Empi kembali bertutur mengenai letusan Merapi 1994. Saat itu secara kebetulan, dirinya sedang berlibur musim panas dari kampusnya di Auckland University, Selandia Baru. Kesempatan ini dimanfaatkannya untuk pulang ke tanah air melakukan pemetaan gunung api. Mengetahui keberadaan Empi di Yogyakarta, atasannya menugaskan Empi untuk naik ke puncak Merapi. Empi menjawab, “Pekerjaan saya belum selesai, Pak.” Namun, atasannya tetap menugaskan Empi agar ikut dalam tim yang akan naik ke Puncak Merapi tengah malam.
Supriyati Andreastuti
“..Vulkanologis itu pelayan bagi
masyarakat yang harus dilakoni dengan
sepenuh hati. Saya berprinsip, kalau
bermaksud baik, maka akan dilindungi oleh
Tuhan....”
Selain Ilmu, Ada Rasa dalam Mengenal
Gunung Api
50 W a r t a G e o l o g i S e p t e m b e r 2 0 1 0
P R O F I L
Status Gunung Merapi saat itu masih ”waspada” (Tingkatan aktivitas atau status gunung api itu adalah ”normal”, ”waspada”, ”siaga”, dan ”awas”). Dalam tingkatan itu pendakian masih diizinkan, sehingga tim mendaki untuk melakukan pengukuran-pengukuran dan mengamati Gunung Merapi secara visual dari dekat. Tiba-tiba aktivitas vulkanik berubah begitu cepat, Merapi meletus. Memang karakter gunung api itu amat susah ditebak. Pagi hari masih berstatus waspada, malam harinya bisa saja meletus. Sangat cepat perubahannya, Empi menambahkan.
Pengalaman dengan Merapi 1992 dan 1990 Melalui pengamatan, penelitian yang terus- menerus terhadap satu gunung api, secara bertahap karakter dan perilaku suatu gunung api akan dapat dipahami. Pemahaman itu bukan saja bersumber dari ilmu kegunungapian, tetapi juga ada rasa (intuisi) yang berperan memberikan pertimbangan. Empi mengaitkan hal ini dengan pengalaman dirinya tahun 1992 di Merapi. Waktu itu Empi menjadi bagian dari tim yang dikepalai oleh Sutikno Bronto dan sedang mengadakan survei di hulu Kali Senowo. Sutikno memintanya melakukan observasi sebaran guguran dan pengambilan sample. ”Waktu sample diambil, keadaannya masih sangat panas, sehingga plastik tempat sample meleleh seketika”, ujarnya. Saat hari
sudah siang, tim memutuskan untuk beristirahat dan makan siang.
Salah seorang rekan Empi bertanya, “Mbak Empi, mau makan di mana?” “Masuk ke hutan!” Empi menjawab sambil berjalan bergegas mendaki masuk hutan. “Kita makan di sini, di lereng Bukit Jengger saja, terlindung,” rekan tadi menyarankan. Begitu tim naik, batu panas raksasa sebesar rumah meluncur begitu kencangnya, tepat melindas tempat yang baru saja mereka tinggalkan. “Jadi waktu itu saya hanya feeling saja, saya ingin naik. Saya tidak tahu, saya hanya bilang, saya ingin naik, dan ternyata selamat,” Empi menjelaskan alasan keputusannya. Tuhan telah menyelamatkan Empi dari dua peristiwa di Gunung Merapi. Dua tahun sebelumnya, tahun 1990, saat Empi masih termasuk orang baru di Vulkanologi, ada kejadian yang cukup unik dialaminya. Waktu itu Wimpy S. Tjetjep sebagai Direktur Vulkanologi menelepon Kantor Seksi Merapi di Yogyakarta tempat Empi bekerja guna meminta informasi perkembangan Gunung Merapi yang saat itu sedang aktif. Empi mengakui diminta teman- temannya untuk menerima telepon itu. “Empi saja yang menerima,” kata teman-temannya. Lalu data disiapkan di dekat meja telepon. “Saya
51
Profil
mau menerima telepon, tapi data-data seismik, deformasi, dan visual harus lengkap,” kata Empi mengajukan syarat.
“Pak Wimpy itu, kalau bertanya ‘kan konsisten dan diulang-ulang, kayak polisi. Mungkin agar kita mengatakan apa yang sesungguhnya,” Demikian Empi mengenang saat-saat paling krisis dalam sebuah pengamatan gunung api.
“Empi, tremornya berapa?” pertanyaan terus bertubi-tubi, berulang-ulang.
“Empi, ininya berapa, itunya berapa?” pertanyaan terus datang beruntun.
Waduh…, bersama teman-temannya, Empi menjadi sibuk.
“Sekarang cek visualnya!” pinta Wimpy dari kejauhan.
“Asapnya putih agak kecoklatan,” Empi melaporkan.
“Putih kecoklatan atau putih?” tanya Wimpy menyelidik.
“Benar, pak, putih kecoklatan”. “Coba sekarang cek visualnya!”
Empi mengadakan hubungan langsung dengan petugas Pos PGA (Pos Pengamatan Gunung Api) Kaliurang melalui SSB (Single Side Band). Setelah mendapatkan jawaban dari petugas Pos, Empi segera melanjutkan menjawab pertanyaan atasannya.
“Jawaban dari mereka benar, pak, putih kecoklatan”.
Sebagai karyawan baru, Empi mengaku tegang menerima pertanyaan yang bertubi-tubi dan berulang-ulang. ”Waktu itu, saya berpikir bagaimana menghentikan pertanyaan-pertanyaan Pak Wimpy. Pak Wimpy ‘kan kalau bertanya sering terselip kata-kata bahasa Sunda. Lalu saya menjawab dengan bahasa Jawa. Ketika Pak Wimpy bertanya lagi, saya jawab dalem, Pak…. Akhirnya Pak Wimpy berkata, ”Ya OK, deh, Empi, sudah cukup…. Saya menjawab, “matur nuwun…”. “Terima kasih,” Akhirnya Pak Wimpy mengakhiri pembicaraan teleponnya, demikian Empi menuturkan. Sorenya Wimpy datang ke Yogyakarta. Dalam rapat, Wimpy menyampaikan, “Wah, baru pertama kali ada orang yang menghentikan telepon saya dengan bahasa Jawa.”
Pertanyaan Wimpy melalui telepon mengenai, “Apakah warna asapnya putih atau coklat?” ternyata begitu tertanam dalam benak Empi. Empi menjelaskan, pertanyaan itu pula yang terlontar secara spontan kepada R. Sukhyar di puncak Merapi tahun 1994, waktu Merapi menunjukkan aktivitasnya. “Pak, kok warnanya coklat?” tanya Empi waktu itu. Pengalaman menjawab telepon dari Wimpy itu merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi dirinya yang baru masuk beberapa bulan, Empi mengakui.
Salah seorang ahli gunung api lain yang ditemui terpisah, Syamsul Rizal Wittiri menjelaskan bahwa seorang pimpinan memerlukan data yang akurat ketika dia akan memutuskan status suatu gunung api. ”Tugas paling berat saat menghadapi krisis gunung api adalah ketika seorang pimpinan harus meningkatkan status menjadi ”Awas”, karena itu merupakan sesuatu yang tidak pasti. Kalau tersedia data, maka data itu mempunyai tingkat kebenaran tidak lebih dari 30 % selebihnya feeling dan intuisi”, ujar Syamsul.
Syamsul melanjutkan, “Taruhannya sangat besar, nama baik pribadi, nama baik institusi, dan karir. Untuk menaikkan status kegiatan gunung api dari ”normal” menjadi ”waspada”, atau dari ”waspada” menjadi ”siaga”, itu tidak terlalu masalah. Tetapi ketika meningkatkan status menjadi ”awas”, persoalannya menjadi sangat berat karena menyangkut orang banyak. Suasana batinnya berbeda, oleh karena itu bisa dimaklumi kalau pimpinan bertanya sangat mendetail. Apalagi kalau pertanyaannya dilakukan melalui telepon.”
Ketika WG menanyakan sudah sejauh mana Empi memahami gunung api atau Gunung Merapi, Empi tidak langsung menjawab. Setelah merenung sesaat Empi menjawab, “Demikian seringnya Merapi meletus, sekali setiap 2 - 7 tahun, logikanya tentu sudah banyak yang saya ketahui, tetapi ternyata karakter Merapi amat sulit dipahami”. Menurut Empi ini adalah tantangan dan hal ini pula yang mendorongnya melanjutkan studinya hingga jenjang S3.
Empi menjelaskan tentang karakter letusan Merapi bahwa produk awan panas Merapi itu dua macam, yaitu produk guguran dari awan panas dan produk awan panas yang diawali oleh guguran. “Saya berkeinginan memahami awan panas, khususnya
52 W a r t a G e o l o g i S e p t e m b e r 2 0 1 0
P R O F I L
Merapi, lebih detail. Ternyata awan panas itu hanya bagian kecil dari proses suatu letusan. Yang lebih menarik adalah memahami tipe setiap letusan dari siklus yang pendek, siklus menengah dan tipe dari sikus yang panjang. Saya sampai pada satu kesimpulan, saya sudah mempelajari banyak hal dari satu gunung api, dan saya belum tahu apapun tentang gunung itu”.
Ketika WG menanyakan apakah memang masyarakat lereng Merapi susah diatur, terutama bila disuruh mengungsi. Empi menjawab, “Katanya demikian, tetapi kita harus pahami duduk perkaranya. Sebagai contoh, ketika saya mewawancarai penduduk Desa Turgo, yang mengalami terjangan awan panas Merapi 1994. Semula sulit saya mendapatkan informasi, setelah memahami secara psikologis, orang itu ternyata bisa mengungkapkan kembali peristiwa alam yang ada di hadapan matanya. Suara yang muncul ketika awan panas meluncur menderu, kemudian suasananya. Itu semua membuat saya merasa sangat beruntung. Jadi saya memahami permasalahan secara psikologis dan secara manajemen kemasyarakatan. Kemudian problem tentang bahaya yang sesungguhnya akan muncul. Hidup di gunung api itu berat, apalagi untuk menghadapi bencananya. Oleh karena itu jangan pernah memerintahkan orang mengungsi sebelum meyakinkan bahwa mereka dalam ancaman bahaya.”
Dari kejadian letusan Merapi tahun 1994, Empi mengaku sempat mengalami masa trauma. ”Saya menyaksikan korban yang tersapu awan panas, dan mereka masih hidup dengan penderitaan yang berat. Kulitnya yang terpanggang itu setelah sembuh menjadi tidak berpori-pori, kulit menjadi tidak dapat bernapas, sehingga menjadi sangat panas. Ibaratnya, kulitnya seperti plastik yang terbakar. Atau ada pula yang sebagian tubuh hingga kepalanya terbakar, sehingga sebelah kepalanya rusak, termasuk pendengarannya.” Hal ini dapat dimengerti, karena awan panas yang tidak begitu panas pun suhunya minimal 1500
C. Rata-ratanya antara 200-3000 C. Jadi rentang
panasnya antara 1500-3000an C. Ini awan panas
guguran (collapse). Sedangkan suhu awan panas letusan bisa mencapai 7000-an C.
Ketika Profesor Barry Voght dari Pensylvania University, USA datang untuk membuat film dokumenter mengenai Gunung Merapi, salah satu objeknya adalah mewawancarai masyarakat yang terkena awan panas dan Empi yang menjadi pewawancara sekaligus penerjemah. Empi menuturkan, “Saya pernah mengalami letusan dari jarak yang sangat dekat, dan melihat kenyataan korban yang mengenaskan, saya bisa memahami perasaan mereka. Ada korban yang bagian kanan kepalanya terkena awan panas, pendengaran sebelah kanannya rusak. Dia mengungkapkan rasa traumatiknya bila udara mendung, kemudian diikuti hujan rintik-rintik. Mereka teringat peristiwa yang sangat mengerikan itu”.
Saat melakukan wawancara dengan para korban, Empi mencapai titik kulminasi ketidaktegaannya dan menghentikan wawancara. “Stop dulu kameranya,” lalu Empi katakan kepada professor itu, “Saya tidak mau meneruskan kalau yang ditanyakan adalah perasan mereka. Saya punya cara lain untuk mengetahui bagaimana mereka menghadapi musibah.”
Dengan peristiwa itu Empi tertarik untuk memahami bencana secara psikologis. Waktu pelaksanaan relokasi korban letusan Merapi di Kampung Sudimoro, misalnya, para korban itu meminta untuk ditempatkan di lokasi baru dengan tata letak rumah-rumah yang sama, persis bertetangga seperti di kampung asalnya.
“Waktu itu saya tidak habis pikir, mengapa mereka berkeinginan seperti itu. Saya berkonsultasi dengan psikolog, ternyata jawabannya, bahwa penyembuhan traumatis itu harus berada di lingkungan yang dikenalnya. Lalu saya mengevaluasi dari sisi teknis, dan kemudian dari sisi masyarakatnya. Kita ternyata harus memasukkan faktor psikologis selain pertimbangan sains gunung api”, ujar Empi.
Berdasar pada pengalaman lapangannya itu, Empi membuat makalah, bagaimana menghadapi tantangan pada masyarakat yang tinggal di gunung api dengan masalah berat seperti Gunung Merapi. Makalah itu dipresentasikan di Hawaii. Ada satu komentar dari pendengar yang membuat Empi tersentuh, “Kok, kamu sebagai seorang vulkanologis mau menyadari kekurangan kamu?” Empi menjawab, “Kalau kita ingin meningkatkan kapasitas masyarakat, maka kita harus memahami mereka. Apa yang mereka harapkan dan apa yang dapat diberikan. Jadi ada timbal balik seperti itu”. Menjawab pertanyaan WG, mengenai apakah memang kampung Mbah Maridjan aman dari bahaya letusan Merapi, Empi menjawab. “Pada waktu Letusan 2006, menurut perhitungan