STANDAR DAN PANDUAN UNTUK POLISI:
Polisi harus membuka pergaulan dan melakukan dialog terus-menerus 1.
dengan kelompok-kelompok agama yang cenderung menutup diri dan radikal.
Bersama dengan tokoh-tokoh agama, polisi harus memfasilitasi forum 2.
dialog antar-iman yang memungkinkan kelompok agama yang berbeda-beda saling bertukar pandangan dan melakukan aksi bersama dalam meningkatkan toleransi antar-umat beragama.
Polisi harus meluangkan waktunya tampil bersama dengan tokoh atau 3.
pemimpin agama dalam memperingati hari besar agama maupun ke-sempatan-kesempatan lainnya secara rutin.
Polisi harus menjamin perlindungan legal terhadap kemajemukan sek-4.
tarian dan kebebasan beragama di masyarakat.
Polisi harus siap baik ketika diminta maupun tidak diminta oleh masya-5.
rakat dalam menengahi konflik agama yang muncul dan harus menerap-kan prinsip tidak pandang bulu pada saat menangani konflik tersebut.
B
elakangan kita makin sering menemukan bahwa suatu gerakan Islam disebut ”sesat dan menyesatkan”. Ini sangat absurd setidaknya karena dua alasan.Pertama, secara de facto masyarakat muslim di dalam
seja-rahnya adalah majemuk dilihat dari keyakinan dan praktik kea-gamaannya. Tidak ada yang dapat menutup mata dan telinga terhadap fakta ini. Tiga bidang utama khazanah peradaban Islam, yaitu fikih, teologi/kalam, dan tasawuf, penuh dengan gerakan, golongan, dan mazhab yang pada awalnya adalah baru.
Kedua, dan selaras dengan yang pertama, ”kebenaran” di dalam konteks kemajemukan internal di dalam masyarakat
muslim, baik sekarang maupun dalam sejarah, adalah bersifat parsial dan tidak absolut. Ulama alAzhar pada 1973 berfatwa bahwa berperang melawan Israel adalah jihad. Lima tahun kemudian, mereka mengeluarkan fatwa berdamai dengan negara Yahudi itu adalah ajaran agama.
Karena itu, lanskap keagamaan Islam akan tetap ditandai den-gan munculnya gerakangerakan keagamaan baru denden-gan berba-gai skala, dan dengan variasi dalam praktik maupun keyakinan keagamaan. Masalahnya ialah, bagaimana menghadapinya?
Penolakan Apriori
Salah satu sikap yang sering muncul ialah penolakan apriori terhadap penafsiran, keyakinan, dan praktik keagamaan yang baru dengan memandangnya sepenuhnya keliru. Pada saat yang sama, keyakinankeyakinan teologis yang selama ini dianut dite-gaskan kembali kebenarannya, tanpa dipertanyakan dan ditinjau kembali. Seringkali penolakan ini diiringi dengan strategi pengu-cilan diri–dengan bergabung bersama komunitas yang sealiran, atau dengan menghindari atau memberangus publikasipublikasi kelompok yang tidak disenangi. Vonis kafir atau sesatmenye-satkan termasuk kepada penolakan tersebut.
Sikap semacam ini, misalnya, tampak di IndoPakistan, yaitu ketika tiga gerakan Islam yang dipimpin ulama–Deobandi, Barelwi, dan AhleHadits–saling mengkafirkan. Jika ma sing masing benar, seperti yang mereka yakini, hampir seluruh umat Islam di IndoPakistan menjadi jamaah besar ”kafir”.
Kasus serupa juga terjadi di Indonesia. Sebagai contoh, menjelang Perang Dunia Kedua, kelompok PUSA di Aceh me-nyebut ulama tradisional berbasis dayah sebagai “kafirkafir bersarung”. Ini dibalas ulama dengan menyebut kaum PUSA
sebagai “babibabi Wahabi”. Tokoh ulama dayah ini pernah mengeluarkan fatwa bahwa pemberontakan Daud Beureueh di tahun 1950an tidak dapat dibenarkan agama karena di-lakukan terhadap pemerintahan yang sah.
Sikap ini mencerminkan kecenderungan monoteologis, yaitu kecenderungan menganggap hanya ada satu pendapat–yak-ni, pendapat kalangan sendiri–yang benar. Sementara opipendapat–yak-ni, keyakinan, dan praktik keagamaan kelompok lain dipandang salah dan, lebih dari itu, dimusuhi.
Akan tetapi, sikap ini tidak dapat menyelesaikan masalah, karena umat beragama malah menjadi mudah gamang dan terguncang setiap kali muncul gerakan keagamaan pemi-lik seperangkat keyakinan dan praktik keagamaan berbeda. Keguncangan itu timbul karena apa yang selama ini diyakini mutlak kebenarannya kini menghadapi tantangan. Mereka dihadapkan dengan kenyataan bahwa ada (beberapa) sistem keagamaan tandingan atau cara (caracara) baru dalam me-mahami dan mengamalkan dan menafsirkan ajaran agama. Semakin banyak tantangan muncul dari berbagai gerakan keagamaan, semakin besar pula ancaman terhadap apa yang selama ini diyakini kebenaran absolutnya.
Selain itu, sebagai kelanjutannya, kelompokkelompok di dalam umat Islam tidak berani menguji dan mempertanyakan landasan teologis dan asumsi dasar mereka, karena kuatir hal itu akan melemahkan atau meruntuhkannya. Dampaknya bisa juga tercermin dalam hubungan sosial, ketika kelompok atau gerakan keagamaan yang satu menghindar dari, atau tidak be-rani bergaul dengan, sesama Muslim yang berasal dari golong an lain karena hal itu akan mengancam keyakinankeyakinan kita. Di atas telah disebutkan bahwa hal ini absurd karena
mengenyampingkan de facto pluralisme internal dan absolut isasi kebenaran yang pada dasarnya bersifat tentatif.
Akhirnya, sikap di atas menutup peluang bagi diskusi dan dialog terbuka dalam rangka meningkatkan saling pengertian– yang harus dibedakan dari debat mendapatkan kepastian dan kebenaran tunggal yang mustahil. Diskusi dan refleksi obyektif tidak dapat berlangsung jika pihakpihak yang terlibat bertolak dari prinsip: ”Inilah keyakinan kami, dan kami berhak meya kininya. Persetan dengan keyakinankeyakinan Anda”. Prinsip ini menutup jalan bagi kemungkinan saling memahami, saling pengertian yang lebih besar, dan revisi terhadap kebenaran parsial yang disebutkan di atas. Bila partikularisme internal umat Islam diramu dengan militanisme yang radikal, hasilnya adalah komunalisme yang menggerogoti komunitas Muslim.
Negara Jamin Kebebasan Beragama. Grafiti berjudul “Freedom” di Mesir (sumber: islamtimes.org)
Ini juga mengancam pernegaraan atau stateness indonesia yang tengah melakukan konsolidasi demokrasi. Pengalaman negaranegara yang menjalani konsolidasi demokrasi menun-jukkan perlunya mengembangkan norma yang menjadi pan duan menyelesaikan kontroversi di masyarakat, termasuk yang timbul dari divisi internal di dalam tubuh agama yang menjadi anutan warganegara.
Kekerasan komunal dan sektarian yang menyertai reformasi di Indonesia dapat dipandang sebagai proses penyesuaian dan pencarian polapola baru dalam hubungan berbagai gerak an dan golongan di dalam masyarakat, khususnya masyarakat Muslim. Pelajaran yang mahal dari konflik dan kekerasan yang terkait dengan kemajemukan internal adalah perlunya norma yang mantap sebagai pijakan menyelesaikan konflik dan kon-troversi tersebut.
Partner dan Kompetitor
Salah satu mekanisme yang dapat mengawali pengembang an norma di atas adalah kritisisme rasional. Dalam hal ini suatu gerakan keagamaan tidak begitu saja menolak praktik dan keyakinan keagamaan kelompok lain–apalagi menyebut-kan sesat dan menyesatmenyebut-kan, tapi tidak juga mengacuhmenyebut-kannya dan menganggapnya tidak ada. Melainkan, berusaha me-mahami formasi gerakan tersebut dan menangkap wacana religiusnya dengan memberi kesempatan yang lapang untuk mengungkapkan keyakinan dan pendapatnya. Bahkan, suatu gerakan keagamaan dapat secara argumentatif mengeritik atau menunjukkan kelemahan dalam keyakinan dan praktik keagamaan gerakan keagamaan lain, sambil tetap ”terbuka” dan siap dikritik.
Dalam konteks ini, semua pihak adalah partner dan kom-petitor dalam mencari kebenaran dan dalam menyelesaikan masalah bersama, bukan golongangolongan yang terlibat konfrontasi militan dan buas untuk membenarkan pendapat masingmasing. Dengan kritisisme rasional ini, peluang men-capai kebenaran yang parsial dan tentatif, saling pengertian, dan pengetahuan, akan terbuka. Dan kehadiran gerakange rakan keagamaan baru–yang tidak bisa dihindari–bukan lagi masalah yang harus ditakutkan, tapi blessings in disguise.
Tentu saja, sikap dan perilaku pada tingkat masyarakat perlu mendapat topangan kelembagaan dari negara. Pada level ini, proteksi atau perlindungan legal terhadap kemajemukan sektari an menjadi unsur penting konsolidasi demokrasi. Perlindungan tersebut mencakup legislasi, regulasi, dan tatanan kelembagaan yang memfasilitasi dan menegakkan kemajemukan sektarian dan kebebasan beragama pada umumnya. Melalui mekanisme ini negara akan dapat memainkan peran sebagai perantara dan manajer konflik. Akhirnya, perlindungan legal terhadap kemaje-mukan sektarian inilah yang memungkinkan demokrasi di Indo-nesia bertahan, bahkan lebih kuat lagi, walaupun (dan oleh ka rena) ada insiden konflik dan episode kekerasan yang bersumber dari partikularisme dan sektarianisme.***