• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menjadi Hakim Konstitusi untuk Beramal Saleh

pengikut organisasi pimpinan Abdul Kahar Muzakkar, Pemimpin DI/TII. Di tengah situasi segenting itu, Alim tetap wajib sekolah. Ia lalu bersekolah di Batu Sitanduk, sebuah kota kecamatan di Palopo. Pada saat duduk di kelas 5 SR, Alim sudah mengikuti ujian akhir dan lulus.

Meski berasal dari keluarga yang kurang mampu, namun Alim berlimpah kasih sayang dari ibunya. Kasih sayang dan kekompakan keluarga, menurut Alim, adalah modal yang membesarkannya hingga kini. Alim berpisah dengan orang-orang yang ia kasihi pada 1965 sejak ia berangkat kuliah.

Tuhan Menghendaki Alim Jadi Hakim

Alim kecil bercita-cita menjadi polisi atau jaksa. Bahkan, dulu ia sempat diusulkan menjadi jaksa sampai ke Kejaksaaan Agung, tapi Alim tak kunjung diangkat. “Tapi kok Tuhan menentukan lain, malah jadi hakim,” ujarnya sambil terkekeh. “Mungkin Tuhan menentukan lebih baik jadi hakim daripada jadi jaksa,” ia menambahkan.

Sebelum menjadi hakim, sejak Maret 1975 Alim adalah pegawai Pengadilan Tinggi Ujung Pandang. Ia sudah diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS), bahkan sudah menjadi panitera muda perdata. Kebetulan, pada 1979 ada penerimaan tes calon hakim. Tidak seperti ketentuan sekarang, pada saat itu PNS boleh mendaftar sebagai hakim. Kalau sekarang, sebelum mendaftar sebagai hakim, orang harus meletakkan dulu jabatannya sebagai PNS. “Saya lulus,” ujar Alim.

Mulanya, ia menjadi calon hakim di Pengadilan Negeri Ujung Pandang. Setahun kemudian, Alim diangkat sebagai hakim di Sinjai. Tujuh tahun kemudian ia dipindahkan ke Poso. Lalu diangkat menjadi Ketua Pengadilan Negeri

di sana karena kemudian diangkat sebagai hakim PN Surabaya.

Alim lalu mendapat promosi menjadi hakim tinggi di PT Jambi pada 2003. Lalu dimutasi lagi menjadi hakim madya utama PT DKI Jakarta (2006). Hanya setahun ia di Jakarta karena keburu diangkat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara. Jabatannya sebagai hakim karier berpuncak ketika ia diangkat sebagai Ketua PT Sulawesi Tenggara, awal 2008. Pendidikan Seumur Hidup

Selama berpindah-pindah tugas, Alim memanfaatkan waktu luangnya untuk melanjutkan pendidikan. Ketika menjadi hakim di PN Surabaya, ia mengambil program S2 di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Setiap pekan, ia ke Yogya selama 8 jam naik bus dari Surabaya. Demikian pula sebaliknya. Di Surabaya pun ia hanya menyewa kamar kos sendiri.

Setelah meraih gelar master pada 2001, Alim langsung mendaftar di program S3 di universitas yang sama. “Saya adalah angkatan pertama program doktor di sana. Pesertanya 13 orang,” ujarnya. Ia juga mengambil jurusan hukum tata negara di S3. Tetapi, begitu semua perkuliahannya selesai, Alim diangkat sebagai hakim tinggi di Jambi. Penulisan disertasinya otomatis tertunda. “Selama 3,5 tahun saya baru ke kampus tiga kali,” ujarnya.

Tapi, rupanya pada Februari 2006 ia dipindahkan menjadi hakim di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Kebetulan, promotornya, Prof. Anshari tinggal di Jakarta. Sedangkan Co-promotor, Prof Dahlan Thalib, berdomisili di Yogyakarta. “Maka Januari 2007, saya baru bisa selesai S3,” ujar Alim.

Ketika Alim menjadi doktor, usianya 62 tahun. Padahal dengan pangkat IVE, pendidikan sudah tidak berpengaruh lagi terhadap karirnya. Namun, sebagai seorang muslim, Alim berusaha menyelesaikan perkuliahan sedapat- dapatnya sesuai kemampuannya. Karena belajar adalah jati diri. Sebab, ia memegang prinsip pendidikan seumur hidup. “Allah menjanjikan akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan yang diberi ilmu pengetahuan,” ujarnya mengutip Qur’an Surat 58 ayat 10.

Hakim Konstitusi Bisikan Hati

Agaknya, Alim memang berada di jalan hidup yang penuh berkah. Sebab, entah mengapa, namanya bahkan tidak pernah diusulkan ke Komisi Yudisial untuk mengikuti tes calon hakim agung. Hingga pada suatu hari, sebagai

Wakil Ketua PT Sulawesi Tenggara, ia mendapat tugas mewakili Ketua PT Sulawesi Tenggara, Arsyad Sanusi, dalam serah terima jabatan Pangdam VII Wirabuana di Makassar.

Sesampainya di Bandara Hasanuddin Makassar, ia menerima telepon dari istrinya, Hj. Rospati, di Kendari. “Katanya ada telepon dari Pak Arsyad dan Pak Dirjen,” ujar Alim. Ia juga diberitahu agar menemui Ketua MA, Bagir Manan, hari itu juga. “Lalu saya telepon Pak Arsyad. Katanya betul. Nanti malam kita berangkat sama-sama ke bandara,” tutur Alim. Ia diajak agar bersama-sama menemui Ketua MA Bagir Manan yang akan transit di Makassar.

Arsyad juga mengatakan bahwa Alim akan diusulkan menjadi hakim konstitusi. “Jangan menolak ya?” ujar Alim menirukan Arsyad. “Saya bilang, saya kan bawahan, saya nggak pernah menolak perintah. Disuruh ke Irian pun saya pergi,” katanya. Bahkan, setelah menjadi hakim tinggi di Jakarta pun ia tidak menolak ketika harus kembali ditugaskan ke Kendari.

Sebenarnya, pada saat itu Alim sudah bisa menduga perihal pencalonan dirinya. Sebab, ia sudah lebih dulu mendengar kabar itu dari Dirjen Peradilan Umum dan Perundang-undangan masa itu, Hatta Ali, yang kini menjabat hakim agung.

Karena itu, ia tidak begitu kaget ketika Ketua MA sendiri yang menyampaikan padanya. “Begini, ada berita buat Pak Alim, mau diusulkan sama-sama Pak Arsyad sebagai pengganti hakim konstitusi. Bagaimana, mau nggak?” ujar Bagir. “Saya bilang, oh, saya bawahan, Prof,” kata Alim. Bagir juga adalah guru Alim di kampus, karena itu ia menyapanya dengan panggilan Profesor.

“Apapun perintah atasan dilaksanakan,” lanjut Alim. Lagipula, menurut dia, siapa juga yang tidak mau menjadi hakim konstitusi. “MK adalah kantor kesebelas buat saya,” katanya. Kebetulan, ia juga merupakan hakim konstitusi kesebelas yang menggantikan Soedarsono, S.H. “Mungkin ini kantor terakhir saya,” katanya.

Beramal Saleh, Menjadi Negarawan

Bagi Alim, MK merupakan lembaga ikon reformasi di bidang hukum. “Saya sangat bersyukur masuk di sini karena kita betul-betul mandiri, tidak ada satu putusan yang tanpa melalui perdebatan,” katanya. Perdebatan itu selalu ada meski hanya menyangkut kata atau kalimatnya. “Sehingga menambah luas wawasan,” katanya.

Selain itu, undang-undang yang diuji juga beragam. Jadi, ia terpaksa harus membaca lagi undang-undang itu. “Kalau di peradilan umum kan agak monoton,” ujarnya. Ia merasa beruntung menjadi hakim konstitusi karena membuat ilmunya bertambah.

Misi MK sebagai pengawal dan penafsir konstitusi sudah benar di mata Alim. Apalagi hakim konstitusi diharapkan bersifat sebagai seorang negarawan. “Artinya visinya untuk kepentingan negara, bukan kepentingan sesaat,” katanya. Sebagai hakim konstitusi, ia akan menjalankan tugasnya mengalir sesuai kehendak Tuhan. Ia akan tetap berusaha berbuat yang terbaik menurut kemampuannya. “Itu kan pengabdian. Itu amal saleh namanya dalam perspektif Islam,” ujar ayah dari 7 putra-putri ini. (WS. Koentjoro/Sumber: Proil Hakim Konstitusi Periode 2008-2013)

F o to : H u m a s MK /A n d h in i SF

Profil

MK Jerman yang selama ini belum dimiliki MKRI, yakni kewenangan constitutional complaint atau pengaduan konstitusional dan constitutional question atau per- tanyaan konstitusional.

Menurut Ketua MK Jerman, Hans-Juergen Papier, MKRI telah melakukan terobosan yang berani dalam banyak putusan-putusannya. Menurutnya, MKRI merupakan MK terbaik di kawasan Asia yang telah memberi sumbangan besar bagi pembangunan demokrasi, hukum, dan perlindungan HAM.

Pada pertemuan dengan Ketua Mahkamah Konstitusi Jerman, Ketua MKRI Moh. Mahfud MD menjelaskan bahwa selama enam tahun keberadaan MK, telah ada perbaikan kondisi hukum di Indonesia khususnya dalam bidang hukum pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden.

Beasiswa studi

Pada kesempatan

kunjungan ke Jerman tersebut, Ketua dan Hakim MKRI juga mengadakan pertemuan dengan yayasan hukum Jerman, yakni Hanns Seidel Foundation (HSF). Presiden HSF, Hans Zehetmair mengatakan bahwa kunjungan Ketua MKRI ini merupakan delegasi tertinggi yang pernah diterima oleh HSF Pusat. HSF dan MKRI sepakat menjalin kerja sama untuk memberikan beasiswa bagi pegawai MK yang akan mengambil pendidikan S2 di Jerman serta pelatihan untuk meningkatkan keahlian di bidang hukum dan konstitusi. Selain itu, HSF juga sepakat untuk melakukan penyelenggaraan dialog hukum, baik hukum di Indonesia maupun hukum di Jerman.

Selain memenuhi undangan Mahkamah Konstitusi Jerman, Ketua MKRI dan rombongan juga memenuhi undangan Ketua Mahkamah Konstitusi Spanyol (Tribunal Constitucional de España). Dalam kunjungan tersebut, Ketua MKRI, Moh. Mahfud MD, dan Presiden MK Spanyol, María Emilia Casas Baamonde, sepakat untuk mengembangkan kerjasama antara MKRI dengan MK Spanyol.

Pada kesempatan tersebut Mahfud juga mengundang Maria untuk dapat hadir pada acara konferensi MK se-Asia pada Juli 2010 sebagai salah seorang pembicara. Maria pun sangat antusias menerima undangan tersebut.

Berbeda dengan MKRI, MK Spanyol hanya menangani persoalan pengujian undang-undang saja, tidak menangani persoalan sengketa pemilu. (Heru Setiawan).

J

erman, perkembangan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) ternyata tidak hanya menarik masyarakat Indonesia saja. Masyarakat internasional dan bahkan lembaga penegak hukum di Jerman pun selalu mengikuti perkembangan putusan- putusan MKRI. Hal tersebut disampaikan antara lain oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Federal Jerman dan Ketua Mahkamah Agung Jerman pada saat kunjungan kerja Ketua dan Hakim MKRI, 29 November hingga 2 Desember 2009 lalu.

Menurut para penegak hukum Jerman tersebut, sejumlah putusan MKRI selalu mendapat perhatian dan apresiasi dari lembaga-lembaga penegak hukum di Jerman. Para petinggi hukum Jerman menilai MKRI telah melakukan sejumlah terobosan berani. MK Indonesia dipandang tidak kalah dari MK Jerman yang sudah berusia lebih dari 60 tahun.

Ketua MKRI Moh. Mahfud MD didampingi oleh Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan dan Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar berada di Jerman dalam rangka memenuhi undangan MK, MA, dan Kejaksaan Republik Federal Jerman. Kesempatan kunjungan tersebut juga dimanfaatkan MKRI untuk mengetahui mekanisme pelaksanaan ke wenangan

Dokumen terkait