• Tidak ada hasil yang ditemukan

, yaitu seperti ketika keadaan yang disandarkan kepada musyabbah

Dalam dokumen 2. Ilmu Bayan (Halaman 30-49)

mebutuhkan kepada penetapan dan penjelasan dengan contoh. Seperti ucapan penyair:

     

                          

“Sesungguhnya hati,

Bila rasa cintanya telah hilang, Laksana sifat kaca,

Yang pecahnya tak bisa ditambal.”

Penyair menyerupakan hati yang telah ber-balik bendi dengan kaca pecah. Ini dimaksudkan untuk menetapkan sulitnya mengembalikan hati kepada rasa senang dan rasa cinta seperti semula. 5. Untuk menjelaskan kemungkinan wujudnya

musyabbah, dan bahwasanya hal itu bisa dicapai

(

           –          

). Contoh:

(

                         

)

“Jikalau anda dapat melebihi para manusia, Sedangkan anda sendiri dari mereka,

Maka sesungguhnya minyak kasturi, Adalah sebagian darah kijang.”

Artinya: Tidak aneh jika anda dapat mengungguli para manusia, padahal anda juga dari mereka. Sebab bagi anda ada bandingan, yaitu minyak misik (minyak kasturi). Karena ia sebagian daripada darah kijang dan telah dapat melebihi se-luruh darah yang lain. Pada contoh ini terdapat penyerupaan terhadap keadaan orang yang disanjung (

     

) dengan keadaan minyak

kasturi (

    

). Penyerupaan tersebut secara kandungan makana saja (

         

).

Tasybih dhimni ialah: Tasybih yang di da-lamnya tidak ditetapkan musyabbah dan musyab- bah bih dalam suatau bentu tasybih dari bentuk-bentuk yang telah dikenal. Tetapi keduanya hanya dilirik maknanya dalam susunan kalimat. Hal itu untuk memberikan faedah bahwa hukum yang disandarkan kepada musyabbah adalah suatu hal yang mungkin. Termasuk contoh yang lain ialah:

(

          

) = Orang mukmin itu cermin bagi

orang mukmin lainnya..

6. Untuk menyanjung musyabbah atau mengangga baik terhadapnya (

         

), seperti ucapan penyair:

                                 

“Seolah-olah anda itu matahari,

Sedangkan para raja adalah bintang-bintang, Bila matahari telah terbit,

Maka tidak satu bintangpun yang tampak darinya.” 7. Untuk menganggap buruk terhadap musyabbah

(

            

), sperti ucapan penyair lain:

                               

“Dan bila ia berisnyarat sambil bicara, Seolah-olah dia itu

kera yang tertawa,

Atau perempuan tua yang menampar pipi.”

8. Untuk menganggap baik lagi baru (

     

). Adakalanya musyabbah ditampakkan dalam bentuk yang tidak mungkin secara lazimnya.

Seperti menyerupakan arang yang didalamnya terdapat bara yang menyala, dengan laut misik yang dihadapkan kepada emas.

Dan adakalanya karena jarangnya kehadiran musyabbah bih didalam hati ketika dikemukakann-yamusyabbah. Seperti ucapan penyair:

                                   

“Lihatnyah kepadanya Seperti sampan dari perak Yang telah dimuatai

Oleh muatan dari ikan ‘Anbar.”

1. Terkadang didatangkan suatu tasybih dalam kandungan makna, tanpa menjelaskannya. Dan tasybih itu dijadikan dalam bentuk suatu pertanda bagi hukum yang disandarkan kepada musyabbab. Seperti ucapan penyair Al-Mutanabbi:

                            

“Barang siapa hina

Maka mudahlah ia menanggungnya, Tidaklah menyakitkan

Bagi mayit yang dilukai.”

Artinya: Orang yang membiasakan ke-hinaan itu akan mudahlah baginya melakukannya dan ia tidak merasa sakit. Pengakuan macam ini tidaklah merupakan hal yang salah. Sebab mayit itu bila dilukai, maka ia tidaklah merasa kesakitan.

Contoh tersebut mengisyaratkan suatu tasybih secara tidak terang-terangan, dan tidak mengikuti suatu bentuk dari beberapa bentuk tsybih yang te-lah dikenal.

2. Terkadang bentuk tasybih itu dibalik, yaitu musyabbah dijadikan musyabbah bih, dengan demikian maka faedah tasybih itu kembali kepada musyabbah bih, karena mendakwakan bahwa musyabbah lebih sempurna dan lebih jelas dari ada musyabbah bih dalam hubungannya pada wajah syabah.

Tasybih tersebut dinamakan “Tasybih Maqlub” (

          

)1 atau “tasybih ma’kus”

(

    

). Contoh:

a. (

             

) = Seolah-olah cahaya

siang itu seperti pelipisnya.

1

Yang dekat kepada macam ini adalah keterangan yang disam-paikan oleh Al-Halabi dalam kitab “Husnut Tawassul” (

  

   

), bahwa tasybih tersebut dinamakan tasybih tafdhil (

    

    

). Yang menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain, baik secara lafaznya atau perkiraannya, kemudian berpindah

dari tasybih untuk mendakwakan bahwasanya musyabbah lebih

utama daripadamusyabbah bih,seperti ucapan penyair: (

                             

)

“Aku mengira keindahanny, Bagaikan bulan purnama yang bercahaya, Dimanakah posisi bulan purnamaDari bandingan keindahan itu.”

b. (

                

) = Seolah-olah bunga harum taman itu seperti kebaikan jalan hidupnya.

c. (

            

) = Seolah olah air itu

dalam kejernihannya seperti wataknya.

d. Seperti ucapan penyair Muhammad bin Wuhaib Al –Himyari:

                           

“Dan tampaklah waktu pagi Seolah-olah permulaan cahayanya Seperti wajah khalifah

Yang sedang disanjung-sanjung.”

Penyair menyerupakan awal cahaya pagi dengan wajah sang khalifah, untuk menyam-paikan sangkaan bawa wajah kahlifah itu lebih semurna dari pada awal chaya pagi dalam kai-tanya dengan wajah syabah. Inilah suatu eanifes-tasi dari beberapa manifeseanifes-tasi seni dan keinda-han.

Yang dikenal adalah menyerupakan wajah yang indah dengan bulan purnama, dan menyerupakan bentuk tubuh dengan batang pohon dalam hal tegak lurus dan melengkungnya. Tetapi penyair memang mem-baliknya untuk tujuan mubalaghah.Demikian itu ika dimaksudkan untuk menyamakan hal yang bernilai sempurna dnegan hal yang bernilai ku-rang dalam hubungannya pada wajah syabah. Bila kedua hal itu sama, maka sebaiknya berpin-dah dari tasybih menuju musyabahah., karena

untuk menghindarkan upaya menguatkan salah satu dari dua hal yang sama atas lainnya.

Tasybih maqlub ini juga dinamakan ta- sybih mun’akis, ialah tasybih yang dalam ben-tuknya itu wajah syabah dikembalikan kepada musyabbah bih. Yaitu ketika dikehendaki me-nyerupakan hal yang bernilai kurang dengan hal yang bernilai lebih, dalam pada itu hal yang pokok disamakan dengan cabang untuk maksud mubalaghah. Macam bentuk ini berlaku me-nyimang dari kebiasaan dalam bentuk tasybih dan jarang terjadi, seperti ucapan penyair Al-Buhturi:

                                      

“Dalam terbitnya bulan purnama

Terdapat suatu dari kebaikan-kebaikannya Dan bagi sebuah batang

Ada bagian dari kelenturannya.”

Dan seperti firman Allah SWT. Yang menceritakan keadaan orang-orang kafir:

           

“Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” (Al-Baqarah: 275)

Contoh diatas dalam pengertian bahwa sistem riba itu seperti jual beli. Orang-orang kafir membaliknya untuk menyatakan sangkaan mereka bahwa riba menurut mereka adalah lebih halal dari pada jual beli. Sebab tujuannya adalah laba atau keuntungan, sedangkan keun-tungan itu lebih tampak dalam riba dari pada

dalam jual beli. Jadi menurut mereka sistim riba itu lebih nyata halalnya dari pada jual beli.

Sebagian daripada bentuk dan gaya tasybih itu ada yang lebih kuat daripada sebagian lainnya dalam arti mubalagah- nya dan kejelasan maksud yang ditunjukkannya. Oleh karena itu bentuk-bentuk tasybih mempunyai tiga macam ting-katan, yaitu:

a. Lebih luhur dan lebih sempurna, yaitu tasbih wajah syabah dan perabotnya dibuang. Contoh:

(

    

) = Keberanian Ali laksana harimau.

Tentang macam ini, anda dapat mendakwakan adanya makna yang tunggal antara musyabbah dan musyabbah bih, karena dibuangnya perabot tasybih.Dan dapat melakukan penyerupaan da-lam segala hal, karena dibuangnya perabot ta- sybih. Oleh karena itu tasybih macam ini di-namakan “tasybih baligh” (

          

)

Tasybih baligh ialah tasybih yang mengandung makna jauh dan aneh (

   

  

), jadi bila keadaan wajah syabah itu

sedi-kit nampaknya, yang memerlukan didalam menunjukkannya kepada upaya memutar pikiran, maka yang demikian itu lebih berkesan dihati dan lebih berkesan di hati. Dan kekuatan kesemurnaan yang dicapai dari tasybih adalah berbeda-beda. Lantaran perbedaan beberapa bentuk yang ditetapkan. Bentuk tasybih yang

paling lemah dalam kesempurnaannya ialah tsybih yang didalamnya menyebutkan seluruh rukun-rukunnya. Sedangkan bentuk yang paling kuat nilai kesempurnaannya adalah tasybih yang didalamnya membuang wajah syabah dan perabottsybih tetapi menyebutkanmusyabah.

Sedang atau mutawassithat (

     

), yaitu tasybih yang hanya membuang perabotnya saja, seperti ucapan anda:

(

     

) = Ali laksana harimau kerani-

annya.

Atau wajah syabah- nya dibuang, seperti ucapan anda:

(

     

) = Si Ali laksana harimau keberani-

annya.

Penjelasan tentang hal tersebut adalah jika anda menyebutkan wajah syabah, maka berarti anda membatasi pada penyerupaan. Jadi anda tidak meninggalkan jalan untuk berpikir dalam perkiraan bahwasanya penyerupaan itu pada sebagian besar dari beberapa sifat. Sebagaimana halnya jika anda menyebutkan perabot tasybih, maka berarti anda menentukan adanya perbe-daan antara musyabbah dan musyabbah bih, dan tidak meninggalkan suatu bab untuk menunjukkan makana mubalagahah.

b. Paling rendah tingkatnya, yaitu tasybih yang di dalamnya menyebutkan wajah syabah dan perabot tasybih. Ketika demikian maka tasybih

macam ini kehilangan dua macam keistimewaan tersebut diatas.

Terkadang tjuan daripada tasybih itu memang baik dan indah dan inilah cara yang luhur yang dituju oleh hati para sastrawan. Mereka sungguh telah dapat mencapainya dengan segala keindahan, seperti ucapan Ibnu Nubatah dalam menyifati seekor kuda yang putih lagi bercahaya:

Terkadang seorang mutakallim tidak diberi penjelasan untuk memahami wajah syabah, atau dapat mencapainya secara sempurna. Alangkah layaknya semisal contoh ini untuk diingkari dan dicela karena memang buruk, sehingga pikiran yang sehat tentu tidak menyukainya.

Dari keterangan terdahulu dapatlah dketahui bah-wasanya:

a. Tasybih mursal (

        

) adalah:

       

“Yasybih yang disebutkan perabotnya.” b. Tasybih makkad (

        

) adalah:

        

“Tasybih yang dibuang perabotnya.” c. Tasybih mujmal (

        

) adalah:

            

“Tasybih yang dibuang wajah syabh-nya.” d. Tasybih mufashal (

        

) adalah:

             

“Tasybih yang disebutkan wajah syabah- nya.”

               

“Tasybih yang dibuang perabotnya dan wajah syabah-nya.”

f. Tsybih dhimni (

        

) adalah:

                    

           

                            

“Tasybih yang didalamnya tidak ditetapkan musyabbah dan musyabbah bih-nya dalam sua- tu bentuk dari beberapa bentuk tasybih yang dikenal, tetapi keduanya hanya diisyaratkan dalam susunan kalimat.”

Tasybih macam ini dikemukakan untuk mem-berikan faedah bahwasanya hukum yang disandarkan kepada musyabbah itu merupakan hal yang mungkin.

Contohnya:

Contohnya seperti ucapan penyair:

            

                   

“Janganlah anda mengingkari

Kosongnya orang mulia dari kekayaan Karenan banjir itu memusuhi

Terhadap tempat yang tinggi.”

Maksudnya: Janganlah engkau, hai wanita, mengingkari kosongnya lelaki mulia dari kekayaan. Sebab hal itu tidaklah mengherankan. Karena beberapa puncak gunung. Merupakan tempat-tempat yang pa-ling tiggi, jelas banjir tak bisa menggenanginya. Dalam contoh tersebut, orang yang cerdik ten-tu bisamenetapkan adanya tasybih, tetapi ia

tidak menunjukkan secara terang-terangan. Bahkan ia mengemukakan jumlah yang bebas menyendiri. Ia menyembunyikan makna itu dalam bentuk petanda. Jadi tasybih tersebut tidak mengikuti aturannya itu dalam bentuk pertanda. Jadi tasybih tersebut tidak mengikti aturannya yang asal, yaitu dihadirkan dalam kandungan makana tanpa djelaskan, dan jadikan dalam bentuk pertanda terhadap ho-kum yang disandarkan kepada musyabbah. Se-bagaimana terdahulu penjelasannya. Terka-dang dimaksudkan juga untuk mengalahkan prasangka bahwa musyabbah dan musyabbah bih itu sama dalam kaitannya pada wajah syabah. Jadi tasybih ditinggalkan begitu saja karena mendakwakan persamaan tanpa ada-nya yang lebih kuat.

Perkataan “Al-Majaz” (



) dikeluarkan dari fi’il madhi (

   

), artinya melewati. Para Ulama menamakan suatu lafaz yang dipindahkan dari kehendak makna asalnya dengan perkataan “Majaz” karena mereka melewatkan lafaz tersebut dari makna aslinya.

Majaz merupakan sebagian sarana Ilmu Bayan yang terbaik untuk menjelaskan makna. Karena dengan majaz itu suatu makna bisa tampak bersifat nyata. Oleh karena itu bangsa Arab sangat suka menggunakan bentuk majaz itu. Sebab mereka cenderung untuk memperluas kalimat, dan juga cenderung untuk menunjukkan banyaknya arti suatu lafaz.

Disamping itu, di dalam banyaknya makna ter-simpan kehalusan perkataan. Dengan demikian dapat dicapai kepuasan tersendiri. Karena itulah majaz ba-nyak ditemukan dalam perkataan bangsa Arab.

       

           

“Majaz adalah lafaz yang digunakan pada selain arti yang ditetapkan karena adanya persesuaian serta qari- nah (pertanda) yang menunjukkan ntuk tidak menghendaki makna aslinya.”

‘Alaqah 2 atau persesuaian antara makna hakiki dan makna majaz terkadang “musyabahah”, artinya penyerupaan, dan terkadang “ ghairu musyabahah ”, atinya bukan penyerupaan. Ila persesuaian itu meru-pakan penyerupaan, maka majaz disebut “isti’arah ”

(

    

), dan jika bukan penyerupaan, maka disebut

“majaz mursal” (

       

). Adapun qarinah 3 atau

per-2

Persesuaian atau‘alaqahadalah: (

                            

)

Persesuaian yang menghubungkan antara makna yang dipin-dahkan dan makna yang dipindahi.”

Disebut‘alaqah karena dengan hal itu makna yang kedua dapat berkait dan bersambung dengan makna yang pertama. Dengan demikian hati langsung berpindah dari makna yang pertama menuju makna yang kedua. Dengan diisyaratkannya melihat persesuaian, maka dikecualikanlah ucapan yang keliru atau

ghalath.Seperti ucapan anda:

(

     

) = Ambillah kitab ini!, dengan mengisyaratkan kepada seekor kuda misalnya. Sebab dalam contoh ini tak ada persesuaian yang bisa dilihat.

3Pertanda atauqarinahadalah

(

                                  

)

“Hal yang dijadikan oleh mutakallim sebagai petunjuk bahwa dia menghendaki dengan suatu lafaz itu pada selain makna aslinya.”

Dengan dibatasinya pertanda atau qarinah dengan ke-tentuan “menghalangi untuk menghendaki makna asli,” maka dikecualikanlah bentuk “kinayah” (



). Sebab qrinah-nya tidak menghalangi untuk menghendaki makna asli.

tanda yang menunjukkan arti yang dikehendaki, ka-dang-kadang berupa lafaz yang diucapkan atau lafzi-

yah (

    

) dan adang-kadang berupa keadaan atau

haliyah (

   

) sebagaimana akan diterangkan.

Majaz terbagi menjadi empat macam, yaitu: 1. Majaz Mufrad Mursal (

           

)

2. Majaz Mufrad bil Isti’arah (

            

) 3. Majaz Murakab Mursal (

           

)

4. Majaz Murakab bil Isti’arah (

             

)

                                   

                   

                      

“Majaz Mursal adalah kata yang sengaja digunakan untuk menunjukkan selain arti aslinya karena melihat persesuaian yang bukan penyerupaan serta

Adapun qarinah itu adakalanya lafziyah dan adakalanya

haliyah.

a. Qarinah lafziyahadalah:

(

              

)

Qarinah yang diucapkan dalam susunan kalimat.”

b.Qarinah haliyahadalah:

(

                  

)

“Qarinah yang hanya dipahami dari keadaan mutakallim atau dari kenataan yang ada.”

Adapun qarinah yang menentukan makna yang dikehendaki, yaitu makna majaz, maka tidak merupakan syarat.

adanya pertanda yang menunjukkan untuk tidak menghendaki makana aslinya.”

Majaz Mursal ini mempunyai persesuaian atau ‘alaqh yang cukup banyak, yaitu:

1. (

    

), sebab yaitu:

                            

“Adanya makana yang dipindahkan itu merupa- kan sebab dan memberi pengaruh pada lainnya.” Contoh:

(

         

) = Binatang itu makan tumbuh-

tumbuhan.

Lafaz (

  

) diberi makna “tumbuh-tumbuhan” (

  

), sebab lafaz (

  

) yang artinya hujan merupakan sebab bagi tumbuh-tumbuhan itu.

Qarinah- nya adalah “lafziyah ”, yaitu lafaz (

  

). Sebab ‘alaqah- nya dianggap dari segi makan yang dipindahkan.

2. (

     

) akibat, yaitu:

                           

“Adanya makana yang dipindahkan merupakan hal yang disebabkan dan akibat bagi sesuatu yang ain.”

Contoh:

               

“Dan menurunkan untukmu rezeki dari langit.” (Al-Mukmin: 13)

Ayat tersebut ditafsiri dengan:

(

           

) = Hujan yang menyebabkan

3. (

   

) keseluruhan, yaitu:

                       

“Adanya makna yang dipindahkan menyimpan hal yang dimaksudkan dan lainnya.”

Contoh:

            

  

“Mereka menyumbat telinganya dengan jarinya.” (Al-Baqarah: 19)

Ayat di atas ditafsiri dengan (

    

), artinya anak jari mereka.

Pertanda atau qarinah- nya adalah keadaan (

   

), yaitu mustahilnya memasukkan jari dalam telinga. Contoh yang lain:

(

        

) = Aku telah minum air sungai Nil.

Yang dimaksudkan pada contoh di atas adalah sebagian dari air sungai Nil dengan pertanda atau qarinah berupa lafaz (

   

).

Juz’iyah (

    

) bagian, yaitu:

      

         

“Adanya lafaz yang disebutkan menyimpan mak- na sesuatu yang lain.”

Contoh: (

                 

)

“Gubernur telah menyebarkan mata-matanya di kota.”

Contoh di atas ditafsiri dengan: (

    

) Jadi lafaz (

   

) adalah majaz mursal, alaqah- nya adalah juz’iyah. Sebab setiap spionase adalah ba-gian dari pada mata-mata di kota. Qarinah- nya adalah kecenderungan (

    

).

               

“Hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sa- haya yang beriman.” (An-Nisa”: 92)

4. (

   

) yang menetapi, yaitu:

                         

“Adanya sesuatu pasti terwujud di kala sesuatu yang lain terwujud.”

Contoh:

(

     

) =Cahaya telah terbit.

Contoh tersebut diberi mkna matahari. Jadi lafaz (

  

) adalah majaz mursal, alaqah- nya adalah lazimiyah. Sebab, cahaya (

   

) akan terwujud ketika matahari terbit. Yang dianggap disini adalah kelaziman yang khusus, yaitu tidak dapat dipisahkan.

5. (

      

) yang ditetapkan, yaitu:

  

  

                   

“Adanya sesuatu pasti terwujud ketika sesuatu yang lain terwujud.”

Contoh:

(

       

) = Matahari itu telah memen-

uhi tempat.

Lafaz (

  

) diberi makna cahaya. Jadi lafaz

(

  

) adalah majaz mursal. Alaqh- nya adalah

malzumiyah. sebab bila matahari terwujud, maka terwujudlah cahaya. Qarinah- nya adalah lafaz

(

 

)

6. (

  

) alat, yaitu:

“Adanya sesuatu merupakan perantara atau alat untuk menyampaikan pengaruh sesuatu kepada lainnya.”

Contoh:

                

“Dan jadikanlah aku lidah yang baik bagi orang- orang yang dating kemudian.” (Asy-Syu’araa’: 84)

Contoh yersebut ditafsiri dengan (

  

   

), artinya buah tutur yang baik. Jadi lafaz

(

  

) dengan menggunakan arti (

     

)

ada-lah majaz mursal. Alaqh- nya adalah al-aliyah

(

  

). Sebab lisan adalah sebagai alat dalam buah

tutur yang baik (

     

).

7. (

 

), yaitu:

               

“Adanya sesuatu itu dilepaskan dari beberapa ba- tasan.”

Contohnya adalah firman Allah SWT.:

(

          

)

“Maka wajiblah atasnya memerdekakan tengkuk yang mukmin.” (Al-Mujadilah: 3)

Ayat di atas ditafsiri dengan (

           

). Jadi lafaz (

   

) tengkuk adalah majaz mursal, alaqah- nya adalah ithlaq (

 

), artinya me-nyebutkan bentuk mutlak dengan menghendaki muqayyad. Jadi yang dikehendaki dari budak ter-sebut adalah budak yang mukmin. Mengucapkan lafaz (

   

) untuk diberi makna tubuh secara to-tal adalah majaz mursal yang alaqah- nya

nuz’iyah, artinya menyebutkan bagian tetapi bermaksud keseluruhan.

8. ,artinya pembatasan (

    

) ganjil, yaitu:

                   

“Adanya sesuatu itu dibatasi dengan suatu batasan atau lebih banyak.”

Contoh:

(

            

) = Alangkah tebalnya bibir

Zaid.

Contoh tersebut ditafsiri dengan (

  

), artinya bibir Zaid. Jadi lafaz (

       

) adalah majaz mursal alaqah- nya adalah taqyid. Sebab dibatasi dengan bibir kuda (

           

).

9. ‘ (

   

) umum, yaitu:

           

“Adanya sesuatu itu mencakup hal yang banyak.” Seperti firman Allah SWT.:

       

“Apakah mereka dengki kepada manusia (Mu- hammad)?” (An-Nisa’: 54)

Ayat di atas ditafsiri dengan (

  

 

), artinya Nabi (Muhammad) saw. Jadi

lafaz (

 

) adalah majaz mursal yang alaqah- nya adalah (

   

), maksudnya menyebutkan lafaz umum tetapi menghendaki arti khusus.

Dan seperti firman Allah SWT.

         

“Yaitu orang-orang (mentaati Allah danRasul) yang kepada mereka ada orang yang menga- takan.” (Ali ‘Imran: 173)

Yang dimaksudkan dengan (

 

) adalah satu orang, yaitu Nu’aim bin Mas’ud Al Asy-ja’i.

10. (

   

), yaitu:

                            

“Adanya lafaz memang khusus untuk sesuatu yang satu, seperti pengucapkan nama seseorang untuk menghendaki suku atau puak.”

Contohnya seperti lafaz:

(

    

) = Suku Rabi’ah.

(

   

) = Suku Quraisy.

11. (

        

), artinya

menganggap apa yang telah lau, yaitu:

        

“Memandang kepada masa yang telah lewat.” Seperti firman Allah SWT.:

            

“Dan berikanlah keada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka.” (An-Nisa’: 2)

Dalam dokumen 2. Ilmu Bayan (Halaman 30-49)

Dokumen terkait