• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fica Mahardicasari. S.Psi

Saat asyik bercanda tawa Ayah bertanya pada mereka. “Andi, Nino. Bagaimana pelajaran kalian disekolah, apakah baik-baik saja?”

“Siap, Ayah. Pelajaran kami baik-baik saja dan nilai kami juga bagus.”

“Karena kalian rajin belajar, rajin ibadah dan rajin mengaji, maka Ayah akan mengajak kalian berjalan jalan dan kalian boleh minta apa saja yang kalian inginkan.”

Dengan mendekat pada Ayah hati mereka senang sekali. “Sungguh, Ayah. Kami boleh minta apa saja?” tanya mereka. “Ya,” kata Ayah, “Tetapi dengan syarat harus tetap rajin belajar, beribadah dan mengaji.”

“Siap, Ayah. Kami akan bertambah rajin,” kata Nino dan Andi dengan mengangkat tangan hormat pada Ayah. Ibu ikut tersenyum melihat kedua anaknya.

Tibalah hari Minggu yang cerah. Ketika ayam jantan ber-kokok, Andi dan Nino sudah bangun salat subuh dan membantu Ibunya. Setelah itu mereka berolah raga pagi bersama sama.

“Andi, Nino. Hari ini, hari Minggu seperti janji Ayah. Kita akan berjalan-jalan bersama,” kata Ayah.

Mendengar hal itu mereka bergegas mandi dan menuju ruang makan untuk sarapan dan minum susu. Sambil celingak-celinguk

mereka berada di meja makan untuk sarapan dan minum susu. “Ibu...! Apakah Ayah sudah mandi dan sudah siap untuk pergi bersama kami?”

“Memangnya mau kemana kok menanyakan Ayah seperti itu?”

“Hari ini, kan hari Minggu, Bu. Dan Ayah sudah berjanji mau mengajak kami berjalan-jalan.”

“Apa hari ini, hari Minggu, Nak?” kata Ibu sambil tersenyum menggoda kedua anaknya.

“Ah, Ibu.Masak sampai lupa hari.”

Mereka pun tertawa. Ayah yang sudah rapi dan wangi meng-hampiri mereka.

“Ada apa ini, kok sudah rapi dan wangi?” Ayah tertawa sama Ibu. Mereka menggoda kedua anaknya.

“Ini, Ayah.Ibu lupa kalau hari ini, hari Minggu.”

“Looo, memangnya ini hari lIbur?”tanya Ayah.” haa... haaa... Ayah juga lupa hari rupanya,” sambil tertawa Ayah menggoda anak-anaknya lagi.

Selesai sarapan, Ayah, Andi dan Nino bergegas pergi berjalan-jalan. Ibu mereka tidak ikut dikarenakan ada keperluan sendiri bersama Ibu-Ibu kampung.

“Hati hati, Ayah, Nak.Jika sudah selesai cepat pulang.” “Siap, Ibu. Jangan khawatir, kan ada Ayah.”

Perjalanan ditempuh hampir satu jam di dalam mobil mereka. “Andi menginginkan apa, Nak?”

“Ayah, Andi ingin dibelikan sepatu bola agar bisa main sepak bola bersama teman-teman di lapangan.”

“Kalau Nino ingin apa, Nak.”

“Nino ingin sepatu roda agar bisa bermain bersama teman-teman juga.”

“Oke, akan Ayah penuhi permintaan kalian. Tetapi, ingat pesan Ayah, harus tetap rajin beribadah, rajin belajar dan rajin mengaji.”

“Siap, Ayah. Mereka bersama-sama menjawabnya.” Tibalah mereka di sebuah toko olahraga bersama Ayahnya. Andi sibuk berada di sepatu bola dan Nino berada di sepatu roda. Mereka sibuk sendiri memilih milih mana yang akan mereka beli.

“Apakah kalian sudah menemukan apa yang kalian inginkan?” “Belum,Yah. Kami bingung. Semua bagus-bagus.”

“Ya, memang semua bagus, tetapi kita tidak mungkin mem-beli semuanya, kan. Kalian harus memilihnya.”

“Ya, Ayah.Kami tahu.”

Tak terasa hampir satu jam mereka memilih dan menimang-nimang, mana yang akan mereka pilih. Hingga tak terasa mereka merasa haus sekali.

“Apakah kalian merasa haus? Siapa yang mau beli es krim?” tanya Ayah.

“Mau, mau Ayah. Kita memang sudah haus.”

“Kalau begitu tentukan mana yang kalian pilih. Dan, ayo kita cari toko es krimnya.” Mereka pun segera memilih. Andi memilih sepatu bola warna orange dan Nino memilih sepatu roda warna biru, sedangkan Ayah membeli sepatu olahraga biasa.

“Ayah kami sudah selesai.Ayo, kita minum es krim.” Mereka pun bergegas ke kassa membayar semuanya. “Wow, es krimnya banyak, pasti rasanya juga enak semua, ya, Ayah.”

Saat mereka sudah masuk di toko es krim dan mereka me-lihat berbagai macam contoh es krim dengan berbagai macam bentuk, warna dan rasa.

“Kalian cari tempat duduk dan pilih mana yang akan kalian suka.”

Sambil melihat lihat gambar di dalam kertas mereka merasa bingung lagi seperti saat di toko olahraga tadi.

“Andi, kamu mau pilih rasa apa?” tanya Nino sambil berbisik bisik.

“Aku mau rasa strowberry vanila saja, No.”

“Waduh, aku bingung mau pilih rasa apa, ya? Semua enakkkkkkk, hmmmmm nyamiiiiiiii!”

“Ayah, aku pilih rasa strowberry vanila saja,” kata Andi. “Dan kamu Nino, mau pesan yang rasa apa?”

“Nino rasa coklat saja, Ayah.” Nino sambil mengedip-ngedipkan matanya.

“Baik. Kalian tunggu di sini, ya. Ayah akan memesankan apa yang kalian inginkan,” mereka berdua berbisik bisik.

“Kalau melihat gambarnya yang bagus pasti rasanya juga uenakkkkk, ya.”

“Ayooo, cepat dimakan dan kita akan ke kebun binatang. Tetapi sebelum itu kita mencari masjid dulu untuk melaksanakan ibadah salat dhuhur.”

Dengan cepatnya mereka menghabiskan es krimnya dan bergegas ke masjid.

Kebun binatang sudah menanti mereka di siang yang terik. Ayah bergegas mencari tiket masuk.

“Asyik,ya, No. Kita hari ini diajak Ayah jalan-jalan.” “Iya, Ndi. Kita harus lebih rajin lagi agar diajak Ayah jalan jalan lagi.”

Saat Ayah datang membawa tiket masuk, mereka bergegas meuju antrian masuk ke kebun binatang.

Semua hewan sudah mereka lihat dengan sangat senang. Mereka sudah naik perahu, muter-muter keliling kebun binatang. Tak terasa hari berganti sore. Mereka pun bergegas pulang bersama Ayahnya.

“Ayah, ayo kita pulang. Kita sudah capek dan ingat pesan Ibu. Kita harus cepat pulang.”

“Iya, Nak. Hari juga sudah sore matahari sudah tidak terik lagi. Tapi, kita mencari masjid dahulu, ya.”

Matahari hampir tenggelam mereka sudah tiba di rumah disambut Ibunya.

“Bagaimana tadi jalan-jalannya Andi, Nino?”tanya Ibu. “Pokoknya menyenangkan sekali, Bu. Kami merasa sangat puas diajak jalan-jalan bersama Ayah hari ini.”

Mereka bergegas mandi sambil tersenyum.

Hari berganti hari, Andi sibuk dengan sepatu bolanya, Nino asyik dengan sepatu rodanya. Selepas sore tiba, mereka selalu saja pergi asyik bermain dengan teman temannya. Andi dan Nino sampai lupa waktu salat. Bahkan pulang selalu selepas malam. Bila Ayah menyuruhnya beribadah bersama mereka me-nolaknya. Saat tiba waktu belajar mereka tertidur lelap. Setiap hari itu yang mereka lakukan. Ayah dan Ibu hanya terdiam me-lihat hal itu.

“Apa Ayah yang salah ya, Bu. Membelikan mereka sepatu? Pada hal maksud Ayah agar mereka bertambah rajin.”

“Iya, Ayah tidak salah. Itu sebenarnya bagus untuk mendorong mereka kearah yang lebih baik.”

Rumah yang tadi ramai penuh canda tawa berubah menjadi sepi.

Saat tiba waktu penerimaan rapor. Andi dan Nino dipanggil Ibu Guru dihadapan teman temannya.

“Kenapa nilai kalian turun drastis, ada apa dengan kalian yang dulu rajin, nilai bagus dan selalu menjadi juara kelas?”

“Iya, Bu Guru. Kami terlalu banyak main di luar dan tidak pernah mendengar Ayah dan Ibu. Sekarang kami sadar, Bu. Kami sudah melupakan janji kami pada Ayah untuk rajin.”

“Lalu, apa yang akan kalian lakukan setelah melihat nilai kalian?”

“Kami akan selalu rajin, Bu Guru.”

Ayah Andi dan Nino datang untuk mengambil rapport. Betapa kaget Ayahnya melihat nilai nilainya. Tetapi, Ayahnya tidak marah kepada Andi dan Nino.

“Ayo, kita pulang Andi, Nino,” ajak Ayah.

Sampailah mereka dirumah dan bertemu dengan Ibunya. “Gimana, Yah? Nilai-nilai Andi dan Nino? Bagus-bagus kok, Bu.”

Tanpa mengecewakan Ibunya, Ayah menjawab. Melihat jawaban Ayah Andi dan Nino bergegas masuk kamar.

Sore hari ketika teman-temannya mengajak bermain di luar, Andi dan Nino menolaknya.

“Tidak, kami tidak ingin bermain dulu.”

Hari-hari berikutnya pun jawaban mereka selalu sama ke-pada teman-temannya. Sampai akhirnya temannya menjauhi mereka dan tidak mau main lagi. Andi dan Nino hanya mengu-rung diri di kamar menyesali perbuatannya. Melihat hal itu Ayah dan Ibunya merasa sedih karena anak-anaknya dijauhi teman-temannya.

Mereka tidak menjadi juara lagi. Pada saat maghrib tiba, Ayahnya memanggil untuk beribadah. Andi dan Nino segera datang untuk beribadah bersama.

“Nak, Ayah kan sudah pernah berkata, kalian akan Ayah belikan apa saja, asalkan tetap rajin beribadah, rajin belajar dan rajin mengaji. Tetapi, apa yang terjadi setelah kalian mempunyai barang itu malah tidak mau beribadah, belajar menjadi malas dan tidak mau mengaji. Sekarang nilai kalian jelek tidak menjadi juara dan bahkan dijauhi teman-teman. Itulah akibatnya sekarang kalau kalian tidak mendengarkan Ayah dan Ibu.”

Sambil manggut manggut Andi dan Nino berkata, “Iya, Ayah, Ibu kami salah. Kami minta maaf dan tidak akan mengulangi lagi. Kami akan tetap rajin belajar, beribadah dan mengaji.”

“Kalau kalian rajin, pandai, Ayah akan membelikan lagi yang kalian suka.”

Sambil memeluk Ayahnya mereka berkata, “Benar, Ayah? Horeeeee...!”

Pada suatu hari, Pak Gethuk menghadiri acara silaturahmi keluarga Trah Umbi Raharjo. Pada acara itu, berkumpul seluruh keluarga Pak Gethuk. Acara silaturahmi berlangsung dengan hikmat, penuh rasa kekeluargaan, dan rasa kegembiraan.

Mereka saling beramah tamah antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lainnya. Mereka saling bercerita tentang keluarga masing-masing. Mereka bersenda- gurau, bergembira bersama, serta saling melepas kerinduan masing-masing setelah lama tidak saling berjumpa atau bersilaturahmi. Saat itu, tiba-tiba, Si Utri meludah di hadapan Bu Lik Waluh.

“Heh, kamu Utri! Kami gimana sih, udah gede tak tahu sopan-santun, ya? Kamu meludah di depan orang tua seenaknya saja!” bentak Bu Lik Waluh kepada si Utri.

“Eh ...ehm... e ... anu, Bu Lik ... ma ..., Bu Lik,” kata Utri dengan ketakutan.

“Ma ..., ma apa?” bentak Bu Waluh lagi. “Maaf, Bu Lik ...!” pintanya Si Utri.

“Kamu nggak pernah diajari sapon santun sama Ibu Bapakmu, ya? Meludah sembarangan aja kamu!” imbuh Bu Waluh.

Kemudian sambil masih marah Bu Waluh berjalan ke arah Pak Gethuk dan Bu Gethuk. Di dalam hati, Bu Waluh ingin memberi palajaran.

Meludah

Haryanti

“He, Pak Gethuk!” panggil Bu Waluh kepada Pak Gethuk, “Ajari anakmu sopan-santun. Tuh, anakmu, dengan enaknya me-ludah di depanku! Anakmu itu telah menghina saya. Masak orang tua kok diludahi? Dasar anak nakal tak tahu sopan santun!” teriak Bu Waluh.

“Astaghfirullahal ‘adhim. Ya Allah Ya Rabbi, ampunilah saya dan anak saya Ya Allah,” Pak Gethuk mengucapkan istighfar, “Ya, Bu Lik, maafkan kesalahan saya dan anak saya, Bu Lik,” jawab Pak Gethuk.

“Ajari anak itu, bagaimanaan dan di mana seharusnya me-ludah yang benar. Tidak asal meme-ludah aja!” kata Bu Waluh.

“Ya, Bu Lik. Sekali lagi maafkan anak saya, Utri, Bu Lik. Nanti saya akan memberi tahu si Utri agar bisa bersikap sopan ter-hadap orang tua,” jawab Pak Gethuk.

Pak Gethuk dan Bu Gethuk memang merasa sangat malu, merasa seperti tertampar muka Pak Gethuk dan Bu Gethuk di-marahi oleh Bu Waluh. Semua orang yang hadir mengarahkan pandangannya tertuju kepada si Utri. Si Utri merasa takut, malu, dan sedih. Si Utri menangis dan menyesali apa yang telah terjadi. Pak Gethuk dan Bu Gethuk merasa malu dan sedih juga me-lihat kejadian ini. Namun, sebagai orang tua mereka tetap sabar dan tidak ikut terpancing dengan kemarahan Bu Waluh. Kemudian Pak Gethuk dan Bu Gethuk mengajak Si Utri untuk menjauhi acara tersebut, agar si Utri merasa tenang hati dan pikirannya.

“Utri!” panggil Pak Gethuk dengan lembut,”Bapak tidak marah kepadamu, hanya saya mau bertanya kepadamu, kenapa meludah di depan Bu Lik kamu?” tanya Pak Gethuk.

Si Utri tidak menjawab. Si Utri masih terisak-isak menangis. Wajahnya ditutupi dengan kedua tangannya. Pelan-pelan si Utri mulai diam dan sudah agak sedikit tenang.

“Jadi, lain kali kamu jangan meludah di sembarang tempat, apa lagi meludah di depan orang tua. Meludah di depan orang tua itu tidak sopan namanya. Itu perbuatan yang kurang terpuji,” kata Pak Gethuk dengan lemah lembut.

“Ya, Ayah. Maafkan, Utri, Ayah! Utri benar-benar tidak tahu dan tidak sengaja. Tadi saya makan kacang, namun rupanya ada kacang yang rasanya pahit. Jadi, tanpa sengaja saya langsung meludah begitu saja,” kata si Utri.

“Sekali lagi saya mohon maaf. Saya berjanji tidak akan meng-ulangi lagi. Saya akan berhati-hati dan akan selalu mengingat kejadian ini. Saya berjanji ayah. Ayah mau kan memaafkan saya?” pinta si Utri.

“Ya, tentu saja, Utri. Kamu adalah anak yang baik dan pin-tar!” hibur Pak Gethuk.

“Ayahmu benar, Utri,” imbuh Bu Gethuk, “Utri adalah anak Ibu yang paling cantik dan pintar. Maka jangan bersedih, ya!” kata Bu Gethuk lagi.

Dengan penuh haru Pak Gethuk dan Bu Gethuk mendengar penjelasan si Utri atas kejadian itu. Si Utri memeluk Pak Gethuk dan Bu Gethuk bergantian.

“Okey, mudah-mudahan ini semua menjadi pelajaran bagi kita. Yuk kita kembali ke acara di sana dan minta maaf kepada Bu Lik kamu,” ajak Bu Gethuk.

Terdengar suara gemeritik mengenai genting rumah keluar-ga Pak Gethuk. Bu Gethuk merasa heran dan bingung. Dia du-duk sambil menatap ke arah genteng rumahnya. Dalam hatinya bertanya-tanya, sebenarnya apa yang telah terjadi di luar sana. Tendengar suara motor di jalan sambil membunyikan klakson. Bu Gethuk membuka pintu untuk melihat apa yang sedang ter-jadi di luar. Dilihatnya di jalan ternyata banyak kendaraan yang lalu lalang.

“Hah, ada apa ini? Apa yang terjadi, Pak?” tanya Bu Gethuk. “Gunung Merapi meletus, Bu!”

“Astaghfirullahal ‘adlim..., Ya Allah, Gunung Merapi me-letus?” tanya Bu Gethuk seolah tidak percaya.

Terlihat debu vulkanik jatuh disertai kerikil kecil. Debu itu mengenai wajah Bu Gethuk. Bu Gethuk lalu menutupi wajah dan hidungnya dengan tangan supaya tidak kena debu itu. Bu Gethuk memberi bantuan air untuk mencuci wajah orang itu. Setelah selesai membersihkan diri mereka melanjutkan perjalanannya ke tempat saudara.

“Pak, bangun, Pak! Gunung Merapi meletus. Banyak orang di luar, Pak!” teriak Bu Gethuk.

“Haa? Gunung meletus? Yang benar aja, Bu?” tanya Pak Gethuk.