• Tidak ada hasil yang ditemukan

radikal dulu, teroris kemudian

Dalam dokumen Panduan Praktis Pemolisian Kebebasan Beragama (Halaman 154-160)

STANDAR DAN PANDUAN UNTUK POLISI:

Polisi harus betul-betul m en yadari an cam an yan g bisa ditim bulkan 1.

oleh sikap dan tin dakan radikal seseoran g, seperti yan g terjadi pada M. Syarif di Cirebon . Sikap dan tin dakan radikal bisa m en doron g se-seoran g un tuk m elakukan aksi-aksi teroris.

Polisi harus m en gum pulkan dan m en gan alisis in form asi in telijen , 2.

liputan berita m edia m assa, dan pen gam atan petugas m en gen ai kelom pok-kelom pok radikal beserta risiko keam an an dan gan gguan yan g m un gkin tim bul karen an ya.

Polisi harus bekerjasam a den gan pem erin tah daerah dan tokoh-tokoh 3.

m asyarakat un tuk sedin i m un gkin m en cegah tum buhn ya dukun gan m asyarakat kepada radikalism e. Pen cegahan harus m en jadi perha-tian utam a pim pin an dan an ggota Polri di lin gkun gan Polsek yan g ban yak dihun i kelom pok Ahm adiyah.

Polisi harus m en gam bil tin dakan tegas terhadap aksiaksi yan g m en -4.

jurus ke arah radikalism e. Kegagalan m en an gan in ya pada tahap-ta-hap awal bisa berakibat fatal, karen a radikalism e bisa berujun g pada terorism e.

S

esudah masjid dan orang yang sedang salat Jumat di Cirebon menjadi sasaran bom bunuh diri, rangkaian ke-caman sama­sama ditujukan kepada sang pelaku. Tak ada pihak yang saya ketahui memahami, bersimpati, apalagi mendukungnya. Semuanya mengutuk: dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga pentolan yang oleh media massa sering disebut “Islam garis keras”.

Senin (18 April 2011), koran ini melaporkan bahwa Mu-hammad Syarif (MS), yang diduga keras merupakan pelaku bom bunuh diri itu, memiliki hubungan dengan jaringan Aceh dan peristiwa pengeboman sejenis di tempat­tempat

lain. Ansyaad Mbai, Kepala Badan nasional Penanggulangan Te rorisme (BnPT), dikutip menyatakan: “Kelompok bisa ber-beda, tapi pasti ada tokoh di belakang kelompok yang terkait de ngan jaringan induk.”

Dari laporan media lain kita juga menyimak bahwa kelu-arga korban sudah pasti mengakui sang pelaku sebagai MS. Ayahnya, yang oleh MS pernah dituduh kafir, bersyukur bah-wa MS bunuh diri, karena potensi kerusakan akibat perbuat­ annya di kemudian hari bisa lebih besar. Dalam kesaksiannya yang direkam televisi, sambil berlinang air mata, sang ayah meminta maaf kepada para korban dan menyatakan bahwa aksi MS membuat dia dan keluarganya sangat malu.

Di tempat lain, kita juga mendengar tokoh seperti Abu Ba-kar Ba’asyir mengecam pengeboman oleh MS Ba-karena korban-nya orang­orang yang sedang salat. Katakorban-nya, MS “sakit jiwa”. Front Pembela Islam (FPI) juga mengecam, menyatakan bah-wa aksi itu “bukan jihad” dan meminta supaya aksi itu tidak dikaitkan dengan Islam. Apa arti semua itu bagi pencegahan aksi­aksi kekerasan, apalagi terorisme, atas nama agama di masa depan? Bagi saya, pesannya jelas: jarak antara radikal­ isme dan terorisme itu tidak jauh. Jika serius memberantas terorisme, awasi sungguh­sungguh radikalisme dan sadarilah bahaya­bahayanya sedini mungkin.

Berbeda tapi Terkait

Radikalisme dan terorisme tentu saja berbeda. Dalam demokrasi, sejauh tak berujung pada aksi­aksi kekerasan, radikalisme adalah barang halal. Sedang aksi­aksi teroris, yang inheren di dalamnya unsur penggunaan kekerasan, dengan sendirinya jelas haram.

Tapi radikalisme terkait dengan terorisme dalam beberapa segi. Pertama, terlepas dari beragamnya sebab, motif, dan ideologi di balik aksi­aksi teroris, semua upaya mencapai tu-juan dengan cara­cara kekerasan terhadap warga sipil, apalagi aparat keamanan, selalu mengandung unsur radikalisme.

Dalam kasus MS, boleh jadi dia gila, seperti dikatakan Ba’asyir. Tapi bukankah diperlukan “kegilaan” tertentu untuk sampai pada kesimpulan bahwa yang dijadikan korbannya adalah masjid, atau polisi, atau jemaah yang sedang salat? Juga untuk pada kenyataannya melakukannya sendiri? Semua ini memerlukan pemikiran, sikap, dan perbuatan radikal, yang tak semua orang memilikinya.

Kedua, memang tak ada yang niscaya dalam transisi se­ seorang dari radikalisme ke terorisme. Dan, ya, tidak semua orang yang radikal berakhir sebagai teroris. Contoh­contoh yang kita kenal baik, bahkan studi yang serius, menunjukkan bahwa hanya sedikit orang yang radikal yang pada kenyataan-nya berakhir menjadi teroris.

Ini karena, untuk berhasil, dari potensial menuju aktual, aksi­aksi teroris juga bergantung pada faktor­faktor di luar diri sang teroris sendiri atau jaringannya, misalnya sejauh mana aparat keamanan atau masyarakat waspada atau tidak. Itu sebabnya, dalam literatur tentang terorisme, dikenal istilah “disengagement”: fakta bahwa seseorang menghindar dari melakukan aksi­aksi teroris karena dia tidak “mampu”, bukan tidak “mau”, melakukannya. Di sini, isi pikiran sang teroris tetap sama, tapi hal itu tidak berujung pada perbuatan teror­ is.

Tapi semua ini tak menutup fakta yang sangat jelas bahwa semua teroris, per definisi, tak mungkin tumbuh kecuali dari

orang­orang yang radikal. Banyak data yang memperlihatkan bahwa para teroris memulai “karier” individualnya, dalam melakukan aksi­aksi kekerasan ekstremis, dengan pertama­ tama menjadi seseorang yang radikal dan militan. Alasan ini-lah yang selalu mendorong kita untuk melihat latar belakang sejarah kehidupan seseorang yang terlibat dalam aksi­aksi teroris.

Hal ini dapat dengan mudah kita temukan dalam diri MS. Selain ayahnya sendiri dikafirkan dan karenanya dia bersyukur bahwa MS segera mati, MS sendiri dikenal sebagai seseorang yang radikal dan militan dalam merealisasi apa yang ada da-lam pikirannya. Media massa kita punya rekaman yang cukup lengkap tentang bagaimana dia bertindak begitu brutal dalam berbagai aksi untuk membela kepentingannya, misalnya da-lam aksi­aksi anti­Ahmadiyah. Bukankah fakta ini begitu jelas untuk kita sangkal?

Akhirnya, alasan ketiga, baik radikalisme maupun teror-isme terkait dengan masyarakat. Inilah dimensi sosial kedua­ nya. Bedanya: sementara ada masyarakat­masyarakat yang radikal, tapi tidak ada masyarakat­masyarakat teroris. Seka-lipun demikian, aksi­aksi teroris mudah sekali tumbuh di da-lam masyarakat­masyarakat yang radikal, di mana aksi­aksi terorisme tidak hanya memperoleh simpati, tapi juga dukung­ an.

Bagaimana menjelaskan aksi MS di Cirebon dari segi ini? Saya tak punya jawaban pasti. Tapi data Lembaga Survei In-donesia (LSI), yang dirilis Maret 2005, menyatakan bahwa 1 dari 10 muslim Indonesia mendukung aksi pengeboman yang dilakukan Amrozi dan kawan­kawannya di Bali dulu. Bagi pe-neliti LSI, itu mencerminkan dukungan kepada “radikalisme

Gembok Gereja HKBP Filadelfia. Pemasangan rantai di lahan gereja milik HkbP Filadelfia saat penyegelan oleh Bupati Kabupaten Bekasi tanggal 12 Januari 2010 (sumber: dokumentasi Yayasan Paramadina)

keagamaan ketika diterjemahkan ke dalam cara kekerasan demi agama”.

Data lebih baru diperoleh dari survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) terhadap 1.600­an siswa dan guru agama Islam di SMP dan SMA muslim di Jabodetabek, yang dilakukan dari Oktober 2010 hingga Januari 2011. Hasilnya, 41,8 hingga 63,8 persen responden menyatakan mendukung intoleransi dan kekerasan terhadap warga non­muslim.

Seriuslah

Bagi saya, angka­angka di atas adalah alarm agar kita ba­ ngun dan waspada. Jangan bilang bahwa itu adalah data lama. Atau bahwa survei itu hanya dilakukan di Jabodetabek.

Data itu menunjukkan bahwa ada atmosfer radikalisme di sini, ada kasus­kasus di mana jalan seseorang dari radikal menja-di teroris menja-dipuji, dan kita rupanya memiliki kantong­kantong masyarakat radikal yang mendukung aksi­aksi teroris.

Mari kita sungguh­sungguh menyikapi penyakit ini de­ ngan berhenti berpikir bahwa situasinya normal belaka. Tidak diperlukan banyak MS untuk mengganggu kebersamaan kita di negeri ini. Dan jalan menuju lahirnya MS­MS lain rupanya tidak terlalu asing di sini.***

terorisme dan kekerasan

Dalam dokumen Panduan Praktis Pemolisian Kebebasan Beragama (Halaman 154-160)