• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menapaki Timur Tengah dan Eropa

BAB III BIOGRAFI INTELEKTUAL ABDURRAHMAN WAHID

3. Menapaki Timur Tengah dan Eropa

Gus Dur sangat berhasrat sekali mencari ilmu keluar negeri. Gayung pun bersambut, pada bulan November 1963, Gus Dur berkesempatan melajutkan di bumi para Pharao, Mesir. Kesempatan itu didapatnya karena ia lulus tes beasiswa dari Departemen Agama.

Ketika itu, Gus Dur berangkat ke Mesir menggunakan kapal laut. Dalam perjalanan, dia membawa buku karya Arthur Schlesinger Jr yang berjudul “The Age of Jackson”, buku yang dibaca habis sepanjang perjalanan. Yang menarik,

hari ketika ia berangkat bertepatan dengan hari terbunuhnya Presiden AS, John F. Kennedy di Dallas. Sebuah momen yang menghantui perjalanannya.9

Sesampainya di Mesir, Gus Dur yang awalnya begitu bersemangat dalan melanjutkan studi di Al-Azhar, menelan kekecewaan. Ia tidak bisa langsung mengikuti perkuliahan, dan disarankan oleh para pejabat universitas untuk mengikuti kelas persiapan guna memperbaiki pelajaran bahasa Arabnya. Sebenarnya, pengetahuan Gus Dur tehadap gramatika dan bahasa Arab disamping pengetahuannya tentang yurisprudensi Islam, teologi dan pokok-pokok pelajaran Islam yang lain telah sampai pada tingkatan yang lebih dari cukup, hanya saja ia tidak mempunyai ijasah resmi yang menunjukkan ia telah mumpuni di bidang- bidang itu.

Karena itu, ia dimasukkan ke kelas yang benar-benar dikhususkan bagi para beginners. Banyak dari temannya di kelas itu, yang baru datang dari Afrika

8Tjetjep Supriadi, “Unsur Islam Dalam Pewayangan,”

Wayang, Juni 2008, h. 70. 9

yang hampir tidak mengetahui abjad Arab, apalagi menggunakan bahasa Arab dalam percakapan. Kekecewaan ini berbuntut panjang, Gus Dur memutuskan untuk tidak mengikuti kelas persiapan tersebut, yang berarti ia tidak mengecap pendidikan formal lanjutan di Al-Azhar.

Kekecewaannya terbayar dengan pesona kehidupan Kairo. Ia mulai menyibukkan hari-harinya menyaksikan pertandingan sepak bola, menonton film- film berbahasa Perancis kesukaannya, berdiskusi di kedai-kedai kopi dan mengunjungi perpustakaan-perpustakaan besar. Kota Kairo benar-benar menjadi obat kekecewaan Gus Dur atas kekecewaannya terhadap Al-Azhar.

Bukanlah seorang Gus Dur, jika menyerah hanya terbentur dengan masalah formalitas. Walaupun ia gagal memasuki Al-Azhar, ia tetap dapat melepaskan hasrat intelektualnya di tempat lain di Kairo. Ia rajin menyambangi perpustakaan Universitas Amerika dan Universitas Kairo.

Disamping itu, ia juga merambah perpustakaan Perancis guna menambah wawasannya. Di perpustakaan-perpustakaan tersebut, Gus Dur dibuat terpana oleh koleksi-koleksi yang maha kaya. Sebelumnya, ketika di Indonesia, Gus Dur belum pernah menemukan “sumber kearifan” yang melimpah ruah seperti di Kairo.

Hal tersebut didukung pula oleh jadwal keseharian Gus Dur yang jauh dari keadaan padat. Hari-harinya yang harusnya dipenuhi oleh kelas-kelas persiapan Al-Azhar, diganti dengan pola hidup serba fleksibel, hal inilah yang menyebabkan ia dapat membaca apapun, kapanpun, dan dimanapun sebanyak yang ia inginkan. Bak tiada rotan akar pun jadi, Jika tidak ada buku, maka kliping surat kabar atau majalah pun dapat mengairi kegersangan pengetahuannya.

Menurut Gus Dur, ia turut membawa buku-buku kesukaannya seperti tulisan Marx dan Lenin, yang dibacanya kembali dan didiskusikan bersama mahasiswa dan kaum cendekiawan di kedai kopi langganannya. Di Bawah pemerintahan Nasser, tradisi intelektual berkembang dengan optimisme yang tinggi dan relatif terbuka. Walaupun ia belum berkesempatan menjajaki pengetahuan di Eropa, perkenalannya dengan pemikiran-pemikiran Barat di Kairo menjadi semacam obat penawar . sebuah keadaan yang belum tentu dapat dirasakannya di Indonesia kala itu.

Di Kota itu ia juga mengasah kemampuan berorganisasinya. Segera setelah tiba di Kairo, Gus Dur mendapat kepercayaan sebagai ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), yang merupakan organisasi penghubung para mahasiswa Indonesia di seluruh Timur Tengah. tak jarang ia banyak bertolak ke perwakilan- perwakilan di wilayah tersebut guna menyelesaikan masalah-masalah mereka atau hanya sekedar memenuhi undangan.

Pada tahun 1964, bersama seorang temannya yang kelak menjadi eorang ulama dan penyair besar, Mustofa Bisri, membuat majalah bagi PPI. Gus Dur menulis secara teratur untuk majalah ini. Disamping dikenal sebagai esais yang jenaka dan provokatif, Gus Dur juga kerapkali menjadi pembicara dalam forum diskusi dan menyampaikan pidato dalam pertemuan-pertemuan mahasiswa Indonesia.

Kedai-kedai kopi di Kairo menempati posisi yang sulit dilupakan dalam pemikiran Gus Dur. Betapa tidak, tempat ini menjadi semacam sekolah tersendiri yang memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam kemahiran bahasa Arabnya. Tak ayal, diskusi yang kerapkali diikutinya, tak ubahnya seperti kelas di Al-Azhar,

namun dengan suasana yang lebih santai. Ketika pejabat-pejabat membaca hasil belajarnya, mereka baru tersadar, betapa mereka telah salah menempatkan Gus Dur dalam kelas persiapan, akhirnya ia pun dapat ikut kuliah di Al-Azhar dengan mengambil jurusan bahasa Arab.

Setelah beberapa waktu mencicipi pendidikan formalnya di Al-Azhar, ia pun kembali menelan kekecewaan yang lebih besar. Ternyata di fakultas yang ia pilih tersebut, ia kembali disibukkan dengan pengulangan pelajaran yang telah ia kuasai di Jombang dan Magelang. Ia juga menyesalkan cara belajarnya yang hanya menggunakan metode menghafal. Sekali lagi, ia membanting stir, keluar dari kepenatan mengulang pelajarannyta, dan kembali ke kehidupan jalanan Kairo.

Sebenarnya, terdapat beberapa keuntungan yang diraih bagi mahasiswa yang bersungguh-sungguh mengikuti peraturan akademik di Al-Azhar. Bayak mahasiswa yang membuktikan hal tersbut. Namun kentungan tersebut sama sekali tidak dilirik Gus Dur. Pendekatan transformasi keilmuan yang ada, menjadi salah satu kendala utama, keengganan Gus Dur mengikutinya. Ia lebih suka menghabiskan waktunya menimba ilmu di luar universitas ini.

Pengajaran Al-Azhar yang menggunakan metode klasik dan menolak segala unsur modern menjadi semacam penghalang bagi Gus Dur. Pengajaran seperti itu bukan hanya sangat membosankan, tetapi juga tidak menantang. Agaknya, Gus Dur sudah kenyang dicekoki metode hafalan yang didapatnya semasa ia di pesantren dahulu.

Selain menyelami kesusastraan dan pemikiran barat, Gus dur juga tidak ketinggalan perkembangan intelektualitas di dunia Islam. Bacaannya sangat luas

mulai dari karya-karya Sayyid Qutb, yang terkenal dengan pemikiran ekstrimisme Islamnya, karya-karya Hasan Al-Banna (tokoh yang mendirikan Ikhwanul Muslimin di Mesir pada tahun 1928 yang mengusung semangat kembali kepada alquran dan hadis guna menyembuhkan penyakit masyarakat), Ali Syari‟ati (intelektual Iran, tulisannya menggelorakan masyarakatnya untuk melakukan revolusi konstitusional dinegaranya). Namun, ada satu hal yang disayangkan oleh Gus Dur terhadap beberapa tokoh diatas. Yakni, keengganannya menerima kebenaran yang berasal dari sumber lain.

Jejak inteletual Gus Dur tidak hanya berhenti di bumi para Pharao. Jiwa petualangannya membawanya ke negeri Aladin, Baghdad, Iraq. Loyalitasnya di PPI, kedekatannya pada pejabat kedutaan Indonesia ditambah pengetahuannya yang mumpuni dalam beberapa disiplin ilmu, menjadi elemen sentral yang mengantarkannya meraih beasiswa keduanya tersebut. selain itu, di tempat persinggahannya yang baru ini, Gus Dur menemukan oase keilmuan yang tak kalah semarak dengan Kairo.

Baghdad, merupakan pusat kehidupan yang saat itu dikenal oleh para mahasiswa Indonesia sebagai kota kosmopolitan yang penuh dengan vitalitas, baik dari ranah ilmu pengetahuan maupun seni. Para intelektual bebas untuk mengutarakan pendangan maupun pemikirannya. Hal ini berbanding terbalik dengan Mesir. Disaat yang sama, Mesir dibawah pemerintahan Nasser menerapkan filtrasi yang cukup ketat dalam semua aspek kehidupan, tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Langgam otokratik pemerintahan Nasser, menjadi salah satu faktor utama keengganan Gus Dur untuk berlama-lama di Mesir.

Di kota ini, Gus Dur memilih Universitas Baghdad sebagai tambatan sampan pengembaraannya. Saat itu Universitas Baghdad, walaupun sama-sama berada di kawasan Timur Tengah, memiliki perbedaan signifikan dengan Al- Azhar. Jika universitas Al-Azhar bersikukuh mempertahankan metode tradisionalnya yang merupakan hasil proliferasi selama berabad-abad, maka Universitas Baghdad banyak mengadopsi unsur Eropa . satu hal yang cukup menyita perhatian, banyak dari akademisi Mesir favorit Gus Dur, pindah ke universitas tersebut dengan alasan di tempat itu mereka mendapatkan kebebasan akademik dan gaji yang lebih tinggi.

Di Baghdad, jadwal belajar Gus Dur lebih ketat ketimbang di Kairo. Ia diharuskan untuk masuk secara teratur di kelasnya, dan sebisa mungkin jangan sampai membolos. Seringkali, ia mesti mengorbankan sebagain waktu istirahatnya, karena malamnya ia gunakan untuk membaca. Selain itu, Gus Dur juga intens mengikuti kursus bahasa Perancis gratis di Pusat Kabudayaan Perancis. Kesempatan ini didapat ketika dalam sebuah pesta, ia ditawari oleh guru bahasa Perancisnya untuk memperdalam pelajaran bahasa Perancisnya.

Di kota ini, Gus Dur tidak hanya bergaul dengan teman setanah air, namun juga ia tidak malu untuk menjalin persahabatan dengan orang non-Indonesia. Perbedaan adat dan ras, tidaklah dipandang Gus Dur sebagai penghalang. Justru dari pergaulan interkultural ini, Gus Dur dapat belajar berbagai hal yang tidak ditemukannya di dalam buku, dan yang menarik lagsung dari si pelakunya, layaknya wawancara. Salah satu sahabat Gus Dur yang cukup memberikan warna dalam mengisi hari-hari adalah Ramin. Ramin adalah seorang pemikir liberal dan terbuka. Ia giat mempelajari “Cabbala” suatu aliran mistik kuno Yahudi.

Gus Dur dan Ramin seringkali terlihat bersama di pasar dekat Taman Gantung. Kebetulan ditempat itu terdapat satu tempat yang nyaman untuk melakukan diskusi. Tema pembicaraan mereka beragam, mulai dari agama, filsafat bahkan politik. Ramin banyak menerangkan kepada Gus Dur seputar masalah diaspora Yahudi. Menurut Ramin, masa diaspora adalah masa yang sulit bagi Yahudi. Keterpurukan Yahudi semakin menggila di Jerman dan Rusia. Dari sahabatnya itu, Gus Dur mulai belajar menghormati ajaran Yudaisme serta keprihatinan Yahudi yang nasibnya terkatung-katung selama berabad-abad.

Setelah menamatkan studinya di Baghdad pada pertengahan 1970-an. Gus Dur melanjutkan studi pascasarjananya ke Eropa dan negara yang dipilih oleh Gus Dur adalah Belanda. Di negeri kincir angin ini, rencananya, Gus Dur akan mengambil objek studi perbandingan agama. mula-mula ia mencari informasi di Universitas Leiden. namun, keriangan hati Gus Dur membeku seketika. Ternyata, hasil belajarnya selama empat tahun tidak mendapat pengakuan dari Leiden dan beberapa Universitas Eropa lainnya. Justru, ia disarankan untuk kembali mengulang dari tingkatan sarjana.

Kekecewaan ini tidaklah lama terendap di hati Gus Dur. Biarpun ia tidak bisa menempuh studi formal, namun ia tetap berkeyakinan akan tetap mendapatkan hikmah terpendam dari benua biru ini, sekalipun tidak di bangku kuliah. Sela satu tahun ia berkelana menyusuri Eropa. Ia memilih Belanda, Jerman, dan Perancis sebagai tempat persinggahannya. Di negara-negara itu, Gus Dur menyibukkan diri dengan menjadi semacam free agent yang mendulang kekayaan pengetahuan Eropa lewat forum-forum diskusi yang diikutinya.

Dokumen terkait