• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengacara Cyber: Profesi Hukum

Dalam dokumen PENGACARA CYBER : PROFESI HUKUM KAUM MILENIAL (Halaman 112-128)

Kaum Milenial

Saat ini kita menyaksikan dunia seolah bergerak serentak menuju digitasi. Teknologi informasi merambah ke setiap bidang kehidupan, tidak terkecuali bidang hukum. Jumlah perangkat teknologi dan lainnya semakin berlipat ganda, penggunaannya juga melintasi batas usia, gender, sosial ekonomi, dan geografis. Orang pun mulai menggolongkan generasi berdasarkan pemahaman terhadap teknologi, misalnya golongan digital immigrant dan digital native. Ada pula yang memilah berdasarkan periodisasi, seperti Generasi Baby Boomer adalah generasi yang lahir setelah Perang Dunia II, yaitu pertengahan 1940-an hingga 1964. Generasi ini diikuti oleh Generasi X (Gen X), dengan rentang tahun kelahiran mulai dari pertengahan 1960-an hingga 1980. Kemudian muncul kaum milenial atau Generasi Y, yaitu mereka yang lahir pada awal 1980-an hingga pertengahan 1990-an. Sementara mereka yang lahir pada pertengahan 1990-an hingga 2010 dikenal dengan sebutan iGeneration, Post-Millennials, Homeland Generation, atau Plurals.

Perlu digarisbawahi bahwa kaum milenial saat ini merupakan usia produktif di tengah munculnya berbagai inovasi di bidang teknologi informasi. Ciri kaum milenial

antara lain mereka mempunyai kesadaran akan hak-hak mereka, yang merupakan manifestasi dari generasi yang dibesarkan dengan tingkat kepercayaan diri tinggi. Mereka cenderung mengejar pekerjaan yang selaras dengan nilai-nilai mereka. Ada anggapan bahwa generasi milenial kurang loyal dibandingkan generasi sebelumnya. Menurut Rockwood (2018), kepercayaan diri yang tinggi, kepiawaian teknologi, dan keinginan kaum milenial untuk membentuk pola kerja baru akan memainkan peran penting dalam membangun masa depan hukum. Ini sangat penting karena keunggulan generasi milenial itulah yang semakin diinginkan oleh klien.

Dampak Kemajuan Teknologi Informasi

Memang kita semua merasakan segala kemudahan akibat kemajuan teknologi. Segala sesuatu dalam kehidupan kita terasa semakin mudah, murah, dan efektif, karena teknologi berhasil menembus kendala jarak dan waktu. Namun di sisi lain, pertumbuhan Internet menciptakan lonjakan kejahatan kekayaan intelektual, khususnya pembajakan perangkat keras, perangkat lunak, dan cybersquatting atau penyerobotan nama domain (Kane, S. 2017). Perlindungan konten dan hak elektronik di era digital adalah perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HKI). China dan negara-negara berkembang lain, yang memberlakukan hukum serta memberikan perhatian lebih besar untuk penegakan HKI, memicu perkembangan

hukum kekayaan intelektual internasional. Hacking, serangan DDoS31, penipuan online, dan segala pelanggaran di ranah digital harus ditangani melalui litigasi.

Sepanjang tahun 2016 terdapat 1.627 kasus pidana, dan kejahatan cyber atau cyber crime adalah kasus dengan jumlah tertinggi, yakni 1.207 kasus. Kasus kejahatan cyber ini paling banyak mengenai kasus pencemaran nama baik melalui media sosial. 32 Tetapi angka-angka ini serupa gunung es, yaitu hanya menunjukkan pengaduan formal yang terdaftar. Karena itu, hendaknya jangan beranggapan bahwa kita akan kekurangan pekerjaan jika menjadi pengacara cyber. Sebaliknya, kebutuhan akan pengacara cyber justru meningkat. Ada banyak kasus baru dan menarik yang menjadi tantangan nyata bagi pengacara. Meskipun dalam tahap baru lahir, hukum cyber memiliki lingkup dan prospek yang luar biasa di Indonesia.

Peretasan, pencurian informasi, dan pelanggaran data adalah masalah umum, dan banyak orang masih belum menerapkan fitur keamanan dasar, seperti password dan autentifikasi, padahal banyak sarana saat ini yang

31 Serangan DoS (denial-of-service attacks’) adalah jenis serangan terhadap sebuah komputer atau server di dalam jaringan Internet dengan cara menghabiskan sumber (resource) yang dimiliki oleh komputer tersebut sampai komputer tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan benar sehingga secara tidak langsung mencegah pengguna lain untuk memperoleh akses layanan dari komputer yang diserang tersebut.

32 “Kejahatan Cyber di Jakarta Sepanjang 2016 Mencapai 1.207 Kasus”, https://news.detik.com/berita/d-3384545/kejahatan-cyber-di-jakarta-sepanjang-2016-mencapai-1207-kasus.

terhubung ke Internet, seperti TV dan gawai, yang dapat disalahgunakan. 33 Menurut Raksha Chouhan (2014) kejahatan cyber dapat dipilah sebagai berikut.

No. Berbasis Pengguna Properti Komunitas

1 E-mail Spoofing Hak Kekayaan

Intelektual

Pemalsuan 2 Penguntit cyber Perusakan

komputer

Kejahatan keuangan

3 Kecurangan Mengirim virus Pornografi anak

4 Akses tidak sah Akses tidak sah Trafficking

5 Fitnah Pencurian online Perjudian

Munculnya teknologi baru memberikan peluang dan ruang lingkup yang lebih luas kepada para pengguna Internet, sekaligus kepada para penjahat. Bisa jadi saat ini para penjahat cyber memilih target jaringan sosial dan profesional dengan ancaman yang diarahkan pada platform seluler, seperti smartphone dan tablet. Jejak aktivitas digital ilegal sering kali terkubur dalam jumlah data yang menggunung, sehingga sulit diperiksa atau dilacak untuk mendeteksi pelanggaran dan mengumpulkan barang bukti. Seiring banyaknya kejahatan seperti peretasan, penipuan pengiriman uang melalui Internet pun meningkat. Mereka

33 Ketika orang membangun Internet, mereka melupakan

orang-orang jahat. Paling tidak, itu menurut Eric Schmidt, ketua eksekutif

Alphabet dan mantan CEO Google (GOOG).

http://money.cnn.com/2017/02/16/technology/eric-schmidt-google-criminals-forgot-internet/.

yang ingin terjun dalam bidang hukum cyber ini harus mahir dalam menangani komputer dan harus selalu mengikuti perkembangan terakhir di bidangnya.

Kegiatan di Internet diatur oleh undang-undang cyber. Di Indonesia kita mengenal Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 atau UU ITE, yaitu undang-undang yang mengatur informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. Undang-undang ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam UU ini, baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di dalam dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia. Undang-undang ini dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi.

UU ini diperuntukkan bagi kepentingan warga negara, yaitu untuk melindungi keamanan mereka dalam memanfaatkan teknologi informasi dan dalam situasi kejahatan cyber yang senantiasa meningkat. Singleton (2013) menyatakan bahwa kejahatan cyber merupakan tindakan yang disengaja dengan menggunakan komputer atau teknologi lainnya, dan aktivitas kriminal ini dilakukan di lingkungan virtual, seperti Internet.

Kejahatan cyber terbagi atas tiga elemen: 1) Alat dan teknik untuk melakukan kejahatan; 2) Pendekatan atau

metodologi untuk melaksanakan rencana kejahatan— dikenal sebagai vektor; 3) Kejahatan itu sendiri yang merupakan hasil akhir dari rencana dan aktivitas tersebut (cybercrime adalah tujuan akhir dari kegiatan kriminal).

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diharapkan dapat menjadi payung hukum, terutama di bidang telematika, meskipun masih terdapat ketidaksempurnaan dalam undang-undang tersebut. Rule of law tidak terlepas dari masalah penegakan hukum yang melibatkan banyak pihak. Karena itu, keberhasilan penegakan hukum dipengaruhi beberapa faktor, yaitu UU/peraturan, penegakan hukum, dan sarana untuk mendukung penegakan hukum. Dengan demikian, peran aparat penegak hukum yang profesional dan optimal dalam menjalankan tugasnya memengaruhi efektivitas hukum.

Popularitas e-banking, e-commerce, e-ticketing, dan bahkan e-governance yang meningkat akan memicu dunia hukum, peradilan, lembaga investigasi untuk selalu memperbarui pengetahuan guna menjawab tantangan tersebut. Peningkatan tersebut sekaligus meningkatkan kebutuhan masyarakat akan pengacara cyber.

Pengacara Cyber

Konsep cyber lawyering lahir ketika situs web firma hukum seperti http://www.visalaw.com pertama kali muncul pada Januari tahun 2000. William Paul, yang saat itu

presiden American Bar Association, membentuk ABA eLawyering Task Force. Gagasan eLawyering kemudian secara resmi diakui sebagai cara untuk memberikan pelayanan hukum. Visi Paul adalah bahwa pengacara akan dapat menggunakan kekuatan Internet untuk melayani klien. Tidak diragukan lagi, eLawyering akan semakin penting, seperti halnya belanja online yang mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun.

Cyber Lawyering: Penyiapan dokumen perceraian mandiri

E-lawyering mencakup cara baru untuk

berkomunikasi dan berkolaborasi dengan klien, calon klien, dan pengacara lain untuk menghasilkan dokumen, menyelesaikan perselisihan, dan mengelola pengetahuan hukum. Alat dan teknik yang sesuai dapat diterapkan dalam pekerjaan pengacara, seperti wawancara, investigasi,

pemberian nasihat, penyusunan draf, advokasi, analisis, negosiasi, pengelolaan, dan sebagainya. E-lawyering ini melibatkan situs web firma hukum yang menggabungkan aplikasi interaktif yang mendukung interaksi antara pengacara dan klien.

Pengacara cyber adalah profesi yang menantang karena membutuhkan jam kerja cukup lama terutama untuk melakukan penelitian bukti-bukti forensik digital. Di Eropa dan Amerika, profesi ini sangat dihargai. Karena itu, wajar jika di negara-negara tersebut imbalan yang diberikan untuk profesi ini tergolong tinggi.

Pengacara cyber memberikan nasihat tentang legalitas format elektronik dan menafsirkan hukum dunia maya untuk klien mereka. Dalam hal kontrak online, misalnya, pengacara cyber melakukan uji menyeluruh guna memastikan bahwa setiap kewajiban yang disepakati dalam perjanjian tidak dilanggar, mengidentifikasi informasi pribadi yang sensitif, dan lain-lain. Mereka menangani masalah pelanggaran dan kejahatan cyber, seperti penipuan kartu kredit, peretasan Internet, cyber stalking, pornografi, dan kejahatan yang terkait dengan kekayaan intelektual, hak cipta, dan merek dagang. Mereka juga memberikan saran kepada klien mengenai aspek hukum media sosial, masalah yang berkaitan dengan bukti elektronik,

perselisihan nama domain, perlindungan data, dan privasi. Dalam bidang cyber, tantangan pengacara cyber jauh lebih besar dibandingkan dengan pengacara yang

menekuni bidang lain, antara lain karena pengacara pembela diharapkan mendapatkan bukti digital untuk diperiksa secara forensik34 dalam pembelaan.

Di Amerika Serikat dan Eropa, bidang hukum cyber didominasi oleh pengacara yang mempunyai latar belakang kesarjanaan bidang hukum dan ilmu komputer. Di negara-negara maju di kedua benua tersebut tersedia program khusus, seperti CFCE (Certified Forensic Computer Examiner), CCFP (Certified Cyber Forensics Professional), CEH (Certified Ethical Hacker), CISSP (Certified Information Systems Security Professional), dan lain-lain.

Sementara itu, di India, peradilan dan lembaga penyidik tidak dilatih untuk menghadapi tantangan dan situasi perubahan teknologi ini karena hal itu tidak dianggap sebagai prioritas. Upaya setengah hati dilakukan untuk menjembatani kesenjangan ini, antara lain melalui pelatihan. Namun perubahan itu tidak sebanding dengan potensi yang tersedia sehingga kesenjangan tersebut semakin melebar. Saat ini ada pengacara yang telah memperoleh kualifikasi IT atau PG Diploma dalam Cyber Law dan beberapa teknokrat yang telah memperoleh gelar

34 (Forensik) Analisis media digital untuk mendeteksi pemalsuan atau manipulasi. Digital forensics (kadang dsebut digital forensic science) adalah cabang sains forensik yang mencakup pemulihan dan investigasi materi yang ditemukan di perangkat digital—sering dikaitkan dengan kejahatan komputer. Istilah forensik digital pada awalnya digunakan sebagai sinonim untuk forensik komputer, namun telah diperluas untuk mencakup penyelidikan terhadap semua perangkat yang mampu menyimpan data digital.

sarjana hukum, dan para profesional ini disebut sebagai pengacara cyber. Tetapi apakah mereka cukup kompeten untuk menangani masalah kompleks dalam dunia digital?

Pengacara online memberikan nasihat hukum melalui telepon dan e-mail, mengunggah pertanyaan dan jawaban dalam web yang aman untuk referensi klien di masa mendatang. Contohnya bisa dilihat di http://www.dcdivorceonline.com. Ini adalah layanan yang memudahkan klien yang menginginkan jawaban cepat. Data tentang kasus online juga tersedia melalui Internet sehingga klien bisa melihat dan menganalisisnya. Informasi yang diakses oleh klien dapat dibatasi untuk bidang tertentu ketika mereka log in. Granat (2008) mencatat bahwa beberapa firma hukum mengintegrasikan video dan podcast ke dalam situs web mereka untuk melengkapi penjelasan tertulis. Situs web, blog, dan podcast menawarkan peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk menjangkau klien.

Menggabungkan teknologi interaktif ke dalam model bisnis firma hukum akan menjadi peluang, terutama bagi perusahaan yang menawarkan layanan hukum kepada kelas menengah yang luas. Masa depan adalah milik firma hukum yang mau belajar menggunakan teknologi Internet untuk meningkatkan daya saing mereka dengan menawarkan jasa yang rendah biaya, tetapi berkualitas.

Keterampilan yang Dibutuhkan

Dunia hukum dibagi dalam dua bidang yang luas, yaitu hukum pidana dan hukum perdata. Setiap kasus yang diajukan ke pengadilan masuk dalam dua domain ini, termasuk kasus teknologi informasi. Peran pengacara dalam kasus teknologi informasi adalah menerapkan hukum substantif pidana atau perdata. Apakah orang yang tidak menguasai hukum pidana atau perdata dapat berdebat dalam persidangan untuk kasus yang melibatkan teknologi? Tentu tidak. Keterampilan untuk maju dalam persidangan memerlukan pengalaman praktik sedikitnya lima sampai tujuh tahun, termasuk pelatihan dengan praktisi yang memenuhi syarat untuk sidang pengadilan.

Untuk menjadi seorang pengacara cyber, hal yang utama adalah semangat untuk menjadi pengacara yang berkualifikasi dan memiliki diploma dalam hukum cyber atau hukum dunia maya. Anda tidak perlu menjadi spesialis teknologi informasi, tetapi Anda perlu memiliki perpaduan pengetahuan hukum dan teknologi informasi. Dalam kasus cyber, Anda akan berurusan dengan hukum pidana, hukum kekayaan intelektual, komersial, dan kewarganegaraan. Dengan memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai hukum-hukum tersebut, selain hukum cyber, Anda akan memiliki keunggulan dalam berpraktik.

Dengan menekuni bidang pekerjaan ini, Anda akan selalu berada di garis depan kemajuan karena dalam banyak hal wilayah ini masih belum tersentuh. Kejahatan cyber

melampaui batas-batas geografis dan tersembunyi di balik anonimitas. Penjahat cyber bisa saja melakukan pekerjaannya tepat di samping Anda, tanpa Anda sadari. Para pengacara yang sudah berpraktik dapat memasuki bidang khusus ini asalkan mereka memperoleh pengetahuan khusus mengenai jaringan dan teknologi komputer lainnya. Bagi sebagian orang, mungkin sulit untuk memperoleh semua keterampilan yang diperlukan

secara bersamaan.

Jadwal kerja seorang pengacara cyber bervariasi, tergantung pada jenis pekerjaan dan kasus yang dihadapi. Jika terlibat dalam kasus litigasi, maka kegiatan sehari-harinya adalah ke pengadilan untuk proses pengadilan dan penuntutan. Jika seorang pengacara dunia maya terlibat sebagai penasihat internal perusahaan, ia akan melakukan tugas yang berkaitan dengan operasi bisnis dan kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan dan karyawannya.

Pengacara cyber harus akrab dengan komputer dan mendapat informasi dengan baik. Namun bagaimanapun juga, pengalaman praktik di pengadilan perdata/pidana perlu lebih diutamakan daripada pengetahuan teknis komputer. Bagi teknokrat yang menjadi pengacara maupun pengacara yang berpengetahuan tentang teknologi, keterampilan di bidang hukum lebih dominan dibandingkan pengetahuan teknis. Kemampuan menjalankan program komputer tidak membuat Anda berkompeten untuk menangani kasus-kasus pelanggaran

data atau hacking atau yang melibatkan forensik cyber. Keterampilan di bidang teknologi informasi serta hukum harus dikembangkan secara paralel melalui studi yang konsisten, praktis, dan tereksposur.

Karier di bidang hukum cyber telah berkembang dan akan menjadi profesi yang menjanjikan di masa depan. Pertumbuhan eksponensial perangkat elektronik dan kejahatan cyber menciptakan kebutuhan akan pengacara dunia maya yang dapat menyelesaikan masalah bukti digital, pelanggaran data, dan kejahatan cyber. Selain menjadi pengacara purnawaktu, seorang sarjana TI bisa mendapatkan pekerjaan sebagai konsultan di perusahaan TI, kepolisian, atau bank. Ia juga bisa menjadi asisten di firma hukum, asisten di perusahaan teknologi, advisor bagi pengembang web, advisor di kementerian informasi dan teknologi, auditor keamanan, dan administrator jaringan di perusahaan teknologi. Mempelajari hukum cyber dapat membantu para profesional TI memberikan keamanan yang lebih baik kepada perusahaan mereka, dan memberi tahu mereka tentang aspek hukum atas masalah yang terkait dengan teknologi.

Kaum milenial terus meningkatkan kariernya di bidang hukum ketika banyak firma hukum berusaha tetap relevan dengan teknologi dan inovasi. Dalam waktu dekat, kaum milenial akan memimpin departemen hukum dan firma hukum. Transisi generasi yang telah dibicarakan selama bertahun-tahun akhirnya dimulai (Jordan, 2017).

Organisasi yang paling cepat mengenali perubahan ini dan yang bereaksi paling cepat akan mendapatkan posisi terbaik untuk mendominasi pasar hukum baru yang akan datang.

Dari sisi klien, sekarang klien firma hukum adalah kaum milenial. Orang-orang ini dan perusahaan yang mereka wakili menjadi lebih canggih serta agresif setiap hari. Sekarang saatnya bagi pembeli dan penjual jasa hukum untuk bertindak secara cepat dan pasti untuk memastikan bahwa transisi generasi terjadi seefektif mungkin. Jika firma hukum tidak menyesuaikan dengan realitas demografi, mereka akan kehilangan kesempatan untuk memimpin di pasar hukum. Jika firma hukum tidak menyesuaikan diri, mereka akan menghadapi risiko kehilangan klien.

REFERENSI

Chouhan, R. 2014. “Cyber Crimes: Evolution, Detection, and Future Challenges”. IUP Journal of Information Technology, 10(1), 48.

Granat, R.S. 2008. “eLawyering: Providing More Efficient Legal Services With Today’s Technology”. NYSBA Journal, September 2008. www.americanbar.org/.../ newyorkstatebarjournalelawyering.pdf

Jordan, F. 2017. “The Rise of the Millenial Lawyer: 14 Ways a generation is changing rules”. https://www. lodlaw.com/wp-content/uploads/2017/05/

Millennial-report-soft-copy.pdf.

Kane, S. 2017. “Intellectual Property Law”. The Ballance, February 22. https://www.thebalance.com/ intellectual-property-law-2164607.

Lubis, M. & F. A. Maulana. 2010. “Information and electronic transaction law effectiveness (UU-ITE) in Indonesia”. In Information and Communication Technology for the Muslim World (ICT4M), 2010 International Conference on (pp. C-13). IEEE.

McLellan, L. 2017. “Can Millennials Save Your Law Firm?” Law Journal News letters, December. http://www. lawjournalnewsletters.com/sites/lawjournalnewsle tters/2017/12/01/can-millennials-save-your-law-firm/?slreturn=20180319203355.

Rockwood, K. 2018. “Millennial Stereotypes? Millennial lawyers are forging their own paths—and it’s wrong to call them lazy”. ABA Journal, January 2018. http://www.abajournal.com/magazine/article/mil lennial_stereotypes_these_lawyers_object/.

Singleton, T. 2013. “The Top 5 Cybercrimes”. https:// www.aicpa.org/InterestAreas/ForensicAndValuati on/Resources/ElectronicDataAnalysis/Downloada bleDocuments/Top-5-CyberCrimes.pdf, diakses pada 30 November 2017.

Bab 6

Dalam dokumen PENGACARA CYBER : PROFESI HUKUM KAUM MILENIAL (Halaman 112-128)