• Tidak ada hasil yang ditemukan

memperkuat modal manusia

3

Dua aspek keberagaman kemiskinan di Indonesia sangat menyolok. Pertama, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa 87 persen dari penduduk miskin Indonesia hanya mengenyam pendidikan dasar atau yang lebih rendah. Hanya dengan meningkatkan pendidikan kepala rumah tangga sampai tingkat sekolah menengah pertama, tingkat kemiskinan bisa diturunkan dari 30 persen menjadi 17 persen.1 Kedua, statistik juga menunjukkan bahwa 62 persen penduduk miskin berusia di bawah 30 tahun. Anak-anak menjadi kelompok yang paling terkena dampak kemiskinan, diikuti kelompok kaum muda (didefinisikan sebagai kelompok usia 15-29 tahun).2

Korelasi yang kuat antara pendidikan dan kemiskinan maupun antara usia dan kemiskinan menandakan beberapa pesan kebijakan yang penting. Sebagai permulaan, semua penduduk Indonesia perlu mengenyam pendidikan, paling tidak sampai tingkat menengah pertama —yang sebetulnya sudah menjadi target pemerintah. Target ini sejalan dengan komunitas internasional yang mempercayai perlunya ‘pendidikan bagi semua’.3 Hal ini mengundang tantangan kebijakan utama: bagaimana menjamin partisipasi yang luas kaum miskin dalam sistim pendidikan dan pelatihan. Khususnya, perhatian perlu banyak diberikan kepada tujuan untuk menghapuskan kesenjangan jender dalam sistim pendidikan dan pelatihan yang termaktub dalam MDGs . Korelasi yang erat antara usia dan kemiskinan mengharuskan adanya pendekatan sepanjang hidup (life cycle approach) terhadap pengentasan kemiskinan: menargetkan keluarga miskin yang memiliki banyak anak dan remaja yang berada dalam masa transisi dari sekolah ke pekerjaan. Penjaminan akses ke pendidikan yang bermutu dan keterampilan yang relevan merupakan hal vital untuk memutus pola-pola kemiskinan lintas generasi dan untuk mengurangi kerentanan dan kemiskinan sementara yang dialami kaum muda laki-laki maupun

1 Bukti-bukti ini ditelaah dalam Islam (2002). Lihat Islam, I: ‘Poverty, employment and wages: an Indonesian perspective’ Laporan dipersiapkan untuk Departemen Pemulihan dan Rekonstruksi, Jenewa.

2 Hubungan usia-kemiskinan berdasarkan tabulasi khusus pada Survei Sosio Ekonomi Nasioanal 2002 (SUSENAS - the 2002 National Socio-economic Survey), diberikan ke ILO kantor Jakarta ILO oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

3 Mingat dan Winters (2002) memaparkan perhatiannya tentang terhadap kebutuhan akan pendidikan untuk semua pada tahun 2015 –tujuan ini dibuat oleh 180 negara yang tergabung dalam Forum Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal, pada tahun 2000. Tujuan semacam itu merupakan kelanjutan dari agenda yang ditetapkan dalam konferensi dunia “Pendidikan untuk Semua” yang diselenggarakan di Thailand pada tahun 1990. Lihat Mingat, A dan Winter, C : ‘Education for all by 2015’, Finance and Development, 39 (1).

perempuan dalam proses transisi sekolah–pekerjaan. Memang, penurunan pengangguran pemuda merupakan target dari MDGs dan dengan demikian mencerminkan aspirasi komunitas internasional untuk menjamin bahwa keterampilan dan bakat pemuda betul-betul dimanfaatkan secara produktif.

Tujuan dari bab ini adalah membahas pesan ganda ‘pendidikan untuk semua’ dan pendekatan sepanjang hidup terhadap pengentasan kemiskinan dengan cara menangani beberapa persoalan yang relevan dengan pekerja anak, pendidikan dasar, pendidikan dan pelatihan kejuruan, dan persiapan pemuda memasuki dunia kerja. Berbagai persoalan itu akan diatur dalam sebuah konteks untuk mengidentifikasi prioritas-prioritas dalam pelaksanaan kebijakan.

Estimasi terkini menunjukkan bahwa 4,2 juta anak di bawah usia 18 tahun berada dalam barisan angkatan kerja di Indonesia.4 Kebanyakan di antara anak-anak tersebut terlibat dalam pekerjaan berbahaya yang diklasifikasikan sebagai bentuk terburuk dari pekerjaan untuk anak.

Prevalensi pekerjaan anak di Indonesia mempunyai beberapa alasan. Keluarga miskin dalam batas hidup minimal harus menimbang-nimbang biaya sekolah anak-anaknya atau untuk menambah pendapatan keluarga jika anak tersebut bekerja. Dengan demikian, salah satu tujuan kebijakan menghapuskan pekerja anak adalah dengan cara membuat

keluarga itu lebih mudah memilih pendidikan daripada pekerjaan. Akses ke

sekolah merupakan hal yang vital, namun ini juga tergantung dari biaya pendidikan – sebuah masalah yang akan kita bahas nanti. Yang juga sama-sama penting adalah relevansi pendidikan. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa ketika kualitas pengajar rendah dan kurikulumnya tidak relevan dengan kebutuhan kelompok miskin, serta peralatan tidak diperbarui atau diperbaiki selama bertahun-tahun, maka keluarga miskin akan berpikir dua kali untuk memasukkan anaknya ke sekolah. Tidak mengherankan jika para orang tua miskin memandang penyekolahan di lingkungan demikian sebagai hal yang menghamburkan waktu dan uang yang tidak mereka punyai. Sebaliknya, bila penyekolahan dianggap bisa menolong anak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, dan pada waktunya mereka akan bisa membantu orang tuanya ketika kemampuan orang tua untuk mendapatkan uang mulai mengecil sejalan dengan usianya, opsi pendidikan mulai kelihatan semakin menarik.5

Mengurangi permintaan pekerja anak juga merupakan hal yang sangat

penting. Perusahaan-perusahaan kecil dan pelaku ekonomi informal mempekerjakan anak-anak karena mereka tidak mampu membayar pekerja dewasa yang mereka butuhkan. Mereka mempekerjakan

anak-4 ‘PRSP Technical Briefing Note on Child Labour in Indonesia’ (Paparan Teknis Singkat PRSP mengenai Pekerjaan Anak di Indonesia) ILO Jakarta, 2003.

6 Ibid

Mempromosikan implementasi Rencana Aksi Nasional mengenai Bentuk Terburuk Pekerja Anak di Tingkat Lokal

anak yang gajinya jauh lebih kecil. Memperbaiki kinerja dan aspek-aspek lain dari usaha kecil dengan meningkatkan kemampuannya meraih keuntungan bisa membatu perusahaan-perusahaan tersebut beralih dari posisi marjinal ke posisi yang lebih aman, di mana tingkat produktivitasnya lebih tinggi karena pekerjanya terdiri dari kaum dewasa yang mendapatkan gaji lebih baik, jauh lebih berguna ketimbang memperkerjakan anak bergaji kecil tapi dengan produktivitas yang rendah. Tambahan pula, jika semua atau kebanyakan perusahaan di sektor perekonomian lokal mulai meningkatkan produktivitasnya dan upahnya serta mempekerjakan kebih banyak pekerja dewasa, pendapatan keluarga pada komunitas itu juga akan meningkat dan mengurangi kebutuhan mencari pendapatan tambahan dengan mempekerjakan anaknya.6 Membantu pelaku sektor informal dan perusahaan kecil untuk meningkatkan teknologi mereka dan memperbaiki produktivitasnya —sering menjadi bagian dari inisiatif pengembangan lokal— merupakan hal mendasar yang bisa mengurangi permintaan atas pekerja anak. Organisasi-organisasi pengusaha memiliki peranan kunci dalam proses ini.

Pemerintah Indonesia telah membuat kemajuan yang berarti dalam mengubah kebijakan-kebijakan dan meningkatkan kesadaran tentang perburuhan anak. Ratifikasi Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia Minimum, dan Konvensi No. 182 mengenai Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan Anak, merupakan contoh nyata dari upaya-upaya ini. Indonesia pada 2002 juga telah mengeluarkan Keputusan Presiden mengenai Rencana Aksi Nasional tentang Bentuk-bentuk Terburuk untuk

Pekerja Anak. Rencana Aksi Nasional ini mengidentifikasi tiga belas

bentuk terburuk pekerja anak dan menargetkan penghapusan bentuk terburuk pekerja anak dalam waktu dua puluh tahun mendatang. Dalam jangka pendek, rencana aksi ini mempunyai sasaran untuk menghilangkan lima bentuk terburuk pekerja anak tersebut (anak-anak yang terlibat dalam produksi, penjualan dan perdagangan narkoba, anak yang diperdagangkan untuk dilacurkan, pekerjaa anak di perikanan lepas pantai, pertambangan, dan alas kaki).

Implementasi Rencana Aksi Nasional membutuhkan upaya-upaya khusus untuk memilah isu pekerjaa anak ke dalam rencana pembangunan provinsi dan daerah. Pada gilirannya, hal ini memerlukan peningkatan kemampuan dan mobilisasi para mitra untuk mengambil tindakan. Mengurangi dan memberantas pekerja anak bisa sangat berhasil bila komunitas daerah berbasis luas berupaya meningkatkan akses ke sekolah, memperbaiki pendapatan keluarga dengan cara memberikan kesempatan kerja bagi orang dewasa, serta mengubah sikap pengusaha dan keluarga terhadap pekerja anak dikombinasikan dengan implementasi kerangka legislasi yang tepat. Beberapa provinsi dan daerah telah mengambil langkah-langkah inovatif, misalnya menetapkan komite daerah untuk meningkatkan kesadaran, menetapkan rencana aksi provinsi, memadukan isu-isu pekerjaan anak ke dalam inisiatif

7 Untuk contoh khusus, lihat Matsuno A: ‘PRSP Technical Briefing Note on Child Labour in Indonesia’ (Paparan Teknis Singkat PRSP mengenai Perburuhan Anak di Indonesia) ILO Jakarta, 2003.

8 Education at a Glance: OECD Indicators, 2002, OECD, Paris, 2002

9 ‘Indonesia and EFA’ World Bank, 2002; dan ‘Indonesia, World Bank, Country Assistance Strategy, FY04-07’ Indonesia Country Unit, Oktober 2003.

pembangunan ekonomi lokal dan menargetkan sektor-sektor khusus.7

Di negara yang besar dan beragam seperti Indonesia ini, pengidentifikasian dan penerapan contoh-contoh positif bisa mendorong inovasi dan merangsang proses pembelajaran dan pengembangan kebijakan di seluruh daerah.

Investasi menyeluruh di bidang pendidikan sebagai bagian dari GDP di Indonesia tetap yang paling rendah di kawasan ini dan di antara negara-negara yang penerimaannya setara. Pada tahun 2000, hanya 1,2 persen dari GDP yang digunakan bagi pendidikan, sepertiga lebih kecil dari negara–negara di kawasan ini seperti Cina, India, Filipina dan Thailand. Angka ini sebetulnya stabil jika dibandingkan dengan masa sebelum krisis 8

Hal yang sama pentingnya adalah bahwa Indonesia tidak hanya

memiliki investasi yang relatif kecil di bidang pendidikan, namun apa yang

sudah disediakan negara pun tidak dimanfaatkan secara optimal. Dengan

demikian, walaupun investasi untuk pendidikan ditingkatkan menjadi tujuan utama untuk negara yang menginginkan kemajuan lebih tinggi lagi, tujuan itu tidak akan memberikan hasil nyata tanpa ada perbaikan manajemen, efektifitas, dan mutu sistem pendidikan yang terdesentralisasi lebih dahulu. Lagi pula, untuk mencapai tujuan pendidikan dasar universal (sembilan tahun sekolah) pada tahun 2010, dibutuhkan upaya-upaya untuk memperbaiki akses kelompok miskin sampai sekolah menengah pertama.

Pada tahun 2000, rasio partisipasi sekolah dasar untuk anak-anak usia sekolah berkisar 90 persen dan pada sekolah menengah pertama 59 persen. Angka-angka untuk murid-murid perempuan sama baik di SD maupun di SMP. Menurut satu penelitian, tantangannya sekarang adalah (a) mengatasi kebutuhan khusus untuk sisa 10 persen (hampir seluruhnya miskin dan rentan) yang belum bersekolah atau putus sekolah. Ini untuk memastikan bahwa mereka yang mulai belajar paling tidak menyelesaikan pendidikan dasar, dan (b) untuk meningkatkan jumlah siswa yang setelah menyelesaikan SD akan meneruskan ke tingkat SMP. Hal ini khususnya amat penting bagi keluarga miskin. Rasio partisipasi sekolah di tingkat SD di kalangan kaum miskin setara dengan kelompok kaya (yang jumlahnya seperlima dari populasi penduduk). Namun ada kesenjangan yang lebar di tingkat SMP antara kelompok miskin dan berpunya.9

Menjadikan pendidikan dasar terjangkau oleh kelompok miskin

Desentralisasi dan penyediaan pendidikan dasar

Jumlah SMP negeri yang tidak mencukupi tentunya adalah hambatan yang besar. Namun bagi keluarga miskin, alasan lain untuk pekerja anak dan rendahnya tingkat partisipasi di SMP adalah tingginya biaya pendidikan. Seharusnya pendidikan sampai SMP cuma-cuma. Namun, bukti-bukti menyebutkan bahwa orang tua seringkali harus merogoh sakunya untuk memberikan sumbangan ke sekolah — yang menjadi praktek yang membebani kelompok miskin.10 Sebuah penelitian terkini tentang transisi dari sekolah ke dunia kerja menemukan mendapati bahwa lebih dari 40 persen pencari pekerja muda dan hampir 60 persen pekerja mandiri muda meninggalkan sekolah, karena alasan finansial.11 Ini disebabkan keluarga mereka tidak mampu lagi membayar pendidikan atau mereka diminta untuk membantu orang tua untuk menambah nafkah hidup bagi keluarga mereka.

Menghilangkan biaya-biaya tersembunyi bagi semua dan memperkecil biaya tambahan bagi kelompok miskin, misalnya untuk membeli pakaian seragam dan buku-buku, merupakan upaya penting. Beasiswa dengan target kaum miskin berprestasi bisa memainkan peranan penting. Evaluasi Program Beasiswa dan Hibah yang merupakan salah satu komponen dari Jaringan Pengamanan Sosial Indonesia menunjukkan bahwa badan ini tengah mencoba mengurangi dampak krisis ekonomi atas sistem sekolah, dan membantu mempertahankan tingkat pendaftaran anak di sekolah.12 Komitmen pemerintah untuk menyediakan dukungan kepada kelompok anak sekolah yang paling miskin dan sekolah-sekolah yang kini didanai oleh program bantuan adalah hal yang sangat kritis. Perubahan-perubahan dalam program ini mungkin juga harus dipertimbangkan. Misalnya, program bisa menetapkan target, bukan hanya mereka bagi yang sudah berada di dalam pendidikan, namun juga berupa insentif finansial kepada keluarga miskin yang memiliki anak di luar sekolah sehingga mereka bisa mengirim lagi anaknya ke sekolah.

Desentralisasi telah mengalihkan tanggung jawab dalam soal pendidikan dan pelatihan ke tingkat daerah. Hal ini bisa menawarkan kesempatan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat, partisipasi dan akuntabilitas

10 Lihat ‘Indonesia: Maintaining Stability, Deepening Reforms’, Brifing dari Bank Dunia bagi CGI (Consultative Group mengenai Indonesia), 2003. Sebagai tambahan, SMERU (2001) telah mengeluarkan sebuah newsletter di mana dia menyoroti kesulitan yang dialami oleh kelompok miskin dalam mendapatkan akses ke sekolah menengah pertama. Penulis, Oey-Mayling Gardiner, berpendapat bahwa terdapat dua hambatan yang dihadapi oleh kelompok miskin (a) terbatasnya SMP negeri; (b) tingginya biaya, bahkan di sektor yang dibiayai oleh negara, yang mendiskriminasi kaum miskin. Lihat ‘Education difficulties for the poor: if they can be exploited, why not?’, SMERU Newsletter, no. 03, Mei-Juni. Laporan media terkini, yang memfokuskan kepada pengalaman satu daerah Indonesia tertentu (Banjarnegara), juga menyoroti hambatan-hambatan yang cukup sulit yang dihadapi oleh keluarga biasa dalam mendidik anak-anak mereka di tingkat SMP. Tingkat putusa sekolah bagi tempat ini pada SMP hampir mendekati 50 persen! Lihat Jakarta Post , 25 Maret 2002. 11 Sziraczki, G and Reerink A: ‘School-to-Work Transition in Indonesia’, Laporan tidak

diterbitkan, ILO, Oktober 2003.

12 Hartono, D dan Ehrmann, D: ‘The Indonesian Economic Crisis and its Impact on Educational Enrollment and Quality’, Trends in Southeast Asia, No. 7, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, Mei 2001.

13 ‘Indonesia, World Bank, Country Assistance Strategy, FY04-07’, Indonesia Country Unit, Oktober 2003.

14 “EFA di Indonesia: ‘Hard Lessons About Quality’, World Bank, 2003. 15 EFA Global Monitoring Report, 2003/04, UNESCO, 2003.

akan makin lebih baik. Pada saat yang sama, banyak tantangan yang masih tersisa, misalnya pemisahan yang jelas antara peranan pemerintah daerah dan pemerintah pusat, menetapkan batas pelayanan minimum di seluruh negeri, standar pengakuan kualifikasi dan keterampilan. Standar-standar seperti ini bisa berguna untuk memperkecil kesenjangan antara wilayah miskin dan wilayah lainnya di negara ini. Bagaimana dan sampai pada tingkat apa standar minimum ini harus ditetapkan, membutuhkan kerjasama erat antara pemerintah pusat maupun daerah. Penghapusan prasangka (stereotype) berdasarkan jenis kelamin dalam kurikulum juga perlu mendapatkan perhatian khusus, karena hal ini memiliki dampak jauh terhadap pilihan pendidikan lanjutan dan ketenagakerjaan bagi remaja perempuan. Hal ini akan memberikan kontribusi kepada MDGs sehingga memastikan bahwa semua anak laki-laki maupun perempuan menyelesaikan sekolah dasar dan menghapus kesenjangan jender dalam pendidikan.

Untuk memperbaiki manajemen sistem pendidikan yang terdesentralisasi membutuhkan pengembangan kemampuan di tingkat daerah dan pusat/provinsi. Pusat dan provinsi harus mengubah peranan mereka sebagai penyedia langsung jasa pendidikan menjadi regulator, pemantau kualitas dan fasilitator, yang menawarkan layanan-layanan pendukung kepada pejabat-pejabat lokal yang sesuai.13 Komite dan dewan sekolah yang baru-baru ini ditetapkan, yang sekarang tidak hanya melibatkan para guru dan orang tua namun juga para mitra di komunitas lokal, bisa memainkan peranan sangat penting dalam akuntabilitas manajemen sekolah dan menuntut kinerja yang lebih baik.

Kunci utama lain adalah kualitas pendidikan. Bukti-bukti menunjukkan bahwa hasil pendidikan di Indonesia baik di SD maupun SMP sangat ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ini. Hal itu disebabkan oleh rendahnya infrastruktur, bahan-bahan belajar dan kualitas pengajar.14 Tingkat anak yang mengulang di tingkat yang sama di SD sampai pada kelas 5 (standar terendah untuk mencapai tingkat melek huruf) lebih tinggi di Indonesia dibandingkan semua negara-negara Asia tenggara, kecuali Kamboja dan Laos. Yang agak positif adalah bahwa siswa perempuan memiliki tingkat bertahan di sekolah (sampai di kelas 5) yang lebih tinggi dibandingkan siswa laki-laki.15 Terdapat juga masalah yang berat karena tidak cukupnya kompensasi guru dan staf lainnya, pelatihan guru dan manajemen, termasuk distribusi guru yang tidak seimbang di antara berbagai jenis sekolahan (yang biasanya berupa faktor yang berkaitan dengan kurangnya dukungan finansial dan professional). Akhirnya, hasilnya adalah pengajaran yang buruk dan demikian hasil pembelajarannyapun rendah.

Meningkatkan kualitas pendidikan

16 Untuk melihat lebih banyak tentang status, kualitas, gaji dan kondisi kerja guru, lihat Ratteree, B: ‘PRSP and education in Indonesia’(PRSP dan Pendidikan di Idonesia), Technical Briefing Note, ILO, 2003.

17 Education at a Glance: OECD Indicators, OECD, Paris, 2002.

Faktor penting yang menentukan mutu pendidikan adalah masalah status dan profesionalisme para guru. Di Indonesia, tingkat pelatihan pra-kerja telah meningkat akhir-akhir ini. Namun kurang dari 50 persen guru SD dan SMP yang memenuhi persyaratan. Kualifikasi guru di sekolah swasta juga sama rendahnya. Penyediaan jasa pelatihan di tempat kerja tidak bisa memperbaiki keadaan, dan setelah desentralisasi malah memberikan hasil yang tidak menentu.16 Semua ini menjadikan pondasi yang ringkih bagi pengajaran yang berkualitas.

Struktur gaji bagi guru di Indonesia berdasarkan skala gaji yang ditetapkan pemerintah tidak mempertimbangkan kompetensi dan persyaratan kerja khusus. Lagipula, gaji guru Indonesia yang terendah di ASEAN, yang mengakibatkan sulitnya menarik dan mempertahankan individu-individu terbaik dalam pengajaran.17 Dengan demikian, perlu dipertimbangkan untuk menaikkan gaji guru secara bertahap, yang dikombinasikan dengan perbaikan-perbaikan substansial dalam status guru, kompetensi profesional, dan bahan-bahan pengajaran. Inilah langkah-langkah kunci untuk mencapai pendidikan yang bermutu.

Untuk menetapkan prioritas dalam kebijakan pelatihan teknik dan kejuruan bagi pengentasan kemiskinan di Indonesia, kita perlu mempertimbangkan sistem pelatihan di Indonesia yang statusnya rendah dan bahwa sistem pelatihan dan pendidikan kejuruan yang efektif membutuhkan lebih banyak sumber daya ketimbang pendidikan dasar. Secara tradisional, pemerintah bertanggungjawab atas pelatihan yang menyebar ke berbagai instansi, seperti di sejumlah kementrian. Sebagai tambahan, tidak terdapat cukup koordinasi nasional dalam perancangan kebijakan bagi pelatihan kerja; koordinasi yang terbatas antara pemasok swasta dan publik, partisipasi yang terbatas dari industri dalam kebijakan dan perencanaan; tidak adanya standar dan sertifikasi nasional; ketergantungan yang berlebihan pada dana dari para pendonor; dan terlalu fokus pada lapangan kerja sektor formal; dan ketidakpedulian pada ekonomi informal. Lebih lanjut, walaupun ada upaya-upaya untuk membuat sistem pelatihan lebih tanggap, pelatihan tersebut masih tetap tergantung pada pasokan dan terbebani masalah kurangnya pendanaan serta kurangnya informasi pasar tenaga kerja. Tidak adanya sistem pelacakan yang bisa mengetahui keberadaan para lulusan, sehingga informasi mengenai mereka sangat terbatas, bagaimana mereka terserap ke dalam lapangan kerja, dan seberapa jauh pendidikan mereka mempunyai relevansi dengan kebutuhan usaha.

Pemerintah Indonesia saat ini tengah berada dalam proses mereformasi sistem pelatihan kejuruan dan teknik. Proses ini mencakup pengembangan Kerangka Sertifikasi Profesional Nasional, diikuti dengan pengembangan standar kualifikasi bagi keterampilan-keterampilan inti,

Memperkuat kemitraan antara pendidikan dan dunia usaha

18 Sziraczki, G dan Reerink A: ‘school-to-Work Transition in Indonesia’, Laporan tidak diterbitkan, ILO, Oktober 2003

sistim akreditasi dan pengakuan keterampilan dan pengaturan pendanaan yang baru. Proses ini merupakan tugas yang sangat besar, yang akan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengimplementasikannya, dan yang tentunya di luar lingkup PRSP.

Dalam konteks PRSP, Pemerintah Indonesia mungkin perlu memberikan prioritas pada dua hal: (a) memperkuat ikatan antara pelatihan dan bisnis, dan (b) memperbaiki pelatihan bagi perusahaan-perusahaan kecil dan pelaku ekonomi informal melalui pengidentifikasian contoh-contoh yang sudah berhasil. Kedua proposal ini hanya menelan biaya amat rendah, dengan hasil yang sangat besar. Pemaparan ke dunia kerja merupakan bagian penting dari persiapan kaum muda memasuki dunia kerja. Bukan hanya untuk membentuk karir pendidikan mereka pada titik awal, namun juga untuk memfasilitasi transisi dari sistem pendidikan ke dunia kerja di mana keterampilan-keterampilan baru dan sikap-sikap yang berbeda dibutuhkan. Meski demikian, hanya terdapat 38 persen pemuda yang dicakup survei transisi sekolah-ke-pekerjaan berpartisipasi dalam program pengalaman kerja sebagai bagian dari pelatihan atau pendidikan mereka. Temuan-temuan survei juga mempertanyakan tentang efektivitas program, pengalaman kerja dan magang yang ada. Lagipula, selain menawarkan program pengalaman kerja dan pemagangan, perusahaan-perusahaan yang disurvei jarang mempunyai kerjasama dengan sektor pendidikan. Akibatnya, ada ketidakcocokan antara apa yang disediakan oleh sekolah kejuruan dengan apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja dalam hal pengetahuan, keterampilan dan sikap. Mereka yang meninggalkan sekolah tanpa persiapan akan menjadi biaya bagi pengusaha, dan menjadi penghambat pertumbuhan produktivitas, peningkatan teknologi atau produksi modern.18

Menjalin kerjasama erat dengan sekolah, dunia usaha bisa menjamin bahwa masa depan tenaga kerja sudah disiapkan dengan baik melalui program pengalaman kerja yang efektif, yang bisa membantu siswa-siswa melihat hubungan antara belajar dan bekerja, memahami bagaimana pengetahuan dan keterampilan khusus diaplikasikan di konteks dunia nyata, serta mengembangkan sikap baru dan mendapatkan kepercayaan diri. Di luar pemagangan (internship), terdapat berbagai cara untuk mendekatkan siswa ke dunia kerja nyata, misalnya pembahasan karir dan program pemagangan (apprenticeship programs). Pengusaha juga bisa mendukung pekerjaan para guru melalui nasehat-nasehat di berbagai hal, misalnya standar teknologi dan industri, dan upaya-upaya pengembangan

Dokumen terkait