• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Zerrin Bunda akan senang jika Zerrin minta tolongnya tidak berteriak seperti tadi,” kata Bunda zerrin.

Mbak Hani datang mengampiri Zerrin dengan membawa handuk dan baju ganti. Tidak lupa bedak dan minyak kayu putihnya.

“Ayo Zerrin ke sini,” kata Mbak Hani

Zerrin datang dan Mbak Hani membalut tubuh Zerrin dengan handuk, lalu menaburi bedak di badannya Zerrin.

“Zerrin sekarang coba belajar pakai baju sendiri,” kata Mbak Hani kepada Zerrin

“Tidak bisa, Mbak, Dik Zerrin belum bisa pakai baju sendiri,” kata Zerrin kepada Mbak Hani dengan suara agak keras setengah berteriak.

Mendengar suara Zerrin agak keras, Bundanya datang dan mengambil alih memakaikan baju Zerrin. Pertama yang dipakaikan kaos dalam, celana. Celana panjang Zerrin disuruh memakai sendiri.

Zerrin Sayang Sama

Mbak Hani

Roidah

“Bunda, ternyata mudah, ya,” kata Zerrin kepada Bundanya. “Sekarang coba pakai bajunya,” kata Bundanya Zerrin. Zerrin belajar memakai baju sendiri dengan dipandu Bunda-nya. Selesai berpakaian Zerrin bermain bersama teman-temannya di lapangan di depan rumahnya.

Udara di luar rumah terang. Anak-anak di depan rumah Zerrin bermain sepeda. Zerrin mengeluarkan sepeda dan berkumpul dengan mereka. Anak-anak bersepeda di lapangan. Jika kelelah-an bersepeda kelelah-anak-kelelah-anak bermain masak-masakkelelah-an.

Setelah bermain, pukul 5 sore Zerrin masuk rumah lagi. Mbak Hani masih di rumah dan belum pulang, karena mbak Hani membantu Bunda Zerrin untuk bersih-bersih rumah dan menyetrika. Zerrin hendak bermain masak-masakan, namun alat permainan masakannya dicari tidak ditemukan Zerrin. Lalu Zerrin berteriak-teriak mencari alat mainnya.

“Mbak Haniiii...mana mainan Dik Zerrin yang ada di sini tadi,” kata Zerrin sambil berteriak.

“Oh, ya, Dik Zerrin, tadi Mbak Hani taruh di ruang mainan,” kata mbak Hani.

“Lain kali jangan ditaruh di sana Mbak Hani, Dikk Zerrin masih mau main,” kata Zerrin dengan suara agak tinggi.

“Sekarang ambilkan Mbak Hani mainan, Dik Zerrin,” kata Zerrin

“Sayangku, cintaku anakku yang cantik jelita. Zerrin pasti bisa mengambil mainan itu, dan lagi kalau bicara dengan Mbak Hani tidak boleh berteriak-teriak dengan suara seperti tadi,” kata Bunda Zerrin

“Kenapa tidak boleh, Bunda? di TV Zerrin pernah lihat anak bicara dengan pembantunya sambil berteriak-teriak,” kata Zerrin. “Oh, anakku, Sayang, itu yang di TV tidak boleh ditiru, Nak. Makanya Bunda tidak boleh Zerrin lihat TV terutama sinetron,” kata Bunda Zerrin

“Na, Mbak Hani, jika Bunda tidak ada jangan lihat TV ter-utama Sinetron, Bunda minta tolong kita sama-sama mendidik

Zerrin agar dia jadi anak yang baik, santun, bicara sopan sama siapa saja,” kata Bunda Zerri pada Mbak Hani

Bunda Zerrin Berfikir ternyata anaknya meniru-niru bicara yang ada di TV. Bunda Zerrin berpikir ternyata pengaruh TV sangat cepat sekali berpengaruh pada anaknya pada hal Bunda Zerrin tidak pernah melihat sinetron, ketika anaknya ada di rumah.

Magrib telah tiba Bunda berwudhu dan mengajak dek Zerrin berwudhu. Ayah Zerrin belum pulang dari kerja. Mbak Hani masih menyetrika. Bunda mengajak mbak Hani sholat magrib dulu.

“Mbak Hani, ayo kita salat berjamaah dulu,” Kata Bunda Zerrin.

“ Ya, Bun,” kata Mbak Hani dan mencabut kabel setrika. Mereka salat berjamaah bersama, dan yang menjadi imam Bundanya Zerrin. Setelah salat jamaah, Zerrin disuruh minta maaf pada Mbak Hani dan berjanji jika minta sesuatu tidak dengan suara tinggi dan keras.

“Mbak Hani, Zerrin minta maaf. ya. Tadi Zerrin bersuara keras sama Mbak Hani dan Zerrin berjanji tidak akan mungulangi lagi,” kata Zerrin

“Iya, Dik Zerrin. Mbak Hani sudah maafkan,” kata Mbak Hani

“Terima kasih Mbak Hani, Dik Zerrin sayang sama Mbak Hani,” kata Zerrin sambil memeluk Mbak Hani.

Setelah selesai salat, mereka makan bersama-sama dalam satu meja makan. Bunda Zerrin tidak pernah membedakan antara anak dan pembantunya. Makan apa yang ada dimakan bersama. Karena Mbak Hani sudah dianggap anggota keluarga-nya yang membantu pekerjaan rumahkeluarga-nya. Jika tidak ada Mbak Hani, Bunda Zerrin akan kewalahan dalam mengerjakannya. Untung ada Mbak Hani. Oleh karena itu, Zerrin harus meng-hormati Mbak Hani.

Siang itu, Bu Naryo sedang membaca buku. Ia memang punya hobi membaca buku. Sebenarya ia sudah sangat lelah. Pagi hari ia bekerja. Sepulang dari kerja, ia melakukan pekerjaan rumah. “Bu Naryo, jika mengantuk jangan dipaksakan membacanya. Istirahatlah. Nanti kamu sakit jika tidak istirahat,” kata Bu Tuki-man mengingatkan ketika kebetulan lewat di depan rumahnya. Bu Tukiman kemudian berlalu. Ia pulang meleweti depan rumah Pak Yoso. Tetapi, alangkah terkejutnya karena iia melihat tubuh Pak Yoso oleng.

“Oh sepertinya Pak Yoso sakit dan kurang istirahat,” kata Bu Tukiman.

“Iya, Bu. Aku agak pusing,” kata Pak Yoso.

“Ya istirahatlah Pak Yoso, jangan capek-capek,” kata Bu Tukiman.

Setelah bertemu dengan Pak Yoso tiba-tiba Bu Nardi keluar rumahnya.

“Bu Tukiman kok njenengan suka sekali menasihati para penduduk, mereka juga sudah tahu bagaimana menjaga kesehat-an,” kata Bu Nardi.

Namun, Bu Tukiman tetap saja melakukan kebiasaannya menasihati para penduduk jika ada yag sakit.

Pagi itu dia keluar rumah dan terkejut melihat Bu Sugeng keluar dari rumah dengan wajah yang pucat dan lemas. Dia langsung menghubungi Pak RT. Dengan bantuan para tetangga Bu Tukiman membawa Bu Sugeng. Bu Sugeng diperiksa oleh dokter dan disarankan untuk menginap di rumah sakit. Akhirnya, Bu Tukiman menunggu Bu Sugeng di rumah sakit, karena Bu Sugeng tidak mempunyai keluarga lagi. Anak-anak Bu Sugeng jauh dan Suaminya sudah meninggal. Bu Tukiman ikhlas dan rela merawat dan menemani Bu Sugeng di rumah sakit. Bu Sugeg dirawat di rumah sakit sampai seminggu, tetapi Bu Tukiman tetap dengan ikhlas menemani Bu Sugeng. Namun, dia heran sama anak-anaknya Bu Sugeng, kok sudah lama ibu mereka sakit tidak ada satu orangpun yang menjenguk dan datang merawat ibunya.

“Bu Sugeng, anak-anak sudah diberitahu bahwa njenengan

sakit?” tanya Bu Tukiman.

“Oh, sudah, Bu. Tetapi, si Ani tidak bisa pulang karena kerja-nya tidak dapat ditinggal, dan si Syafiq juga begitu tidak bisa pulang. Terkadang aku sedih karena tinggal sendiri di rumah. Untung ada njenengan yang pas lewat, kalau tidak wah aku tidak tau harus berbuat apa. Terima kasih sekali atas bantuan njenengan

kepadaku, semoga Allah membalas kebaikan jenengan,” begitu kata Bu Sugeng.

“Saya tidak apa-apa, Bu Sugeng, sudah menjadi kebiasaan saya seperti itu, malah ada yang tidak senang ketika saya ber-tanya kepada tetangga,” kata Bu Tukiman.

Setelah Bu Sugeng pulang dari rumah sakit, Bu Tukiman tiap hari ke rumah Bu Sugeng membantu menyiapkan masakan dan mengurus rumah tangga. Walau Bu Tukiman juga repot dengan rumahnya sendiri. Karena sudah menjadi sifatnya suka menolong para tetangga yang sedang kesusahan.

“Assalamualaikum,” kata Ani.

“Waalaikum Salam Wr.Wb...,” jawab Bu Tukiman. “Oh Ani pulang, Bu,” kata Bu Tukiman.

Ani menemui bundanya yang sedang istirahat di kamar tidur, sambil menangis dan memeluk bundanya dia menangis.

“Bunda, maafkan Ani, bertepatan Bunda sakit, Ani tidak dapat datang menjenguk,” kata Ani tersedu-sedu.

“Bunda bagaimana jika Bunda ikut Ani saja ke Jakarta, biar Ani bisa merawat Bunda bila Bunda sakit,” kata Ani.

“Sudahlah Ani, Bunda sayang padamu, Bunda di sini saja,” kata Bu Sugeng.

“Di sini juga para tetangga baik-baik, tuh Bu Tukiman sejak Bunda sakit dia datang merawat tanpa Bunda minta,” kata Bu Sugeng.

Mendengar keterangan Bundanya, Ani udah agak tenang, karena sejak Bundanya dirawat di rumah sakit Ani sering gelisah memikirkan Bundanya, sedang dia tidak dapat cuti. Rasanya dia

ingin berhenti kerja saja dan pindah ke Yogya untuk merawat Bundanya yang sudah tua dan sering sakit-sakitan. Hal ini yang membuat dia sering gelisah, Bundanya tidak mau diajak pindah ke Jakarta.

Ani sudah tiga hari di Yogya merawat Bundanya, esok hari-nya dia harus pulang ke Jakarta. Namun, sebelum pulang dia menemuai Bu Tukiman untuk meminta tolong menjaga Bundanya dan menemani Bundanya setiap hari.

“Bu Tukiman, bagaimana jika njenengan dan keluarga pindah saja ke rumah Bunda, saya bisa tenang jika Bunda ada temannya setiap hari,” kata Ani.

“Dik Ani, saya belum bisa memutuskan, karena saya juga harus berbicara dengan suami dan anak -anak saya dulu,” kata Bu Tukiman.

“ Iya, Bu,” kata Ani.

“ Oh ya, Bu, saya mau pulang ke Jakarta nanti sore. Jawaban ibu saya tunggu,” kata Ani kepada Bu Tukiman.

Setelah Ani pulang, Bu Tukiman tiap hari merawat Bu Sugeng tanpa lelah. Akhirnya, Bu Tukiman dan suaminya pindah ke rumah Bu Sugeng. Namun, anak-anaknya tetap tinggal di rumah mereka. Ani dan Syafiq senang sekali, karena Bundaya sudah ada yang merawat. Namun, Ani tetap mengundurkan diri dari perusahaan dan dia pulang ke Yogya untuk berbakti kepada orang tuanya.

Hiduplah satu keluarga yang sederhana dengan sembilan orang anak. Ayah mereka seorang nelayan dan Ibunya pengrajin songket. Namun, mereka hidup dengan tenang. Anak pertama mereka yang bernama Buyung sangatlah ingin maju, dan mem-punyai cita-cita yang sangat tinggi. Sejak kecil dia bercerita kepada Ibunya, jika sudah dewasa, ia ingin mempunyai ber-macam-macam ternak. Ada ternak ayam, kambing, kuda, dan sebagainya. Buyung pun sejak dari kecil selalu memimimpikan menjadi orang yang sukses.

Buyung setiap hari melamun dan berpikir bagaimana caranya dia mempunyai uang yang banyak dan berpendidikan tinggi, padahal jika melihat pekerjaan orang tuanya dia merasa tidak mungkin untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Dia sekolah SD, SMP yang ada di kampungnya. Kemudian melanjutkan SMA di daerah lain di kota kabupaten.

Pagi-pagi, Buyung bangun dan salat subuh. Lalu siap-siap berangkat sekolah. Jarak sekolah dengan rumah tempat tinggal-nya jauh, lebih kurang 1 jam naik angkutan umum.

Buyung tidak patah semangat. Setiap berangkat sekolah Buyung tidak lupa membawa bekal dan catetan uang untuk belanja jika pulang sekolah nanti. Sejak masuk SMA, Buyung membuka warung untuk berjualan makanan kecil dan alat-alat sekolah.