• Tidak ada hasil yang ditemukan

“menganggap apa yang bakal terjadi” (

Dalam dokumen 2. Ilmu Bayan (Halaman 51-74)

   

).

13. (

   

) yang menempati yaitu:

             

“Adanya sesuatu itu menempati pada lainnya.” Contoh:

                 

“Maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga) mereka kekal didalamnya.” (Ali ‘Imran: 107)

Yang dimaksudkan dengan rahmat (

   

) adalah surga (

 

) yang mana rahmat itu berada didalamnya. Jadi lafaz (

   

) adalah majaz mur- sal, alaqah- nya dalah haalliyah (

   

). Dan sep-erti contoh:

(

           

) =Fulan duduk ditempat yang

menyenangkan.

14. (

    

), yang ditempati, yaitu:

               

“Adanya sesuatu menjadi tempat bagi sesuatu yang lain.”

Contohnya seperti firman Allah SWT.:

      

“Maka biarlah dia memanggil perkumpulannya (untuk menolongnya).” (Al-‘Alaq: 17)

Contoh di atas ditafsiri dengan (

    

), artinya para ahli perkumpulannya. Dalam contoh yang lain:

           

“Mereka mengatakan dengan mulut (lidah)nya.” (Ali ‘Imran: 167)

15. (

   

) pengganti, yaitu:

           

“Adanya sesuatu sebagai pengganti dari sesuatu yang lain.”

Seperti firman Allah SWT:

        

“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat- mu.” (An-Nisa’: 103)

Yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah me-nyelesaikan atau menunaikan (



).

16. (

    

), yang diganti, yaitu:

  

              

“Adanya sesuatu itu digantikan oleh sesuatu yang lain.”

Contoh:

(

      

) = Aku makan darah Zaid.

Contoh di atas ditafsiri dengan (

  

), artinya dendanya. Jadi lafaz (



) adalah majaz mursal yang ‘alaqah- nya adalah Al-Mubdaliyah karena darah diganti dengan denda.

17. (

    

) = artinya berdampingan

yaitu

                 

“Adanya sesuatu itu berdekatan dengan sesuatu yang lain.”

Contoh:

(

           

) = Aku berbicara pada orang

yang di dekat tembok dan tiang.

Contoh diatas ditafsiri dengan (

        

), artinya orang yang duduk disampingnya. Jadi

lafaz (

  

) dan lafaz (

   

) adalahmajaz mur- sal yang ‘alaqah- nya adalah mujawarah.

18. (

        

), yaitu:

            

“Menempatkan suatu bentuk lafaz pada tempat- nya bentuk lain.”

Penempatan suatu bentuk ditempat bentuk yang lain itu adakalanya:

a. Mengucapkan bentuk masdar untuk arti maf’ul,seperti dalam firman Allah:

            

“Begitulah yang dibuat oleh Allah, yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu.” (An-Naml: 88)

Contoh tersebut ditafsiri dengan (

     

), artinya yang dibuat oleh Allah.

b. Mengucapkan fa’il untuk arti masdar, seperti dalam firman Allah SWT.:

            

“Tidak ada pendustaan tentang kejadian hari kiamat.” (Al-Waqi’ah: 2)

Contoh di atas ditafsiri dengan (

   

), artinya pendustaan.

c. Mengucapkan bentuk fa’il untuk arti bentuk maf’ul,seperti dalam firman Allah:

           

“Tidak ada yang dilindungi hari ini dari azab Allah.” (Huud: 43)

Contoh diatas ditafsiri dengan (

    

), artinya orang yang dilindungi.

d. Mengucapkan bentuk maf’ul untuk makna bentukfa’il,seperti dalam firman Allah:

   

     

“Suatu dinding yang menutupi.” (Al-Isra’: 45) Ayat di atas ditafsiri (

   

)

Pertanda atau qarinah yang menunjukkan segi majaz mursal dari contoh-contoh terdahulu adalah disebutkannya hal yang menghalang-halangi untuk menghendaki makna asli. Contoh:

1.

                                       

            

                     

“Hai Abul Miski, aku mengharapkan darimu, Pertolongan untuk melawan para musuh,

Dan aku mengharapkan kemenangan,

Yang dapat melumuri barang putih (pedang putih) dengan darah.

Dan aku mengharapkan suat hari dan keadaan, Yang dapat menjengkelkan pada para pendengki,

Di dalamnya ak menempatkan keseng- saraan,

Di tempat merasakan kenikmatan.” 2. Allah SWT. Berfirman:

                 

“Tidak ada yang dilindungi hari inid ari azab Alah kecuali orang yang disayangi-Nya.” (Huud: 43)

3. (

            

)

“Kami pergi ke kebun (burungnya) yang berkicau.”

4. (

                      

)

“Rakyat raja Ismail telah membangun banyak sekolahan di Mesir.”

5. (

                                

) “Hampir saja pemberian-pemberiannya,

Menggilakan kegilaan si wanita, Jika dia tidak dilindungi,

Dengan penangkal lelaki yang meminta.”

Bilamana anda berfikir tentang macam-macam majaz mursal dan majaz aqli, maka anda dapat mengetahui bahwasanya macam-macam majaz terse-but pada ghalib- nya dapat menyampaikan maksud secara ringkas. Jadi, bila anda mengatakan:

(

        

) = Panglima telah mengusir

bala tentara musuh. Atau mengatakan:

(

         

) = Majlis telah menetapkan

demikian.

Maka dua macam contoh di atas adalah lebih ringkas dari pada mengucapkan:

(

            

) = Panglima serdadu te-

lah mengusir bala tentara musuh.

(

           

) = Para ahli majlis telah

mentapkan demikian.

Tidak ragu lagi bahwa bentuk ringkas adalah suatu macam dari beberapa macam segi kesem-purnaan. Masih terdapat juga suatu manifestasi yang lain segi kesempurnaan dua macam majaz tersebut, yaitu kepandaian dalam memilih persesuaian atau ‘alaqah antara makna asli dan makana majazi.Dimana bentuk majaz itu menggambarkan makna yang

dimak-sudkan dengan sebaik-baik makna. Seperti dalam mengucapkan kata (

  

), artinya mata, untuk arti ma-ta-mata atau spionase (

   

).

Dan seperti perkataan (



), artinya telinga, untuk arti orang yang cepat terpengaruh dengan hasu-tan (

            

). Perkataan (

 

) dan (

   

), artinya tapak kaki, untuk makna unta dan kuda dalam contohmjaz mursal.

Dan semisal isnad- nya sesuatu kepada sebab-nya, atau tempatsebab-nya, atau masasebab-nya, pada contoh-contoh majaz aqli. Dalam kaitan ini segi kesem-purnaan menghendaki agar sebab yang kuat, tempat dan masa yang khusus dipilih.

Apabila anda memfokuskan pemikiran, maka anda akan mengerti bahwa pada ghalib- nya macam-macam majaz mursal dan majaz aqli tidak lepas dari segi kesempurnaan yang indah, yang mempunyai kesan dalam membuat majaz itu sebagai bentuk yang indah lagi menarik. Sebab mengucapkan keseluruhan untuk menghendaki bagian (

         

) ada-lah suatu segi kesempurnaan. Demikian juga menga-takan suatu bagian untuk menghendaki keseluruhan

(

         

).

Seperti ketika anda mengucapkan:

(

   

) = Fulan adalah orang yang rakus

Contoh itu anda maksudkan bahwa si Fulan adalah orang rakus yang menelan segala sesuatu.

Atau seperti ketika anda mengatakan:

Contoh itu diucapkan ketika anda bermaksud menyifati Fulan dengan hidung besar, lalu anda mem-buat susunan yang sempurna dan menjadikan si Fulan itu seolah-olah ia itu hidung secara keseluruhan.

Di antara contoh yang dikutip dari sebagian sastrawan dalam menyifati seseorang yang berhidung besar ialah ucapannya:

(

                   

) = Aku tidak

mengerti apakah dia itu dalam hidungnya ataukah hidungnya ada padanya.

Secara bahasa, kata Isti’arah diambil dari per-kataan para Ulama:

(

               

) = Ia meminjam uang,

artinya ia mencari uang untuk pinjaman.

Sedangkan menurut istilah Ulama Ilmu Bayan, isti’arah ialah:

                                    

                                        

  

“Menggunakan suatu lafaz untuk selain arti asli yang ditetapkan karena ada persesuaian kesertupaan anta- ra arti yang dipindahkan dan arti yang dipakai ber- sama itu terdapat pertanda yang memalingkan untuk menghendaki makna aslinya.”

Isti’arah hanyalah merupakan bentuk tasybih yang diringkas. Tetapi merupakan susunan yang lebih sempurana daripadanya.4

Seperti ucapan anda:

(

   

) = Saya melihat seorang

peberani di madrasah.

Asal daripada contoh tersebut adalah:

     

“Saya melihat seorang lelaki peberani seperti harimau di madrasah.”

Kemudian anda membuang musyabbah, yaitu lafaz (



), perabot tasybih yaitu kaf, wajah tasybih, yaitu lafaz (



), dan kemudian anda menemukannya dengan qarinah, yaitu lafaz (



)

4

Asal daripadaisti’arahadalah bentuk tasybihyang dibuang salah satu dari dua ujungnya, wajah syabah-nya dan perabotnya. Akan tetapi isti’arah itu lebih sempurna daripada tasybih. Seba

tasybih itu sekalipun mencapai puncak kesempurnaan, maka

masi perlu menyebutkan musyabbah dan musyabbah bih. Ini pernyataan yang membedakan antara tasybihdari isti’arah.Dan bahwasanya persesuaian atau ‘alaqah-nya hanyalah penyeru-paan dan pendekatan. Tidak sampai pada batas menyatu. Ber-lainan dengan isti’arah. Sebab, dalam isti’arah terdapat pern-yataan menyatu dan bercapurnya makna. Disamping itu

musyabbah dan musyabbah bih keduanya telah menjadi satu

makna yang ditempati oleh satu lafaz. Jadi isti’arahadalah suatu bentukmajazyang‘alaqah-nya penyeruaan. Perlu diketahui baik aspek baiknya isti’arah selain takhyiliyah tidak akan dicapai kecuali dengan menjaga beberapa segi tasybih. Yaitu bahwa

sybih tersebt telah sepurna dalam memberikan faedah mengenai

tujuannya. Karena tasybih itu merupakan dasar dibentuknya

is-ti’arah. Jadiisti’arahitu hanya mengikuti tasybihdalam segi baik

untuk menunjukkan bahwa anda bermaksud me-nyebutkan lafaz (



) tersebut untuk makna (



), artinya seorang pemberani. Adapun rukun-rukun is- ti’arah itu ada tiga macam, yaitu:

1. Musta’ar minhu, yaitumusyabbah bih

(

  

)

2. Musta’ar lahu,yaitumusyabbah (

  

) Dua rukun ini disebut dengan dua ujung isti’arah

(



)

3. Musta’ar,yaitu lafaz yang dipindahkan

(

    

)

Dalam isti’arah ini harus tidak menyebutkan wajah syabah, atau segi peyerupaan, dan tidak me-nyebutkan perabot tasybih. Disamping itu harus juga melupakan tasybih yang menjadi dasar isti’arah serta menyatakan bahwasanya musyabbah itu keadaan da-ripada musyabbah bih. Atau menyatakan bahwasanya musyabbah itu merupakan salah satu unsure dari be-berapa unsure musyabbah bih yang bersifat umum. Misalnya berupa isim jinis (

 

) atau ‘alam jinis

(

    

).

Bentuk isti’arah tidak gampang dibentuk dari ‘alam syakshi 5 (

   

). Karena tidak

mung-5

Maksudnya: Isti’arah itu menghendaki masuknya musyabbah ke dalam nenis musyabbah bih. Oleh karena itu isti’arah tidak bisamerupakan nama diri. Sebab jenis menghendaki arti umum, sedangkan nama diri bertentangan dengannya, yaitu karena nama diri itumenghendaki perorangan tertentu. Kecuali jika na-ma diri itu mengandung sifat yang telah na-masyhur, seperti lafaz

kinnya bisa masuk sesuatu makna dalam hakikat diri. Sebab gambaran bagian memang menghalangi gam-baran persekutuan dalam bagian itu. Kecuali jika ‘alam syashi atau nama diri itu memberikan faedah suatu si-fat. Maka salah menganggap nama diri itu sebagai keseluruhan sifat.

Jadi boleh membuat isti’arah dengannya, sep-erti lafaz (

  

) yang menyimpan makna dermawan

(

  

) dan lafaz (

 

) yang mengandung makna

kefasihan lidah. Jadi, bisa dikatakan: (

        

) = Saya melihat seorang dermawan dan seorang yang fasih.

Contoh tersebut dengan menganggap makna umum yang terkandung dalam lafaz (

 

) dan (

 

), dan masuknya musyabbah dalam jenis kedermawanan dan kefasihan.

Bentuk isti’arah memang mempunyai kesan yang indah dalam penulisan. Sebab, memberikan faedah kuatnya suatu kalimat dan menghiasinya dengan keindahan. Dan dalam isti’arah inilah keingi-nan dan perasaan bisa digerakkan.

(

   

) yang telah masyhur dengan kefasihannya, maka bolehlah

dibuatisti’arah.Sebab memberikan faedah suatu jenis sifat, sep-erti contoh:

(

          

) = Pada hari ini aku endengarkan seorang pengkhutbah yang fasih.

Contoh diatas ditafsiri dengan (

       

), dan se-terusnya.

Apabila didalam kalimat disebutkan lafaznya musyabbah bih saja, maka isti’arah di-namakan isti’arah tashrihiyah atau musharrahah

(

            

)6. Contoh:

                                   

“Kemudian ia mencucurkan airmata seperti muti- ara, Dari mata yang seperti bunga bawang dan menyirami pipi, Seperti mawar, dan menggigit ujung jari, Dengan gigi seperti es.”

Pada contoh diatas, penyair meminjam ka-ta aka-tau lafaz (

    ,   ,   ,   ,

dan

  

) untuk arti: (

  

), artinya airmata, (

   

), artinya mata, (

  

), artinya pipi (

  

) artinya ujung jari atau anak jari, dan (

 

) artinya gigi.

Apabila dalam susunan kalimat hanya disebutkan musyabbah saja, sedangkan musyab- bah bih- nya dibuang, dan diisyaratkan kepadanya dengan menyebutkan kelazimannya, maka is- ti’arah macam ini dinamakan “isti’arah Makni-

6

Artitashrihiyahadalah, isti’arahitu dijelaskan dengan lafaz yang menunjukkan musyabbah bih,namun yang dimaksudkan adalah

musyabbah. Sedangkan arti daripada makniyah adalah lafaznya

musyabbah bih disamarkan, karena membatasi dengan cara

menyebutkan sesuatu dari kelazimannya. Jadi dalam isti’arahini tidak disebutkan rukun-rukuntasybihkecuali hanya musyabbah.

yah” (

         

) atau isti’arah bilkinayah

(

        

)7, seperti ucapan penyair:

                              

“Bila kematian yang seperti cengkraman binatang buas, Telah melekatkan kuku-kukunya,

Maka anda dapat menemukan, Segala azimat tidaklah bermanfaat.”

Penyair menyerukan kematian dengan bi-natang buas dengan kesamaan dapat menerkam tanpa diduga-duga pada masing-masing. Kemudi-an ia meminjam makna binatKemudi-ang buas (

  

) un-tuk makna kematian (

   

). Lafaz yang bermakna binatang buas itu dibuang dan diisyaratkan dengan sesuatu dari kelazimannya, yaitu kuku-kuku sesuai dengan aturan membentuk isti’arah

7 Seperti ketentuan inilah mazhab Ulama Salaf dan mazhab Imam Zamakhsyari, pengarang kitab “Al Kasysyaf”. Sedangkan ma-zhab As-Sakaki, maka menurut zahir-nya keterangan yang disampaikan, adalah emberikan isyarat bahwasanya isti’arah bil

kinayahadalah lafaznya musyabbah.Seperti lafaz (arab), artinya

kematian dalam contoh:

(

            

) = Kuku-kuku keatian yang seperti binatang buas telah melekat pada Fulan.

Yang lafaz tersebut dipakai untuk musyabbah bih dengan menyatakan bahwa lafaz tersebut memang keadaan musyabbah bih.

Penjelasannya adalah, setelah menyerupakan makna lafaz (

  

) artinya kematian, untuk makana binatang buas (

  

), aka dinytakan bahwasanya musyabbah itu merupakan keadaan daripadamusyabbah bih.

makniyah asliyah (

             

). Qari- nah- nya adalah lafaz (

   

).

Kemudian timbullah dugaan dalam meng-gambarkan kematian dengan gambaran binatang buas, maka penyair menggambarkan untuknya dengan gambaran kuku-kuku tajam, selanjutnya ia mengucapkan untuk makna tersebut dengan lafaz

(

   

)

Jadi, lafaz (

  

) adalah isti’arah takhyiili-

yah (

           

). Sebab musta’ar lahu yaitu

lafaz (

   

) mempunyai gambaran dalam angan-angan yang menyerupai gambaran uku secara hakiki. Sebagai qarinah- nya adalah diidhafah- kan kepada lafaz (

   

).

Dengan melihat kepada ketentuan bah-wasanya isti’arah takhyiiliyah itu merupakan qari- nah- nya isti’arah makniyah, maka sudah tentu selalu menjadi kelazimannya dan tentu tidak terpisahkan. Karena tak akan ada isti’arah dengan tanpa ada qarinah.

Jadi, macam-macamisti’arah itu ada tiga, yaitu: 1.Tasrihiyah (

      

)

2.Makniyah (

    

) 3.Takhyiiliyah (

      

)

Apabila musta’ar lahu itu merupakan ma-kana yang hakiki dan hissi,misalnya keadaan lafaz memang dipindahkan kepada makna yang

diketahui yang dapat ditunjukkan dengan isyarat yang nyata, seperti ucapan anda:

(

          

) = Saya melihat seorang derma-

wan yang sedang memberi.

Atau musta’ar lahu merupakan makna yang dapat dinyatakan secara akal, seperti dapat ditentukan secara akal dan diisyaratkan dengan isyarat secara akal juga, seperti firman Allah SWT.:

(

           

) = “Tunjukilah kami agama

yang benar.” (Al-Fatihah: 6)

Maka isti’arah macam itu dinamakan is- ti’arah “Tahqiiqiyah”.

Tetapi bila musta’ar lahu- nya tidak berupa makna yang dapat dinyatakan secara kenyataan (Hissi ) dan juga tidak bisa dinyatakan secara akal, maka isti’arah macam ini disebut ist’arah “Takhy- iiliyah ”.

Sebagai contohnya adalah lafaz (

   

) dalam ucapan anda:

(

                

) = Kematian yang seperti

binatang buas telah melekatkan kuku-kukunya pada si Fulan.

Ketika kematian diserupakan dengan bi-natang buas, maka kekuatan fikiran mulai mengkhayalkan terhadap kematian, bahwasanya kematian itu mempunyai gambaran yang mem-iiliki kuku-kuku. Lalu khayalan itu diserupakan ndengan bentuk yang nyata. Dan selanjutnya lafaz (

   

) dipinjam dari bentuk nyata keben-tuk khayalan dengan cara isti’arah takhyiiliyah.

Dinamakan isti’arah takhyiliyah, karena menetapkan lafaz (

    

), artinya kuku-kuku tajam untuk musyabbah hanya dikahayalkan ma-nunggalnya dengan musyabbah bih. Jika demikian, maka isti’arah takhyiliyah tidak bisa berpisah dengan makniyah. Sebab merupakan qarinah- nya. Sedangkan isti’arah tak akan ter-wujud dengan tanpa qarinah, sebagaimana ter-dahulu. Demikian itu jika makna yang selalu menetapi pada musyabbah bih dalam isti’arah makniyah hanya satu. Bila lebih dari satu, atau berbilang, maka yang lebih kuat menetapi pada musyabbah bih- lah yang menjadiqarinah- nya.

Pendapat Ulama Ilmu Bayan dalam is- ti’arah takhyiiliyah ada empat macam, yaitu:

a. Mazhab atau pendapat Ulama Salaf dan Imam Al-Khatib, yaitu semua satuan-satuan qarinah makniyyah dipakai dalam hakikatnya, sedangkan segi majaz- nya berada dala menetapkan makna yang tidak semestinya yang dinamakan isti’arah takhyiiliyah. Jadi keduanya saling menetapi, dan ini termasuk majaz aqli.

b. Pendapat As-Sakaki, yaitu qarinah makniyah itu terkadang berupa takhyiiliyah, artinya dipinjam untuk perkara yang berada dalam sangkaan, seperti kuku-kuku kematian yang seperti binatan buas (

       

), dan terkadang berupa tahqiiqiyah, artinya dipinjam untuk perkara yang dapat

dinyatakan, seperti ucapan: Telanlah airmu!

(

     

), juga kadang-kadang berupa

hakikat, seperti (

         

), artinya musim bunga telah menumbuhkan sayur-sayuran.

Jadi tidak ada unsur saling menetapi atau taazum antara takhyiiliyah dan makni- yah. Bahkan masing-masing dapat terwujud tanpa terkait dengan lainnya. As-Sakiki berdalil mengenai ter pisahnya takhyiiliyah darimakniyah dengan ucapan penyair:

                         

“Janganlah anda meminumiku dnegan cer- caan seperti air

Karena sesungguhnya aku dicurahkan

Yang sesungguhnya anda menganggap manis

Terhadap air tangisku.”

Penyair telah memberikan per-sangkaan bawasanya cercaan itu mempunyai sesuatu yang menyerupai air. Dan ia jamkan untuk itu dengan isim yang bermakna air itu secara ist’arah takhyiiliyah yang tidak mengikuti mak-niyah. Dala hal ini Imam Al-Khatib menolaknya. Bahwa dalam syair diat-as tidak ada bukti untuknya. Sebab ada kemungkinan dalam syair tersebut bentuk is- ti’arah bikinayah. Jadi penyair menyerupakan cercaan dengan sesuatu yang tidak disukai atau dibenci yang mempunyai air. Penyair

melipat lafaznya musyabbah bih dan mengis-yaratkannya dnegan sesuatu dari beberapa kelazimannya, yaitu lafaz (arab) mengikuti cara khayalan.

Juga ada kemungkinan syair tersebut dari bentuk di-idhafah- kannyamusyabbah bih kepada musyabbah, dan asalnya adalah:

(

            

). Disamping itu tidak

samara lagi bahwa pada pendapat As-Sakiki terdapat realita keluar dari aturan yang baik, yaitu karena cukup banyak penalaran. Jelasnya bahwa orang yang membuat is- ti’arah memerlukan kepada penalaran terse-but tidak ada dalilnya dan tidak diperlukan. c. Pendapat Imam Zamakhsyari, pengarang

kitab Al-Kasyasyaf, yaitu isti’arah itu kadang-kadang tahqiiqiyah artinya disebut “musharrahah” dan terkadang takhyiiliyah, artinya berupa majaz dalam segi penetapan makna.

d. Pendapat pengarang kitab As-Samarqandiyah seperti pendapat pengarang Al-Kasysyaf. Hanya saja perbedaan antara keduanya adalah pokok-pokok bagiannya menurut pengarang Al-Kasysyaf didasarkan pada makna yang umum dan tidaknya. Sedangkan menurut pengarang As-Samarqandiyah didasarkan pada segi kemungkinan dan tidaknya.

Perbedaan antara lafaz yang dijadikan se-bagai qarinah untuk isti’arah makniyah dan lafaz ini sendiri dijadikan sebagai isti’arah takhyiiliyah menurut pendapat As-Sakaki, atau dijadikan ist’arah tahqiiqiyah menurut pendapat pengarang Al-Kasysyaf dalam sebagian contoh, dan demikian juga menurut pendapat terpilihnya pengarang As-

Samarqandiyah, atau ditetapkan sebagai isti’arah takhyiiliyah menurut pendapat Ulama Salaf dan pengarang Al-Kasysyaf dalam sebagian contoh, dan menurut pendapat terpilihnya pengarang As- Samarqandiyah dalam sebagian contoh juga dan antara lafaz yang dijadikan sebagai tambahan qarinah, adalah segi kekuatan yang khusus, artinya segi kuatnya berkaitan dnegan musyabbah bih.. jadi lafaz yang manakah yang lebih kuat kai-tannya dnegan musyabbah bih maka itulah yang menjadi “qarinah”. Sedangkan lafaz selainnya adalah yang menjadi calon saja.

Sebagai contohnya adalah seperti lafaz yang keluar dari bentuk masdar (

  

) dalam ucapan anda:

(

            

) = Kuku-kuku kematian te-

lah melekat pada si Fulan.

Lafaz (

   

) adalah kuat kekhususannya dan kaitannya dengan binatang buas (

   

) da-ripada lafaz yang dibentuk dari masdar (

  

), artinya melekat. Sebab, kuku-kuku tajam itu selalu menjadi kelaziman bagi binatang buas. Berbeda dengan kata “melekat”.

1. Apabila lafaz musta’ar (lafaz yang dipinjam maknanya) berupa isim jamid untuk isi zat

(

       

) seperti lafaz (

  

) ketika

dipinjam untuk arti dari lafaz (

   

) atau berupa isim jamid untuk isim makna (

    

       

) seperti lafaz (

   

) ketika dipinjam

untuk arti pukulan yang sangat (

      

), maka isti’arah dari macam ini disebut isti’arah “ ashliyyah” (

   

), seperti firman Allah SWT.:

                           

  

“Ini adalah Kitab yang Kami turunkan kepa- damu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kesesatan seperti gelap gulita kepada pe- tunjuk seperti cahaya berang benderang.” 8 (Ib-rahim: 1)

Dan seperti firman-Nya:

             

“Dan rendahkanlah diriu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan.” 9 (Al-Isra’: 24)

8

Dalam menguraikan ataudikatakan sebagai berikut:ijra’isti’arah pada ayat pertama diatas

             

         

9 Dalam menguraikan atau meng-ijra’ isti’arah pada ayat yang kedua diatas dikatakan sebagai berikut:

             

                 

Dinamakan isti’rah ashliyah karena tidak didasarkan pada satu bentuk tasybih yang mengikuti tasybih yang lain yang dianggap jak semula.

2. Apabila lafaz musta’ara berupa fi’il atau isi fi’il, atau isi musytaq, atau huruf, atau isi mub-am, maka isti’arah macam ini disebut isti’arah “Tashriihiyyah Taba’iyyah” (

           

)

Contoh isti’arah tashrihiyah dalam fi’il seperti lafaz

  

= Keadaan telah menunjuk-

kan demikian.

Cara men-taqrir atau meng-ijra’- kan atau menguraikannya adalah sebagai berikut:

       

       

       



 

Dan seperti contoh:

   

“Dan Allah menghiasi bumi setelah ker- ingnya.” (Ar-Ruum: 19)

Cara men-taqrir- nya adalah sebagai berikut:

      

        

        

     

Demikian jika isti’arah dalam fi’il dengan melihat makna yang ditunjukkannya, yaitu akna pekerjaan. Adapun ketika isti’arah

dalam fi’il dengan melihat akna masa, se-bagaimana dalam contoh:

  

“Telah pasti datangnya ketetapan Allah.” (An-Nahl: 1)

Maka cara men-taqrir- nya sebagai berikut:

    

    

        

        

 

Dalam contoh yang lain:

  

“Dan penghuni-penghuni surga akan berseru.” (Al-A’raf: 44)

        

         

       

Dan seperti contoh:

          

“Siapakah yang membangkitkan kami dari ku- bur kami.” (Yasin: 52)

Apabila lafaz

   

diperkirakan untuk makna tidur itu dijadikan musta’ar untuk

mak-na

  

, artinya mati, maka isti’arah macam ini

dinamakan isti’arah ashliyah

   

. Tetapi jika dijadikan musta’ar untuk

 

, artinya kubur, maka isti’arah m acam ini dinamakan isti’arah taba’iyah

   

. Sebab menunjukkan makna tempat. Jadi, lafaz

   

tidak boleh dipinjam untuk arti

   

maknanya kubur, kecuali

setelah lafaz



dipinjamkan untuk makna



, artinya mati.

Contohisti’arah dalam isim fa’il seperti lafaz:

Dalam dokumen 2. Ilmu Bayan (Halaman 51-74)

Dokumen terkait