• Tidak ada hasil yang ditemukan

Meretas Dialog Dengan Israel

BAB III BIOGRAFI INTELEKTUAL ABDURRAHMAN WAHID

C. Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Perdamaian

2. Meretas Dialog Dengan Israel

Dapat disimpulkan dari keterkaitan Gus Dur dengan segala hal Israel adalah kooperatif. Namun, berbicara kepentingan, tentu merupakan hal yang berbeda. Ia menegaskan dirinya tetap membela dan memperjuangkan kepentingan bangsa Arab, terutama Palestina. hanya saja ia lebih tertarik menggunakan jalannya sendiri, yang kerapkali dianggap kontroversial oleh orang lain, yakni tetap mengadakan kontak dengan pemerintahan Tel Aviv. Baginya, kedamaian dengan pendasaran keteraturan hidup semua agama adalah yang paling fundamen, jangan hanya berhenti pada pos umat Islam.33

Pertemuannya dengan Ramin, sahabat Yahudinya ketika ia melanjutkan studi di Iraq, agaknya turut mempengaruhi persepsi Yahudi di mata Abdurrahman Wahid. Kemajuan yang diperoleh Yahudi saat ini, tidaklah didapat dengan mudah. Berbagai macam kepedihan mereka rasakan. Mulai dari pengucilan selama berabad-abad di Eropa, sampai pembunuhan massal yang mereka sempat alami. Jadi, adalah suatu kewajaran bila Yahudi, berangkat dari keterpurukannya, mampu merangsek ke peringkat atas orang-orang penting di muka bumi saat ini.

Seperti yang sudah disampaikan, orang Yahudi mempunyai modal dasar yang mengikatnya selama berabad-abad, sejak mereka tercecer, disudutkan oleh pergaulan internasional, hingga menjadi umat pioner penggerak Zaman, seperti saat ini. Mereka memelihara semacam kesadaran kolektif yang dari titik itu

33

Nawawi A. Manan, Membangun Demokrasi Melalui Kontroversi (Sidoarjo: Pustaka Andalusia, 2003), h. 166 dan 168.

mereka seakan terikat ke kesatuan nasib yang meliputi orang Yahudi dari belahan manapun, sekalipun terpisah oleh lain benua. Yerussalem, seperti yang disampaikan Trias Kuncahyono, merupakan simbolisasi abadinya api perjuangan Yahudi menjaga kesatuan langkah perkumpulan Yahudi dunia, termasuk Israel.

Selain itu, kecondongan Gus Dur terhadap Israel, semata-mata adalah narasi besar yang menjadi cita-citanya menciptakan perdamaian global, tidak lagi tersekat oleh domain-domain keagamaan. Disadari atau tidak, badai prahara yang berpotensi mengganggu kemajuan peradaban manusia kedepan, adalah disebabkan oleh pertikaian tak berujung antara Israel dengan Palestiana.

Gus Dur, menyebutkan kawasan Timur Tengah merupakan padang peperangan dan tempat perebutan dominasi bagi para negara besar. Hal ini dapat dilacak dari politik dagang sapi yang dilakukan para pemenang-pemenang Perang Dunia I dan II. Terkait posisi Israel-Palestina, wacana mewujudkan satu negara berdaulat Israel yang berdiri di lahan Palestina, telah menghangat pasca PD I34. saat itu Inggris menjanjikan tanah Palestina bagi orang Yahudi,dengan imbalan para miliarder dan legiun perang Yahudi membantunya dalam perang antar negara tersebut. pengadaan negara Israel, semakin memfosil dengan Perjanjian Sykes- Picot (1916) dan Deklarasi Balfour (1917).35

Medan pertarungan inilah yang semakin memanaskan regional Timur Tengah itu sendiri. Konflik Palestina-Israel merupakan faktor penyulut aksi pertikaian yang semakin meluas ke negara –negara Arab lainnya seperti di Iran, Iraq, Mesir dan lain-lain.

34Abdurrahman Wahid, “Timur Tengah: Panorama Pergolakan Tak Kunjung Berhenti” dalam Prisma Pemikiran GusDur (Yogyakarta: LKiS, 2010), h. 134.

35

Dengan memperhitungkan posisi Israel sebagai matchmaker Timur Tengah, adalah satu hal yang patut dikedepankan. Bagaimanapun, kekuatan Israel adalah puncak gunung es dari sokongan negara-negara paling berpengaruh di dunia. Melawan Israel menggunakan senapan adalah satu hal yang konyol. Sebenarnya, bisa saja diejawantahkan pan-Arabisme jilid II yang mengusung semangat “menghapus Israel dari peta dunia” namun, upaya tersebut terasa kemajuannya hanya beberapa tapak ke depan. Sedangkan selanjutnya, Timur Tengah menjadi padang penjagalan yang dilakukan oleh negara super powers

lainnya.

Menyelami ide Gus Dur-Israel, agaknya para penafsirnya juga akan menemukan kamar-kamar lain, yang begitu banyak dalam jaringan pemikirannya Memang merupakan sebuah kerumitan tersendiri dalam memandang sepak terjang pemikiran Gus Dur, terlebih bagi mereka yang menggunakan kacamata lahiriah, tanpa memasang lensa tabayyun guna melesat ke asumsi pemikirannya.

Satu hal yang menjadi fokus perhatian, adalah jangan hanya memahami pemikiran Gus Dur sepenggal-sepenggal. Jika itu yang terjadi, maka yang ada adalah kesalahan pandangan yang justru bertameng pada menyalahkan seseorang, bahkan kerapkali menyematkan gelar kafir, keblinger, dan lain-lain.

Kembali pada persoalan Israel, Gus Dur sangat tidak sepakat dengan golongan garis kanan parlemen Israel. Menurutnya, kelompok ini begitu bernafsu untuk mewujudkan negara Israel raya (Palestina, Syria, dan Jordania). Di sisi lain, kelompok moderat yang pro-perdamaian, kurang mendapat tempat dalam Knesset. Partai Likud, merupakan partai besar yang di Knesset mejadi payung bagi

kelompok Israel garis keras. Kelompok inilah yang melegalkan penghilangan hak hidup warga Arab dengan cara apapun.

Tidak bisa dielakkan, “kebijakan alot” kelompok keras, seperti yang diimani oleh PM Israel, Ariel Sharon, tidaklah menginisiasi terbitnya solusi, malah berbanding terbalik, akan semakin memperkeruh suasana36. Orang-orang macam inilah yang semakin membawa konflik Timur Tengah ke wilayah tuna rekonstruksi hubungan kemanusiaan.

Dimata pengambil kebijakan keras Israel, fakta kebenaran, dianggap ilusi, seakan tak pernah terjadi. Hal ini terbukti ketika Komisi Kahan yang dibentuk oleh pemerintahan Israel guna mencari bukti keterlibatan pembantaian pengungsi Palestina di perkampungan Sabra dan Chatila, sebelah barat Beirut. Ketika komisi pimpinan ketua Mahkamah Agung, Yitzhaki Kahan membawa hasil yang membuktikan tentara Israel membunuhi warga Palestina, fakta ini ditentang ekstra keras oleh kelompok ultra-radikal yang saat itu diwakili oleh Menlu Ariel Sharon. Akibatnya , dokumen tersebut seperti berada di ruangan kosong, tidak ada penelusuran lebih lanjut bak tidak terjadi apa-apa.37

Dilain hal, kamar lain yang perlu dijelajahi oleh para penafsir pemikiran Gus Dur adalah bahwa sosok ini begitu menggandrungi humanisme universal. Menurutnya, universalisme Islam menampakkan wajah teduh yang bersumber dari tiap kebaikan ajaranya. Paralelitas ajaran yang saling mendukung, yakni dari hukum agama (fiqh), keimanan (tauhid), etika (akhlak), yang kerapkali

36 Abdurrahman Wahid, “Arafat, Israel, dan Palestina” dalam

Kompas edisi Minggu, 7 April 2002.

37 Abdurrahman Wahid, “Israel: Cukupkah Momentumnya?” dalam

Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LKiS, 2010) h. 227.

disempitkan maknanya menjadi kesusilaan belaka, dan nilai hidup yang merujuk pada upaya menebarkan pendar-pendar ajaran kemanusiaan (al-insaniyyah).38

Nah, pada tataran inilah, sikap menerima yang lain menjadi sangat penting. Terutama dalam rangka membonsai kehidupan yang awalnya penuh tipu daya, menjadi satu ritme kesamaan dalam menggagas satu perubahan sistemik. Realitas kebhinekaan, tidak hanya pada ranah nasional, adalah keniscayaan yang wajib dipahami dan dilestarikan.

Jika sudah demikian, maka akan mudah untuk merajut jalinan-jalinan kerjasama antar umat yang berbeda. Tak terkecuali dengan Israel, yang secara lahiriah dianggap musuh Islam, maka adalah satu keharusan guna mengajak umat Yahudi yang memiliki kepeduliaan dalam menggalang kehidupan yang lebih baik.

38 Abdurrahman Wahid, “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Ajaran Islam” dalam Pergulatan Negara, Agama,dan Kabudayaan (Depok: Desantara, 2001), h. 179.

111

PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID

TERHADAP KONFLIK PALESTINA-ISRAEL

A. Abdurrahman Wahid dan Yahudi

Melihat perjalanan hubungan Gus Dur dan Yahudi di atas, dapatlah kita mengambil suatu benang merah bahwa Gus Dur begitu kooperatif terhadap Israel. Hal ini merupakan satu terobosan baru bagi terciptanya perdamaian hakiki di Timur Tengah. Kendati terkesan melabrak adat, karena dunia Islam terlanjur menstigmatisasi Israel sebagai penjajah tanah Palestina.

Selain itu, Gus Dur mempunyai agenda yang lebih besar, yakni sebagai upaya mencari format yang lain, namun lebih menjanjikan bagi pengentasan penderitaan bangsa Palestina. jika hanya menggunakan mata telanjang atau tanpa meneliti secara lebih dalam dan holistik, maka yang hadir di pengindraan para pengamat akan mengerucut pada pandangan “Gus Dur mendukung Israel.”

Sebenarnya, Gus Dur pun seorang tokoh yang tidak menyetujui tindakan konfrontatif Israel atas Palestina. hanya saja Gus Dur terkesan lebih mawas diri. artinya ada semacam lompatan ekstase ide dalam ruang pemikiran Gus Dur. dengan cover menjalin kerjasama bilateral dengan Israel, akan membuka pintu lebih lebar guna mendekati baik dalam tataran aksi maupun batin untuk dapat mempengaruhi kebijakan Israel atas Palestina.

Tidak bisa dipungkiri, instalisasi nilai-nilai pluralisme yang bersarang dalam pemikiran Gus Dur menjadi semacam perkakas tambahan guna memantapkan langkahnya berjabat tangan dengan pihak Tel Aviv. Seperti yang

telah dipaparkan di atas. Pluralisme, yang menawarkan satu outlook mengakui realitas liyan, menjadi faktor pendorong kuat Gus Dur untuk menginisiasi pengadaan satu agenda yang menguntungkan tidak saja bagi umat Islam Palestina, namun juga bagi berdirinya republik perdamaian yang menaungi ruang publik dunia.

Israel, disadari Gus Dur, merupakan satu negara yang mempunyai pengaruh yang besar dalam peta ekonomi dunia. Selain sebagai sarana memperjuangkan kepentingan rakyat Palestina, hubungan diplomatik dengan Israel, dipandangnya dapat menjadi preseden bagi fajar baru rekonstruksi ekonomi dalam negeri. Namun, pendapat seperti ini agaknya terlalu dini dibicarakan.

Untuk menambal lubang besar kerusakan ekonomi, sebenarnya, Gus Dur juga mempunyai kesempatan yang tak kalah gemilangnya dengan menjalin hubungan dagang dengan Israel, yakni dengan melirik negara-negara lain yang mempunyai sayap-sayap ekonomi yang tak kalah kuat ketimbang Israel, seperti China misalnya.

Gus Dur mempunyai kans yang cukup besar jika dapat memanfaatkan kedekatan yang padu dengan China. Kedekatan Gus Dur dengan komunitas Tionghoa, dapat menjadi modal dasar membangun hubungan ekonomi maupun politik yang tak kalah besar dengan menjalin kerjasama dengan Israel. Jika Israel mempunyai jejaring ekonomi-politik yang begitu kuat di Eropa dan AS, maka China pun demikian, mempunyai kapasitas tersendiri yang dalam beberapa hal sejajar dengan Israel.

Namun, yang lebih penting dari itu, dapat meredam amarah umat Islam tanah air. Bagaimanapun, harus ada common sense yang harus dipahami oleh Gus

Dur dari gesture muslim tanah air yang masih sinis terhadap Israel, sekalipun hubungan yang akan terjalin dapat menimbulkan suatu manfaat nantinya. Dengan demikian kontroversi yang meresahkan umat Islam tanah air tidak harus terjadi.

Namun, jika ditarik ke ranah yang lebih luas, keinginan kuat Gus Dur untuk menjalin hubungan dengan Israel dengan tujuan akhir melepaskan cengkeraman negara Yahudi itu dari tanah Palestina, tentu merupakan langkah yang patut diapresiasi. Hal ini mengingat, kekurangefektifan memperjuangkan kemerdekaan Palestina melalui jalur senjata. Sedangkan melalui meja perundingan masih saja berbuntut lubernya kesepakatan perdamaian yang sebelumnya sempat disetujui oleh kedua belah pihak.

Mau tidak mau, strategi menuntaskan masalah Timur Tengah ini, harus diformat ulang dan disesuaikan relevansinya. Israel bagaimanapun, merupakan negara kuat yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Jika jalur militer urung berhasil, maka jalan kultural, yakni dengan memanfaatkan kedekatan dengan pemerintah Israel, dipandang Gus Dur merupakan sesuatu yang solutif, kendati Mesir era Anwar Sadat gagal melakukan hal tersebut.

Bergabungnya Gus Dur dengan organisasi Simon Peres pada tanggal 7 Maret 19971, dapat dikatakan sebagai langkah keseriusan awal Gus Dur dalam upayanya menciptakan rekonsiliasi Palestina-Israel. Simon Peres adalah seorang tokoh Israel, yang mempunyai pemikiran lebih moderat ketimbang kolega- koleganya dari partai Likud yang cenderung menghalalkan segala cara mengenyahkan Palestina.

1

Fahri Hamza, ed., Inilah Satu Dekade Kontroversi: Tabel-Tabel Kontroversi Abdurrahman Wahid Periode 1991-2000, (Jakarta: YFIS Press, 2000), h. 25

Peres merupakan sosok yang dapat diterima oleh bangsa Arab karena pandangannya yang lebih solutif guna menghentikkan pertikaian antara dua bangsa Ibrahim tersebut2. saat itu, Peres sendiri yang menyeleksi para tokoh-tokoh dunia yang mempunyai komitmen tinggi dalam menciptakan iklim perdamaian di dunia. Gus Dur dinilai Peres sebagai sosok yang gandrung akan cita-cita perdamaian melalui jalur agama3. oleh sebab itu, kontribusi Gus Dur sangat dibutuhkan di yayasan tersebut. Terlihat persamaan yang kentara terkait ide pengentasan konflik Palestina dan Israel antara Peres dan Gus Dur, keduanya memandang suatu persamaan baik hak dan kewajiban bagi bangsa Yahudi dan Arab Palestina.

Artinya, harus ada kerelaan dari kedua belah pihak untuk hidup berdampingan. Bangsa Israel, sebagaimana telah disinggung di bab I, merupakan bangsa yang dikucilkan oleh sejarah. Maka wajar apabila mereka memendam rasa rindu akan hadirnya tempat mukim bagi dirinya. Yang menjadi satu hal yang menarik, mereka tetap memelihara cita-cita tersebut selama berabad-abad.

Selain itu, perlu juga dicatat, bangsa Yahudi adalah bangsa yang mempunyai pengaruh besar di mata dunia. Beberapa dari mereka- untuk tidak mengatakan semua- terkenal sebagai penggerak-penggerak roda sejarah. Selain itu, lobi-lobi mereka begitu menggurita di negara-negara adidaya, seperti AS4. Kalimat ini, bukanlah berarti menunjukkan inferioritas umat Islam, tetapi sebagai pelajaran bahwa dalam “melemahkan” kekuatan Israel, harus menggunakan metode dan cara yang benar-benar efektif. Salah satu cara yang ditawarkan Gus Dur adalah dengan merangkul mereka, merubah paradigma lawan menjadi kawan.

2

Reza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah……, h 32. 3

Nawawi A. Manan, Membangun Demokrasi….,h. 166. 4

Pemikiran demikian, walaupun menurut Gus Dur dipandang cukup solutif, tetapi juga berpotensi menyulut protes keras di dunia Islam, khususnya di tanah air. Bagaimanapun, sampai sekarang, Israel tetap dianggap sebagai musuh Islam, karena secara rill, mereka telah melakukan tindakan represif terhadap bangsa Palestina.

Terbukti, hampir setiap opini maupun aksi Gus Dur terkait dengan pandangannya yang dianggap pro-Israel, mengundang kritikan yang tajam. Umat Islam secara keseluruhan, agaknya masih belum mau membuka pintu untuk menerima Israel. Ketika Gus Dur melakukan lawatannya ke Israel, beberapa tokoh Islam menilai, kunjungannya tersebut merupakan sesuatu yang tidak perlu dan dipadang „membahayakan‟ . umumnya, mereka yang mengkritik keras Gus Dur, adalah mereka yang sangat kontra dengan segala hal terkait Israel.

Amin Rais, yang saat itu menjabat sebagai ketua PP Muhammadiyah, sangat menyayangkan kunjungan Gus Dur ke Israel. Menurutnya, “…umat Islam Indonesia tidak akan rela jika tokoh-tokoh panutannya menjalin hubungan dengan Israel. Posisi negeri ini, sebagai negara mayoritas muslim, menjadi taruhannya….”5

Dunia Islam, dapat saja berpadangan Indonesia mulai me- reposisi dukungannya yang tadinya dialamatkan bagi Palestina, kini pindah ke Israel.

Jadi, dengan menimbang kondisi tersebut, dikhawatirkan dapat mengundang resiko yang lebih besar. Merupakan sesuatu yang menggelikan, lanjut Amin Rais, “…Indonesia yang pernah menderita akibat dijajah, malah mendukung negara yang menjajah bangsa lain….”6

5

Mahfudz, “Mencari Damai yang Dimusuhi; Catatan Perjalanan ke Israel,” h. 27 dan 28. 6

Namun demikian, Gus Dur tetap optimis, kendati Knesset kerapkali di kuasai oleh golongan ultra-keras yang menghendaki pencaplokan wilayah Palestina, namun mereka yang berpikiran terbuka seperti Simon Peres dan Yitzhak Rabin, tentu tidaklah surut. Banyak dari anggota parlemen Israel yang menurut Gus Dur “berpikiran waras” yang tetap mengedepankan perjuangan menahan laju politik garis keras Israel dan menghadirkan kedaulatan bagi bangsa Palestina7.

Bagaimanapun, yang tersaji di Indonesia, terkait hal ihwal tentang Israel, adalah negara penindas yang memasung kebebasan berbangsa dan bernegara warga Palestina. pada poin tersebut, tidak ada lagi perhatian mengenai golongan moderat maupun garis keras dalam tubuh parlemen Israel, semuanya sederajat dan sama saja. hal inilah yang menjadi „jalan terjal‟ bagi Gus Dur untuk mengejawantahkan ideanya.

B. Abdurrahman Wahid dan Palestina

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Gus Dur merupakan sosok yang gigih memperjuangkan kemerdekaan bangsa Arab Palestina dari perilaku despotik Israel. Kendati ia lebih mengedepankan sikap kerjasama dengan Israel, hal ini tidak menyurutkan niat Gus Dur untuk berkontribusi menghentikan kekisruhan di jatung Timur Tengah itu.

Tindakan militeristik yang selama ini diusung oleh Palestina, demikian Gus Dur, merupakan “umpan balik” yang sia-sia dalam menghalau hegemoni Israel. Maka dari itu, sesegera mungkin haruslah dihentikan. Mereka yang

7

Abdurrahman Wahid, Palestina: dari Tragedi ke…, dalam Mustafa Ismail dkk (Ed), Abdurrahman Wahid, Melawan Melalui Lelucon: Kumpulan Kolom Abdurrahman Wahid di Tempo (Jakarta: Pusat Data dan Analisa TEMPO, 2000) h. 256.

mempunyai ideologi kekerasan dalam memandang Israel, tentu akan menemui satu serangan balik yang dua bahkan tiga kali lebih hebat dari Israel. Bagaimanapun, reliatas dalam menilai Israel sebagai negara yang mempunyai satu otoritas militer tersohor di mata dunia, haruslah disadari betul. Melumpuhkan Palestina, tentu merupakan hal yang mudah bagi Israel.

Namun demikian, tindakan pelarangan menggunakan jalur kekerasan, merupakan sesuatu yang sulit dilakukan. Hal ini terkait dengan mindset ideologi yang berbeda-beda antara berbagai organisasi yang berfusi dalam PLO. Merupakan sebuah keniscayaan, apabila ada sekelompok golongan yang tidak puas dengan pola penyelesaian PLO yang cenderung melunak dengan Israel. Ditambah lagi, sebagian besar perjanjian damai hanya berujung pada retorika tanpa ada sesuatu yang mengikat. Hal ini merupakan salah satu sebab yang melatarbelakangi hengkangnya organisasi, seperti HAMAS, yang lebih nyaman menggunakan jalur militer.

Gus Dur begitu keras mengkritik pola perjuangan PLO era Yasser Arafat yang dinilainya terlalu ragu-ragu. Di samping itu, kegagalan Arafat meredam “gelora jihad” anggotanya yang berideologi gun first, menjadi pertanda, bahwa sesungguhnya nasib bangsa Israel semakin tidak menentu. Para milisi Palestina yang kerapkali mengadakan penyerangan terhadap orang Yahudi, disebut-sebut Gus Dur sebagai saham besar yang semakin memperkeruh road map perdamaian8. Cara-cara militeristik -seperti bom bunuh diri-jika terus dilanggengkan menjadi satu preseden buruk yang semakin membawa stigma negatif perjuangan Palestina yang dinilai kontra-produktif. Nah, inilah yang harus direposisi dan

8

digantikan dengan cara-cara kultural9, salah satunya dengan mengedepankan sisi diplomatis.

Termasuk kedalam keberpalingan dari cara-cara kultural, adalah kelalaian sebagian kecil pemuda muslim untuk institusi (lembaga) dan budaya (kultur) Islam. Minimnya pemahaman tentang khazanah budaya dan peradaban Islam, dapat menyebabkan ketakutan bahwa institusi (kelembagaan) ke-Islaman akan putaran modernisasi, yang di blow up oleh peradaban Barat. Karena merasa tantangan modernisme dan baratisme sulit untuk dihadapi, maka mereka menggunakan berbagai macam cara (termasuk kekerasan) dalam “mempertahakan” agama yang mereka yakini.10

Untuk itu, penghayatan akan ajaran keagamaan yang lebih mendalam kaitannya dengan realitas kebhinekaan haruslah diperhatikan. Agaknya, Gus Dur terisnspirasi dengan jalan pemikiran Mahatma Gandhi, yang menjadi idolanya, dalam memandang penyelesaian konflik tersebut. Gandhi merupakan seorang negarawan yang giat mengkampanyekan gerakan Ahimsa (anti-kekerasan).

Bagi Gandhi, menghadapi setiap problem, hendaklah menegasikan unsur- unsur kekerasan. Ketika India dijajah oleh Inggris, Gandhi menggunakan cara tersebut, yakni dengan berlaku kooperatif tehadap pemerintah India. Hal tersebut, sangat kentara dalam jalan politik Gus Dur, yakni dengan menggandeng Israel dalam prosesi rekonsiliasi etalase sosial kedua negara yang mengalami kerusakan. Menjadi suatu tantangan bagi pemimpin PLO dalam meyakinkan para anggotanya untuk lebih mengedepakan jalur dialog. Hal ini mengingat

9

Abdurrahman Wahid, Palestina: dari tragedi ke…. h. 254.

10

Abdurrahman Wahid, Adakah Perdamaian di Irak ? dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 380.

kepemimpinan PLO sebelumnya yang hingga kini, belum bisa menghadirkan peta pengamanan dan kemaslahatan bagi warga Palestina secara signifikan.

Dalam menggalang perdamaian Timur Tengah, diperlukan perhatian dan kerjasama dunia internasional. Selain menggalakkan konsolidasi negara-negara adidaya, penting bagi negara-negara Arab yang mempunyai kans ekonomi-politik relatif baik dan maju guna berpartisipasi membawa pemenuhan kepentingan Palestina11. modal kekayaan-utamanya minyak-dapat menjadi semacam “daya tawar” yang dapat mempengaruhi kebijakan para negara adidaya terkait dengan pembangunan negara Palestina yang berdaulat.

Selain kontribusi dari para negara Arab, perjuangan perdamaian akan semakin berdampak luas jika dibarengi dengan upaya rekonstruksi dasar-dasar ekonomi- politik Palestina. hal ini dapat berupa bantuan keuangan menggunakan jalan kredit murah berjangka panjang. Dengan cara ini, diharapkan dapat memacu laju perekonomian dan perindustrian yang tentu didampingi dengan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih di masa depan12.

Seperti telah diketahui, beberapa negara besar dunia, seperti AS, menggantungkan pasokan minyaknya, dari Timur Tengah. Kekayaan alam yang umumnya dimiliki oleh sebagian besar negara di Timur Tengah tersebut, dapat dijadikan semacam alat gertak untuk negara-negara besar guna memperjuangkan kelengkapan perdamaian Palestina-Israel. Kelengkapan tersebut bukan hanya berisikan sekedar sponsor atau dukungan retorika disertai harapan semata. Tetapi juga pengupayaan rekonstruksi sendi-sendi pembangunan Palestina.

11

Abdurrahman Wahid, Palestina: Dari Tragedi ke…, h. 255.

12 Abdurrahman Wahid, “Perdamaian Belum Terwujud di Timur Tengah”, dalam

Selain itu, Gus Dur juga berharap ada revolusi sistemik dalam tubuh PLO. Organisasi tersebut, yang berdiri dengan mengusung independensi politik masyarakat Palestina, dituntut mampu memberikan “efek kejut” yang akomodatif dalam mengusahakan perdamaian internasional, utamanya Palestina-Israel.

PLO era Yasser Arafat, dinilai Gus Dur tidak begitu dirasakan oleh kalangan akar rumput. Walapun, Arafat menggunakan cara-cara diplomatis, seperti yang dipaparkan sebelumnya, mereka terkesan setengah-setengah dalam berjuang melalui jalan tersebut, seperti saat Arafat menolak penandatanganan sebuah naskah perdamaian di hadapan Yitzhak Rabin (saat itu menjabat PM

Dokumen terkait