• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dyah Kusumaning Harini

kembali mengulangi permintaannya. Galang tetap tidak beranjak dari lantai kamarnya. Akhirnya, Ibu sendiri yang membuka pintu untuk Ayah.

“Galang, lihat ini,” ucap Ayah sambil menunjukkan kantong plastik yang ditentengnya.

Galang hanya menoleh sesaat, lalu melanjutkan permain-annya.

“Ayah bawa martabak manis kesukaanmu, lho,” kata Ayah sambil mendekati Galang. Galang tetap tidak bergeming, meski-pun Ayah mencoba membujuknya untuk mencicipi makanan yang dibawanya.

“Aku bosan makan itu! Sekali-sekali beli pizza dong, Yah. Jangan makanan desa terus,” cemooh Galang.

Galang memang sering bersikap kasar pada Ayah dan Ibu-nya. Ia juga ingin selalu dituruti permintaanIbu-nya. Mungkin karena ia merasa jadi anak satu-satunya yang menjadi tumpuan kasih sayang kedua orang tuanya.

Pada suatu hari, datanglah penghuni baru di sebelah rumah-nya. Mereka memiliki anak yang sebaya dengan Galang. Kata Ibu, Tanto nama anak itu, akan bersekolah di sekolah Galang juga.

Sore itu terdengar pintu pagar diketuk. Ternyata Tanto yang datang, ingin berkenalan dan mengajak Galang bermain.

“Galaaaang...dicari Tanto,” panggil Ibu.

Tapi tidak terdengar jawaban. Ibu melangkah ke kamar dan menemukan Galang sedang berbaring di kasur sambil bermain game. Ibu tahu sebenarnya Galang mendengar, tapi ia enggan menyahut panggilan Ibu.

“Galang, mainlah dengan Tanto, supaya kalian saling me-ngenal. Nanti kan dia satu kelas denganmu.” bujuk Ibu.

“Nggak ahh, aku kan sudah punya teman main di sekolah,” jawab Galang tanpa menoleh sedikit pun.

Setelah beberapa saat membujuk, akhirnya Ibu berhasil me-mbuat Galang keluar menemui Tanto. Meskipun enggan, Galang bersedia mengajak Tanto bermain bersamanya.

Hari demi hari berlalu. Kedua anak itu semakin akrab, karena ternyata mereka memiliki minat permainan yang sama. Galang suka main mobil-mobilan, Tanto juga suka. Galang suka bermain game, Tanto juga menyukainya, meskipun ia tidak punya tablet seperti yang Galang miliki. Saat di sekolah mereka juga sering bermain bersama, bahkan duduk di bangku yang sama.

Hari itu sekolah libur, Galang sangat senang. Itu artinya ia bisa bermain sepuasnya. Tanto mengajak Galang ke rumahnya. Ketika sedang asyik bermain, tiba-tiba Nenek Tanto me-manggil, “Tanto, tolong angkati jemuran!”

Tanto langsung menghentikan permainannya dan beranjak ke halaman. Galang diam memperhatikan. Di dalam hati ber-tanya, kenapa Tanto mau disuruh Neneknya.

Setelah selesai, Tanto kembali bermain. Baru beberapa saat, Nenek memanggil lagi.

“Tantooo! Belikan kecap di warung sebelah, ya.”

Tanto masuk ke dalam untuk mengambil uang, mengajak Galang menemaninya ke warung.

Galang sebenarnya malas, siang yang terik membuatnya enggan ke luar rumah. Dengan terpaksa ia mengikuti langkah Tanto dengan gontai, wajahnya tampak kesal.

“Kok kamu mau sih disuruh-suruh? Mengganggu keasyikan main aja,” Galang menggerutu.

“Kan kasihan Nenek,” jawab Tanto.

“Nenekmu kan bisa beli sendiri, kalau nggak bisa nyuruh Ibumu. Lagi main kok disuruh-suruh,” lanjut Galang dengan gusar.

Sesaat Tanto termenung, raut wajahnya tampak sedih. Sambil menghela nafas ia berkata, “Ibuku meninggal saat me-lahirkanku, jadi sejak kecil aku tinggal bersama Nenek.”

Galang tercekat, ia tidak menduga jawaban Tanto. Dengan terbata-bata ia bertanya, “Mmmhh.. Kaa.. Kalau Ayahmu?”

Tanto menjelaskan bahwa Ayahnya kerja di Kalimantan, mereka hanya bisa bertemu saat lebaran.

Galang mendadak merasa sedih, tiba-tiba ia ingat akan Ayah dan Ibunya. Setiap hari mereka selalu bersamanya dan melimpah-kan kasih sayang sepenuhnya. Namun, Galang sering bersikap kasar dan tidak sopan pada keduanya.

Galang mempercepat langkahnya, ia ingin segera kembali ke rumah dan bertemu Ayah dan Ibunya. Ia merasa bersalah dan ingin meminta maaf atas sikapnya selama ini. Ia telah menyia-nyiakan kasih sayang kedua orang tuanya.

Sampai di rumah Galang langsung mencari Ibunya dan memeluk dengan erat,

“Maaf, Ibu. Aku sering marah pada Ayah dan Ibu. Aku berusaha akan jadi anak baik.”

Ibu bingung melihat perubahan sikap Galang.

Tanpa banyak bertanya, Ibu membalas memeluk dan meng-usap kepala Galang dengan sayang, “Tidak apa-apa Galang, Ayah dan Ibu tetap sayang padamu.”

Galang bersyukur, hari itu Tuhan memberikan pelajaran yang berharga. Untuk menjaga dan mensyukuri apa yang di-milikinya, yaitu kebersamaan dan kasih sayang dari kedua orangtuanya.

Kira sangat senang, karena dia punya Adik baru. Adik baru yang kecil dan lucu, namanya Aslan. Setiap hari Kira selalu ajaknya bermain dan membaca cerita. Adik Aslan bisa meng-oceh, tapi Kira tidak tahu apa arti ocehannya. Aslan juga selalu tertawa setiap Kira mengajaknya bercanda atau bermain cilukba. Tetapi, kadang, Kira merasa sedih, karena Ibu jarang mau bermain dengannya. Tiap hari Ibu selalu menggendong Adik dan meminta Kira menunggu ketika ingin mengajak Ibu bermain. Ibu juga sering menegurnya saat bermain lari-lari, kata Ibu nanti bisa kena Adik. Kira senang bernyanyi keras-keras, tapi kata Ayah sekarang tidak boleh lagi, karena Adik bisa terbangun dari tidurnya.

“Iiiihh, andaikan sehari saja Adik nggak ada. Aku pasti bisa main sepuasnya sama Ibu. Aku juga bisa lari dan nyanyi keras-keras seperti dulu…Kira sayang Adik, Kira senang punya Adik, tapi ia rindu masa ketika Adik belum ada.”

Pagi itu Kira berangkat sekolah dengan gembira, kata Bu Guru hari ini mau diajarkan lagu baru. Kira suka lagu baru, ia sangat bersemangat untuk belajar lagu baru. Bu Guru senang dan memujinya karena ia mudah menghafalkan lagu yang di-kenalkan. Kata Bu Guru, suara Kira bagus dan lantang.