• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengatasi Keterbatasan Cadangan dan Menekan Dampak Lingkungan

arus modal dan investasi serta penciptaan lapangan kerja. Pada akhirnya, ketersediaan energi memungkinkan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dapat berlangsung dengan lebih baik. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang kaya akan sumber daya energi. Ketersediaan energi yang cukup besar di Indonesia dapat menjadi katalis yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Di lain pihak terjadinya peningkatan kebutuhan energi mempunyai keterkaitan erat dengan kian berkembangnya kegiatan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk. Dengan jumlah penduduk dan angkatan kerja yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan kian bertambah output serta beragam aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat, maka peningkatan kebutuhan pemakaian energi adalah suatu hal yang tak bisa dihindari.

Meningkatnya kebutuhan pemakaian energi bukannya tidak membawa konsekuensi. Permasalahan utama meningkatnya pemakaian energi dalam kegiatan perekonomian terletak pada dua hal, yaitu: masalah ketersediaan dan dampak lingkungannya. Pemakaian energi saat ini sebagian besar masih ditopang oleh energi fosil yang bersifat tidak terbarukan. Situasi ini dapat dilihat dari perkembangan penyediaan energi di Indonesia. Hal tersebut tentunya akan menjadi pertanyaan penting mengenai keamanan pasokan energi di masa-masa mendatang.

Sumber daya alam secara umum dibedakan menjadi sumber daya yang dapat diperbarui (renewable resources) dan sumber daya yang tak terbarukan (non-renewable/exhaustible resources). Namun suatu saat sumber daya yang dapat diperbarui dapat menjadi tidak dapat diperbarui, dikarenakan permintaan yang terus meningkat sehingga laju pengurasan melebihi laju reproduksinya.

Pendekatan klasifikasi sumber daya energi dalam ekonomi pada prinsipnya sama dengan sumber daya alam pada umumnya, yaitu berdasarkan ketersediannya (stock). Namun secara ekonomis perlu diperhatikan pula pengklasifikasian dari aspek pemakaian dan nilai komersialnya).

Dalam fungsi produksi, konsep dapat diperbarui merupakan kunci. Oleh karenanya kelangkaan sumber daya menjadi perhatian utama para ahli ekonomi. Stok kapital, tenaga kerja dan beberapa sumber daya alam sebagai input

produksi merupakan faktor yang dapat diperbarui, sementara sumber daya energi yang dipakai saat ini sebagian besar tidak dapat diperbarui.

Sumber daya alam seharusnya digabungkan dengan faktor produksi lainnya agar dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Sumber daya alam lebih menyerupai modal karena harus digali atau dikuras dahulu sebagai bahan mentah sebelum dapat dipakai sebagai faktor produksi. Bersama dengan input lainnya sumber daya alam kemudian diolah menjadi barang yang siap dikonsumsi atau digunakan untuk input produksi dalam menghasilkan barang dan jasa lainnya (Purnomo Yusgiantoro, 2000). Dalam hal ini energi memiliki peranan penting sebagai determinan proses produksi dan pertumbuhan.

Menurut hukum pertama termodinamika yang dikenal sebagai mass balance principle, energi tidak dapat diciptakan dan dihapuskan. Konsekuensinya untuk memproduksi sesuatu diperlukan input material lain. Hukum kedua termodinamika the efficiency law menyatakan energi diperlukan dalam mentransformasi/memindahkan barang (Stern dan Cleveland, 2004).

Energi dan Pembangunan Berkelanjutan Permasalahan penting yang dihadapi dalam pembangunan adalah bagaimana menghadapi

trade-off antara pemenuhan kebutuhan

pembangunan yang sustain di satu sisi dan kelestarian lingkungan di sisi lain. Pada tahun 1987 World Comission on Environment and Development, yang dikenal dengan Brundtland Comission menerbitkan buku Our Common Future yang melahirkan agenda baru pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan harus dilandaskan pada sikap menjunjung moral (sosial), perhatian ekologis dan keberlanjutan ekonomi. Kelangkaan Energi

Kontribusi ilmu ekonomi dalam perdebatan konsep Malthus atau Neo-Malthus adalah mencari jawaban atas dua pendapat yang berbeda. Pertama, kemungkinan mempertahankan pertumbuhan ekonomi dengan input produksi sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui sambil memperhatikan kemampuan substitusi input produksi yang lain dan adanya perubahan teknologi. Kedua, sebagaimana ditegaskan oleh hasil studi Resources for the Future (RFF) yang dilakukan Barnett dan Morse, jumlah stok yang tersedia berkurang dengan sangat cepat akibat konsumsi yang terus meningkat, sehingga pada

46 W a r t a G e o l o g i S e p t e m b e r 2 0 1 0 saat tertentu menjadi barang langka (Purnomo Yusgiantoro, 2000).

Salah satu publikasi yang cukup populer mengenai kelangkaan adalah laporan The Limits to Growth (LTG): A Report for the Club of Rome’s Project on the Predicament of Mankind in 1972. Laporan ini mengembangkan model komputer untuk melacak evolusi yang terjadi sejak tahun 1900 s.d. 1970. Perhatian laporan difokuskan pada proses industrialisasi yang berjalan pesat, pertumbuhan penduduk yang tinggi, penyebaran kekurangan gizi, terkurasnya sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui dan meningkatnya kerusakan lingkungan. LTG telah memberi nuansa baru bagi konsep kelangkaan dan mendorong mencari cara agar kelangkaan sumber daya alam dapat dihindari.

Ahli geologi dari AS, King Hubbert (1956), mengasumsikan bahwa energi bersifat tidak dapat diperbarui dan teknologi relatif konstan, maka dari waktu ke waktu penawaran yang tersedia makin menurun sedangkan pemakaian konstan atau bahkan cenderung menaik seiring meningkatnya pembangunan. Mengingat jumlah minyak bumi terbatas, seiring penemuan sumur minyak baru dan produksi yang terus menerus, maka suplai akan menurun/terjadi peak (gambar 1). Masa sebelum peak, yaitu masa ketika produksi meningkat seiring ditemukannya sumur-sumur minyak baru. Masa setelah peak adalah masa penurunan produksi minyak disebabkan menurunnya laju produksi maupun penemuan sumur baru.

Solow (1986) mengatakan, para generasi mendatang mungkin tak dapat mewarisi stok yang tersisa dari pemakaian minyak bumi di masa sekarang, melainkan generasi mendatang tertarik

pada kesempatan konsumsi yang dapat mereka lakukan dengan konsekuensi sumber daya alam yang makin terbatas karena sudah digunakan pada masa sebelumnya.

Untuk menjelaskan kelangkaan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, salah satu yang penting adalah mencari ukuran kelangkaan yang dapat dipakai dalam aplikasi ilmu ekonomi. Ukuran keteknikan yang biasa digunakan adalah besarnya cadangan sumber daya energi. Cadangan didefinisikan sebagai jumlah sumber daya alam tertentu yang dapat diproduksi dengan harga yang berlaku dan teknologi yang tersedia di pasar. Besarnya cadangan terbukti, sejalan dengan proses produksi dikoreksi dan disesuaikan mendekati besar cadangan sebenar¬nya. Kelangkaan dapat diamati dari perbandingan cadangan terhadap produksinya (reserve to production ratio). Energi dan Permasalahan Lingkungan Global Kegiatan pemakaian energi juga seringkali dikaitkan dengan dampak negatif pada lingkungan, terutama di negara-negara maju yang sedang memacu industri. Energi sering dituduh sebagai biang keladi pencemaran lingkungan. Pernyataan ini memang tidak mengherankan, mengingat kegiatan pengurasan dan pemakaian energi fosil merupakan penyumbang terbesar emisi CO2 (tabel

2), NOX dan SOX. Kadar emisi CO2 dari energi

memegang peranan besar terhadap pemanasan atmosfer bumi. Efek rumah kaca berkisar 4,4 miliar ton karbon per tahun berasal dari negara industri sedangkan 1,8 miliar ton berasal dari negara berkembang.

Diakui dewasa ini, bahwa laju pertumbuhan emisi negara berkembang sekitar 3,7 persen per tahun, lebih besar ketimbang negara industri maju yang Klasifikasi sumber daya energi Sumber: Purnomo Yusgiantoro, 2000.

Ketersediaan (Stock) Nilai Komersial (Commercial) Pemakaiannya (Usage)

Dapat diperbarui 1. Panas bumi • Tenaga air • Tenaga surya •

Tenaga angin dan lainnya

Tidak dapat diperbarui 2. Minyak bumi • Gas bumi • Batubara • Uranium • dan lainnya • Komersial 1. Minyak bumi • Gas bumi • Batubara • Tenaga air • Panas Bumi •

Uranium dan lainnya

• Non Komersial 2. Kayu bakar • Limbah pertanian • Energi Baru 3. Tenaga Surya • Tenaga angin • Tenaga samudera • Biomassa • Gambut • Primer 1. Minyak bumi • Gas bumi • Batubara • Tenaga air • Panas Bumi • Uranium • Sekunder 2. Listrik • LPG • Gas bumi • BBM • Non-BBM •

Briket Batubara Dan lainnya

sebesar 1,1 persen per tahun. Berkurangnya emisi CO2 negara-negara industri maju dapat dimengerti

seiring dengan penurunan laju pertumbuhan ekonomi setelah melewati masa industrialisasi. Keadaan ini bertolak belakang dengan negara berkembang yang sedang mengalami perubahan struktur ekonomi menuju era industrialisasi. Pada bulan Mei 1992 disepakati konsensus PBB tentang perubahan iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change), yang

kemudian ditandatangani pada KTT Bumi di Rio Janeiro, Brazil pada Juni 1992. Hasil konvensi ini terus diratifikasi dengan melakukan pertemuan tahunan yang dikenal dengan Conference of the Parties (COP). Puncaknya dengan disepakatinya Protokol Kyoto pada tahun 1997. Protokol Kyoto bertujuan untuk mengurangi kesuluruhan emisi gas rumah kaca, yaitu: CO2, CH4, N2O, HFCs PFCs

dan SF6. Selain itu, Protokol Kyoto juga mewajibkan

negara maju untuk menurunkan emisi gas rumah kaca tahun 2008-2012 sebesar 5,2% dari nilai emisi tahun 1990.

Sidang COP tahun 2008 di Bali, memberikan peluang flexibility mechanism. Dengan ini, negara maju memiliki kemungkinan membayar ‘hutang penurunan emisinya’ dengan berpartisipasi pada penurunan emisi di negara lain terutama di negara berkembang. Mekanisme yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini adalah clean development mechanism (CDM), dengan mendorong negara-

negara maju mengimplementasikan kegiatan/ proyek-proyek pembangunan yang bisa menekan penurunan emisi di negara-negara berkembang. Beberapa Pemikiran untuk Tindakan

Perlu perhatian lebih serius para pengambil 1.

keputusan/penentu kebijakan terhadap proyeksi permintaan pemakaian energi di masa mendatang, apalagi penyediaan energi Indonesia sebagian besar masih ditopang oleh energi tak terbarukan.

Untuk mengatasi permasalahan pemakaian 2.

energi, program konservasi dan diversifikasi energi perlu lebih ditingkatkan lagi terutama implementasinya. Efisiensi pemakaian energi yang lebih besar akan berujung pada peningkatan bobot peran pemakaian energi terhadap perekonomian nasional.

Program konservasi terhadap pemakaian energi 3.

primer dapat digalakkan mengingat bobot pengaruhnya terhadap output nasional dapat dikatakan kurang penting atau relatif berdampak kecil. Penekanan kebijakan konservasi energi dapat didetilkan dengan kajian yang lebih mendalam terhadap temuan empiris masing- masing komoditi/jenis energi.

Sedangkan diversifikasi energi merupakan 4.

program yang tidak kalah pentingnya dalam mengatasi permasalahan energi. Diversifikasi ke arah energi baru dan terbarukan merupakan tantangan utama, karena disamping mengatasi keterbatasan cadangan energi, juga dapat berperan dalam menekan emisi gas rumah kaca.n

Diolah dari berbagai sumber oleh Joko Parwata

No Sumber Energi Emisi CO2/KWh (gr CO2)

1 2 3 Batubara Minyak Bumi Gas Bumi 940 798 581

Emisi CO2 yang dihasilkan dari sumber daya energi Sumber: Purnomo Yus-

giantoro, 2000.

48 W a r t a G e o l o g i S e p t e m b e r 2 0 1 0 48 W a r t a G e o l o g i S e p t e m b e r 2 0 1 0

49

Profil

P R O F I L

Terdengar gemuruh yang menderu. Asap kecoklatan berputar menggulung ke atas dengan cepat. Jam sepuluh pagi November 1994, Gunung Merapi meletus, persis saat tim, termasuk Supriyati Andreastuti, berada di puncak. Inilah pertama kali baginya menyaksikan letusan gunung api yang sangat aktif dari jarak yang amat dekat. Tim berjumlah 13 orang itu sedang berada di tepi kawah bagian utara. Mereka adalah R. Sukhyar (sekarang Kepala Badan Geologi), tiga orang perempuan, Supriyati Andreastuti, Sri Sumarti, dan Dewi Sri Sayudi, serta beberapa surveyor. Untung letusan Merapi mengarah ke bagian yang terbuka, ke arah selatan. Ini merupakan kebesaran Tuhan. Angin bertiup dengan sangat kencang ke arah selatan, sehingga tim selamat dari sergapan awan panas.

Segera setelah itu panggilan melalui radio komunikasi Handy Talky datang terus-menerus, mengintruksikan agar tim segera turun. Panggilan itu datang dari Atje Purbawinata, Kepala Seksi Gunung Merapi (sekarang BPPTK). Melalui radio komunikasi itu pula dikabarkan, bahwa di bawah, Kampung Turgo terkena awan panas (belakangan diketahui jumlah penduduk tewas 66 orang). Tim pun bergegas turun.

Demikian sekelumit kejadian letusan Merapi 1994 yang disampaikan Supriyati Andreastuti atau biasa dipanggil Empi (E dibaca seperti e dalam kata emas) saat ditemui Tim Warta Geologi (WG) di ruangan kerjanya. Saat ini Empi menjabat sebagai Kepala Sub Bidang Evaluasi Bencana Gunung Api di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi. Beliau merupakan wanita pertama Indonesia yang bergelar doktor dalam bidang gunung api. Melalui tulisan ini kita akan mengikuti perjalanan hidup seorang ahli Gunung Api berkaitan dengan Gunung Merapi. Empi kembali bertutur mengenai letusan Merapi 1994. Saat itu secara kebetulan, dirinya sedang berlibur musim panas dari kampusnya di Auckland University, Selandia Baru. Kesempatan ini dimanfaatkannya untuk pulang ke tanah air melakukan pemetaan gunung api. Mengetahui keberadaan Empi di Yogyakarta, atasannya menugaskan Empi untuk naik ke puncak Merapi. Empi menjawab, “Pekerjaan saya belum selesai, Pak.” Namun, atasannya tetap menugaskan Empi agar ikut dalam tim yang akan naik ke Puncak Merapi tengah malam.