28 pada tahun 2003 (dari 30 negara yang berpenduduk lebih dari 20 juta jiwa) dalam the IMD World Competitiveness (Cina menempati peringkat 12, Korea Selatan ke-15 dan Filipina ke-22). Sedangkan dalam hal efisiensi bisnis (yang mencakup indeks gabungan pasar tenaga kerja), Indonesia menduduki posisi paling rendah dari 49 negara yang disurvei.3

Jadi, apa yang paling dibutuhkan untuk memulihkan kepercayaan pasar, untuk mendorong persaingan yang lebih sehat dan untuk mendukung investasi di Indonesia? Ada konsensus yang muncul bahwa Indonesia harus menumbuhkan tata pemerintahan yang baik (good

governance) dalam spektrum yang luas —lihat Boks 1 mengenai

pembahasan atribut-atribut penting dari tata pemerintahan yang baik. harus menjadi unsur yang paling penting dari berbagai strategi untuk menciptakan perbaikan-perbaikan iklim investasi secara berkelanjutan. Memastikan berlangsungnya tata kerja yang efektif dari Komisi Anti Korupsi yang baru-baru ini dibentuk, disetujuinya amandemen hukum kepailitan, dan upaya-upaya yang terus menerus untuk memperkuat peradilan niaga harus menjadi prioritas khusus. Perhatian yang terus-menerus harus diberikan untuk

menjamin tidak akan mengarah pada kerangka peraturan

yang terlalu rumit dan tidak stabil yang bisa membuat investor

ragu-ragu. yang sering dilaporkan makin

memburuk dalam soal transparansi, makin sulit diprediksi dan makin tidak adil sering disebut-sebut sebagai kendala bagi investasi.

Sementara elemen-elemen agenda tata pemerintahan yang baik di atas merupakan sesuatu yang penting, kita perlu memberikan perhatian yang lebih besar pada tata pemerintahan yang baik di pasar tenaga kerja. yang masuk akal, yang bisa mempertemukan keseimbangan antara kepentingan melindungi hak-hak pekerja dan melayani lingkungan yang memperhatikan pertumbuhan dalam konteks kebijakan hubungan industrial yang kuat, merupakan titik kritis dalam berbagai keperihatinan yang sudah diungkapkan selama ini. Pemerintah perlu membuat komitmen yang serius di berbagai bidang untuk menyelesaikan pelbagai masalah yang bisa menimbulkan dampak yang signifikan terhadap iklim investasi secara keseluruhan: kebijakan hubungan kerja industrial yang baik adalah salah satunya.

3 Lihat IMD World Competitiveness Yearbook 2003

Tata pemerintahan yang baik adalah unsur yang amat penting dalam strategi pengentasan kemiskinan Indonesia. Persoalan-persoalan pemerintahan yang tidak terpecahkan akan menghalangi kebanyakan orang mendapatkan kesempatan-kesempatan, keadilan dan akses ke sumber daya kehidupan. Hambatan-hambatan ini menciptakan dan memperparah kemiskinan. Tata pemerintahan yang lebih

baik merupakan kunci penyelesaian konflik, pertumbuhan dan pengentasan kemiskinan.

UNSUR-UNSUR TATA KEPEMERINTAHAN YANG BAIK 1. Partisipasi

Semua laki-laki maupun perempuan harus memiliki suara dalam proses pembuatan keputusan, apakah itu secara langsung atau melalui institusi perantara yang legal yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi yang luas seperti ini dibangun berdasarkan kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berkumpul — yang menandaskan perlunya penerapan secara penuh Konvensi ILO No. 87 — dan juga kemampuan untuk berpartisipasi secara konstruktif.

2. Peraturan hukum

Kerangka hukum harus bersifat adil dan menegakkan ketidakberpihakan, khususnya hukum-hukum hak azasi manusia.

3. Transparansi

Transparansi dibangun atas dasar alur informasi yang bebas. Proses-proses, institusi dan informasi bisa diakses secara langsung oleh mereka yang memiliki perhatian terhadap masalah ini. Dan informasi yang cukup disediakan untuk memahami dan memantau hal itu. Ini merupakan hal yang krusial bagi keberhasilan proses PRSP: informasi harus tersedia pada waktu yang tepat sehingga para mitra utama bisa berpartisipasi dan memberikan kontribusinya sebagaimana seharusnya.

4. Daya tanggap

Institusi dan proses berusaha melayani semua mitra utama. 5. Orientasi pada konsensus

Tata pemerintahan yang baik menengahi kepentingan-kepentingan yang berbeda untuk mencapai sebuah konsensus tentang apa yang terbaik bagi kelompok dan, di mana mungkin, tentang kebijakan dan prosedur. Ini merupakan tujuan kunci dari dialog sosial dan sebuah tantangan khusus yang penting bagi mitra sosial karena basis keanggotaan mereka yang heterogen.

6. Kesetaraan

Semua laki-laki dan perempuan mempunyai peluang yang sama untuk memperbaiki atau menjaga kesejahteraan mereka dan diberi suara melalui keanggotaan dari organisasi perwakilan, misalnya serikat kerja/buruh dan organisasi pengusaha.

Dialog sosial memainkan peranan kunci dalam mencapai tujuan ILO untuk mempromosikan peluang-peluang bagi kaum perempuan dan laki-laki untuk meraih pekerjaan yang layak dan produktif dalam kondisi penuh kebebasan, bermartabat, setara, dan aman. Dialog sosial yang didefinisikan oleh ILO mencakup semua jenis negosiasi, konsultasi atau sekadar pertukaran informasi antara perwakilan-perwakilan pemerintah, pengusaha dan pekerja, tentang isu-isu yang menjadi kepentingan bersama yang berkaitan dengan kebijakan sosial dan ekonomi. Dialog ini bisa sebagai proses tripartit, dengan pemerintah berperan sebagai pihak resmi untuk dialog tersebut; atau dialog ini bisa merupakan hubungan bipartit antara tenaga kerja dan manajemen (atau serikat pekerja/buruh dan organisasi pengusaha), dengan atau tanpa keterlibatan tidak langsung. Konsultasi bisa bersifat informal atau institusional, dan seringkali dialog ini bersifat kombinasi antara keduanya. Dialog ini bisa berlangsung pada tingkat nasional, regional atau perusahaan; antarprofesional, antarsektoral atau kombinasi dari semuanya. Pada masing-masing kasus, dialog sosial merupakan upaya untuk membangun kepercayaan di antara pihak-pihak yang memiliki kepentingan berbeda yang berupaya untuk melakukan aktivitas ekonomi bersama dengan kehadiran informasi yang tidak sama (asimetrik).

Pada umumnya, alat utama dialog sosial adalah komite bipartit dan tripartit. Undang-undang 13/2003 mengenai Ketenegakerjaan yang

7. Efektifitas dan efisiensi

Proses dan institusi menciptakan hasil-hasil yang sesuai dengan kebutuhan dan pada waktu yang sama memanfaatkan sumber daya-sumber daya dengan cara terbaik.

8. Akuntabilitas

Pembuat kebijakan dalam sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil – termasuk serikat pekerja/buruh dan organisasi pengusaha memiliki tanggung jawab kepada publik, juga kepada mitra-mitra institusional. Akuntabilitas ini berbeda-beda tergantung pada organisasi dan apakah keputusannya menyangkut kepentingan internal atau eksternal organisasi. 9. Visi strategis

Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan memiliki jangka panjang mengenai tata pemerintahan yang baik dan pengembangan manusia, sejalan dengan apa yang yang diperlukan oleh pengembangan seperti itu. Terdapat juga pemahaman tentang kerumitan-kerumitan sejarah, kultural dan sosial yang mendasari perspektif di atas.

Sumber: diadaptasi dari ‘Good Governance for the People Involving

the People: Partnership for Governance Reform’, Sekretariant Kemitraan

Reformasi Tata Pemerintahan, UNDP Indonesia. .

baru menyebutkan bahwa semua perusahaan yang memiliki lebih dari 50 pekerja diwajibkan membentuk komite kerjasama bipartit yang harus berfungsi sebagai forum komunikasi, konsultasi dan perundingan dengan tujuan untuk memecahkan masalah-masalah ketenagakerjaan di tingkat perusahaan. Bagaimanapun juga, pada kenyataannya, kebanyakan perusahaan tidak memiliki komite semacam ini dan di hampir semua perusahaan yang memiliki komite ini, komite tersebut tidak berfungsi dengan efektif.4 Hal yang serupa, Dewan Tripartit Nasional harus diperkuat dan (mungkin dengan lebih signifikan karena adanya proses desentralisasi), demikian juga komite-komite tripartit regional.

Kondisi-kondisi yang memungkinkan dialog sosial adalah sebagai berikut:

• Organisasi pekerja dan pengusaha yang kuat dengan kemampuan teknis dan akses ke informasi yang relevan untuk berpartisipasi dalam dialog sosial.

• Kemauan dan komitmen politik semua pihak untuk terlibat dalam dialog sosial.

• Penghormatan terhadap hak-hak dasar seperti hak untuk berserikat dan melakukan perundingan bersama.

• Dukungan institusional yang tepat.

Institusi dialog sosial seringkali didefinisikan dari komposisinya. Institusi-institusi ini bisa berupa bipartit, tripartit atau ‘tripartit plus’. Pelaku-pelaku utama tripartit merupakan perwakilan dari pemerintah, pengusaha dan pekerja. Pada waktu tertentu, dan tergantung pada konteks nasional yang spesifik, mitra tripartit mungkin bisa membuka dialog bagi pelaku lain di masyarakat yang relevan dalam upaya untuk mendapatkan pandangan yang lebih luas serta untuk memasukkan pandangan yang beragam dari pelaku sosial lainnya guna membangun konsensus yang lebih luas.

Dialog sosial dapat mengambil bentuk yang berbeda-beda, mulai dari aktivitas sederhana seperti pertukaran informasi ke bentuk konsultasi yang lebih maju. Berikut ini adalah daftar pendek dari bentuk-bentuk dialog sosial yang paling umum.

• Saling berbagi informasi merupakan salah satu unsur dialog sosial efektif yang paling mendasar dan penting. Pada dasarnya, pertukaran informasi ini tidak mengharuskan adanya pembahasan atau tindakan terhadap persoalannya, namun pertukaran informasi ini merupakan bagian tak terpisahkan dari proses-proses di mana dialog dan keputusan bisa dibuat.

• Konsultasi bukan hanya saling berbagi informasi saja tetapi juga membutuhkan keterlibatan para pihak melalui pertukaran pandangan yang pada gilirannya bisa mengarah pada dialog yang lebih mendalam.

• Badan-badan tripartit atau bipartit bisa terlibat dalam negosiasi dan kesepakatan. Sementara banyak organisasi memanfaatkan

5 Lihat, misalnya, Peggy Kelly, ‘Promoting Democracy and Peace through Social Dialogue’, Program Infokus tentang Peningkatan Dialog Sosial, ILO Januari 2002.

konsultasi dan saling berbagi informasi, beberapa darinya diberdayakan untuk mencapai kesepakatan yang mengikat. Lembaga dialog sosial yang tidak memiliki mandat seperti itu biasanya menjalankan fungsi kepenasehatan bagi Departemen, Parlemen, atau pembuat kebijakan dan pengambilan keputusan yang lain.

• Perundingan bersama tidak hanya sebagai bentuk dialog sosial yang integral dan salah satu yang paling tersebar luas, tapi juga bisa dilihat sebagai indikator yang berguna untuk melihat kemampuan di satu negara untuk terlibat dalam tripartisme tingkat nasional. Para pihak bisa melibatkan diri dalam perundingan bersama di tingkat perusahaan, sektoral, regional, nasional bahkan multinational. Tujuan utama dari dialog sosial itu sendiri adalah untuk meningkatkan dan mengembangkan konsensus dan keterlibatan demokratis di antara para mitra di dunia kerja. Struktur dan proses dialog sosial yang berhasil memiliki potensi untuk memecahkan isu-isu sosial dan ekonomi yang penting, mendorong tata pemerintahan yang baik, mempromosikan kedamaian dan stabilitas sosial dan industrial dan mendorong kemajuan ekonomi. Dengan demikian, dialog sosial merupakan sarana dan akhir dari upaya pengentasan kemiskinan. Dialog ini merupakan komponen amat penting dari proses-proses partisipatif yang termaktub dalam perancangan PRSP yang bersifat inklusif dan bermakna, dan merupakan landasan di mana fondasi diletakkan bagi masyarakat demokratis, transparan dan terbuka.

Efektifitas struktur tripartit ILO bergantung pada kekuatan dan kapasitas konstituen-konstituennya, yakni: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans), Organisasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dan berbagai organisasi pekerja (federasi-federasi serikat pekerja/buruh). Kekuatan dan kelemahan relatif dari masing-masing organisasi ini didokumentasikan dengan baik5. Disepakati bersama bahwa organisasi-organisasi tersebut perlu memperluas basis keanggotaan mereka, terutama bagi pekerja dan pengusaha perempuan. Namun, bisa dikatakan bahwa kedua mitra sosial ini menghadapi tantangan-tantangan institusional dan organisatoris yang serupa sebagai akibat dari proses demokratisasi dan desentralisasi yang telah mengubah Indonesia belakangan ini. Juga bisa disimpulkan bahwa Undang-undang No. 13/2003 mengenai Ketenagakerjaan, dan Undang-undang No. 21/ 2000 mengenai Serikat pekerja/buruh membuka peluang besar untuk memperkuat kerangka hubungan kerja industrial di Indonesia. UU No. 21/2000 menetapkan kewajiban-kewajiban Indonesia di bawah Konvensi No. 87, dan UU No. 13/2003 memberikan kerangka legal sehubungan dengan upah, jaminan sosial, keselamatan dan kesehatan kerja, jam kerja dan liburan. Undang-undang ini mengatur hubungan kerja industrial dan rincian-rincian prosedur tentang bagaimana menghadapi kesepakatan kerja kolektif dan peraturan-peraturan perusahaan.

Pada era pra-krisis, sistem hubungan kerja dalam industri berpusat pada peraturan yang birokratis, kurangnya transparansi dan keterbukaan, dan kebijakan-kebijakannya cenderung otokratik dan kadang bersifat memaksa. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat banyak perbaikan dan fakta bahwa Indonesia telah meratifikasi delapan Konvensi Inti ILO (negara pertama di Asia yang melakukannya) memberikan dasar yang baik untuk meningkatkan dialog sosial dan tata pemerintahan yang baik di pasar tenaga kerja (lihat boks 2). Namun demikian, terdapat juga berita-berita buruk tentang Indonesia seperti dilaporkan dalam berbagai media dalam beberapa tahun ini bahwa banyak perusahaan yang menutup usahanya di Indonesia atau mengancam keluar dari Indonesia karena negara ini dianggap tidak lagi menjadi tempat yang layak untuk membuka usaha.

Berbagai laporan media menunjukkan adanya peningkatan ongkos tenaga kerja, problem-problem perselisihan perburuhan, dan lingkungan hubungan industrial yang tidak menentu. Semua itu membuat para investor sangat gamang melakukan bisnis di Indonesia.6 Namun, antara fakta dan apa yang dilihat sebagai fakta seringkali tidak selalu sama. Misalnya, secara keseluruhan tidak terdapat bukti-bukti yang menunjukkan adanya peningkatan jumlah perselisihan perburuhan.

6 Patrick Quinn, ‘Freedom of Association and Collective Bargaining: A Study of Indonesia Experience 1998-2003’, Makalah Kerja Deklarasi ILO 2003

Konvensi ILO no. 87 (1998) Kebebasan untuk Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi, 1948

Konvensi ILO no. 98 (1957) Hak untuk Berorganisasi dan untuk Melakukan Perundingan Bersama, 1949 Konvensi ILO no. 29 (1950) Kerja Paksa, 1930

Konvensi ILO no. 105 (1999) Penghapusan Kerja Paksa, 1957 Konvensi ILO no.100 (1958) Kesamaan Pengupahan antara

Buruh Pria dan Perempuan untuk Pekerjaan yang Sederajat, 1951

Konvensi ILO no. 111 (1999) Diskriminasi dalam Hal Pekerjaan dan Jabatan, 1958

Konvensi ILO no. 138 (1999) Usia Minimum untuk

diperbolehkan Masuk Kerja, 1973

Konvensi ILO no. 182 (2000) Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Menghapuskan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan Anak, 1999

Data-data resmi menunjukkan bahwa pada periode 1998-2002, jumlah pemogokan lebih dibandingkan dengan pada periode 1993-1997.7

Tidak jelas juga apakah kenaikan tingkat upah minimum membuat Indonesia tidak lagi kompetitif dibanding negara-negara tetangganya. Namun demikian, adalah kenyataan bahwa upah minimum di Indonesia masih berada di bawah Filipina dan Thailand dan agak lebih tinggi dibandingkan Vietnam, dan bila dibandingkan dengan GNP per kapita —suatu indikator kasar untuk produktivitas—upah minimum yang ditetapkan Indonesia tampaknya tidak berbeda jauh dengan beberapa pesaingnya.8

Perlu diingat juga bahwa agak sulit membicarakan aturan tunggal upah minimum di Indonesia karena sebagai bagian dari proses desentralisasi, tanggung jawab menetapkan upah minimum telah diserahkan ke pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Ketimbang menyebut “masalah pasar tenaga kerja”, tampaknya yang lebih menjadi keprihatinan bagi kebanyakan perusahaan dan investor adalah ketidak-pastian, masalah keamanan dan korupsi.

Walaupun pada kenyataanya bahwa persepsi investor atas keprihatinan tentang upah minimum dibesar-besarkan ketimbang faktor-faktor lain yang sebetulnya memiliki dampak lebih merugikan, kita tidak boleh menyepelekan pandangan-pandangan yang diungkapkan oleh beberapa analis tentang hubungan antara upah minimum dan ketenagakerjaan dalam konteks Indonesia. Para analis ini menunjukkan temuan-temuan statistik yang kuat bahwa kenaikan upah minimum yang tajam terhadap pertumbuhan yang moderat bisa menghalangi peluasan lapangan kerja, khususnya di sektor-sektor ekonomi yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan skala kecil dan menengah.9 Hal ini tidak berarti bahwa kebijakan upah minimum harus ditinggalkan, namun terdapat kasus yang penting yang memerlukan pendekatan yang lebih kreatif dan bijaksana. Yang lebih penting, kebijakan upah minimum harus dilihat sebagai bagian dari agenda yang jauh lebih luas untuk pengembangan sistem hubungan kerja yang menyeluruh, dapat dipercaya, dan ramah.

7 Ibid

8 Brifing Bank Dunia untuk Kelompok Konsultatif Indonesia (CGI): ‘Maintaining Stability, Deepening Reforms’, Januari 2003.

9 Rama (1996), SMERU (2001) dan Widianto (2003) menyimpulakan bahwa kenaikan upah minimum menurunkan pertumbuhan kesempatan kerja sektor formal, namun Alatas dan Cameron (2003) membuat kesimpulan yang lebih berhati-hati. Mereka mencatat bahwa tidak terdapat dampak yang signifikan dari upah minimum terhadap ketenagakerjaan di perusahaan-perusahaan yang besar di sektor formal, namun potensi untuk menciptakan kesempatan kerja pada perusahaan–perusahaan kecil terkena dampak dari kenaikan upah minimum. Lihat Rama, M (1996), ‘The consequences of doubling the minimum wage: the case of Indonesia’, World Bank Policy Research Paper No. 1643; SMERU (2001),’ Wage and employment effect of minimum wage policy in the Indonesian labour market’, Maret, Jakarta; Alatas, V dan Cameron, L (2003), ‘The impact of minimum wages in a low-income country: an evaluation using the difference-in-difference approach’, World Bank Policy Research Paper no 2985; Widianto, B (2003), ‘Making the most of minimum wage policy’’, Jakarta, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Islam, I dan Nazara, S (2000) ‘Minimum wage and the welfare of Indonesian workers’, Occasional Paper Series No.3, Jakarta, ILO, mencatat terhadap hakekat hubungan pekerjaan–upah minimum yang secara statistik membingungkan, dan bahwa kemungkinan kenaikan upah minimum tergantung pada kondisi makro ekonomi.

10 David Kucera, ‘Core labour standards and foreign direct investment’ (Standar Ketenaga-kerjaan Inti dan Investasi Asing Langsung)’, International Labour Review, 141, (1-2) 11 Baker, D et al (2002) ‘Labour market institutions and unemployment: a critical assessment

of the cross-country evidence’ (Institusi lapangan kerja dan pengangguran: pengkajian kritis terhadap bukti-bukti lintas negara), CEPA working paper no. 2002-17, New York, New School University

Statistik resmi menunjukkan bahwa 27,3 juta orang Indonesia bekerja di sektor formal (dari 98 juta angkatan kerja). Tetapi adalah salah bila mengatakan bahwa dialog sosial yang baik hanya menguntungkan sejumlah kecil dari mereka yang mempunyai hubungan kerja formal karena —di antara alasan-alasan lain— mereka yang mempunyai hubungan kerja formal cenderung mempunyai banyak tanggungan keluarga. Ini artinya, “multiplier effects” (efek ganda) yang signifikan dari semua kebijakan yang menyangkut pasar tenaga kerja formal. Sifat alami yang sulit digambarkan dari pasar tenaga kerja di negara-negara berpenghasilan rendah memiliki implikasi bahwa manfaat moneter yang diperoleh pekerja yang terorganisasi kemungkinan akan diteruskan kepada yang lainnya melalui, misalnya, kiriman uang ke daerah pedesaan, modal untuk kegiatan usaha mikro, pemberian subsidi dari anggota-anggota keluarga besar, investasi dalam modal sosial, dan sebagainya. Bila dampak yang lebih luas seperti ini diperhitungkan, dapat dikemukakan argumentasi bahwa suatu komponen yan seringkali tidak ada dalam strategi pengentasan kemiskinan adalah pengaturan pasar tenaga kerja. Sebenarnya, faktor utama yang membedakan antara negara yang berhasil mengentaskan kemiskinan dan negara-negara yang tidak berhasil dalam hal ini adalah pengaturan (governance) pasar tenaga kerja. Dengan demikian, investasi dalam dialog sosial menjadi unsur utama dalam meningkatkan proses perubahan kelembagaan untuk meningkatkan kinerja pasar tenaga kerja dan dengan demikian menghasilkan pertumbuhan yang memihak pada kaum miskin. Pandangan konvensional (The Conventional Wisdom) yang mengatakan bahwa dialog sosial (dan, bila diperluas, Standar Perburuhan) cenderung menaikkan biaya tenaga kerja (lebih tinggi dari produktivitas) dan secara otomatis menurunkan daya saing, tidak dilandasi bukti-bukti. Dalam soal “Standar Perburuhan”, suatu studi yang baru-baru ini dilaksanakan, menyimpulkan bahwa tidak ada bukti kuat yang mendukung pandangan konvensional bahwa investor asing lebih menghendaki negara-negara dengan standar perburuhan yang lebih rendah, dan bukti-bukti statistik malah menunjukkan kenyataan

Dokumen terkait