• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menghidangkan kidu-kidu atau usus babi sama seperti jenis

makanan lainnya. Apabila kidu­

kidu digunakan sebagai lauk pa­

uk untuk makanan sehari-hari,

untuk pesta atau untuk dijual di

rumah makan/kedai makan

biasanya dipotong-potong, ke­

mudian diletakkan di atas piring.

Apabila kidu-kidu ditujukan un­

tuk upaeara tertentu biasanya

bulat utuh dan diletakkan di atas

tempat khusus untuk upaeara.

Sementara itu, aturan dalam

·

eara mengkonsumsi kidu-kidu

hampir sama dengan jenis ma­

kanan lainnya. Ada yang mema­

sukkannya lebih dahulu ke mu­

lut dan kemudian diikuti nasi

dan sayur, ada juga yang seeara

bersama-sama. Hal ini tergan­

tung dari selera masing-masing.

Seperti yang sudah dijelas­

kan bahwa kidu-kidu sebagai ma­

kanan khas daerah Karo, memi­

liki eukup banyak makna. Selain

bermakna sebagai lauk pauk

sehari-hari dan sarana upacara,

kidu-kidu juga digunakan seba­

gai sarana pengikat janji pada

saat sebuah aeara perdamaian.

Makna kidu-kidu seperti tampak­

nya tidak hanya berlaku di

desa namun tetap dilaksanakan hingga ke perkotaan. Keberada­ an kidu-kidu sebagai makanan khas telah diturun-temurunkan ke generasi sekarang sehingga keikutsertaannya dalam ber­ bagai kegiatan tertentu masih terus dilaksanakan.

Dalam kehidupan masya­ rakat Karo, kidu-kidu memiliki fungsi untuk menjalin hubungan sosial. Dimulai dari proses pem­ buatannya, telah melibatkan ba­ nyak orang terutama bila kidu­ kidu ditujukan sebagai sarana upacara. Unsur-unsur yang ter­ masuk di dalam Daliken Si Telu sangat berperanan. Terutama Anak Beru yaitu kelompok pe­ kerja (petugas) dari pihak pem­ buat upacara. Tentunya dengan bekerja sama antara anggota anak beru, maka makanan ter­ sebut dapat dikerjakan hingga selesai. Melalui kerja sama, hu­ bungan antara mereka semakin erat. Bila dicermati selanjutnya, pada proses penyantapan ma­ kanan juga memperlihatkan ada nilai sosial, karena dalam ma­ kan bersama banyak unsur yang terlibat, termasuk di dalamnya Sembuyak dan Kalimbubu.

Selain itu, kidu-kidu merupakan ciri makanan tradisional masya­ rakat karo yang menganut aga­ ma Kristen, bahkan orang di luar suku bangsa ini pun menyukai­ nya.

Fungsi kidu-kidu dalam upacara tertentu seperti pur pur sage yaitu upacara saling me­ maafkan antar keluarga atau masyarakat kampung yang bersengketa dapat dikatakan mengandung nilai sosial. Juga dalam upacara Nganting Manok

(perkawinan) dan Mesuri-suri

(memberi makan orang tua ya­ ng sudah uzur). Sebab dalam upacara-upacara tersebut ter­ jadi makan bersama antara ya­ ng bersengketa dan yang ber­ keluarga. Melalui makan ber­ sama hubungan yang retak ter­ jalin kembali dan rasa persau­ daraan semakin kental. Disam­

ping mengandung nilai ekonomi

dan sosial, kidu-kidu juga meng­ andung nilai budaya. Hal ter­ sebut dapat terlihat dari keikut­ sertaannya dalam berbagai upacara. Tentunya, ini terjadi karena telah dilakukan secara terus menerus. Masing-masing generasi selalu ingat dan patuh untuk tetap menyediakan

Cara menghidangkan dan mengkonsumsi kole-kole tidak terikat oleh waktu dan tempat. Artinya, bahwa makanan sam­ pingan tersebut dapat dihidang­ kan kapan saja dan dalam ke­ sempatan apa saja, misalnya untuk menyuguh tamu, untuk ternan min urn teh pada pagi ha­ ri, untuk dihidangkan pada hari­ hari besar agama seperti idhul Fitri, dan sebagainya. Apabila kuetersebut digunakan untuk menyuguh atau menjamu tamu pada hari raya ldhul Fitri, biasa­ nya dihidangkan bersama-sama dengan jenis makanan ringan lainnya, misalnya tepung kusoi, talam belauk, dan ebagainya. Adapuncara menghidangkannya biasanya dengan menggunakan tikar pandan yang dibentangkan

di atas lantai. Cara mengkon­ sumsinya, setiap tamu yang ha­ dir untuk bersilaturahmi dengan tuan rumah duduk di atas tikar, kemudian mengambil kue-kue yang dikehendaki, yang tersaji di hadapannya.

Kole-kole sebagai salah satu jenis makanan sampingan masyarakat Melayu Penyengat, tidak diketahui dengan pasti

sejak kapan makanan tersebut mulai dikenal. Namun yang jelas bahwa makanan itu telah dikenal secara turun-temurun. Dalam kait­ annya dengan kehidupan ma­ syarakat Melayu Penyengat, kole-kole tidak mempunyai mak­ na khusus. Artinya, bahwa ma­ kanan tersebut tidak ada hubung­ annya dengan peristiwa-per­ istiwa tertentu, misalnya dengan upacara adat, upacara daur hi­ dup dan sebagainya, sedangkan fungsinya hanya sebagai makan­ an sampingan yang dapat dikon­ sumsi setiap saat. Sebagai rna-. kanan sampingan, kole-kole se­ ringkali dijual di warung-warung makanan. Pada umumnya para penjualnya adalah ibu-ibu rumah tangga untuk membantu me­

ringankan beban suaminya da­

lam mencari nafkah. Dengan demikian, makanan ini sesung­ guhnya mengandung nilai eko­ nomi, karena dapat dimanfaat­ kan untuk menambah penghasil­ an keluarga.

Selain itu, kole-kole juga sering digunakan untuk menyu­ guh atau menjamu orang-orang yang sedang melakukan kegiatan gotong royong. Sebagai

nya, seorang warga yang mem­ punyai hajat perkawinan biasa­ nya akan melakukan berbagai persiapan untuk mendukung pe­ laksanaan hajatan tersebut, se­ perti memasang tenda, membuat dekorasi dan sebagainya. Pe­ kerjaan ini umumnya ditangani oleh para tetangga. Pada ke­ sempatan ini warga yang mem­ punyai hajat kadang-kadang akan menghidangkan makanan kecil kepada para tetangganya yang melakukan kerja gotong royong berupa kole-kole. Dengan demikian, selain mengandung nilai ekonomi, kole-kole juga mengandung nilai sosial. Sementara itu dengan telah dikenalnya kole-kole secara turun- temurun sehingga telah mentradisi dalam kehidupan masyarakat Melayu Penyengat, memperlihatkan bahwa makan­ an tersebut mengandung nilai budaya.

Sumber:

De Saputra T, Syahrial. 2001. Pola Makan Masyarakat Melayu (naskah), Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Tanjungpinang. Zakbah, 2000, Tatacara Tradisional

Makan dan Minum Masyarakat

Melayu (naskah), Departemen

Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Tanjung­ pinang.

KUE BAKAR RIAU

Kue bakar adalah nama makanan tradisional Melayu ya­ ng berasal dari Pulau Penyengat. Walaupun berada di daerah Me­ layu, namun tidak semua dae­ rah di Kepulauan Riau mengenal kue ini. Makanan tradisional ini rasanya lezat dan berlemak ka­ ren a menggunakan banyak santan kelapa dan telur ayam.

Kue bakar adalah sejenis makanan tambahan yang dapat disantap setiap saat dan men­ jadi makanan sehari-hari. Meski­ pun kue bakar sangat digemari oleh masyarakat setempat, na­ mun makanan tradisional ini tidak begitu banyak dijual, bah­ kan di pasar dan toko-toko kue­ pun jarang tersedia kue bakar ini. Kue bakar dijual dengan harga Rp.300,- sampai dengan Rp.1.500,-. Di Tanjungpinang, kue bakar dijual di toko panjang

Kue bakar

rezeki yang berada di Jalan Mer­ deka, di kedai kue Jalan Bali yang merupakan kedai kaki lima, dan di toke kue yang ada di Jalan Tu­ gu Pahlawan. Dua kedai ter­ akhir adalah kedai khusus yang menyediakan makanan tra­ disional Melayu dan buka sore

hari yaitu sekitar pukul 15.00.

Kedai-kedai kue tersebut selalu padat dikunjungi oleh pembeli.

Kue bakar sebagai makan­ an tradisional memerlukan ba­ han-bahan dari tepung terigu, gula pasir, kelapa, dan telur. Ada­ pun pembuatan kue bakar ini adalah dengan cara tepung te­ rigu diayak, kelapa diparut

ke-mudian diambil santannya. Sete­ lah itu, tuangkan santan ke dalam tepung dan diaduk sampai rata. Sete­ lah adonan diaduk rata, masukkan gula pasir dan te­ lur satu persatu. Setelah itu, diaduk­ aduk kembali hi­ ngga merata. Tu-angkan adonan kedalam cetakan kue bakar yang sebelumnya te­ lah dibersihkan dan diolesi mi­ nyak goreng. Terakhir bakar ado­ nan dengan a pi atas bawah sam­ pai matang.

Peralatan yang diperlukan untuk membuat makanan tradi­ sional kue bakar adalah baskom untuk membuat adonan, parutan kelapa, saringan kelapa, oven untuk membakar kue, sendok pengaduk adonan, dan cetakan kue bakar. Semua bahan yang diperlukan untuk membuat kue bakar ini dibeli dari pasar atau di warung-warung yang ada di Pulau Penyengat. Namun ada juga penduduk setempat yang

I

srikaya, buah-buahan dan kem­ plang. Selain kue-kue dalam bo­ tekan dihidangkan pula makan:.­ an pinggiran. Makanan pinggii"­ an untuk tiap-tiap orang terdiri dari satu piring tekwan atau mie calor, burgo, atau lakso. Biasanya makanan pinggiran lebih ba­ nyak dimakan daripada kue-kue. Bahan-bahan yang diperlu­

kan, untuk membuat

kue de­

Japan jam

adalah telur, terigu

(triticum satinum),

gula, susu,

dan margarine. Untuk lebih me­ mudahkan takaran agar di­ peroleh kue yang enak dan se­ suai selera, maka perbandingan takaran atau ukuran bahan

adalah sebagai berikut: telur 20

butir, gula sebanyak takaran

telur, 2 sendok makan terigu,

satu kaleng susu kental dan 1

ons margarine. Semua bahan dapat dibeli di pasar atau di toko.

Pengolahan kue ini me­ makan waktu yang lama. Per­ alatan yang digunakan adalah kukusan, loyang, oven kue, dan kocokan telur atau mixer. Per­ alatan ini juga banyak yang sudah dimiliki, kalaupun belum dapat dibeli di toko atau di

pasar, bahkan dapat pula dipin­ jam dari tetangga atau saudara dekat. Jika didapat dengan cara meminjam maka kebiasaan yang berlaku pada saat mengembali­ kan diberi pula kuenya yang su­ dah matang sebagai ucapan terima kasih. Namun demikian, kebiasaan pinjam meminjam ini jarang sekali terjadi kalau tidak karena terpaksa. Hal itu disebab­ kan oleh pandangan hidup o­ rang Palembang yang selalu berusaha untuk menjaga harga diri/gengsi.

Harga diri/gengsi yang tinggi pada orang Palembang ini seringkali tampak pada saat perayaan-perayaan baik yang sifatnya keagamaan maupun sosial. Pada kesempatan itu mereka seolah-olah bersaing untuk tampil, baik dalam cara berpakaian maupun dalam menyediakan makanan. Me­ reka menyediakan makanan sampai berlebihan hingga mubazir.

Untuk mendapatkan

kue

8

jam

yang lezat dan enak perlu

dilakukan langkah-langkah se­ perti, pertama telur dipecahkan lalu ditakar dengan

kan mangkok. Taka ran telur di­ pakai pula untuk menakar gula pasir, jadi takaran gula sama dengan taka ran telur.Jika sudah sesuai, maka telur dan gula di­ kocok sampai mengembang. Kalau sudah mengembang tam­ bahkan susu, terigu, dan mar­ garine sesuai dengan ukuran yang telah disebutkan di atas, aduk terus hingga membentuk adonan. Sementara itu disiap= kan loyang untuk mengukus Adonan kemudian dimasuk kan ke dalam loyang lalu dikukus selama delapan jam. Langkah selanjutnya adalah memasuk­ kan kue yang telah dikukus se­ lama de Iapan jam tadi ke dalam oven lalu dibakar/dipanggang sampai kering.

Jika kue sudah kering, di­ angkat lalu diinginkan dan siap untuk dihidangkan. Cara pe­ nyajian kue delapan jam adalah dengan memotong-motongnya sesuai selera kemudian diletak­ kan di dalam piring. Satu piring diisi dengan satu potong kue. Adapun cara mengkonsumsinya adalah menggunakan garpu kue sambil duduk dan berbin­ carig-bincang atau ngobrol.

Kue delapan jam termasuk jenis makanan yang bernilai bu­ daya. Hal itu tercermin dari fung­ sinya yaitu sebagai makanan yang dihidangkan dalam upa­ cara keagamaan termasuk upa­ cara perayaan perayaan dalam upacara perkawinan. Selain itu,

kue delapan jam juga bernilai sosial, yaitu pada saat menjadi makanan antaran pada bulan Ramadhan. Kue de/apan jam

dapat dinikmati bersama-sama dengan keluarg'-\, tetangga, ke­ nalan dan masyarakat. Kue delapan jam juga dapat dibuat sebagai penganan untuk oleh­ oleh dari Palembang, bersama- . sama dengan pempek maupun kemplang yang sudah terkenal itu. Kue delapan jam patut di­ lestarikan keberadannya agar tetap sebagai makanan khas Palembang.

Sumber:

Lun Emelin, Ora dkk, 1984, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sumatera Selatan. Jakarta: O epdikbud, Proyek IOKO , Oitjarahnitra.

Ratn awati La tifah, Ora dkk, 1993,

Makanan: Wujud Variasi Dan Fungsinya serta Cara Penya­ jiannya Pada Orang Palembang Daerah. Sumatera Selatan.

Jakarta: Oepdikbud, Proyek P3NB.

LAKSA RIAU

Laksa

Laksa adalah salah satu jenis makanan tradisional masya­ rakat Melayu yang tinggal di Pulau (Oesa) Penyengat. Sejak kapan makanan tersebut mulai dikenal tidak diketahui dengan pasti, tetapi yang jelas bahwa laksa telah dikenal oleh masya­ rakat Melayu Penyengat secara turun temurun. Dalam perkem­ bangannya yang sekarang ini, laksa masih tetap digernari oleh masyarakat pendukungnya se­ bagai makanan selingan atau tambahan yang dapat dikonsum­ si setiap saat.

Bahan-bahan yang di gu­ nakan untuk membuat laksa

adalah laksa kering (sejenis tepung terigu), ikan tambakan atau ikan selikur, dan kelapa. Bahan-bahan se­ perti laksa kering dan ikan selikur biasanya diperoleh dengan cara dibeli di pasar, sedang kan kelapa, selain dibeli dari pasar, ada pula yang di­ petik dari hasil kebun.

Untuk mem­ buat laksa diperlu kan bumbu­ bumbu yang antara lain berupa bawang merah, bawang putih, jahe, bumbu kari, kelapa sang­ rai yang digiling halus, cengkeh, kayu manis, kapulaga, daun kari, dan garam. Sebagaimana bahan­ bahan untuk membuat laksa ya­ ng umumnya dibeli di pasar, bumbu-bumbu yang digunakan untuk membuat laksa pun umum­ nya dibeli di pasar. Proses peng­ olahan laksa dilakukan dengan cara di masak. Caranya, mula­ mula laksa kering direndam de­ ngan air lalu ditiriskan. Selanjut­ nya lkan selikur dibakar lalu dulu dibuang kulit dan tulangnya.

Ensiklopedia Makanan Tradi{>ional Indonesia 165.

Setelah kulit dan tulangnya dibuang, ikan tersebut dihaluskan dengan cara dibelender. Jahe dan bawang merah ditumis. Se­ sudah itu ikan dimasukkan dan dikacau (diaduk) sampai rata. Jika sudah rata, santan dan bum­ bu-bumbu lainnya dimasukkan. Masakan yang biasa di­ makan oleh orang Melayu di daerah Tanjung pinang umum­ nya dan Pulau Penyengat pada khususnya biasanya tidak ber­ santan dan tidak pedas. Sung­ guh pun demikian, orang Me­ layu Penyengat biasanya juga menghidangkan sambal be­ lacan (terasi) baik yang pedas maupun kurang pedas.

Peralatan yang digunakan untuk memasak laksa adalah baskom besar, talam, kuali, blen­ der, periuk, pisau dapur, dan kompor minyak. Semua peralat­ an tersebut pada umumnya di­ peroleh dengan cara membeli di pasar.

Cara menghidangkan dan mengkonsumsi laksa pada u­ mumnya di letakkan di atas da­ un mangkok atau piring sebagai makanan selingan atau tam

bah-an. Laksa, biasanya dihidang­ kan disertai dengan kuah dan sambal blacan, lada merah dan lada kecil (rawit), garam, serta penyedap rasa. Di samping itu, laksa sering kali juga dihidang­ kan disertai dengan ulam (!ala­ pan) dari buah ketimun ypng dipotong kecil-kecil. Adapun cara mengkonsumsinya tidak ada aturan yang baku, tetapi bi­ asanya orang akan mengambil laksanya terlebih dahulu kemu­ dian/memyiramnya dengan kuah yang tersedia, baru dimakan.

Sebagaimana makanan khas masyarakat Melayu Pe­ nyengat, laksa dapat dikonsumsi setiap saat dan tidak mempunyai makna tertentu. Artinya bahwa-..

makanan tersebut tidak ada hu­ bungannya dengan peristiwa tertentu yang berkaitan dengan upacara adat atau peristiwa lainnya. Dengan demikian, lak­ sa hanya berfungsi sebagai ma­ kanan tambahan yang telah sifatnya turun-temurun.

Sebagai makanan khas, sebenarnya laksa juga meng­ andung nilai ekonomi karena makanan ini sering dijual di wa­ rung-warung makan oleh para

ibu rumah tangga, sebagai mata pencaharian tambahan. Selain nilai ekonomi, pada dasarnya laksa juga mengandung nilai sosial. Hal ini karena makanan tersebut juga dapat dihidangkan kepada orang-orang yang mela­ kukan kegiatan gotong royong.

Sumber:

De Saputra T Syahrial, 2001, Pola Makanan Masyarakat Melayu (naskah) Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang. Setiati, Dewi , 1990/2000, Tata Saji

Hidangan Melayu Pada

Peringatan Hari-Hari besar agama

LAMANG TAPAI SUMATERA BARAT

Lamang tapai adalah salah satu jenis makanan tradisional orang Minangkabau Sumatera Barat. Penganan ini terdiri dari dua komponen, yakni

lamang dan tapai. Lamang

adalah penganan terbuat dari beras ketan yang dimasukkan

kedalam buluh (sejenis

bamboo) dan dimasak dengan

cara di diang dengan api.

Sedangkan tapai yang dimaksud adalah tape ketan yang telah melalui proses fermentasi.

Lamang bisa dimakan begitu saja atau dengan pasangan ya­

ng lain (sejenis pisang, luo atau

sarikayo). Begitupun dengan

tapai, pada dasarnya juga dapat dimakan begitu saja, tetapi lebih enak jika keduanya dimakan se­

cara bersamaan. Lamang tapai

biasanya disuguhkan pada hari raya ldul Fitri atau ldul Adha atau upacara keagamaan lain seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Orang Minang tidak meng­ katagorikan lamang sebagai makan sehari-hari karena untuk membuat lamang membutuhkan waktu lama sehingga orang eng­ gan membuatnya selain untuk keperluan hari-hari istimewa atau hari besar Islam.

Perayaan bulan Maulud di­ maksudkan sebagai peringatan lahirnya Nabi Muhammad SAW, dan biasanya mengambil tern­ pat di masjid. Acara berlangsung dengan hid mat, tanpa sorak so­ rai peserta. Karena ini merupa­ kan acara keagamaan, maka pimpinan upacarapun seorang

Lamang tapai

tokoh agama atau imam khatib. lsteri imam khatib, peng­ hulu dan seluruh kerabat mem­ bawa makanan dalam dulang. Disajikan bersama-sama dan dimakan bersama pula, setelah acara utamanya selesai. Tidak ada paksaan atau ketentuan un­ tuk membawa makanan, semua terjadi secara spontan sehingga ada kalanya makanan yang di­ bawa masing-masing bisa sama jenisnya. Akan tetapi tidaklah dipermasalahkan. Bahkan se­ seorang sudah enggan makan makanan bawaannya sendiri

dan lebih suka ma-kan buatan ·

orang lain, walau jenis makanannya sama. Mereka saling ber-tukar makanan tan-pa adanya saling bersaing, dalam arti mereka me­ nyatakan semua makanan yang di­ sajikan enak.

Kue lamang juga dihidangkan pada upacara rnen­

jemput marapulai

(m e m p e l a i ). Sebelum mem-berangkatkan

marapulai, para utusan dari

ninik mamak, imam khatib beserta seluruh orang semando melakukan acara ma-kan terlebih dahulu. Hal ini di­ maksudkan untuk memberikan tenaga dan kekuatan, karena upacara yang akan dilangsung­ kan memakan waktu cukup lama.

Sementara itu marapulai

adalah kegiatan keluarga ber­

sama semenda di rumah anak

daro. Mereka bersama ninik

mamak (penghulu dan imam khatib) telah berada di rumah keluarganya. Di dalam rumah, 168 Ensiklopedia Makanan Tradisi.onal Indonesia

mereka menanti rombongan ma­ rapulai. Setelah melihat ke­

datangan marapulai dan rom­

bongan, mereka naik rumah dan menanti, kecuali "anak muda penanti" yaitu orang yang akan melakukan silat gelombang.

Rombongan berdiri dengan

jarak 10 m dari rumah dan lang­

sung mengayunkan tangan. Ba­ risan marapulai rna kin maju se­ dang pesilat gelombang anak da­ ro makin mundur, diakhiri deng­ an persalaman. Cerana berisi sirih pinang maju kemuka dan mulailah pidato adat yang pada pokoknya menyatakan sirih min­

ta dimakan, dan marapulai, pe­

ngiring dan mamak-mamak di­ persilahkan masuk.

Menabur beras kunyit di­ lakukan ketika sepatu marapulai dibuka oleh salah seorang pasu­

mandan. Seorang wanita penanti

yang pasih berbicara penuh ka­ ta-kata berisi fatwa adat, hingga mengakhiri pembicaraan:

Pintu telah terbuka Jenjang minta ditapiak

(dinaiki)

Bandua minta ditampuah (tempat duduk bagian bawah

minta dimasuki)

Kata berjawab oleh tamu dengan singkat, payung panji ma­ rapulai ditegakkan dihalaman, marapulai dituntun kepelaminan bersanding dengan anak daro. Kegiatan selanjutnya ada­ lah makan dan minum serta me­

·lakukan persembahan adat.

Pada saat itulah lamang dan tapai disajikan sebagai makan selingan. Dikatakan makanan selingan, karena pada kesempat­ an itu disajikan pula makan nasi dengan lauk pauknya yang biasanya diawali dengan makan nasi. Ada jeda waktu setelah makan nasi menuju makan lamang karena kedua makanan ini sama-sama mengenyangkan. Pada hari raya ldul Fitri dan ldul Adha lamang tidak ha­ nya untuk makanan keluarga, akan tetapi juga untuk "suguhan" bagi tamu yang datang, disaji­ kan bersama kue-kue lainnya. Pada hari raya , lamang disan­ tap setelah makan nasi se­ pulang menunaikan shalat ldul Fitri atau ldul Adha.

Makanan ini dapat disajikan oleh setiap lapisan masyarakat.

Karena disajikannya pada saat tertentu, maka pada hari­ hari khusus itu diupayakan bisa membuat lamang dan tape