STANDAR DAN PANDUAN UNTUK POLISI:
Oleh karen a pelaku bom bun uh diri bisa dilakukan dari dalam dan 1.
luar jarin gan teroris, m aka seluruh bidan g di lem baga kepolisian ha-rus m en yadari ken yataan in i. Bukan saja polisi Detesem en Khusus 8 8 , polisi yan g bekerja pada sektor lain juga harus bekerja den gan perspektif in i. Sekecil apapun poten si teror, polisi harus m en in dak lan gsun g sesuai den gan aturan yan g berkalu.
Pelaku bisa berasal dari jarin gan teroris, bisa juga dari luar yan g ter-2.
in spirasi oleh aksi-aksi teror jarin gan tersebut sebelum n ya. Un tuk mencegahnya, polisi harus mengidentifikasi sedetail mungkin jeja-rin g yan g m ereka m iliki. J ejajeja-rin g tersebut harus dilum puhkan sesuai den gan peraturan yan g berlaku agar tidak m en yebar lebih luas. Polisi harus m em ban gun kesadaran bersam a m asyarakat sipil akan 3.
bahaya ajaran dan praktik kelom pok teroris. Agar kerjasam a tersebut berhasil, polisi dan tokoh m asyarakat harus salin g m em buka in for-m asi agar aksi terorisfor-m e bisa dicegah sejak din i.
s
abtu lalu (10/11/2006), seseorang yang sangat biasa, bernama Muhammad nuh, meledakkan bom di sebuah restoran. Dia masuk ke restoran itu pagi hari, memesan makanan dan minuman, lalu pingsan sebentar, sebelum akhir nya meledakkan bom.Ini tantangan berat bagi kepolisian. Juga bagi kita semua, terutama para pemimpin agama yang punya tugas membim bing para jamaah.
Memang tak ada korban jiwa dalam aksi itu. Tetapi ini justru menunjukkan betapa elusifnya aksiaksi seperti itu. Sementa-ra kita sulit mengerti mengapa seseoSementa-rang menyongsong dan
merayakan korban (dia sendiri atau targetnya), mempertanya-kan justifikasi dan efektivitasnya sebagai cara menyampaimempertanya-kan tuntutan, orang sebiasa seperti Muhammad nuh (kata polisi: “tidak profesional,” dengan cara meracik bom “tradisional”) sangat potensial melakukannya, dengan kemungkinan korban yang sangat besar.
Saya jadi teringat film Paradise Now, tentang dua calon pelaku bom bunuh diri Palestina yang mendapat tugas me-ledakkan bom, yang dililitkan ke tubuh mereka, di Yerussa-lem. Film itu menceritakan dilemadilema moral dalam otak dan hati mereka. Dalam satu adegan digambarkan, salah satu calon pelaku mengurungkan niatnya meledakkan bus karena ia menyaksikan seorang anak dalam bus itu. Juga diceritakan bagaimana si calon yang tampak fanatik dan kokoh dengan niatnya akhirnya gagal menjalankan aksi, sedang yang satunya lagi, yang kurang fanatik dan lebih “sekular,” justru berhasil meledakkan bus tentara Israel.
Kita masih menunggu laporan kepolisian yang lebih lengkap tentang kemungkinan hubungan nuh, yang disebut “pengang-gur” tetapi “tanpa ciriciri patologis”, dengan kelompok teror is di sini. Kita juga tidak tahu apa yang ada dalam benaknya ketika duduk di restoran itu, pingsan, meledakkan bom. (Dia belum makan pagi? Terlalu berat beban mental membayang-kan korbannya? Kurang siap mati?)
Yang kita tahu, dia mengagumi beberapa pentolan teroris dan di rumahnya ada bahanbahan meracik bom. Dan dia, entah atas pertimbangan apa, akhirnya meledakkan bom di pagi itu.
Bayangkan jika urat saraf nuh kemarin sedikit saja lebih kuat, atau fanatismenya sedikit lebih tinggi. Bayangkan juga jika daya ledak bomnya lebih besar, dan waktu peledakannya
sedikit lebih siang, ketika pengunjung mulai ramai. Maka kor-bannya pasti beberapa kali lipat lebih besar. Dan bukankah korban tidak mesti orang yang mati? Bagaimana dengan rasa aman kita?
Penting diingat: peningkatan dalam kualitaskualitas tadi sama sekali tidak sulit. Calon pelaku yang beruratsaraf lebih kuat dan niat lebih kokoh bisa diduga ada di luar sana. “Mu-hammad nuh” lainnya ada di tengah kita... Juga bahanbahan meracik bom, secara tradisional atau bukan.
Kata polisi, aksi itu bukan bom bunuh diri. Pembedaan ini tak signifikan amat jika kita bayangkan sedikit saja peningkatan kualitas yang saya sebut tadi. nuh hanya meleset sedikit saja dari melakukan dengan benar apa yang diterangkan menge-nai operasi syahadah, menjadi syahid, yang dengan gampang dia temukan di internet. Salah satunya dikutip David Cook, dalam Understanding Jihad (2005), dari fatwa Dewan Ulama
Semenanjung Arabia tentang aksiaksi terorisme bunuh diri yang dihalalkan. Kata fatwa itu: “Bentuk operasi yang biasa digunakan sekarang adalah dengan melengkapi tubuh sese-orang, kendaraan atau tas dengan bom, dan kemudian masuk ke tengahtengah sekumpulan musuh atau fasilitas musuh yang vital, dan untuk meledakkan [bom itu] di tempat yang dianggap pas sehingga menyebabkan kerugian maksimum di pihak musuh... Menurut hukum alamnya, pelaksana operasi itu biasanya akan menjadi orang pertama yang mati.” Plain
and simple!
Makin populernya operasi seperti itu di Timur Tengah, kata Cook, membuat para ulama terkenal seperti alTantawi dan alQaradhawi mengeluarkan fatwa seperti di atas. Ha nya mereka mewantiwanti, targetnya adalah tentara pendu
dukan asing seperti Israel di Palestina atau AS di Irak. Ini juga yang menyebabkan Robert Pape, dalam Dying to Win (2006), berkesimpulan bahwa faktor utama di balik terorisme bunuh diri adalah nasionalisme, kehendak mengusir tentara asing.
Yang mengerikan adalah ketika konteks lokal itu ditarik ke konteks global, seperti kita saksikan dalam fenomena alQae-da alQae-dan kita endus alQae-dalam kasus pemboman kemarin (restoran A&W, menjelang Bush datang). Di sini viktimisasi kaum Mus-lim di mana saja dianggap harus dibalas oleh semua kaum Muslim dengan cara apa saja. Jihad jadi kewajiban tiap Mus-lim, dan yang menentang dianggap bersekongkol, hingga harus disikat juga. Jika dulu musuhnya “nasional” (al-`aduw
al-qarib), kini musuhnya bisa jauh (al-`aduw al-ba`id), seperti
di Washington, DC.
Saya ragu kalau pernyataan Wapres kemarin, bahwa ke lompok ekstremis hanyalah bagian sangat kecil dari kaum Muslim, akan banyak membantu. Sebab, menurut penelitian Lembaga Survei Indonesia (LSI) barubaru ini, tidak kurang dari sembilan persen kaum Muslim Indonesia mendukung aksi bom Bali. Apakah kita sungguhsungguh mengerti apa yang kita maksudkan dengan dukungan itu? Membayangkan mayatmayat bergelimpangan? Ekonomi turisme yang mati? Belum lagi citra Islam yang rusak sejagat.
Tentang temuan itu, seorang komentator bilang, “Ah, saya rasa jumlahnya enggak sampai segitu deh.” Darimana pera saannya itu berasal? Katanya juga, “Tugas para pemimpin Muslimlah untuk menjelaskan bahwa radikalisme itu salah, terorisme itu haram,” dan seterusnya. Kita semua kini mulai perlu bertanya: ulama yang mana yang harus mengemban pekerjaan rumah itu?
Janganjangan kita semua perlu reedukasi. Bahwa kita tidak bisa main api dengan radikalisme Islam. Wapres kita tentu mafhum: tak diperlukan banyak orang untuk melakukan aksi seperti kemarin nuh telah mencobanya.
Kasus ini benarbenar alarming: seandainya kualitas teror-ismenya sedikit saja lebih tinggi! Orang sebiasa itu, yang de ngan mudah kita temukan di tengahtengah kita.***