• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengembalikan Keberadaan Tembang Dolanan

Dalam dokumen Buku Menyelam atkan Bahasa Indonesia.pdf (Halaman 186-193)

Maria Lintang Restu Semesta

lagukan suatu tembang berdasarkan titilaras tertentu (Glosarium Istilah Sastra Jawa)

Berdasarkan macamnya, tembang dibagi menjadi:1) tem- bang gedhe (besar), yaitu tembang yang menggunakan bahasa Jawa Kuna, 2) tembang tengahan, yaitu tembang yang muncul pada zaman Majapahit dan menggunakan bahasa Jawa Tengahan, dan 3) tembang cilik (macapat)

Setiap tembang memiliki watak. Tembang macapat yang ber- jumlah tiga belas memiliki watak di setiap tembangnya. Misal- nya, tembang Kinanthi berwatak senang dan penuh cinta kasih, tembang Maskumambang yang berwatak sedih, tembang Durma yang berwatak emosional tinggi, dan lain-lain.

Seiring berjalannya waktu, muncul tembang yang tidak terikat oleh aturan tertentu yang disebut tembang dolanan. Ber- beda dengan tembang tengahan dan tembang macapat, tembang dolanan tidak terikat oleh aturan guru gatra (jumlah baris), guru wilangan (jumlah suku kata dalam satu baris), dan guru lagu (huruf vokal terakhir dalam satu baris). Tembang dolanan bisa disajikan dengan iringan musik gamelan. Ciri tembang dolanan antara lain: 1) bahasanya sederhana, 2) mengandung nilai-nilai estetis, 3) jumlah barusnya terbatas, 4) berisi hal-hal yang selaras dengan keadaan anak, dan 5) mudah dipahami.

Tembang dolanan memiliki fungsi, antara lain: pertama, sebagai sarana hiburan. Tembang dolanan digunakan oleh anak- anak sebagai lagu pengiring dalam permainan. Di antara nama permainan tersebut, ada yang menggunakan judul dari tembang yang digunakan, misalnya Cublak-Cublak Suweng dan Jamuran. Anak-anak menyanyikan tembang sambil memainkan permainan diikuti gerakan dalam suasana riang. Walaupun kelihatannya hanya untuk bermain dan bersenang-senang, tembang dolanan mengandung unsur pembentukan karakter anak.

Kedua, sebagai ajakan dan nasihat, misalnya tembang Prakanca. Pada kutipan lirik “rembulane sing ngawe-awe, ngelingake aja pada turu sore” (bulan sendiri yang mengajak, mengingatkan agar jangan tidur di sore hari) mengajak anak-anak untuk tidak bermalas-malasan dan bersuka ria bersama pada saat bulan purnama. Contoh yang lain, ialah tembang dolanan yang menyambut bulan suci Ramadhan berjudul E, Dhayohe Teka (Eh, Tamunya Datang). Tembang ini digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk mengajak masyarakat menyambut bulan Ramadhan dengan hati yang bersih.

Ketiga, sebagai sarana untuk bercerita. Tembang dolanan juga digunakan anak-anak untuk menceritakan tentang sesuatu yang dimilikinya. Misalnya, tembang Aku Duwe Pitik tentang seorang anak yang bercerita memiliki seekor ayam.

Keempat, tembang dolanan digunakan untuk menyampaikan nilai sosial kepada anak-anak. Contohnya, tembang dolanan yang berjudul Sluku-Sluku Bathok. Pesan yang dapat dipetik dari tembang ini ialah hidup tidak boleh dihabiskan hanya untuk mencari uang. Contoh yang lain ialah tembang Gundul-Gundul Pacul yang menyiratkan pesan bahwa menjadi pemimpin tidak boleh sewenang-wenang pada rakyatnya.

Selain itu, dengan mengenal tembang dolanan, anak-anak dapat srawung (bergaul) dengan orang lain. Anak-anak menjadi tidak individual, melainkan juga memiliki sikap sosial dengan sesamanya. Hal itu dapat terjadi karena, secara tidak langsung, tembang dolanan mengajak anak-anak untuk bermain dan ber- gembira bersama.

Dilihat dari berbagai manfaat positifnya, lirik-lirik dalam tembang dolanan mengajarkan tentang nilai-nilai karakter pada anak seperti: cinta alam, mengasihi sesama, kepedulian, dan lain- lain. Namun, bagaimana keberadaan tembang dolanan dewasa ini?

Zaman dahulu tembang dolanan kerap kali dipertunjukkan kepada masyarakat. Bentuk pertunjukan tembang dolanan antara lain drama. Anak-anak memainkan drama yang menceritakan isi tembang, misalnya tembang Prakanca. Dalam drama tersebut, anak-anak bermain dan berkumpul bersama di bawah bulan purnama. Contoh yang lain ialah tembang Gajah. Pertunjukan tersebut menceritakan tentang salah satu hewan, yaitu gajah. Dalam pertunjukan tersebut anak-anak bertingkah seperti gajah. Dibandingkan dengan saat ini, dahulu lirik tembang dolanan sudah di luar kepala. Sekarang, pada zaman globalisasi, men- dengar anak dapat menyanyikan tembang dolanan dapat dikata- kan sesuatu hal yang langka. Ironinya, anak-anak sekarang, be- berapa di antaranya lebih mengenal lagu-lagu asing daripada lagu dalam negeri.

Anak-anak yang bisa menyanyikan lagu berbahasa asing seringkali dianggap pandai. Oleh karena itu, ada orangtua yang mengajarkan anaknya lagu berbahasa asing. Tidak hanya itu, dewasa ini anak-anak sudah mengenal lagu-lagu tentang jatuh cinta, patah hati, curahan hati ditinggal kekasih, dan sebagainya. Anak-anak dapat mengenal, bahkan, hafal liriknya karena sering mendengar dari televisi, radio, dan youtube.

Lagu-lagu modern tidak semuanya memiliki nilai moral untuk anak. Beberapa di antaranya masih dipertanyakan, apakah lagu tersebut boleh didengarkan anak-anak atau tidak.

Hilangnya “keberadaan” tembang dolanan menyebabkan hilangnya karakter anak pula. Anak-anak menjadi lebih bersikap individual dan tidak mengenal budayanya sendiri. Padahal, budaya merupakan cermin kepribadian bangsa. Lunturnya tem- bang dolanan pada era globalisasi dapat disebabkan beberapa hal, seperti lingkungan anak-anak dan pelajar, serta adanya ke- majuan teknologi.

Dalam kurikulum pendidikan di Indonesia, bahasa Jawa merupakan salah satu pelajaran yang harus didapatkan oleh pe- serta didik dari jenjang sekolah dasar sampai sekolah menengah. Dalam pelajaran bahasa Jawa tersebut, tidak lepas dari tembang, baik tembang macapat maupun tembang dolanan. Namun, mam- pukah pelajaran tembang meningkatkan minat pelajar terhadap tembang dolanan?

Beberapa pelajar rata-rata mempelajari suatu materi untuk mengejar nilai. Setelah nilai didapat, materi bagaikan masa lalu yang tidak perlu diingat. Hal yang sama terjadi juga pada materi tembang yang diberikan oleh guru. Guru sering kali mengguna- kan materi tembang sebagai materi untuk ujian praktik. Pelajar amat antusias saat menjelang ujian, tetapi setelahnya, materi tembang dengan mudah dilupakan.

Sebenarnya, tembang dolanan memiliki nada yang enak dan nyaman didengarkan. Namun, pada saat ini, nada-nada tembang dolanan yang lembut, bersemangat, dan enak didengar tersebut kalah di telinga remaja bila dibandingkan dengan lagu-lagu modern yang berirama beat, jazz, mellow, dan sebagainya. Beberapa remaja mengaku lebih senang mendengar lagu-lagu dengan irama tersebut dengan alasan sesuai dengan kehidupan remaja.

Tembang dolanan mulai luntur di kalangan anak-anak juga bisa disebabkan karena permainan anak-anak pun sudah ber- ubah bentuk. Permainan anak-anak memang tetap ada sampai sekarang. Hanya, bentuknya sudah berubah. Kini, anak-anak lebih sering bermain lewat gadget, sehingga permainan tradisio- nal sudah jarang dimainkan.

Tembang dolanan juga sudah jarang diajarkan di sekolah, khususnya sekolah untuk anak-anak usia dini. Mereka lebih sering mengajarkan lagu-lagu berbahasa asing. Sadar atau tidak, hal tersebut dapat menyebabkan anak usia dini tidak mengenal budaya daerahnya.

Berdasarkan hal tersebut, perlu adanya upaya untuk me- ngembalikan “keberadaan” tembang dolanan. Sejak dahulu, telah banyak upaya untuk melestarikan tembang dolanan. Salah satu- nya, pada tahun 1938, H. Overbeck mendokumentasikan 690 tem- bang dolanan dalam bukunya yang berjudul Javaansche Meisjesspelen en Kinderliedjes (kompas.com)

Pada zaman ini, mengembalikan “keberadaan” tembang do- lanan dapat dimulai dari diri sendiri. Pertama, mengenal tem- bang dolanan itu sendiri. Ada pepatah, tak kenal maka tak sa- yang. Jika sudah mengenal tembang dolanan (mengetahui makna dan nilai yang ingin disampaikan), orang akan lebih mudah untuk melestarikan tembang dolanan.

Kedua, orangtua dapat mengajarkan tembang dolanan untuk anak-anaknya. Orangtua dapat membiasakan anak-anaknya untuk bermain permainan tradisional sambil diiringi tembang dolanan. Orangtua pun dapat mengajarkan lirik tembang dolan- an dan maknanya.

Ketiga, menyadarkan pada diri sendiri bahwa materi tem- bang tidak hanya seperti angin lewat. Materi tembang yang di- berikan oleh guru, dapat menjadi sarana untuk mengembalikan “keberadaan” tembang dolanan. Setelah mendapat materi tem- bang dari guru, kita dapat mengembangkan materi tersebut.

Keempat, menggunakan tembang dolanan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya pelajar. Contohnya: saat kegiatan di seko- lah, misalnya kemah bakti, diadakan lomba-lomba untuk tiap kelompok. Lomba tersebut salah satunya dapat diadakan dalam bentuk lomba menyanyikan tembang dolanan. Dengan hal sederhana ini, diharapkan kehidupan pelajar tidak melulu diisi dengan lagu-lagu modern.

Kelima, mempertunjukkan tembang dolanan di khalayak umum. Mencontoh dari masa lalu, mempertunjukkan tembang dolanan dapat dilakukan di masa kini. Kita dapat mengadakan

dramatisasi tembang dolanan seperti zaman dahulu. Harapannya ialah supaya anak-anak muda tertarik dan mencintai tembang dolanan.

Keenam, melestarikan permainan tradisional. Tembang dolanan merupakan bagian tak terpisahkan dari permainan tradi- sional. Oleh karena itu, dengan melestarikan permainan tradisio- nal, dapat melestarikan tembang dolanan pula. Selain itu, per- mainan tradisional dapat menyehatkan fisik dibandingkan dengan permainan pada gadget. Permainan tradisional juga memiliki nilai sosial untuk anak-anak. Salah satu upaya pemerintah melestari- kan permainan tradisional, antara lain pada tahun 2016, peme- rintah Kabupaten Sleman mengadakan Festival Dolanan Anak Sleman di Sindu Kusuma Edupark, Sinduadi, Mlati, Sleman (HarianJogja.com 23/5/16)

Melestarikan tembang dolanan tidak terlalu sulit untuk di- lakukan asalkan ada kemauan. Dengan upaya pelestarian tersebut, diharapkan tembang dolanan mampu bersaing di dunia yang senantiasa mengalami perkembangan. Sudah saatnya kita, gene- rasi muda, mengembalikan “keberadaan” tembang dolanan seba- gai cermin kepribadian anak bangsa. Zaman boleh berubah, generasi boleh berganti, tetapi menjaga kelestarian budaya me- rupakan tanggung jawab bersama.

Mistik, sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merupakan subsistem yang ada dalam hampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan. Mistik juga sama dengan tasawuf, yaitu ajaran untuk mengenal dan mendekatan diri kepada Allah sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan-Nya.

Koentjaraningrat (1980) mendefinisikan mistik sebagai sistem religi berdasarkan kepercayaan kepada satu Tuhan yang diang- gap meliputi segala hal dalam alam dan sistem keagamaan ini sendiri dari upacara-upacara yang bertujuan mencapai kesatuan dengan Tuhan.

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikataan bahwa mistik merupakan upaya manusia untuk menghadirkan Tuhan dalam dirinya. Tuhan sebagai satu zat yang senantiasa dirindu- kan manusia seringkali dihadirkan ke dalam ritual-ritual atau sesuatu yang dipercaya dapat menghubungkan manusia dengan sang Pencipta.

Pada tulisan kali ini, penulis akan membahas tentang karya sastra dan hubungannya dengan mistik. Sebagai bahan kajian, karya sastra dijadikan sebagai objek yang menjembatani per-

Mistisisme Karya Sastra

Dalam dokumen Buku Menyelam atkan Bahasa Indonesia.pdf (Halaman 186-193)