• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mempersiapkan Pengacara Abad Ini

Dalam dokumen PENGACARA CYBER : PROFESI HUKUM KAUM MILENIAL (Halaman 128-144)

Di tengah keriuhan suasana karena munculnya disrupsi teknologi baru yang cepat, lulusan fakultas hukum dan pendidikan pengacara saat ini harus menggunakan teknologi untuk memberikan pelayanan dengan cara baru untuk komunitas baru dalam masyarakat. Firma hukum atau departemen pemerintah tempat lulusan hukum atau para pengacara muda ini bekerja mengharapkan mereka tidak hanya memahami hukum, tetapi juga memiliki keterampilan teknologi, berkomunikasi, sekaligus melek bisnis.

Teknologi Informasi (TI) mengubah cara pelayanan hukum, menyederhanakan proses, dan membuahkan efisiensi. Penyusunan dokumen secara otomatis merupakan teknologi hukum yang dapat mengurangi waktu pengacara untuk melakukan tugas yang sama. Demikian pula telepon genggam yang menyediakan konektivitas tanpa henti melalui akses broadband, dengan kecepatan pemrosesan tinggi dan kapasitas penyimpanan yang hampir tak ada habisnya. Susskind (2013) mengelaborasi layanan hukum online, dalam arti penggunaan sistem untuk memberikan diagnosis hukum, membuat dokumen hukum, membantu audit hukum, dan memberikan pembaruan hukum. Untuk itu, pengacara memerlukan keahlian baru di samping kemampuan analitis dan berkomunikasi.

Menghadapi Tantangan Saat Ini

Profesi hukum sama sekali tidak kebal terhadap perkembangan teknologi. Kemungkinan besar, praktik hukum akan berubah secara signifikan pada generasi pengacara mendatang. Pendidikan di bidang hukum harus berbuat lebih banyak untuk mengatasi perubahan ini. Beberapa fakultas hukum tetap berfokus pada apa yang selalu mereka lakukan, yaitu mengajari mahasiswa untuk berpikir seperti pengacara dan belajar teori, tetapi dengan sedikit perhatian pada keterampilan. Langkah yang terbaik adalah mempersiapkan mahasiswa dengan memasukkan lebih banyak keterampilan ke dalam kurikulum. Beberapa fakultas melangkah lebih jauh dan memetakan keterampilan penting seperti literasi teknologi, komunikasi, wawancara, dan investigasi faktual untuk meminimalkan kesenjangan teori dan praktik.

Pada banyak fakultas hukum di negara maju, teknologi saat ini menjadi perhatian khusus, seperti kuliah hukum cyber atau hukum Internet. Mahasiswa di kelas hukum cyber misalnya, diperkenalkan pada masalah hukum yang melibatkan antara lain printer 3D, nanoteknologi, penyelesaian sengketa online, asuransi cyber, aplikasi teknologi blockchain, drone, big data, media sosial, kecerdasan buatan, teknologi gen, perangkat lunak

open source, dan model bisnis baru seperti transportasi online.

Sementara itu realitas virtual berpotensi mengubah pelatihan dan pendidikan hukum. Realitas virtual dapat digunakan, misalnya, untuk menghadirkan situasi wawancara dengan klien dan konteks ruang sidang.

Dalam proses pendidikan di bidang hukum, pelaksana program pendidikan hukum berorientasi mencetak sarjana hukum yang siap bersaing dengan lulusan dari negara lain, terutama di lingkup ASEAN. Untuk itu, hal-hal yang perlu dilaksanakan dalam penyelenggaraan pendidikan hukum di Indonesia adalah sebagai berikut35. 1. Menetapkan standar kurikulum pendidikan hukum di

Indonesia agar terjadi sinkronisasi dan harmonisasi penyelenggaraan pendidikan hukum.

2. Menetapkan capaian pelaksanaan program S-1 Hukum a. Penguasaan ilmu hukum yang memiliki standar

keilmuan:

1) menguasai konsep teoretis;

2) menguasai pengetahuan dasar tentang sejarah dan aspek normatif ilmu hukum;

35 St. Laksanto Utomo. (2016), “Peran Penyelenggara Pendidikan Hukum

dalam Menghadapi Persaingan bagi Lulusan Hukum di Era MEA”,

disampaikan dalam Seminar Nasional Peran Advokat dalam Penegakan Hukum Indonesia di Era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), Palembang 24 September 2016.

3) menguasai pengetahuan tentang prinsip dan langkah penyelesaian masalah atau kasus hukum melalui metode penerapan dan penemuan hukum;

4) menguasai pengetahuan dasar tentang metode penelitian hukum dengan menggunakan metode berpikir logis, sistematis, dan kritis;

5) menguasai konsep umum pengetahuan filsafat hukum, sosiologi hukum, dan perbandingan hukum agar dapat memahami hukum secara kontekstual, sistemik, dan holistik tentang hukum.

b. Mampu menciptakan sarjana hukum yang memiliki keterampilan umum:

1) mampu menerapkan pemikiran logis, kritis, sistematis, dan inovatif;

2) mampu menunjukkan kinerja mandiri, bermutu, dan terukur;

3) mampu mengkaji pengembangan atau implementasi ilmu pengetahuan hukum dan menyelesaikan persoalan-persoalan hukum dalam masyarakat;

4) mampu memelihara dan mengembangkan jaringan kerja;

5) mampu mengambil keputusan secara cepat dan tepat.

3. Memberikan kemampuan legal service management kepada lulusan S-1 Hukum.

Lulusan S-1 Hukum bertanggung jawab untuk melindungi integritas hukum, etika, dan keuangan perusahaan sementara melanjutkan tujuan strategis perusahaan. Mereka melakukan ini dengan bermitra dengan bisnis dan memberikan nasihat hukum yang tepat waktu dan akurat untuk memastikan bisnis dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan misi, visi, serta nilai-nilai perusahaan.

Kurangnya alat untuk secara efektif mengelola kewajiban kontrak, dan mekanisme yang tidak efisien untuk mengoordinasikan tugas-tugas hukum. Sehingga diperlukan sarana yang mempunyai nilai tambah dibandingkan e-mail, spreadsheet, dan solusi homegrown, Sebagai contok dapat memanfatkan ServiceNow menyediakan portal self-service yang memberikan pandangan tentang pelaporan, perjanjian tingkat layanan, dan built-in alur kerja. ServiceNow memberikan pengetahuan dasar untuk mengelola pengetahuan hukum, penelitian, dan dokumen secara terpusat. Ia menyediakan manajemen informasi yang

diperlukan untuk meningkatkan kualitas kerja sehingga meningkatkan kepuasan pelanggan.

4. Memperkuat kerja sama antara perguruan tinggi hukum dan organisasi profesi di bidang hukum di Indonesia agar terjadi kesamaan visi, misi, dan tujuan penyelenggaraan pendidikan hukum.

5. Meningkatkan kemampuan lulusan pendidikan hukum di bidang informasi dan teknologi. Penyelenggara pendidikan bidang hukum seyogianya memberikan materi informasi dan teknologi dalam kurikulum penyelenggaraannya.

6. Meningkatkan kemampuan bahasa Inggris dan bahasa Anggota MEA bagi lulusan pendidikan hukum. Kemampuan bahasa ini menjadi syarat mutlak agar lulusan pendidikan hukum di Indonesia dapat meniti karier di negara-negara anggota MEA.

Memenuhi Kompetensi

Di abad ini, fakultas atau sekolah hukum dapat berinovasi dan mengembangkan basis kompetensinya, dengan demikian meningkatkan kemampuan mereka untuk memilih dan mempersiapkan mahasiswa untuk pekerjaan pasca-kelulusan. Proses ini akan memakan waktu, tetapi selama 5–10 tahun ke depan, fakultas hukum dan firma

hukum yang berinovasi akan lebih unggul di tengah perubahan lanskap pemberian jasa hukum.

Dengan berubahnya lanskap hukum, peran pendidikan hukum pun perlu perubahan. Bernard A. Burk (2014) menyayangkan masih banyaknya sekolah hukum yang tetap menutup diri, walaupun secara perlahan model tradisional mulai sedikit berubah karena tekanan dan perkembangan pasar 36 . Negara ikut membentuk kompetensi komunikatif pengacara masa depan. Lyudmyla Nasilenko (2014) mencontohkan bahwa pendidikan hukum di Ukraina dan di Jerman memiliki karakteristik berikut ini. Pertama, sistem hukum di kedua negara itu didasarkan pada pengakuan hukum sebagai sumber dasar yang tepat, baik di bidang konsep dasar hukum. Kedua, dokumen normatif dasar yang menentukan pengelolaan pendidikan di lembaga pendidikan tinggi hukum di Ukraina dan Jerman adalah kurikulum.37 Analisis yang dilakukan terhadap kurikulum fakultas hukum Universitas Sains modern

36 Burk, Bernard A. (2014), “What’s New About the New Normal: The

Evolving Market for New Lawyers in the 21st Century” (August 13, 2013),

UNC Legal Studies Research Paper No. 2309497; 41 Florida St. L. Rev 541, available at SSRN: http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.2309497, diakses

pada 12 November 2016.

37 Lyudmyla Nasilenko (2014), “Forming the Future Lawyers’

Communicative Competence: The Experience of Higher Education in Ukraine

and Germany

Comparative Professional Pedagogy”, 2014; 4(3): 89–94, DOI https://www.degruyter.com/view/j/rpp.2014.4.issue-3/rpp-2014-0041/rpp-2014-0041.xml?format=INT.

(Ukraina) dan Universitas Frankfurt (Jerman) menunjukkan bahwa kurikulum mereka didasarkan atas program edukasi-profesional. Ketiga, struktur persiapan pengacara profesional masa depan adalah perpaduan edukasi-kognisi, penelitian, dan praktik. Keempat, persiapan kemampuan komunikasi pengacara masa depan, yang esensinya terdapat dalam integrasi program-program dari disiplin khusus dan profesional, dengan penyempurnaan terus-menerus terhadap keterampilan komunikasi verbal dan tertulis para mahasiswa.

Diagram 3. Contoh Model Kompetensi Sekolah Hukum

Kurikulum inti berbasis kompetensi menawarkan program yang disesuaikan dengan kebutuhan unik pada setiap tingkat. Program inti untuk rekan junior, menengah,

dan senior associate disesuaikan dengan persyaratan kompetensi ketiga tingkat itu. Program itu juga dilengkapi pelatihan keterampilan kerja dan layanan klien untuk rekan junior, manajemen SDM dan pengembangan diri untuk rekan tingkat menengah, kepemimpinan dan manajemen untuk senior associate (Hamilton, 2014).

Pengacara harus memiliki lima kompetensi inti, yakni kemampuan berkolaborasi, kecerdasan emosional, kemampuan manajemen proyek, kemampuan manajemen waktu, dan penguasaan teknologi informasi. Kemampuan ini harus mereka miliki jika mereka ingin bertahan di abad ke-21. Sekolah hukum harus mengajar mereka; lembaga pemerintah perlu menguji mereka; firma hukum perlu membuat mereka ahli dalam bidang mereka.

Sekolah hukum, selain perlu terus mengajarkan kompetensi inti, juga harus lebih sistematis dalam proses itu, dan bersama-sama pihak lain memberikan kompetensi pelengkap yang diperlukan oleh mahasiswa untuk karier mereka di masa depan. Para mahasiswa memerlukan pendidikan profesional umum dengan penekanan di salah satu bidang hukum, bisnis, atau kebijakan publik, dan ilmu-ilmu sosial yang relevan.

Pendidikan Advokat

Pada dasarnya pendidikan advokat adalah pendidikan profesi yang dilaksanakan berdasarkan realitas sejarah profesi hukum di dunia internasional dan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pendidikan profesional, baik Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional maupun ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Salah satu persyaratan untuk menjadi advokat adalah mengikuti pendidikan advokat. Pendidikan advokat tidak mempersiapkan seseorang untuk menjadi akademisi melainkan untuk untuk menjadi praktisi hukum. Pendidikan tersebut diselenggarakan oleh organisasi advokat yang bekerja sama dengan institusi pendidikan tinggi yang tujuannya adalah sebagai berikut.

 Memberikan pengetahuan, keterampilan, dan keahlian agar peserta didik memenuhi persyaratan minimum untuk ditunjuk sebagai advokat, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003.

 Menyampaikan pendidikan ilmiah kepada advokat yang membutuhkan pengetahuan dasar (prinsip, teori, dan filsafat) yang berguna bagi profesi advokat.

 Membentuk advokat yang memiliki kepribadian dan perilaku yang jujur, adil, bertanggung jawab, dan

memiliki integritas tinggi terhadap profesi dan kepentingan masyarakat/klien, bukan hanya kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Peningkatan keterampilan advokat memerlukan proses pendidikan dengan kurikulum, akreditasi pendidikan profesional, dan perizinan khusus oleh asosiasi profesional. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan bahwa yang dapat ditunjuk sebagai Advokat adalah yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi di bidang hukum dan telah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilakukan oleh organisasi advokat.

Ini berarti bahwa pendidikan profesional advokat harus dilakukan melalui kerjasama antara universitas dan organisasi profesi advokat. Pendidikan profesi advokat akan tidak dapat memenuhi tujuan yang diharapkan apabila perhatian pendidikan tinggi tidak sesuai dengan kebutuhan riil dunia profesional advokat. Selain itu, belum ada ketetapan mengenai kurikulum standar untuk pendidikan tersebut dan kurangnya ketersediaan pengajar profesional, terutama di daerah.

Advokat perlu memiliki dua keahlian, yaitu keahlian di bidang hukum secara umum dan keahlian khusus untuk menangani masalah hukum tertentu, misalnya advokat untuk bidang hukum pasar modal harus memiliki sertifikat

keahlian di bidang hukum pasar modal. Untuk memperoleh sertifikat keahlian tersebut, adokat harus mengikuti kursus dan ujian, dan mendapatkan lisensi dari Bapepam.

Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) menilai bahwa organisasi advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 UU Advokat adalah organisasi profesi, bukan organisasi pendidikan. Karena itu, Ketua Asosiasi Pengarah Perguruan Tinggi Indonesia mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Advokat ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan Pendidikan Profesi Advokat Khusus PKPA sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Advokat.

Kerja sama antara organisasi profesi advokat dan perguruan tinggi dapat diwujudkan dalam bentuk pengembangan program pendidikan profesional di dua tingkat, yaitu tingkat profesi umum dan tingkat keahlian khusus. Dengan demikian peserta program mendapatkan keuntungan ganda, yaitu gelar di bidang hukum secara umum serta di bidang hukum khusus.

Persyaratan dan proses pembelajaran sesuai dengan standar pengacara profesional dan standar pendidikan hukum berkualitas prima harus dipikirkan secara serius oleh pendidikan tinggi dan asosiasi profesi hukum, terutama asosiasi advokat. Hanya melalui kerja sama yang saling menguatkanlah masalah pendidikan dalam rangka

meningkatkan kualitas advokat profesional dapat tercapai. Oleh karena itu forum bersama antara fakultas hukum dan asosiasi profesi hukum perlu dilakukan untuk kepentingan pendidikan tinggi hukum dan profesi di bidang hukum.

Reformasi kurikulum diperlukan agar mahasiswa dapat mencapai hasil pembelajaran terbaik. Untuk itu, fakultas hukum perlu melihat ke depan dan beradaptasi dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Fasilitas yang ada harus disesuaikan dan yang baru dirancang untuk jenis pengajaran yang berbeda yang memungkinkan mahasiswa menjadi advokat yang mumpuni di abad ini.

REFERENSI

Aastha, M. 2016. “Cultural Competency and the Practice of Law in the 21st Century”. Probate & Property Magazine, Volume 30 No. 02. http://www.americanbar.org/ publications/probate_property_magazine_2012/20 16/march_april_2016/2016_aba_rpte_pp_v30_2_art icle_madaan_cultural_competency_and_the_practic e_of_law_in_the_21st_century.html, diakses pada 11 November 2016.

Burk, Bernard A. 2014. “What’s New About the New Normal: The Evolving Market for New Lawyers in the 21st Century” (August 13, 2013). UNC Legal Studies Research Paper No. 2309497; 41 Florida St. L. Rev 541. Available at SSRN: http://dx.doi.org/10.2139/ ssrn.2309497, diakses pada 12 November 2016. Curcio, Andrea Anne, Teresa E. Ward & Nisha Dogra. 2012.

“Educating Culturally Sensible Lawyers: A Study of Student Attitudes About the Role Culture Plays in the Lawyering Process”. U. W. Sydney L. Rev., Vol. 16, p. 98–126, Georgia State University College of Law, Legal Studies Research Paper No. 2013-11. Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=2239854, diakses pada 12 November 2016.

Furdlong, J. 2008. “Core competence: 6 new skills now required

of lawyers”. Law Twenty One, July 4, 2008.

http://www.law21.ca/2008/07/core-competence-6-new-skills-now-required-of-lawyers/, diakses pada 9 November 2016.

Hamilton, Neil W. 2014. “Changing Markets Create Opportunities: Emphasizing the Competencies Legal Employers Use in Hiring New Lawyers (Including

Professional Formation/Professionalism)”. 65 South Carolina Law Review 567 (2014); U of St. Thomas (Minnesota) Legal Studies Research Paper No. 14-13. Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract= 2412324, diakses pada 12 November 2016.

Heineman, Jr., Ben W. “Lawyers as Leaders”. 116 Yale L.J. Pocket Part 266 (2007), http://yalelaw journal.org/forum/lawyers-as-leaders, diakses pada 8 November 2016.

Nasilenko, Lyudmyla. 2014. “Forming the Future Lawyers’ Communicative Competence: The Experience of Higher

Education in Ukraine and Germany

Comparative Professional Pedagogy”. 2014; 4(3): 89–94. DOIhttps://www.degruyter.com/view/j/rpp.2014.

4.issue-3/rpp-2014-0041/rpp-2014-0041.xml?format=INT.

Sagala, Syaiful. 2011. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan. Bandung: Alfabeta.

Stock, Richard. 2008. “Competencies for Lawyers”. Lexpert, Vol. 9, No 7c. http://www.catalystlegal.com/ Articles/CompetenciesLawyers.htm, diakses pada 27 Oktober 2016.

Utomo, St. Laksanto. 2016. “Peran Penyelenggara Pendidikan Hukum dalam Menghadapi Persaingan bagi Lulusan Hukum di Era MEA”. Disampaikan dalam Seminar Nasional Peran Advokat dalam Penegakan Hukum Indonesia di Era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), Palembang 24 September 2016.

Ward, Cynthia M. & Nelson P. Mill (ppp). “The role of Law Schools in Shaping Culturally Competent Lawyers”. https://www.researchgate.net/profile/Nelson_Mil

ler/publication/228260584_The_Role_of_Law_Scho ols_in_Shaping_Culturally_Competent_Lawyers/li nks/54ad9b030cf2213c5fe41492.pdf.

Wahyudi, Abdullah Tri. “Advokat Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003”. https://advosolo. wordpress.com/2010/05/07/advokat-berdasarkan-undang-undang-nomor-18-tahun-2003/.

Bab 7

Dalam dokumen PENGACARA CYBER : PROFESI HUKUM KAUM MILENIAL (Halaman 128-144)