• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daftar Isi iv v 1 Pendahuluan Krisis, pemulihan ekonomi dan pasar tenaga kerja Indonesia: kelemahan struktural yang permanen Pengentasan dari kemiskin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Daftar Isi iv v 1 Pendahuluan Krisis, pemulihan ekonomi dan pasar tenaga kerja Indonesia: kelemahan struktural yang permanen Pengentasan dari kemiskin"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Hak Cipta © Kantor Perburuhan Internasional 2004 Pertama terbit tahun 2004

Publikasi Kantor Perburuhan Internasional dilindungi oleh Protokol 2 dari Konvensi Hak Cipta Dunia (Universal Copyright Convention). Walaupun begitu, kutipan singkat yang diambil dari publikasi tersebut dapat diperbanyak tanpa otorisasi dengan syarat agar menyebutkan sumbernya. Untuk mendapatkan hak perbanyakan dan penerjemahan, surat lamaran harus dialamatkan kepada Publications Bureau (Rights and Permissions), International Labour Office, CH 1211 Geneva 22, Switzerland. Kantor Perburuhan Internasional akan menyambut baik lamaran tersebut.

ILO

“Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia”. ISBN 92-2-115538-2

Sesuai dengan tata cara Perserikatan Bangsa Bangsa, pencantuman informasi dalam publikasi publikasi ILO beserta sajian bahan tulisan yang terdapat di dalamnya sama sekali tidak mencerminkan opini apapun dari Kantor Perburuhan Internasional (International Labour Office) mengenai informasi yang berkenaan dengan status hukum suatu negara, daerah atau wilayah atau kekuasaan negara tersebut, atau status hukum pihak pihak yang berwenang dari negara tersebut, atau yang berkenaan dengan penentuan batas batas negara tersebut.

Dalam publikasi publikasi ILO sebut, setiap opini yang berupa artikel, kajian dan bentuk kontribusi tertulis lainnya, yang telah diakui dan ditandatangani oleh masing masing penulisnya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab masing masing penulis tersebut. Pemuatan atau publikasi opini tersebut tidak kemudian dapat ditafsirkan bahwa Kantor Perburuhan Internasional menyetujui atau menyarankan opini tersebut.

Penyebutan nama perusahaan, produk dan proses yang bersifat komersil juga tidak berarti bahwa Kantor Perburuhan Internasional mengiklankan atau mendukung perusahaan, produk atau proses tersebut. Sebaliknya, tidak disebutnya suatu perusahaan, produk atau proses tertentu yang bersifat komersil juga tidak dapat dianggap sebagai tanda tidak adanya dukungan atau persetujuan dari Kantor Perburuhan Internasional.

Publikasi publikasi ILO dapat diperoleh melalui penyalur penyalur buku utama atau melalui kantor kantor perwakilan ILO di berbagai negara atau langsung melalui Kantor Pusat ILO dengan alamat ILO Publications, International Labour Office, CH 1211 Geneva 22, Switzerland atau melalui Kantor ILO di Jakarta dengan alamat Gedung PBB, Lantai 5, Jl. M.H. Thamrin 14, Jakarta 10340. Katalog atau daftar publikasi terbaru dapat diminta secara cuma cuma pada alamat tersebut, atau melalui e mail: pubvente@ilo.org; jakarta@ilo.org

Kunjungi website kami: www.ilo.org/publns ; www.un.or.id; Dicetak di Jakarta, Indonesia

(3)

Daftar Isi

s Pendahuluan

s Krisis, pemulihan ekonomi dan pasar tenaga kerja Indonesia: kelemahan struktural yang permanen

s Pengentasan dari kemiskinan melalui penciptaan kesempatan lapangan kerja berbasis luas: beberapa rekomendasi kebijakan s Menciptakan kesempatan saling berbagi manfaat pembangunan di

Indonesia yang terdesentralisasi: peran MDGs

s Pendahuluan

s Dialog sosial sebagai instrumen vital untuk meningkatkan tata pemerintahan yang baik di pasar tenaga kerja

s Tantangan dialog sosial di Indonesia: menuju keprihatinan terkini yang mendalam tentang kekacauan tenaga kerja dan upah minimum s Rekomendasi Kebijakan

s Pendahuluan

s Pekerja anak: isu dan rekomendasi kebijakan

s Pendidikan dasar: masalah dan rekomendasi kebijakan

s Pelatihan teknik dan kejuruan: isu dan rekomendasi kebijakannya s Menyiapkan kaum muda memasuki dunia kerja: persoalan dan

rekomendasi kebijakan s Pendahuluan

s Perlindungan sosial di Indonesia

s Agenda reformasi perlindungan sosial di Indonesia: laporan kemajuan

s Menuju perlindungan sosial bagi semua di Indonesia: melihat ke depan

s Rekomendasi Kebijakan

Lampiran 1: Monitoring dan Evaluasi: Usulan Indikator Lampiran 2. Usulan Matriks Kebijakan

iv v 1 5 9 9 10 13 21 25 25 28 30 34 37 37 38 40 43 45 47 47 50 54 55 57 59 61

(4)

ADB Asian Development Bank (Bank Pembangunan Asia)

APINDO Asosiasi Pengusaha Indonesia

DEPNAKERTRANS Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi

FSPSI Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia

GDI Gender Development Index (Indeks Pembangunan Gender)

GDP Gross Domestic Product (Produk Domestik Bruto)

GNP Gross National Product (Produk Nasional Bruto)

HDI Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia)

IDPs Internally Displaced Persons (Penduduk yang dipindahkan secara internal) ILO International Labour Organization (Organisasi Perburuhan Internasional)

IMR Infant Mortality Rate (Tingkat Kematian Bayi)

KILM Key Indicators of Labor Market (Indikator Kunci Pasar Kerja)

KSBSI Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia

KSPSI Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia

KSPI Kongres Serikat Pekerja Indonesia

LMIS Labour Market Information System (Sistim Informasi Pasar Kerja)

MDGs Millenium Development Goals (Sasaran Pembangunan Milenium)

MMR Maternal Mortality Rate (Tingkat Kematian Ibu)

NTC National Tripartite Council (Dewan Tripartit Nasional)

PRSP Poverty Reduction Strategy Paper (Dokumen Strategi Penanggulangan

Kemiskinan)

SMEs Small and Medium Enterprises (Usaha Kecil dan Menengah)

SUSENAS Survei Sosial Ekonomi Nasional

PBB Perserikatan Bangsa Bangsa

UNCTAD United Nations Conference on Trade and Development (Konperensi

Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Perdagangan dan Pembangunan)

UNDP United Nations Development Program (Program Pembangunan Perserikatan

Bangsa Bangsa)

UNSFIR United Nations Supports Facility for Indonesia Recovery (Fasilitas Dukungan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Pemulihan Indonesia)

(5)

Prakata

Banyak penduduk Indonesia perempuan dan laki-laki masih hidup dalam kemiskinan. Pemerintah telah memberikan komitmennya dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan kebijakan pertumbuhan ekonomi yang berpihak kepada kaum miskin yang memungkinkan rakyat Indonesia keluar dari kemiskinan. International Labour Organization/ ILO (Organisasi Perburuhan Internasional) sangat mendukung sepenuhnya kebijakan-kebijakan tersebut dan juga dalam pembentukan serta pelaksanaan Dokumen Strategi Pengentasan Kemiskinan (Poverty

Reduction Strategy Paper - PRSP) di Indonesia.

Bagi ILO, pengentasan kemiskinan merupakan tema sentral dari misinya untuk menciptakan kesempatan kerja yang layak bagi semua orang. Laporan ILO tahun 2003, Working Out of Poverty (Terbebas dari Kemiskinan) menyatakan bahwa:

Bagi seseorang, kemiskinan merupakan mimpi buruk. Kemiskinan adalah sebuah lingkaran setan buruknya tingkat kesehatan,

menurunnya kemampuan bekerja, produktivitas yang rendah serta pendeknya usia harapan hidup. Sedangkan bagi keluarga,

kemiskinan merupakan sebuah perangkap. Kemiskinan

menyebabkan tingkat pendidikan yang tidak memadai, keterampilan yang rendah, pendapatan yang tidak pasti, menjadi orang tua usia dini, serta memburuknya kesehatan. Bagi masyarakat, kemiskinan merupakan sebuah kutukan. Ia akan menghalangi pertumbuhan, memicu ketimpangan sosial dan menghambat negara-negara berkembang menuju pembangunan yang berkelanjutan.

Namun terdapat juga wajah kemiskinan yang lainnya. Orang-orang yang hidup dalam kondisi sangat kekurangan sangat

mengandalkan keberanian, kejelian serta keteguhan dan saling mendukung untuk tetap bertahan dalam pusaran hidup yang keras. Ketahanan hidup dalam kemiskinan menunjukkan keuletan dan kreatifitas semangat manusia. Dalam banyak hal, orang-orang miskin yang bekerja merupakan wirausahawan sejati.

Dalam mendukung proses PRSP di Indonesia, ILO memusatkan perhatian kepada dua wilayah:

Pertama, mendukung proses keikutsertaan yang menjadi inti dalam PRSP. ILO telah bekerja sama dengan mitra utamanya, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serikat-serikat pekerja/buruh, dan

(6)

organisasi pengusaha untuk membawa suara dunia kerja ke meja perundingan. Agar mitra-mitra utama ILO bisa menjadi peserta yang efektif, sebuah program pengembangan kapasitas dilaksanakan pada level nasional maupun daerah.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) telah menyatakan dukungan yang kuat terhadap strategi pengentasan kemiskinan yang akan menghasilkan kesempatan kerja baru serta peluang kewirausahaan. Para serikat pekerja/buruh telah membentuk Jaringan Serikat Pekerja/ Buruh PRSP (KSBSI, KSPI dan KSPSI) untuk bekerja bersama agar suara anggotanya didengar dalam proses PRSP.

Kedua, memberikan rekomendasi-rekomendasi yang praktis dan realistis untuk pengentasan kemiskinan. Berdasar misi ILO di seluruh dunia untuk mempromosikan Pekerjaan yang Layak bagi Semua, ILO telah menyiapkan sejumlah Paparan Teknis Singkat (Technical Briefing Notes - TBN) yang mencakup kebijakan-kebijakan kunci dan rekomendasi kebijakan di berbagai hal yang terkait dengan pengentasan kemiskinan. Esensi dari rekomendasi ini dimasukkan dalam laporan ini, mengikuti empat tema utama PRSP di Indonesia.

Bagi ILO, perumusan PRSP hanyalah merupakan suatu langkah dari sebuah proses yang panjang. Tantangan yang akan dihadapi meliputi penerapan kebijakan-kebijakan, pengalokasian sumber daya, pemantauan proses dan perwujudan dampak jangka panjang. ILO dan mitra-mitra utamanya di Indonesia siap memberikan sumbangsihnya, menghadapi tantangan pengentasan kemiskinan di Indonesia.

Alan J. Boulton Direktur

Kantor ILO Jakarta Februari 2004

(7)

Pekerjaan yang Layak dan Kemiskinan

di Indonesia: Sebuah Kerangka Konseptual

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) berusaha terlibat dalam proses-proses PRSP (Poverty Reduction Strategy Paper—Dokumen Strategi

Pengentasan Kemiskinan) melalui pengembangan dan peningkatan

strategi-strategi lintas sektoral dan kerangka kerja terpadu yang akan mengaitkan kemiskinan dan Agenda Pekerjaan yang Layak di tingkat nasional. Upaya ini berpusat pada tiga tujuan umum:

• Memberdayakan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serikat pekerja/buruh serta organisasi pengusaha untuk mempengaruhi penyusunan serta penerapan strategi pengentasan kemiskinan melalui dialog sosial;

• Memadukan aspek-aspek pekerjaan yang layak ke dalam PRSP melalui pengkajian teknis; dan

• Mempengaruhi organisasi-organisasi pengembangan dan lembaga pemerintah yang terlibat dalam perancangan dan pelaksanaan strategi-strategi pengentasan kemiskinan untuk memenuhi prinsip-prinsip dan hak-hak di tempat kerja, kebijakan-kebijakan ketenagakerjaan, dan perlindungan sosial sebagai strategi pengentasan kemiskinan dan untuk mendengarkan aspirasi mitra sosial.

Kerangka konseptual untuk melaksanakan upaya-upaya ILO dalam pengentasan kemiskinan didasarkan pada konsep kembar dari hak (entitlement) dan kesetaraan (equity), dan pada kenyataan bahwa bagi masyarakat miskin, pekerjaan merupakan satu-satunya jalan untuk keluar dan menjauhi kemiskinan. ILO sangat memperhatikan keadilan sosial. Berkaitan dengan kemiskinan, keadilan sosial ini bisa diungkapkan sebagai hak untuk mengikuti (organisasi) atau berpartisipasi, perlindungan, akses ke pekerjaan yang layak dan pendapatan yang layak. Penduduk miskin menderita ‘keterbatasan hak’ karena kemampuan mereka untuk mengatur, misalnya, pekerjaan yang layak, bergantung pada hubungan antara apa yang dimiliki pemerintah dan yang digunakan di masyarakat. Bagi perempuan miskin, akses mereka kepada pekerjaan yang layak bergantung pada apa yang mereka punyai (yang tidak banyak), apa yang mungkin ditawarkan kepadanya (yang sangat terbatas), apa yang diberikan kepada mereka (yang sebenarnya tidak ada sama sekali), dan apa yang diambil dari mereka (banyak). Karena itu, pengentasan kemiskinan sesungguhnya adalah tentang peningkatan baik kualitas aset maupun hak kaum miskin melakukan pertukaran.

(8)

Pemenuhan hak-hak tesebut bergantung pada prakondisi ekonomi tertentu. Untuk memenuhi prakondisi tersebut sangat penting membangun kapasitas masyarakat untuk menjamin peningkatan kesejahteraan dan kehidupan mereka serta membangun sistem pengaturan yang baik yang mendefinisikan, antara lain, pasar untuk buruh. Jadi, pencapaian atas hak-hak melibatkan baik pengembangan kemampuan sosial maupun ekonomi. Keterlibatan (inclusion), integrasi, dan tentu saja, akses untuk memperoleh pendapatan, semuanya menjelaskan bagaimana penciptaan lapangan kerja merupakan prioritas ekonomi. Yang lebih umum, kebutuhan untuk memasukkan tujuan-tujuan sosial ke dalam kebijakan makro ekonomi memberikan implikasi pada penekanan terhadap redistribusi pendapatan, kesetaraan, dan solidaritas. Dalam terminologi sistem pembagian kerja internasional mengentaskan kemiskinan, disanalah keunggulan komparatif dan nilai tambah ILO memainkan peranan.

Kerangka konseptual ini menggarisbawahi pendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang sangat penting, tapi tidak cukup untuk menghapuskan kemiskinan. Pengentasan kemiskinan melibatkan pertumbuhan dengan reorientasi yang mendasar yang berpihak kepada masyarakat miskin (apa yang sering dirujuk sebagai “pro-poor growth”). Hal ini mencakup perubahan-perubahan pada lembaga, undang-undang, peraturan dan praktek-praktek yang menjadi bagian dari proses yang menciptakan dan memperparah kemiskinan (misalnya pelecehan terhadap kelompok miskin dan pembatasan kegiatan kehidupan mereka), dan pada intervensi yang rinci dan terarah yang memungkinkan semua kategori kemiskinan diintegrasikan ke dalam proses ekonomi. Dengan cara demikian, mereka dapat mengambil manfaat dari peluang meningkatkan kehidupan sosial dan ekonomi mereka, seperti dalam kualitas aset dan hak mereka untuk melakukan pertukaran. Pendekatan ini menempatkan penekanan yang diperbarui terhadap kebijakan-kebijakan yang bisa mendorong kesetaraan dan memerangi ketidakadilan dan ketimpangan global maupun nasional.

Di antara perubahan-perubahan struktural paling penting yang diperlukan untuk mengurangi tingkat kemiskinan di negara-negara berpendapatan rendah adalah bergerak dari masyarakat di mana peluang ekonomi dan kesempatan kerja dialokasikan atas dasar peran dan tanggung jawab menuju masyarakat yang lebih mendasarkan diri pada prestasi dan keterbukaan. Selain itu, juga perlu diperkenalkan sistem fiskal yang lebih mementingkan kesetaraan yang akan menjadikan fungsi-fungsi kemasyarakatan tidak hanya adil (fair), tapi juga lebih efektif dan lebih efisien (ada kaitan yang kuat antara praktek kebijakan fiskal yang baik dan tata pemerintahan yang baik). Pendekatan ini menghendaki peran aktif kebijakan pasar tenaga kerja dalam memanfaatkan manajemen permintaan, instrumen fiskal dan moneter untuk memandu kebijakan makroekonomi. Itu berarti penyesuaian struktural, restrukturisasi sosial-ekonomi, dan reformasi pasar (termasuk di dalamnya privatisasi dan kebijakan liberalisasi yang lain) harus ditingkatkan demi tujuan penciptaan lapangan kerja yang layak.

(9)

Dengan demikian, pekerjaan yang layak menjadi bagian dari strategi pengentasan kemiskinan yang sangat penting. Pekerjaan yang layak merupakan konsep menyeluruh yang saling bersinggungan yang memberikan dampak lebih besar dibandingkan dengan penjumlahan atas empat unsurnya (hak di tempat kerja, lapangan kerja, perlindungan sosial; dan dialog sosial). Dengan demikian pekerjaan yang layak juga melingkupi hal atau bidang lain seperti jender, sebagai bagian dari upaya mencapai hasil-hasil pendidikan dan kesehatan dan tujuan-tujuan lain yang disepakati dalam konteks delapan Sasaran Pembangunan Milenium atau “MDGs” (Millenium Development Goals). Khususnya, pekerjaan yang layak mempunyai peranan yang vital dalam mencapai tujuan utama MDG untuk memberantas kemiskinan dan kelaparan yang parah pada tahun 2015, dan juga untuk mencapai MDG 3 dalam mempromosikan kesetaraan jender dan memberdayakan para perempuan dan target 16 dari MDG 8 tentang pengangguran kaum muda.

Laporan ini dibangun berdasar pada kerangka konseptual ini dan berusaha m em etakan jenis-jenis persoalan yang m engaitkan em pat tujuan strategis ILO dengan struktur yang diusulkan Pem erintah Indonesia tentang perancangan dan penyusunan PRSP.

4 Tujuan Strategis ILO:

• Mempromosikan dan mewujudkan prinsip-prinsip dan hak mendasar di tempat kerja.

• Menciptakan kesempatan lebih besar bagi perempuan dan laki-laki dalam mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang layak.

• Meningkatkan cakupan dan efektifitas perlindungan sosial bagi semua.

• Memperkuat tripartisme dan dialog sosial. Struktur/Gugus Tugas PRSP Indonesia:

• Penciptaan Kesempatan. • Pemberdayaan Masyarakat. • Pengembangan Kapasitas. • Perlindungan Sosial.

Setiap bab dalam laporan ini secara garis besar mengikuti struktur yang sama, yang dimulai dengan sebuah analisis terhadap situasi dari sebuah perspektif kemiskinan, diikuti dengan sebuah analisis tentang berbagai pilihan untuk mencapai pengentasan kemiskinan melalui strategi pekerjaan yang layak. Akhirnya, masing-masing bab berisi serangkaian rekomendasi yang diharapkan akan membantu Pemerintah dalam merancang PRSP, dan lebih luas lagi, untuk menjawab berbagai tantangan kemiskinan di Indonesia.

(10)

Bab I memfokuskan diri pada penciptaan peluang melalui dimensi ketenagakerjaan dalam kebijakan makro dan sektoral. Bab ini menganalisis hal-hal yang berhubungan dengan dunia kerja dari perspektif desentralisasi dan Tujuan Pembangunan Milenium dan strategi perluasan lapangan kerja melalui pengembangan usaha dan pasar kerja yang fleksibel namun adil. Di Bab II, fokus diarahkan pada tata pemerintahan yang baik dalam kaitannya dengan pasar kerja, termasuk hak di tempat kerja dan persoalan hubungan industri. Sejumlah rekomendasi dibuat, diajukan dengan pandangan bahwa memperbaiki tata pemerintahan dalam lapangan kerja merupakan kondisi penting untuk menarik investasi dan untuk meningkatkan persaingan, yang pada gilirannya akan menjadi sangat vital untuk meningkatkan pertumbuhan. Bab III difokuskan pada pembangunan modal manusia dan penguatan kemampuan yang mencakup hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan dasar, keterampilan dan pendidikan kejuruan, pekerja anak dan pekerja muda. Di Bab IV, terdapat sebuah analisis mengenai perlindungan sosial di Indonesia dan serangkaian rekomendasi untuk memperkuat mekanisme perlindungan sosial, khususnya bagi kelompok-kelompok rentan. Secara keseluruhan, laporan ini memberikan gambaran tentang pentingnya penggabungan kebijakan sosial dan ekonomi untuk mencapai hasil-hasil program pengentasan kemiskinan. Laporan inipun berulang kali merujuk pada tema-tema umum yang penting bagi Indonesia seperti kesempatan untuk kaum muda, desentralisasi yang efektif dan efisien, serta kesetaraan jender.

(11)

Proses Keterlibatan ILO dalam PRSP

di Indonesia

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Dokumen Strategi Pengentasan Kemiskinan Sementara (Interim Poverty Reduction Strategy

Paper - PRSP) pada bulan Januari 2003, dan dokumen PRSP tersebut

saat ini sedang dalam tahap penyelesaian yang dijadwalkan pada Juni 2004. Pemerintah telah membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan Nasional yang dipimpin Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat yang akan membawahi empat gugus tugas yang akan menggarap tema-tema PRSP, yakni ‘Menciptakan Kesempatan’, Pemberdayaan Masyarakat’, ‘Pengembangan Kapasitas’, dan ‘Perlindungan Sosial’. Masing-masing dari gugus tugas ini beranggotakan perwakilan dari Pemerintah, masyarakat sipil dan perguruan tinggi.

Dukungan ILO terhadap strategi pengentasan kemiskinan di Indonesia dimulai dengan komentar teknis atas PRSP Sementara, dan setelah itu disepakati bahwa ILO akan menyediakan bantuan lebih lanjut sesuai permintaan dari Komite Penanggulangan Kemiskinan Nasional. Kontribusi ILO terhadap proses PRSP di Indonesia mencakup dua jenis pendekatan. Pertama, upaya berkesinambungan untuk membangun dan mendukung kapasitas serikat-serikat pekerja/buruh dan organisasi pengusaha untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses PRSP. Kedua, ILO memberikan kontribusi teknis substansial dalam proses penyusunan paparan teknis singkat (Technical Briefing Notes - TBNs) dan laporan komprehensif yang berisi serangkaian rekomendasi kebijakan. Berbagai rekomendasi ini menekankan perlunya menempatkan persoalan ketenagakerjaan sebagai strategi utama pengentasan kemiskinan, yang didasarkan pada kerangka konseptual “Pekerjaan yang Layak untuk Semua”.

Partisipasi para pelaku dari berbagai kalangan dalam perumusan dan penerapan PRSP merupakan hal yang sangat mendasar karena keterkaitan mereka dengan PRSP dan demi keberhasilan pelaksanaan PRSP itu sendiri. ILO telah bekerja sama dengan konstituen utamanya, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serikat-serikat pekerja/ buruh, dan organisasi pengusaha untuk mendukung keterlibatan mereka yang substantif dan bisa dipercaya dalam proses pelaksanaan PRSP.

Sebuah upaya khusus telah dilaksanakan untuk meningkatkan kapasitas serikat-serikat pekerja/buruh. ILO memberikan pelatihan-pelatihan teknis sehingga perwakilan serikat pekerja/buruh di gugus

(12)

tugas PRSP akan bisa berperan aktif dalam diskusi dengan latar belakang yang mereka miliki dan kontribusi mereka yang berarti. Peristiwa-peristiwa penting dalam kerjasamanya dengan serikat pekerja/buruh berupa Seminar Serikat Pekerja/Buruh Nasional tentang PRSP pada bulan September 2003, dengan tujuan utama meningkatkan kesadaran tentang strategi pengentasan kemiskinan. Seminar ini melahirkan jaringan serikat pekerja/buruh di bidang PRSP. Jaringan ini berfungsi sebagai saluran yang mewakili perhatian dan pendapat para pekerja dalam mengembangkan strategi pengentasan kemiskinan bagi Indonesia. Dimensi penting lainnya adalah lokakarya-lokakarya peningkatan kapasitas untuk serikat pekerja/buruh yang berlangsung di tingkat provinsi, yang sejalan dengan program pemerintah untuk merumuskan strategi-strategi pengentasan kemiskinan di tingkat regional.

ILO juga telah memfasilitasi Asosiasi Pengusaha menyelenggarakan seminar Asosiasi Pengusaha Indonesia Nasional (APINDO) mengenai PRSP pada Oktober 2003. Seminar ini menjadi forum bagi para pengusaha untuk menyuarakan keprihatinan dan pendapat mereka berkaitan dengan pengembangan strategi pengentasan kemiskinan.

Berbagai upaya ini telah menghasilkan perumusan baik oleh serikat pekerja/buruh maupun pengusaha mengenai posisi mereka dalam PRSP. Lebih jauh lagi, semua konstituen ILO secara bersama-sama telah mendiskusikan PRSP dan pentingnya ketenagakerjaan dan pekerjaan yang layak dalam forum nasional “Terbebas dari Kemiskinan” yang diselenggarakan pada Oktober 2003 dalam kaitannya dengan peringatan Hari Internasional Penghapusan Kemiskinan.

Pada Desember 2003, diselenggarakan sebuah seminar tripartit dengan tema “Rekomendasi-rekomendasi kebijakan tentang Pekerjaan yang Layak dan Strategi Pengentasan Kemiskinan”. Seminar ini menghasilkan umpan balik teknis yang sangat bermanfaat mengenai pilihan dan implikasi kebijakan. Hasil seminar ini telah diambil sebagai bahan dalam penyiapan usulan ILO tentang PRSP.

ILO telah menyiapkan serangkaian paparan teknis yang pendek dan terfokus (Lihat tabel 1) yang melayani dua tujuan:

i) Sebagai dokumen latar belakang tentang persoalan dan pilihan-pilihan kebijakan yang amat penting bagi pengentasan kemiskinan. Contohnya: ‘Dimensi ketenagakerjaan dalam Kebijakan Makro dan Sektoral’, ‘Lapangan kerja bagi Kaum Muda: Jalan Setapak dari Sekolah Menuju Pekerjaan’, ‘Meningkatkan Tata Pemerintahan yang Baik dalam Pasar tenaga Kerja’; ‘Jender dan Kemiskinan’.

ii) Sebagai pondasi bagi pembuatan laporan komprehensif sebagai sumbangan ILO untuk proses PRSP, yang akan menyediakan rekomendasi spesifik kepada masing-masing gugus tugas dalam Komite Penanggulangan Kemiskinan Nasional.

(13)

Konstituen-konstituen ILO telah dimintai nasihat secara intensif dalam penyiapan kontribusi teknis kepada PRSP dan pada kenyataannya menjadi panduan dalam proses penyusunannya.

Kantor ILO di Jakarta telah melibatkan diri secara aktif dalam usaha membangkitkan kesadaran dan mempromosikan pekerjaan yang layak sebagai komponen penghapusan kemiskinan melalui strategi komunikasi PRSP yang bagus. Strategi ini mencakup penerbitan berbagai brosur, buku panduan, poster, dan bahkan agenda kerja, dan juga meluncurkan sampul peringatan hari pertama dengan tajuk “ILO Mendukung Indonesia Menanggulangi Kemiskinan’, yang semuanya telah membantu meningkatkan citra komitmen ILO terhadap pengentasan kemiskinan.

Peluang ke Depan:

Di samping perumusan PRSP, ILO mencari jalan untuk mendukung proses implementasi, khususnya dengan melibatkan serikat pekerja/ buruh dan organisasi pengusaha dalam strategi-strategi dan program yang relevan yang terkait dengan lapangan kerja dan pekerjaan yang layak. ILO akan mendukung usaha-usaha pengembangan indikator untuk memantau dan meninjau kembali implementasi PRSP (lihat Lampiran 1) dan meneruskan pengembangan kapasitas kapan dan bilamana diperlukan.

1. Dimensi Ketenagakerjaan dalam Kebijakan Makro dan Sektoral

2. Desentralisasi dan pekerjaan yang layak: Mengaitkannya dengan MDGs

3. Penciptaan Pekerjaan dan Pengembangan Usaha Kecil, Menengah, dan Ekonomi Lokal

4 Lapangan Kerja bagi Kaum Muda: Jalan Setapak dari Sekolah Menuju Pekerjaan

5. Infrastruktur Pedesaan: Akses, Ketenagakerjaan dan Peluang Meraih Pendapatan

6. Pengembangan Keterampilan untuk Pertumbuhan Ekonomi dan Kehidupan yang Berkelanjutan

7. Mempromosikan Deklarasi ILO mengenai Prinsip-prinsip dan Hak-hak Dasar di Tempat Kerja

8. Memberantas Bentuk-bentuk Terburuk Pekerja Anak 9. Perlindungan Sosial bagi Semua

10. Meningkatkan Tata Pemerintahan yang Baik di Pasar Tenaga Kerja dengan Memperkuat Tripartisme dan Dialog Sosial

11. Migrasi: Peluang dan Tantangan bagi Pengentasan

Kemiskinan

(14)
(15)

Menciptakan Kesempatan:

Pertumbuhan dan Lapangan kerja

1

Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh stabilitas makro ekonomi dan situasi investasi yang lebih baik diperlukan bagi pengentasan dari kemiskinan. Namun, itu saja tidaklah cukup. Semua orang Indonesia, yang bersedia dan mampu bekerja, harus memiliki peluang mendapatkan pekerjaan yang produktif dan langgeng di dalam suasana yang bebas, bermartabat, setara dan aman. Ini semua merupakan esensi dari pertumbuhan ekonomi yang berpihak pada kaum miskin. Ini juga merupakan sebuah etos dari ‘pekerjaan yang layak’. Hal ini diatur dalam konstitusi Indonesia, dan mewakili visi ILO yang hendak diraih.

Mengapa kita harus fokus pada penciptaan kesempatan lapangan kerja dalam skala luas sebagai salah satu pilar strategi pengentasan dari kemiskinan? Terdapat cukup bukti untuk mendukung pandangan bahwa di Indonesia dan di mana saja, keterkaitan antara lapangan kerja dengan kemiskinan sangat kuat. Pada fase pertumbuhan yang cepat pada era Suharto, kemiskinan menurun secara berkelanjutan sejalan dengan perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian yang lebih produktif, ukuran sektor usaha yang menyediakan pekerjaan bergaji makin besar, keterampilan pekerja meningkat sampai tahap tertentu, dan upah makin tinggi seiring dengan naiknya produktivitas.

Sayangnya, krisis keuangan tahun 1997 telah membalikan berbagai kemajuan itu. Kendati krisis tidak menguras seluruh prestasi yang dicapai pada masa sebelum krisis, dan meskipun terjadi pemulihan di sana-sini setelah lima tahun, pasar tenaga kerja Indonesia masih memperlihatkan banyak kelemahan. Bab ini akan menyoroti kelemahan itu dan menjelaskan ciri-ciri utama dari kerangka kebijakan yang berfokus pada penciptaan lapangan kerja, yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi yang penting bagi pembaharuan komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengentaskan kemiskinan.

Bab ini juga mengajukan usulan bagaimana masyarakat regional Indonesia bisa mendaki tangga peluang melalui komitmen pemerintah terhadap desentralisasi yang demokratis. Salah satu cara untuk melaksanakan tugas yang sangat mendasar ini adalah melalui penyelarasan tujuan desentralisasi dengan MDGs (Millennium

Development Goals—Sasaran Pembangunan Milenium) yang diadopsi oleh

masyarakat internasional di sidang umum PBB pada September 2000 sebagai bagian dari upaya bersama untuk menurunkan tingkat kemiskinan global. MDGs ini secara jelas menetapkan target untuk menghapuskan kemiskinan pendapatan, kelaparan, buta aksara,

(16)

Hasil Moderat Pasar Tenaga Kerja pada era paska-krisis4

1 Batas garis kemiskinan Indonesia menggambarkan kombinasi komponen makanan dan non-makanan dasar. Batas kemiskinan ini diperbarui lagi pada 1996 dan nilainya setara dengan $1,50 sen per hari.

2 Angka-angka ini didapatkan dari Mr. Brasukra Sudjana dari ILO (UNSFIR-UNDP, Jakarta). 3 Alisjahbana, Armida S. and Chris Manning. 2002. “Survey of Recent Developments.” Bulletin

of Indonesian Economic Studies, 38(3): 277-305. December 2002.

4 Statistik pasar tenaga kerja yang dilaporkan di sini berdasarkan tabulasi khusus yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik - BPS dengan menggunakan format global ILO ‘Key Indikators of the Labour Market - KILM).’ Mr. Puguh Irawan menjadi penanggung jawab formal untuk mengelola proyek-proyek KILM di BPS.

5 Data-data statistik disiapkan dan disuplai oleh Dr Shafiq Dhanani, konsultan ILO berbasis di Jakarta.

6 Asia Recovery Information Centre database for 2003 (www.aric.adb.org).

penyakit, diskriminasi terhadap perempuan dan kerusakan lingkungan hidup pada tahun 2015.

Ketika tingkat kemiskinan meningkat tajam pada saat krisis ekonomi memuncak, banyak tenaga kerja kembali ke sektor pertanian dan ukuran sektor informal perkotaan membesar. Kondisi ini pada gilirannya menciptakan deindustrialisasi. Upahpun menurun tajam sekitar 40 persen. Sejak itu, tampaknya seperti terjadi pemulihan ekonomi dalam taraf tertentu. Kemiskinan (pendapatan/konsumsi) menurun dari puncaknya pada tahun 1998/1999 dan saat ini (data tahun 2002) posisinya sama dengan tingkat kemiskinan pada tahun 1996.1 Estimasi

awal dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan pada tahun 2002 adalah 17,6 persen, sama dengan yang dicatat pada tahun 1996.2 Upah riil kembali naik dan pada tahun 2002 mencapai

10-30 persen di atas upah sebelum krisis.3

Walaupun ada tanda-tanda pemulihan yang menjanjikan ini, berbagai indikator pasar tenaga kerja menunjukkan bahwa pemulihan itu masih rapuh. Simak beberapa angka statistik penting berikut. Pangsa lapangan pekerjaan sektor pertanian menurun sampai 40,1 persen pada tahun 1997, namun pada tahun 2001 naik menjadi 43,3 persen. Pangsa lapangan kerja bergaji mencapai 35,5 persen pada tahun 1997, namun menurun sedikit menjadi 33,3 persen tahun 2001. Bukti-bukti yang ada juga menunjukkan bahwa tingkat penggunaan kapasitas di sektor manufaktur anjlok menjadi 66 persen pada 2001 dari puncaknya, yaitu 78 persen pada 1996, sedangkan pertumbuhan lapangan kerja manufaktur menyurut drastis dari 2.8 persen pada masa 1994-1997 menjadi 0.6 persen pada masa 1998 –2001.5 Dengan kata lain, tidak ada

bukti yang meyakinkan bahwa kondisi ketenagakerjaan yang memburuk pada tahun 1998 ketika Indonesia dilanda resesi akibat krisis ekonomi itu telah berhasil diatasi.

Perhatian juga mesti diberikan pada fakta-fakta mengenai pengangguran terbuka yang naik tajam dalam beberapa tahun terakhir ini. Tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2002 mencapai sembilan persen, bandingkan dengan tahun 1997 yang hanya 4,7 persen.6

(17)

Kesenjangan jender di pasar tenaga kerja

Implikasi ekonomi informal yang besar dan beragam

7 Kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan ditelaah oleh Dhanani, S. & Islam, I. (2001) dalam ‘Indonesian Wage Structure and Trends, 1976-2000’. Makalah yang disiapkan untuk Infocus Socio-Economic Security Program (ILO/SES), Geneva: International Labor Organization.

8 Satu-satunya pengecualian adalah pekerja perempuan dengan pendidikan sarjana yang mampu berdiri sejajar dengan mitra laki-lakinya (5,0 persen).

Harus diakui bahwa pengangguran terbuka di Indonesia justru banyak dialami oleh mereka yang berpendidikan. Data lain menunjukkan bahwa tingkat pengangguran didominasi oleh kaum muda. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Tingkat pengangguran kaum muda pada tahun 2001 tercatat 24,1 persen dibanding dengan 15,5 persen pada tahun 1997. Lebih dari 60 persen orang yang tidak memiliki pekerjaan adalah kaum muda. Kecilnya peluang pekerjaan produktif bagi kaum muda ini Indonesia bisa berkembang menjadi sumber keresahan sosial. Kesenjangan jender tetap terjadi pada pasar tenaga kerja Indonesia. Walaupun perbedaan upah laki-laki-perempuan terus mengecil dalam beberapa tahun terakhir, tinjauan sekilas atas data yang ada menunjukkan bahwa pada beberapa indikator penting pasar tenaga kerja, pekerja perempuan tertinggal dari pekerja laki-laki.7 Pada tahun

2001, misalnya, tingkat partisipasi tenaga kerja (mereka yang berusia 15-64 tahun) untuk perempuan adalah 53,3 persen dibanding dengan 87,3 persen untuk laki-laki. Perempuan pekerja juga kurang terwakili pada sektor pekerjaan bergaji (29,3 persen dibanding 35,6 persen). Pekerja perempuan justru lebih terwakili dalam lapangan kerja paruh-waktu (56,4 persen) dan di sektor informal perkotaan (49,9 persen dibanding 42,2 persen), tingkat pengangguran terpaksa (11,5 persen dibanding 7,6 persen) dan lebih rendahnya pencapaian pendidikan (15,5 persen pekerja perempuan berpendidikan menengah dibanding 21,1 persen pekerja laki-laki). 8

Kesenjangan jender di pasar tenaga kerja juga tercermin pada berbagai hambatan yang dihadapi oleh wirausahawan perempuan. Mereka tidak memiliki cukup akses untuk mendapatkan pelatihan keterampilan di bidang pemasaran, akuntansi dan manajemen. Mereka juga tidak memiliki jaringan kerja yang cukup luas dan informasi bisnis yang bisa membekali mereka untuk bersaing dan untuk memenuhi perubahan-perubahan tuntutan konsumen dan teknologi. Mereka menghadapi kesulitan untuk mendapatkan kredit, khususnya bila kebutuhan mereka melebihi apa yang bisa ditawarkan kepada kelompok perempuan oleh koperasi dan sumber kredit mikro.

Aspek-aspek lain dari pasar tenaga kerja Indonesia perlu diteropong. Sebagai permulaan, setiap pemahaman tentang kaitan yang erat antara kemiskinan dengan pasar tenaga kerja di Indonesia memerlukan pengakuan mengenai betapa besar dan beragamnya perekonomian informal. Sektor ini juga mendorong kegiatan ekonomi pedesaan dan perkotaan dan menyerap 67% dari total tenaga kerja Indonesia. Statistik resmi menunjukkan bahwa besaran sektor informal perkotaan telah

(18)

meningkat lima tahun belakangan ini. Pekerjaan di sektor informal sering ditandai dengan ciri-ciri tingkat keterampilan dan produktivitas yang rendah, pendapatan yang rendah atau tidak menentu, jam kerja yang panjang, tempat kerja yang sempit atau tidak menentu, kondisi kerja yang tidak aman dan tidak sehat, dan kurangnya akses ke informasi, pasar, keuangan, pelatihan dan teknologi. Pekerja di sektor ekonomi informal tidak diakui, didaftar, diatur atau dilindungi oleh peraturan ketenagakerjaan dan perlindungan sosial, seringkali karena status ketenagakerjaan mereka kabur. Sebagian besar dari mereka yang menderita dalam kondisi seperti ini adalah anak-anak dan perempuan. Mobilitas spasial yang tinggi menjadi ciri utama pasar tenaga kerja Indonesia. Mobilitas seperti ini telah meningkat secara tajam pada tahun-tahun terakhir ini, baik dalam skala maupun keberagamannya. Statistik yang tersedia menunjukkan bahwa dalam tiga tahun terakhir ini, jumlah laki-laki Indonesia yang pernah tinggal di provinsi yang bukan asal mereka naik 68 persen, sedangkan untuk perempuan angka ini lebih mengejutkan, yaitu 98 persen. Kebijakan transmigrasi yang dikembangkan dengan baik telah mendorong penduduk Indonesia berpindah dari pulau-pulau di luar Jawa-Bali untuk pindah ke Jawa dan Bali. Namun, kecenderungan tersebut terlihat berbalik, paling tidak untuk sementara waktu. Sensus tahun 2000 mencatat kenaikan migrasi ke pulau-pulau terpencil. Cukup masuk akal untuk mengaitkan perkembangan ini dengan penurunan tajam peluang kerja di Jawa setelah krisis moneter 1997.

Juga terdapat banyak migrasi pedesaan-perkotaan yang menyebabkan penduduk perkotaan tumbuh sekitar 5 persen per tahun dalam tiga dekade terakhir. Namun demikian, sebagian besar migrasi jenis ini terdiri dari migrasi musiman dan tidak permanen. Ada kecenderungan khusus di mana sebagian pekerja migran meninggalkan keluarga mereka di komunitasnya selama mereka bekerja di tempat tujuan dalam rentang waktu satu minggu sampai dua tahun. Paling tidak ada 25 persen keluarga pedesaan bekerja di daerah perkotaan selama beberapa waktu dalam setahun.

Selain itu, mobilitas tenaga kerja yang cukup signifikan di Indonesia adalah meningkatnya kecenderungan penduduknya untuk mencari pekerjaan di luar negeri. Misalnya, pada tahun 1997-98, jumlah Tenaga Kerja Indonesia (pekerja migran), yang kebanyakan perempuan, mencapai 232.275 orang, namun pada tahun 2000 jumlah ini meningkat menjadi 435.219 orang. Krisis 1997 nampaknya telah menyebabkan banyak orang untuk mencari pekerjaan di luar negeri karena kesempatan kerja di dalam negeri telah menyurut. Indonesia kini menjadi salah satu negara pemasok tenaga kerja kontrak di dunia. Tapi, kebanyakan mereka tergolong pekerja tidak terampil, yang kebanyakan bekerja di negara-negara Asia lain serta di Timur Tengah.

Sayangnya ada dua ciri pasar kerja Indonesia yang telah menyebabkan citra Indonesia memburuk. Satu hal berkaitan dengan

Dimensi mobilitas spasial pekerja

(19)

9 Estimasi pertumbuhan terakhir tersedia di situs Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id) 10 Angka lima persen disorot dalam laporan ILO (1999a), Indonesia: Strategies for

Employment-led Recovery and Reconstruction, Jakarta dan Jenewa: ILO. Juga lihat Islam, I dan Nazara, S (2000)

praktek perdagangan anak-anak dan perempuan yang kejam. Sedangkan yang lainnya adalah masalah kontroversial yang berkaitan dengan munculnya lebih dari dua juta IDPs (internally displaced persons – pencari suaka internal) – salah satu jumlah yang tertinggi, kalau tidak yang paling tinggi, di dunia. Ini kebanyakan merupakan fenomena paska krisis 1997 – di mana mereka melarikan diri dari konflik separatisme, antar-suku, dan juga antar-agama yang meningkat dengan tajam di daerah-daerah tertentu.

Dimensi pasar tenaga kerja Indonesia yang amat penting yang diteliti pada bagian sebelumnya memberikan kita sebuah konteks untuk mengungkapkan pandangan bahwa peluasan lapangan kerja harus menjadi unsur inti strategi pengentasan kemiskinan nasional. Khususnya, terdapat kebutuhan untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang bisa bertahan lama setiap tahunnya (berdasarkan perkiraan terkini, pemerintah harus menyediakan paling tidak dua juta lapangan kerja) baik untuk menyerap masuknya tenaga baru ke dalam pasar tenaga kerja dan untuk menutup para pengangguran dan setengah pengangguran yang tidak diserap pasar kerja pada tahun-tahun sebelumnya.

Terkait dengan tujuan penciptaan lapangan kerja baru, ada serangkaian rekomendasi yang bisa dibuat. Dalam tujuan peluasan lapangan kerja tersisip sederet rekomendasi kebijakan yang bisa dibuat. Berikut adalah pembahasannya.

Dalam kurun waktu 1999-2002, tingkat pertumbuhan rata-rata Indonesia adalah 3,2 persen. Kondisi tersebut sangat kontras dengan pertumbuhan 7,0 persen dalam kurun waktu 1994 sampai 1997.9 Tingkat

pertumbuhan setelah krisis yang dicatat sampai sekarang belum cukup untuk menciptakan lapangan kerja bagi tenaga kerja baru sebanyak dua juta orang dan untuk menutup akumulasi penganggur dan setengah penganggur yang tidak diserap pasar pada tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan estimasi terkini elastisitas lapangan kerja tingkat pertumbuhan minimal lima persen dalam jangka pendek dan jangka menengah merupakan titik kritis dalam menunjang strategi berfokus penciptaan lapangan kerja untuk mengurangi tingkat kemiskinan pada masa paska krisis di Indonesia.10

Sulit untuk menetapkan secara tegas mengenai pemulihan yang dimotori ketenagakerjaan dari krisis keuangan 1997 dan konsekuensinya yang berat, kecuali jika perhatian terhadap ketenagakerjaan secara formal dimasukkan menjadi bagian dari target dan tujuan kebijakan makro

Indonesia membutuhkan kembali pertumbuhan cepat dan berkelanjutan

Merefleksikan sasaran ketenagakerjaan dalam kebijakan makro

(20)

ekonomi. Otoritas moneter Indonesia, seperti halnya otoritas yang sama di banyak negara, ditugaskan untuk mengendalikan inflasi pada tingkat yang dikehendaki. Dalam jangka menengah, tujuannya adalah untuk mempertahankan tingkat inflasi di bawah 5 persen.11 Pada saat yang

sama, kebijakan fiskal terhambat oleh kebutuhan melakukan “konsolidasi fiskal” untuk mengendalikan ledakan utang dalam negeri pemerintah yang disebabkan oleh krisis. Hal ini diyakini akan menciptakan kerangka kebijakan ekonomi makro yang diarahkan untuk memantau berbagai variabel keuangan dan fiskal.

Dalam kurun waktu 2001-2002, Indonesia mengalami inflasi dua

digit (berkisar 11,5-11,9 persen), sementara itu tingkat suku bunga

nominal, sebagaimana dicatat pada pertengahan 2001, adalah yang tertinggi di Asia Tenggara. Sejak itu, tingkat bunga nominal turun 350 basis poin dan penurunan tersebut memberikan implikasi pada penurunan tingkat inflasi tahun yang sekarang berkisar pada angka enam persen (seperti tercatat pada Oktober 2003).12 Pada titik tertentu,

pejabat moneter perlu membuat suatu resolusi untuk memecahkan beberapa isu yang fundamental. Apa keuntungan sosial dari upaya mempertahankan inflasi tetap berada di bawah 5 persen, atau sebaliknya, apa biaya sosialnya bila inflasi dibiarkan naik melebihi 5 persen pada jangka menengah? Apakah mereka telah mempertimbangkan pelajaran dari bukti-bukti internasional bahwa tingkat inflasi menengah (di bawah 15 persen) tidak merugikan bagi pertumbuhan dan juga tidak memperburuk kondisi kelompok miskin? 13 Kecuali bila terdapat jawaban

yang meyakinkan terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar di atas,

inflation targeting yang kaku seperti ini mungkin bukannya akan

memecahkan masalah, namun sebaliknya, hanya akan memperparahnya saja.

Pertimbangkan juga implikasi dari penerapan kebijakan fiskal yang ketat pada waktu pertumbuhan ekonomi melesu. Pemerintah Indonesia telah mengisyaratkan niatnya untuk mencapai defisit anggaran 1,3 persen dari PDB pada tahun 2003, dengan tujuan menyeimbangkan anggaran pada tahun 2004.14 Untuk mencapai tujuan fiskal tersebut, pemerintah

telah mengasumsikan tingkat pertumbuhan 5 persen untuk tahun 2003, mengusulkan peningkatan pendapatan pajak sebesar 18,7 persen dan telah mengisyaratkan niatnya untuk mengurangi berbagai subsidi bahan bakar, listrik dan subsidi lain sebesar 39 persen. Perlunya mengurangi

11 Catatan teknis ‘Pasar Kerja Indonesia: Estimasi Elastisitas Lapangan Kerja untuk Ekonomi Indonesia’, Kantor ILO Jakarta.

12 Asia Recovery Information Centre July Update (pembaruan Juli 2003 dari Pusat Informasi Pemulihan Asia) (www.aric.adb.org). Estimasi inflasi tersedia di situs Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id).

13 Bukti-bukti ini diulas ulang dalam Islam, I (2003) ‘Avoiding the Stabilisation Trap: Towards a Macroeconomic Policy Framework for Growth, Employment and Poverty Reduction (Menghindari Jebakan Stabilisasi: Menuju Kerangka Kebijakan Makro ekonomi bagi Pertumbuhan, Ketenagakerjaan dan Pengentasan dari Kemiskinan), Employment Paper 2003/54, Jenewa: ILO

14 Pemerintah dituntut untuk menjalankan surplus utama (setingkat dua persen dari GDP) beberapa tahun mendatang. Lihat Bank Dunia (2000), Indonesia: Managing Government Debt and its Risks , 22 Mei, Kawasan Asia Timur dan Pasifik, Washington DC: Bank Dunia. Rancangan anggaran untuk 2003 dikaji di Jakarta Post, 19 Agustus, 2002.

(21)

Mengembangkan sistim informasi pasar tenaga kerja untuk melengkapi manajemen

makroekonomi yang berfokus pada ketenagakerjaan

15 Lihat Jakarta Post, 18 Agustus 2002. Rizal Ramli adalah kritikus terkemuka terhadap manajemen makro ekonomi pemerintah dan berpendapat bahwa makro ekonomi pemerintah berbasis pada usaha pemerintah untuk membayar tunggakan hutangnya. Lihat Komentar Ramli di Business Times, 16 Augustus 2002.

16 Dhanani, S (2002), ‘Strengthening the Indonesian labour market information system’. Laporan disiapkan untuk Departemen Pemulihan dan Rekonstruksi,ILO, Jenewa

subsidi didorong oleh perlunya mengarahkan anggaran belanja ke tujuan yang sesuai. Walaupun tujuannya cukup baik, beberapa pengamat mengungkapkan keprihatinan mereka dengan mengemukakan argumentasi bahwa semua tujuan itu, termasuk proyeksi tingkat pertumbuhan, terlalu ambisius.15Dengan tingkat pertumbuhan sebesar

3,8 persen dalam triwulan kedua tahun 2003 (sebagaimana dikemukakan di atas), pandangan ini tampaknya cukup dapat diterima. Lebih penting lagi, kita dapat berargumentasi bahwa walaupun komposisi anggaran itu penting artinya, jumlah keseluruhan anggaran itu bila dikaitkan dengan kebutuhan keuangan dalam strategi nasional mengentaskan kemiskinan, tidak bisa diabaikan.

Tampaknya ada keharusan untuk menyeimbangkan fokus pada variabel keuangan dan fiskal dalam manajemen makro ekonomi dengan komitmen yang yang bisa dipercaya dalam penyediaan kesempatan kerja produktif dan langgeng bagi semua penduduk Indonesia. Komitmen demikian dapat terwujud dalam bentuk ‘bursa kerja tahunan’ yang diselenggarakan dalam konteks kesepakatan publik tentang berbagai persoalan yang berkaitan dengan penciptaan lapangan kerja baik di tingkat nasional maupun lokal. Ini dapat meliputi penetapan target penciptaan lapangan kerja secara eksplisit yang konsisten dengan penyerapan tenaga kerja baru serta pengurangan jumlah penganggur yang ada sekarang (dengan asumsi tentang parameter struktural dalam ekonomi). Target-target utama ini akan menetapkan tingkat pertumbuhan, inisiatif kebijakan yang diperlukan dalam penyusunan anggaran belanja yang berpihak kepada kaum miskin. Penggunaan target penciptaan lapangan kerja sebagai bentuk manajemen ekonomi makro pada gilirannya akan menyediakan lingkup pencarian cara-cara dimana proses pertumbuhan dijadikan berbasis tenaga kerja

(employment-intensive) atau padat karya, dan dengan demikian mengurangi beban

tingkat pertumbuhan itu sendiri untuk menciptakan jumlah kesempatan kerja yang diperlukan untuk memenuhi sasaran kebijakan.

Setiap upaya untuk merancang kerangka kebijakan berfokus ketenagakerjaan harus dipersiapkan oleh kerangka statistik yang tepat yang memungkinkan pemerintah memantau lapangan kerja. Sebagai permulaan, indikator kunci pasar tenaga kerja perlu diperbarui secara teratur. Hal ini yang bisa dilengkapi dengan memperhatikan rekomendasi-rekomendasi yang amat beragam dari studi ILO untuk memperbaiki sistim informasi pasar tenaga kerja (labour market information

system - LMIS).16 Ini mencakup perbaikan dalam perancangan dan

pengumpulan data lapangan kerja, upaya-upaya yang lebih keras untuk mengumpulkan informasi tentang pekerjaan mandiri (yang mencakup 40 persen dari keseluruhan tenaga kerja), sistim peringatan dini untuk

(22)

Menciptakan kesempatan bagi penduduk Indonesia

yang miskin: mengidentifikasi sektor-sektor yang memiliki potensi ketenagakerjaan

memantau standar hidup kelompok pekerja miskin dengan cara memfokuskan pada data upah bulanan dari kelompok rentan di angkatan tenaga kerja, memadukan data lapangan kerja dengan indikator kemiskinan, penurunan kesenjangan waktu antara pembuatan, pemrosesan serta penyebaran data, memperkuat kemampuan pejabat-pejabat di tingkat daerah dalam menciptakan data lapangan kerja, dan memastikan bahwa pengumpulan dan pembuatan statistik tenaga kerja didanai sepenuhnya oleh sumber anggaran biasa dari pemerintah. Sebagai tambahan, informasi pasar tenaga kerja yang relevan harus dikembangkan demi kepentingan para pencari kerja, siswa-siswa, peserta pelatihan dan pengusaha.

LMIS untuk Indonesia dalam bentuk apapun yang bisa dipercaya harus mempertimbangkan dimensi jender lapangan kerja. Sebagaimana dicatat, walaupun terdapat kemajuan, kesenjangan jender yang signifikan masih saja terjadi. Aspek lapangan kerja ini harus dipantau secara teratur untuk meningkatkan kesadaran baik pengusaha maupun pembuat kebijakan dan untuk mendukung debat publik yang berdasar. Tanpa persyaratan di atas perbaikan kebijakan seperti itu akan sulit disebarluaskan.

Strategi yang diyakini bisa mengentaskan kemiskinan dalam jenis apapun di Indonesia harus fokus pada sektor agrikultur, karena sektor ini mendominasi arena lapangan kerja nasional sebesar 41 juta pekerja, 80 persen di antaranya berkaitan erat dengan sektor informal. Lagipula, kemiskinan merupakan fenomena pedesaan, karena sekitar 75 persen dari jumlah semua keluarga miskin tinggal di daerah pedesaan dan bergantung pada sektor pertanian sebagai sumber penghidupan utama mereka.

Penduduk desa yang miskin seringkali dihadapkan pada hambatan-hambatan berupa keterpencilan, kurangnya tingkat pendidikan dan perawatan kesehatan, pekerjaan yang tidak menentu dan tidak produktif, dan angka kesuburan yang tinggi dan diskriminasi terhadap perempuan atau terhadap minoritas etnis. Dengan demikian, kebijakan dan program pengentasan dari kemiskinan harus memberikan fokus strategis pada pembangunan pedesaan dan harus menciptakan kesempatan yang lebih banyak kepada laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan pekerjaan di daerah pedesaan. Kebijakan demikian tidak hanya akan mempromosikan pertumbuhan ekonomi namun juga akan mengurangi kemiskinan kota dengan cara menahan migrasi pedesaan–perkotaan pada tingkat yang lebih berkesinambungan.

Dengan kaitan yang sangat erat antara ekonomi pedesaan dengan kemiskinan, tidaklah mengherankan bahwa pemerintah Indonesia telah mencanangkan komitmen resmi bagi pembangunan pedesaan dengan cara mencari cara untuk mengimplementasikan upaya-upaya yang akan mendorong kesempatan lapangan kerja di luar ladang. Khususnya, White

Paper (Kertas Kerja) pemerintah kini telah fokus pada pengembangan

(23)

17 Pemerintah Indonesia (2003), ‘Economic policy package in conjunction with the completion of the government’s program with the IMF’, Jakarta

18 Islam, I (2002), ‘Poverty, employment and wages: an Indonesian perspective’, laporan disiapkan untuk Departemen Pemulihan dan Rekonstruksi, ILO, Jenewa

Menciptakan kesempatan bagi penduduk miskin: peranan pengembangan perusahaan di dalam penciptaan lapangan kerja.

namun rincian kebijakan yang tepat perlu dijabarkan. 17 Contoh-contoh

intervensi yang berhati-hati yang bisa dipertimbangkan oleh pemerintah mencakup perbaikan di bidang keamanan pemilikan lahan, yang memungkinkan para petani mengembangkan diri ke agribisnis melalui pemberian informasi yang lebih banyak dan pembangunan kapasitas dan meningkatkan hubungan antara usaha besar maupun kecil.

Tonggak pengembangan pedesaan lainnya adalah investasi di infrastruktur pedesaan. Kertas Kerja pemerintah telah membuat pengumuman awal dalam bidang ini, misalnya pengembangan infrastruktur pedesaan, Program Pembangunan Kecamatan, Program Pemberantasan Kemiskinan Pedesaan, dan pelaksanaan program sanitasi dan air bersih. Perihal investasi di dalam infrastruktur pedesaan dan implikasinya terhadap lapangan kerja saling terkait dengan masalah-masalah investasi publik yang lebih luas dalam infrastruktur dan dibahas secara lebih mendalam pada tahap lebih lanjut.

Di sektor manufaktur, sub-sektor tertentu memainkan peranan penting dalam peluasan lapangan kerja. Misalnya, bukti-bukti yang tersedia menunjukkan bahwa produksi garmen, sepatu dan perabot serta elektronika merupakan sub-sektor di dalam manufaktur yang memiliki kelenturan lapangan kerja yang ‘tinggi’ (di atas 0,5 untuk periode tahun 1985-1997).18

Statistik resmi menunjukkan bahwa hampir semua – atau lebih dari 99 persen–dari pekerja Indonesia dipekerjakan di perusahaan-perusahaan kecil dan menengah atau UKM (small and medium-sized

enterprises — SME). Dengan demikian maka tidaklah mengherankan

bahwa pengembangan UKM harus menjadi bagian utama dari strategi pengentasan dari kemiskinan di Indonesia.

Pemerintah bisa melaksanakan beragam inisiatif dalam pengembangan UKM yang mencakup: perlunya untuk memperkuat kerangka koordinasi kebijakan, menumbuhkan bakat kewirausahaan para anak muda baik laki-laki maupun perempuan, mengulang kembali model koperasi, dan mengembangkan kapasitas bagi lapangan kerja dan pembangunan lokal.

Untuk bisa memanfaatkan kesempatan-kesempatan untuk mempromosikan inisiatif pengembangan UKM, harus ada koordinasi kebijakan dan program yang lebih kuat di antara pemegang kepentingan di tingkat nasional, maupun di antara pemerintah daerah dan sektor swasta. Tambahan pula, amatlah penting bagi pemerintah nasional dengan kekuatan yang dimilikinya untuk menjamin program dan kebijakan di tingkat daerah secara ekonomi sehat dan sesuai dengan

Mengembangkan kerangka koordinasi kebijakan

(24)

19 Bank Dunia (2003), ‘Averting an infrastructure crisis: a framework for policy action’, Jakarta: Bank Dunia. Juga lihat The Jakarta Post, 3 Desember 2003.

UKM. Inisiatif-inisatif seperti itu secara sistematis harus mampu menyerap praktek-praktek bisnis yang baik (international best practice) dan keahlian bisnis setempat dan asosiasinya.

Kaum muda, baik laki-laki maupun perempuan haruslah menjadi kelompok target yang penting dalam pengembangan perusahaan. Dengan cara itu, kaum muda akan memberikan kontribusinya untuk menciptakan pekerjaan mereka sendiri, dan Indonesia akan mendapatkan manfaat dari bakat-bakat kaum muda yang kreatif ini. Strategi seperti itu harus melibatkan partisipasi dari sektor swasta dan organisasi masyarakat untuk memberikan pelatihan, pemagangan dan akses untuk mendapatkan kredit bagi wirausahawan muda. Strategi ini juga bisa melibatkan promosi kewirausahaan di sekolah-sekolah dan institusi pendidikan kejuruan.

Hampir semua program UKM di masa depan akan terdesentralisasi, sehingga penting untuk memperkuat kemampuan institusi-institusi di semua tingkat kepemerintahan, sehingga memungkinkan mereka mengambil manfaat potensial dari desentralisasi, dan otonomi regional bisa memberikan keuntungan bagi penduduk lokal maupun di tingkat nasional secara keseluruhan. Dalam kaitan ini diperlukan program peningkatan kemampuan yang sungguh-sungguh bagi pemerintah daerah dan mitra-mitra lain dalam penciptaan kebijakan dan pengembangan program.

Saat ini banyak koperasi terdaftar di Indonesia yang tidak aktif akibat rendahnya keterampilan kepemimpinan dan keahlian bisnis dan besarnya tunggakan pinjaman yang tak terbayar. Namun demikian, citra dan nilai-nilai koperasi yang positif bagi model berbasis masyarakat untuk pembangunan berkelanjutan tidak boleh diabaikan. Kekuatan finansial dan kemandirian merupakan potensi penting bagi penciptaan lapangan kerja di sektor ekonomi informal perkotaan dan agrikultur. Strategi pembangunan di Indonesia perlu menjadikan kembali koperasi sebagai model bagi pembangunan lokal. Ini bukan merupakan tugas yang mudah karena praktek-praktek di masa lalu secara luas telah gagal dan mengakibatkan upaya-upaya ini tidak bernilai dan bercitra jelek.

Sebuah studi terkini menunjukkan bahwa terdapat kelemahan yang signifikan dalam penyediaan fasilitas-fasilitas infrastruktur di Indonesia.

19 Sekitar 50 persen rumah tangga di Indonesia tidak mempunyai akses

ke listrik, dan hanya ada 9,1 telepon per 100 penduduk. Angka-angka itu sangat rendah jika dibandingkan dengan yang terjadi di kawasan regional.

Fokus pada pembinaan kewirausahaan pemuda Membangun kemampuan untuk pengembangan ekonomi lokal Menciptakan kesempatan bagi penduduk Indonesia miskin: penciptaan lapangan kerja melalui investasi publik di sektor infrastruktur

(25)

Menciptakan kesempatan bagi penduduk Indonesia miskin: memanfaatkan mobilitas tenaga kerja

Kita bisa mempertimbangkan statistik berikut yang menyoroti hubungan antara terjadinya kemiskinan dan akses ke fasilitas infrastruktur. Diperkirakan 50 persen penduduk Indonesia yang berada di kawasan yang paling miskin tidak mempunyai akses ke jalan beraspal sebagai jalan utama menuju tempat tinggal mereka. Antara 6 sampai 11 juta penduduk Indonesia tidak mempunyai jalur jalan yang layak atau jaringan transportasi kendaraan bermotor yang memadai. Kelompok penduduk ini cenderung tinggal di daerah yang paling terpencil dan tertinggal di negara ini.

Alokasi belanja publik di masa datang harus difokuskan pada pengadaan fasilitas infrastruktur pedesaan. Menghubungkan penduduk pedesaan miskin ke pasar dan pelayanan-pelayanan melalui jaringan jalan pedesaan yang memiliki standar memadai akan membentuk pondasi bagi strategi pengetasan kemiskinan pemerintah.

Investasi publik dalam fasilitas infrastruktur – baik di daerah pedesaan maupun di mana saja – bisa dirancang sebagai peranti kebijakan ketenagakerjaan yang penting. Satu studi ILO menunjukkan bahwa metode-metode produksi berbasis tenaga kerja dalam investasi infrastruktur di Indonesia bisa menghasilkan 1,2 juta pekerjaan yang langgeng dalam jangka empat tahun tanpa harus mempertimbangkan standar kualitas yang diasosiasikan dengan teknik produksi yang bertumpu pada peralatan (equipment intensive). Ini berarti bahwa, perluasan lapangan kerja didorong pertumbuhan ekonomi mampu mencapai dua juta pertahunnya, jumlah tenaga kerja yang diserap akan naik menjadi 2,3 juta jika kita mengadopsi metode produksi berbasis tenaga kerja dalam kebijakan investasi publik.20

Bukti-bukti internasional mengkonfirmasi temuan-temuan positif ini. Studi-studi menunjukkan bahwa program infrastruktur berbasis tenaga kerja menghabiskan biaya 10-30 persen lebih rendah dibandingkan dengan yang berbasis teknis peralatan intensif, menurunkan kebutuhan mata uang asing sampai 50-60 persen, dan bisa menciptakan lapangan kerja lima kali lebih besar untuk jumlah investasi yang sama.21

Terdapat pertalian yang kuat antara kemiskinan dan migrasi. Kemiskinan yang terjadi di komunitas setempat mendorong penduduk Indonesia mencari kesempatan yang lebih baik di tempat lain, apakah itu di Indonesia maupun di luar negeri. Data-data yang tersedia menujukkan bahwa sebagian besar mereka yang berpartisipasi dalam migrasi internasional datang dari strata masyarakat Indonesia yang lebih miskin. Perlu dicatat juga bahwa sebagian besar mereka yang dipindahkan secara internal (IDPs) adalah perempuan dan anak-anak. Ini menjadikan mereka salah satu kelompok masyarakat yang paling rentan.

20 ILO (1999b), Dokumen proyek untuk dukungan dan pelatihan teknis dengan target penciptaan 1.2 juta pekerjaan, kerjasama dengan AusAID, Jenewa dan Bangkok, ILO dan Canbera, AusAID

21 ILO (2000), Employment-intensive investment in infrastructure: jobs to build society, Jenewa: ILO

(26)

Migrasi tidak tetap dan musiman di Indonesia juga merupakan sarana penting dari diversifikasi risiko di Indonesia. Migrasi sementara seperti ini memungkinkan rumah tangga miskin menciptakan banyak sumber pendapatan sehingga mengurangi ketergantungan hanya pada satu orang. Dan pada saat yang sama, kiriman uang dari para pekerja migran memainkan peranan penting dalam mengatasi kemiskinan dengan memberikan dampak langsung terhadap standar hidup keluarga dan saudara para migran yang menerima kiriman uang tersebut. Konsumsi dan investasi kiriman uang tersebut memberikan pengaruh berganda (multiplier). Belanja seperti ini bisa merangsang perekonomian lokal dan menciptakan berbagai jenis lapangan pekerjaan.

Seperti yang sudah dicatat, jutaan orang penduduk Indonesia dan yang miskin bepergian ke berbagai tempat di Indonesia atau luar negeri untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Dengan hubungan yang erat antara kemiskinan dan migrasi, pilihan-pilihan kebijakan berikut ini bisa dieksploitasi karena keterkaitan itu akan membantu pemerintah menciptakan lapangan kerja bagi kaum miskin di Indonesia dan meningkatkan kehidupan dan standar hidup mereka.

Kita harus mempertimbangkan berbagai faktor yang menghambat baik tren bermigrasi maupun kesejahteraan para pekerja migran. Salah satu hambatan ini berupa prosedur birokrasi yang amat berbelit-belit yang menyulitkan seseorang melakukan perjalanan, khususnya bagi para pencari kerja di luar negeri. Jaringan transportasi dan komunikasi yang buruk bisa menghambat mobilitas tenaga kerja di dalam Indonesia. Dengan demikian, diperlukan upaya untuk menghilangkan hambatan birokratis untuk bepergian dan untuk menanamkan investasi publik yang berkesinambungan di bidang transportasi dan komunikasi.

Kita bisa mendokumentasi berbagai contoh praktek intermediasi yang rakus yang kini sudah menjadi bagian dari “industri migrasi” seperti lembaga rekrutmen tenaga kerja dan penyedia jasa angkutan. Mereka ini bisa menggunakan kekuatan pasar dan pengetahuan khusus mereka untuk menarik ongkos yang sangat tinggi, bagi pelayanan yang mereka berikan kepada para calon pekerja migran ini. Kerangka peraturan yang berfungsi dengan baik akan bisa memantau secara efisien dan menciptakan standar bagi para penyedia pelayanan dalam industri migrasi. Hal ini tentu akan menguntungkan penduduk Indonesia miskin yang mencari kesempatan kerja di luar komunitas mereka.

Kesejahteraan para migran dan tanggungan mereka juga sangat terpengaruh bila tidak tersedia cara pengiriman uang yang secara relatif aman dan mudah. Dengan demikian, pemerintah bisa menerapkan kerangka kebijakan ‘ramah migrasi’ dengan memastikan bahwa pekerja migran mempunyai akses untuk mengirimkan uang dengan cara yang cukup aman, cepat dan mudah.

Menghilangkan hambatan perjalanan

Mengatur ‘industri migrasi’

Memastikan pengiriman uang yang aman, cepat dan mudah

(27)

22 Prediksi ini dibuat di laporan media masa ketika UU Desentralisasi pertama kali diumumkan. Lihat Far Eastern Economic Review, 13 Mei 1999 (John McBeth, Too Little, Too Late: Revenue Law May Not Appease Restive Provinces’

23 Suyarho, W (2002), ‘Indonesia’s fiscal decentralisation: a preliminary assessment of the first year experience’, Jakarta, UNSFIR Working Paper 02/07

Dibutuhkan peningkatan sistem informasi pasar tenaga kerja yang bisa dipercaya, komprehensif dan tepat waktu. Sistem informasi ini akan menyediakan informasi mengenai lowongan pekerjaan baik di dalam maupun di luar Indonesia. Dengan demikian, para calon pekerja migran bisa mengambil keputusan atas dasar informasi yang masuk akal.

Akhirnya, persoalan kelompok rentan di antara komunitas pekerja migran yang berbeda-beda harus disoroti. Pemerintah perlu memberikan perhatian khusus pada pemberantasan praktek-praktek perdagangan anak-anak dan perempuan, pada pemberian perlindungan TKI di luar negeri dari resiko eksploitasi dan kekerasan, dan menjamin bahwa IDPs direhabilitasi. Ini merupakan inisiatif-inisiatif penting yang bisa mendorong penyediaan kesempatan bagi penduduk Indonesia untuk mencari pekerjaan di berbagai tempat di Indonesia dan di luar negeri dengan penuh kebebasan, bermartabat, setara, dan aman.

Meskipun pada mulanya ada kegamangan bahwa desentralisasi regional di Indonesia yang baru belajar berdemokrasi ini akan menimbulkan salah kelola, agenda desentralisasi sejauh ini telah berlangsung tanpa gangguan yang berarti baik terhadap prosesnya maupun terhadap keseluruhan integrasi fiskal pemerintah. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa masalah utama kesenjangan regional di Indonesia — ketegangan regional, komunal dan ras — telah ditangani dengan memuaskan di bawah kerangka desentralisasi yang ada. Belakangan ini juga terlihat adanya kesulitan untuk menyeimbangkan antara melayani kepentingan status quo dengan kepentingan bagian-bagian negara ini yang kaya. Walaupun terdapat usaha-usaha untuk mengurang ketidakpuasan di provinsi-provinsi yang memiliki sumber daya yang kaya melalui Dana Perimbangan, tetap muncul kekhawatiran bahwa hal ini akan menjadi permasalahan pembagian yang ‘terlalu kecil dan terlalu terlambat’.22 Pada saat yang

sama, kekhawatiran awal bahwa aliran fiskal pusat-daerah yang direkstrukturisasi mungkin tidak cukup melindungi kepentingan bagian Indonesia yang lebih miskin, ternyata juga bukan kekhawatiran yang mengada-ada. Pengkajian awal menunjukkan bahwa Dana Perimbangan sejauh yang dioperasikan selama ini bisa memperburuk tingkat ketidaksetaraan antardaerah yang tinggi. 23

Bagaimana kita bisa menciptakan kesempatan bagi masyakarat daerah untuk saling berbagi kue pembangunan ini? Salah satu cara adalah dengan menyelaraskan Millennium Development Goals (MDGs – Sasaran Pembangunan Milenium) dengan agenda desentralisasi yang demokratis. Seperti yang telah sangat diketahui, MDGs memerlukan

Memperbaiki sistim informasi pasar lapangan kerja bagi calon pekerja migran

Melindungi pekerja migran yang rentan

(28)

konsensus global sehingga masyarakat internasional bersatu dalam usahanya meraih target untuk menurunkan tingkat kemiskinan (pendapatan maupun non-pendapatan) pada tahun 2015 (dengan menggunakan tahun 1990 sebagai basis). Indonesia, seperti halnya lebih dari 180 negara lainnya, telah mencanangkan tujuan dan target ini. Fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa meskipun Indonesia sempat mengalami kemunduran akibat krisis moneter pada 1997, Indonesia tampaknya tetap berada dalam jalur yang tepat untuk mencapai MDGs pokok pada tahun 2015. Keyakinan itu mensyaratkan bahwa Indonesia harus memiliki tingkat pertumbuhan enam persen dan asumsi bahwa kecenderungan penurunan tingkat kemiskinan baik dalam dimensi pendapatan maupun non-pendapatan tetap seperti sekarang. Namun demikian, pencapaian di tingkat nasional bisa mengelabui kita, khususnya di negara Indonesia yang demikian besar dan memiliki keragaman ini. Pemantauan terhadap tujuan dan target 2015 sehubungan dengan pengentasan kemiskinan di tingkat nasional tidak bisa dipisahkan dari masalah kesenjangan antardaerah. Pada dasarnya ada beberapa provinsi —dan banyak daerah di dalam provinsi— tidak akan mampu mencapai sekurang-kurangnya satu target dari MDGs (atau target serupa lainnya) pada tahun 2015. Hal ini bisa terbaca dalam bagan 1.24

24 Istilah yang digunakan di bagan 1 harus diintepretasikan sebagai berikut. Kemiskinan = setengah dari kemiskinan yang ekstrim pada tahun 2015; Keterlibatan Bersih (net enroll) = seluruh penduduk sudah mengecap pendidikan dasar pada 2015; Melek aksara = seluruh orang dewasa melek aksara pada 2015; IMR = penurunan tingkat mortalitas bayi sebesar 75 persen pada 2015; MMR = penurunan tingkat kematian ibu melahirkan sebesar 75 persen pada 2015; Air sehat = seluruh penduduk sudah memiliki akses ke air minum yang aman pada 2015; Perumahan = seluruh penduduk sudah memiliki akses rumah yang berlantai semen pada 2015. Tahun dasar dari masing-masing angka di atas adalah tahun 1993. 0 5 10 15 20 25

Poverty Net Enrol Literacy Gender IMR MMR Safewater Housing

Ju m la h Pr o vi ns i

Kemis- Pendaftaran Melek Jender IMR MMR Air Perumahan kinan Netto huruf bersih

(29)

Temuan bahwa keberagaman regional yang signifikan yang berkaitan dengan pencapaian target MDGs pada tahun 2015 harus mengilhami para pembuat kebijakan untuk mengambil tindakan yang memadai dan menggunakan hal itu sebagai dasar desentralisasi regional– ide yang diajukan pertama kali pada Laporan Pengembangan Manusia Nasional 2001.25 Dengan kata lain, alasan filosofis dari desentralisasi

haruslah mengacu pada pemahaman bahwa semua orang Indonesia, sebagai penduduk Indonesia, berhak atas standar sosial dan ekonomi minimum. Salah satu jalan untuk menetapkan standar sosial dan ekonomi minimum adalah dengan cara menghubungkannya dengan

MDGs. Dengan demikian, kita bisa mengajukan visi strategis pengentasan kemiskinan di mana pemerintah pusat, melalui kerjasama dengan mitra regional, menyusun kembali MDGs sehingga target dan sasaran pada tahun 2015 juga ditetapkan untuk wilayah kabupaten/ kotamadya. Perumusan kembali seperti itu harus bisa menjelaskan bahwa

MDGs merupakan standar minimum yang menjadi hak masyarakat

regional di Indonesia, dan pada saat yang sama memberikan peluang kepada daerah-daerah yang lebih dinamis dan memiliki jiwa kewirausahawan untuk mencapai hasil yang melebihi standar-standar tersebut. Dengan demikian, kerangka pencapaian yang lebih jauh bisa ditetapkan di mana kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan administrasi, program dan anggaran bisa disebarkan untuk menciptakan kesempatan kepada seluruh masyarakat daerah di Indonesia menikmati buah pertumbuhan ekonomi.

25 BPS/BAPPENAS/UNDP (2001) ‘Towards a new consensus: democracy and human development in Indonesia, Indonesia Human Development Report’, Jakarta: BPS-Statistik Indonesia, BAPPENAS dan UNDP

(30)
(31)

Memberdayakan Kaum Miskin:

Meningkatkan Tata Pemerintahan

yang Baik di Pasar Tenaga Kerja

Pendahuluan

2

Indonesia harus mempercepat pertumbuhannya untuk menciptakan kondisi-kondisi yang diperlukan untuk menurunkan tingkat dan untuk mencapai MDGs. Untuk mencapai pertumbuhan tersebut, perlu dibangun iklim investasi yang kuat. Dengan tanpa mengabaikan kemajuan yang dicapai sampai saat ini, harus diakui iklim investasi di Indonesia masih tetap lemah. Walaupun kondisi pasar finansial telah membaik begitu pesat, sejumlah pengamat melihat beberapa kasus hukum tingkat tinggi telah menjadi penyebab lambatnya laju reformasi di bidang hukum dan dunia peradilan. Pembentukan Komisi Anti-korupsi belum lama ini banyak disambut dengan gembira, namun hasilnya akan sangat bergantung pada penerapan dan kegiatan operasionalnya (hal yang sama juga berlaku bagi Komisi Pengawasan Persaingan Usaha-KPPU). Desentralisasi yang secara keseluruhan telah berlangsung relatif bagus, juga telah memunculkan masalah-masalah baik bagi perusahaan yang sudah ada maupun calon investor, dalam bentuk peraturan dan perpajakan baru yang saling bertentangan. Para investor juga telah menyuarakan keprihatinan mereka tentang peraturan ketenagakerjaan dan kecenderungan makin tingginya upah minimum. Serangan teroris baru-baru ini telah mempertinggi keprihatinan berkaitan dengan keamanan dalam negeri. Pembuat kebijakan harus berusaha sekeras mungkin untuk memperbaiki iklim investasi, meningkatkan daya saing Indonesia dan membangun prospek pertumbuhan untuk periode mendatang.

Dari sejarahnya, kekuatan ekonomi Indonesia yang besar telah membuat negara ini menjadi tujuan menarik bagi investasi asing: pasar domestik dan tenaga kerja yang besar, sumber daya alam yang berlimpah, infrastruktur yang kokoh, dan lokasi strategis di antara jalur perdagangan utama di dunia. Namun, aliran investasi asing langsung (foreign direct investment-FDI) ke Indonesia masih tetap lebih kecil dan hanya setengah dari kondisi sebelum krisis moneter. Investasi oleh investor Indonesia sendiri juga lesu, dengan pembentukan modal tetap kotor (gross fixed capital formation) secara signifikan tetap di bawah laju pada tahun 1997 (sumbangan FDI terhadap pembentukan GDP cenderung terus menurun dan pada tahun 2002 jatuh pada posisi 32,2% dari sebelumnya 40,4% pada tahun 2000) 1. Berdasarkan Inward FDI

Performance Index terbaru yang dirilis UNCTAD,2 Indonesia menempati

ranking ke-138 (dari 196 negara). Dalam soal daya saing, peringkat

1 UNCTAD World Investment Report, 2003

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan latar belakang yang telah dirumuskan diatas, tulisan ini dibuat dengan tujuan agar mengetahui pengaturan mekanismen penebangan pohon perindang di Kota

Dalam tahun kewangan berakhir 30 Jun 2006 (FY2006), BIMB Holdings Berhad (BHB atau Kumpulan) telah melalui satu lagi tempoh yang mencabar.Walaupun iklim ekonomi dan perniagaan

Uji stabilitas sabun wajah dilakukan dengan mendiamkan sediaan selama 3 bulan pada suhu ruang dengan melakukan pengamatan fisik tiap bulannya yang meliputi organoleptis,

Kondisi fisik, kimia, dan biologis perairan di Kawasan Wisata Lovina relatif masih mendukung pertumbuhan dan perkembangan planula karang untuk dapat menjadi

Di dalam inform concent tercantumkan waktu penelitian yang akan dilakukan, topik yang akan dibahas, keuntungan dalam melakukan penelitian, kerahasiaan identitas

patogen diambil dengan menggunakan cork borer ditumbuhkan bersama pada media yang sama dengan jarak antara bakteri endofit dengan jamur patogen adalah 3 cm

BAB V PENUTUP A. 87 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP.. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui supremasi hukum adat kajang dan keterlibatan pemerintah dalam

Variasi pengaruh kelima faktor tersebut terhadap keputusan eksportir melakukan ekspor ditunjukkan oleh nilai R 2 sebesar 0,683, yang menunjukkan bahwa 68,3 persen variasi