• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menyemarakkan Pluralisme

BAB III BIOGRAFI INTELEKTUAL ABDURRAHMAN WAHID

C. Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Perdamaian

1. Menyemarakkan Pluralisme

Gus Dur dikenal sebagai seorang guru bangsa yang begitu gandrung akan indahnya kebersamaan. Nah, kebersamaan ini ditandai oleh landasan hidup yang dipenuhi oleh nilai-nilai profetik yang menjurus pada pendirian pilar-pilar demokrasi, dimana kebebasan bersuara dan berkeyakinan mendapat payung hukum dari negara. Hal ini adalah prioritas, mengingat realitas keummatan dapat mencandra kebahagiaan hakiki jikalau telah mampu bersifat fleksibel, menerima perbedaan dan mengkonversikannya sebagai peace worldview.

Pandangan Gus Dur tentang perdamaian tidak terpaut pada terma-terma agamanya an sich, yang ditafsirkan secara taken for granted. Namun, sebaliknya Gus Dur tidak segan untuk berbaur, mengkaji realitas kebhinekaan bangsa yang terang-terang heterogen. Sebagaimana telah diketahui, bangsa ini mempunyai khazanah kearifan lokal yang begitu luas. Hal tersebut merupakan suatu penanda

24

Ibid, h. 387. 25

bahwa berbeda itu bukanlah sebuah hal yang patut untuk didisposisikan. Bagaimana caranya merajut perbedaan guna menuai reformasi moral bangsa, adalah esensi yang perlu dikedepankan.

Selain itu, hal lain yang tak kalah penting, adalah usaha Gus Dur untuk membumikan cita humanisme Islam. Islam bukanlah agama yang hanya terpaut perkara dogmatik yang mengurus perkara halal dan haram. Gus Dur berpandangan, justru dari jantung humanisme Islam, menjalar berbagai macam nadi-nadi toleransi dan keharmonisan sosial yang semakin memperkuat keyakinan bahwa realitas plural di tengah masyarakat modern, bukanlah perkara yang harus ditakuti, sebaliknya harus direspon secara positif.26

Guna mewujudkan iklim ketentraman, demikian Gus Dur, kerjasama antara antara berbagai sistem keyakinan sangat dibutuhkan dalam menangani kehidupan masyarakat, karena masing-masing memiliki keharusan menciptakan kesejahteraan lahir (keadilan dan kemakmuran) dalam kehidupan bersama, walaupun bentuknya berbeda-beda. Dari poin inilah akan ditemukan suatu dialog titik temu, bukannya dalam hal keyakinan/akidah, namun dari segi pecapaian materi baik berupa hal yang normatif seperti terselenggaranya demokrasi yang menyeluruh, sampai bergulir ke hal praksis seperti pengentasan kemiskinan.27

Diantara beberapa poin yang menjadi fokus penting pengejawantahan perdamaian, pemeliharaan „masyarakat plural‟ merupakan satu poin yang wajib dilestarikan. Dalam rancang bangun kebhinekaan, laiknya negeri ini, fenomena pluraisme atau paham yang meyakini hadirnya heterogenitas, merupakan

26

Tim InCRES, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya bekerjasama dengan InCRES (Institute of Culture and ReligionStudies), 2000), h. 45.

27

prasyarat pemancangan kehidupan filantropis. Untuk yang satu ini, semangat Gus Dur begitu bergolak ketika mendengar suatu berita pemasungan batang tubuh pluralisme.

Penghargaan akan realitas liyan, dapat menjamur dan tumbuh subur jikalau suatu bangsa telah mampu memandang perbedaan sebagai keniscayaan. Selain itu, hal lain yang perlu diinisiasi untuk menumbuhkan kesadaran hidup rukun satu dengan lainnya, adalah lewat forum dialog yang berujung tidak saja pada rasa saling-menghormati namun juga rasa saling menyayangi. Hal ini lah yang terkadang sering tertinggal. Jangan sampai kesadaran hidup bersama hanya terendap menjadi saling menghargai tetapi juga harus diteruskan sampai tingkat selanjutnya yakni merasa sakit apabila saudaranya sakit, merasa pertanggungjawaban apabila saudaranya disakiti.

Dalam membincangkan diskursus pluralisme di negeri ini, agaknya masih berkelok-kelok dalam labirin yang menyesatkan. Kendati secara empiris, Indonesia adalah negara yang diisi oleh penduduk yang beragam, namun tetap saja perbedaan-terutama dalam hal keyakinan- kerapkali ditanggapi dengan kurang arif, bahkan telah bermuara ke ranah kekerasan.

Sematan negara demokrasi agaknya hanyalah terngiang dalam spanduk, tanpa ada tindakan proliferatif guna menjaga eksistensi kebebasan. Demokrasi menjadi satu hal yang penting daam alam pemikiran Gus Dur. perbedaan, tentunya, bukanlah satu hal yang harus disesalkan. Namun, adalah satu gagasan yang patut diapresiasi jika membubuhkan tinta perjuangan demi tegaknya pilar- pilar demokrasi yang hakiki.

Upaya penegakkan panji pluralisme, melihat realita sosial kekinian, haruslah disemarakkan. Hal ini berkait kelindan dengan pemupukkan elan kesatuan dan persatuan yang kian kemari kerapkali tersasar kearah perubahan identitas,dimana masyarakat timur dinilai sebagai civil society yang penuh dengan keramahan dan dalam bertindak selalu dilabeli dengan semangat gotong royong, kini, berganti wajah menjadi raksasa yang gemar „menumpahkan darah‟ antar- sesama. Setidaknya ada tiga alasan yang mendasari urgensi penenunan benang- benang penghormatan akan keragaman dalam ruang publik tanah air.

Pertama, sebagai modal dasar dalam menghadapi perubahan-perubahan global yang seringkali-untuk tidak mengatakan semua-mencerabut kesalehan lokal dalam negeri. Pluralisme adalah elan vital guna meyongsong datangnya unsur baru yang beraroma negatif bagi eksistensi pengejawantahan nilai-nilai Pancasila. Disadari atau tidak, gelombang globalisasi yang semakin rapat menyentuh pola kehidupan kita, dapat menyebabkan kesenjangan yang cukup besar ditengah kehidupan kontemporer. Dengan mengambil kearifan-kearifan yang berasal dari inter-wisdom dari berbagai entitas tanah air diharapkan dapat merakit suatu kesinambungan dalam memilah-milah kebajikan dari unsur luar, pada titik inilah diktum fiqih, Islam akhdzu bi al-jadid al-ashlah, memainkan perannya.

Kedua, hal yang perlu diperhatikan adalah, penguatan pluralisme adalah guna preventisasi gerakan keagamaan simbolik, yang mempunyai visi mengadakan penyeragaman dalam bernegara dan bermasyarakat. Islam, menempati urutan pertama, yang tersandung kasus tersebut. gelombang Islam transnasional yang diimpor dari Timur Tengah, menjadi semacam leviathan yang

mencabik-cabik rasa satu rasa dalam kebhinekaan. Upaya menerapkan juris-juris Islam menjadi momok menakutkan bagi lanjutan masyarakat plural negeri ini. Menurut Khaleed Abou El-Fadl, guru besar hukum Islam di UCLA AS,ditilik dari perspektif sosiologis, gerakan-gerakan Islam simbolik, atau yang terkenal dengan istilah Islam puritan ini, meruupakan produk dari modernitas. Pandangan muslim puritan tercipta dari perkawinan Salafisme dan Wahabisme pada sekitar tahun 1970-an.28 Mereka begitu gigih dalam memperjuangkan visinya dalam membenamkan hukum-hukum Islam secara letterlijk dalam konstitusi kenegaraan. Semangat ini tentu bertentangan dengan amanat Pancasila yang terang-terang menggunakan „bahasa‟ yang mengayomi semua, tanpa menganakemaskan satu golongan.

Ketiga, menciptakan iklim kondusif dalam berbangsa dan bernegara. Bagaimanapun, penghargaan yang tinggi bagi realitas liyan dapat membantu hadirnya kemajuan peradaban yang fundamen bagi bangsa ini kedepan. Iklim ramah, adalah prasyarat mutlak bagi pencapaian target-target penuntasan segala masalah yang membelit negeri ini. Denga mengenyampingkan pandangan monolistik, dan mencoba menerima komunitas yang lebih kecil, menjadikan hidup bermasyarakat jadi lebih berarti.

Logikanya, menciptakan suatu klaim perbedaan, dapat saja-untuk tidak mengatakan selalu- bergulir kearah kebencian. Terutama, ketika telah terkooptasi dengan pandangan sempit agama yang menuturkan selain agama A maka mereka harus diperangi. Nah, logika seperti inilah yang belakangan ini menghantui latar

28

Khaleed Abou El-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 99.

kerakyatan bangsa ini. Pola pikir demikian, harus segera diredusir atau dieliminir dalam upaya mengentaskan bangsa ini dari gejolak api permusuhan.

Pandangan inklusif tersebut menjadi titik tolak Gus Dur guna menjalim persahabatan yang lebih luas di kalangan internasional. Banyak nilai maupun manfaat yang lebih universal jika mampu menciptakan persahabatan dengan komunitas di luar Islam. Oleh karena mendawamkan terekat pluralismenya, ketika Gus Dur meninggal, ia mendapat gelar sebagai Bapak Plualisme Indonesia

Menurut Franz Magnis Suseno, rohaniawan yang juga pemerhati pemikiran Gus Dur, menyebutkan bahwa Gus Dur adalah sosok yang menghayati Islam secara terbuka. Ada beberapa ciri khas dalam penghayatan Gus Dur terhadap Islam: Pertama, bahwa agama Islam menuntut sikap toleran dan besar hati terhadap agama lain. Seorang muslim-terlebih mayoritas-dituntut untuk menghadirkan rasa aman bagi pemeluk keyakinan non-Islam.

Kedua, perbendarahan khazanah Islam yang telah dikuasainya, membuatnya tidak segan dalam menilai kekurangan Islam. Islam disini, demikian Romo Magnis, bukan Islam yang merupakan agama yang diturunkan Allah, tetapi Islam sebagai agama yang dihayati dan dijalankan umat. Tidak semua agama dapat mencapai ukuran idealnya seratus persen. Hal inilah yang mendorong Gus Dur melahap pelajaran baru dari pihak lain. Ia mengikuti Nabi Muhammad yang menyarankan untuk menuntut ilmu sampai ke negeri Tirai Bambu (China).

Ketiga, Romo Magnis memandang sosok Gus Dur sebagai seorang raja Jawa. Dalam dirinya terdapat keteguhan sikap para penguasa besar Islam, laiknya Sultan Mughal di India atau penguasa Dinasti Abbasiyah. Sebagaimana telah diketahui, dua kerajaan tersebut merupakan sebagian kecil dari kerajaan muslim

yang menggariskan ketentraman dan kesejahteraan bagi agama lain. Itu semua, lanjut Romo, terlihat dari kemudahan Gus Dur menerima pluralisme.29

Namun, yang perlu diperhatikan, inisiasi untuk memasyarakatkan puluarisme, hendaknya jangan terhenti hanya pada kehidupan nasional, tetapi harus diupayakan agar menyebar ke seluruh dunia, utamanya ke begara yang terlibat konflik. Gus Dur mempunyai perhatian yang besar dalam wilayah itu. Hal ini dibuktikan dengan seringnya ia diundang dalam berbagai perhelatan besar internasional tentang upaya memperjuangkan perdamaian global. Salah satunya ialah ketika ia diundang untuk menyaksikan prosesi perjanjian Jordania-Israel di Arava, Jordania pada 26 Oktober 1994.30

Menurut Gus Dur, perdamaian dunia dapat diupayakan jika satu negara telah memiliki kedaulatan hukum yang kuat kedalam terlebih dahulu. Hal ini merupakan prioritas mengingat sebelum berkecimpung dalam inisiasi perdamaian skala internasional.

Dalam sebuah pidato pembukaanya ketika menghadiri konferensi mengenai pemerintahan yang baik (good governace) dan etika dunia (global ethics) yang diadakan anatara kaum Budhis dan Muslim di Paris, pada Mei 2003, etika global dan penyelenggaraan pemerintahan yang professional menjadi aset penting guna merajut perdamaian dunia. Nah, guna menghadirkan kedua nilai positif tersebut, demikian Gus Dur, harus ada kesadaran kedalam untuk menegakkan kedaulatan hukum. Selain itu, jika sudah memiliki kecakapan penyelenggaraan hukum, langkah selanjutnya ialah mencari celah agar keadilan

29 Franz Magnis Suseno, “Pembawa Bangsa Pascatradisional” dalam

Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya bekerjasama dengan InCRES (Institute of Culture and ReligionStudies), 2000), h. 65-66.

30A. Halim Mahfudz, “Mencari Dam

ai yang Dimusuhi; Catatan Perjalanan ke Israel, 25 Oktober- 1 Nopember 1994,” Aula, Desember 1994, h. 17

dapat dikonversikan menjadi etika global yang menjadi acuan dasar pergaulan internasional.

Etika global, lanjutnya, merupakan suatu opsi strategis guna mengikis rasa saling permusuhan antar-bangsa. Setiap bangsa diharapkan kooperatif mengkampanyekan arti penting perdamaian. Selain itu, pertemuan seperti yang diadakan di Paris tersebut, merupakan instrumen yang patut diapresiasi karena menginspirasi pembentukan nilai-nilai global sendiri. Dengan membiasakan diri berdialog, masing-masing pihak akan saling mengambil pelajaran dan menimba sumber-sumber spiritual guna memformat pandangan hidup masa depan yang lebih terarah dan lebih baik dari sebelumnya.31

Dalam menaggapi permasalahan pertikaian antar-bangsa yang berkepajangan, laiknya yang terjadi antara Palestina dan Israel, demikian Gus Dur, harus ada ketegasan dan kesungguhan sikap dari para negara-negara terkait. Dalam konteks ini, peran aktif negosiator menjadi begitu penting. Negara harus mendukung sang negosiator tersebut dengan memberikan fasilitas yang layak. Hanya dengan bernegoisasi pintu-pintu kebuntuan dapat dicari kuncinya. Ini merupakan langkah yang brilian ketimbang hanya menggunakan “adu otot” yang tentu saja dapat merugikan negara-negara yang bertikai.32

Oleh karena asas keterbukaan pemikirannyalah, yang membuat Gus Dur tidak kaku dalam menjalin persahabatan maupun kerjasama dengan pihak non- Islam. Sejak kecil ia telah akrab dengan perbedaan. Salah satu sifat inklusif yang kentara dalam perjalanan hidup Gus Dur, adalah ketika ia mengusulkan dan

31Abdurrahman Wahid “Kita dan Perdamaian” dalam

Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Msyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h.355-357.

32Abdurrahman Wahid “Perdamaian Belum terwujud di Timur Tengah” dalam

Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Msyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 363.

memperjuangkan pertalian diplomatik antara RI dan Israel. Sesuatu yang dianggap orang sebagai ketabuan, mengingat Israel dalam mindset umat Islam kebanyakan, kerap dipersepsikan sebagai musuh muslim.

Dokumen terkait