• Tidak ada hasil yang ditemukan

Majalah Konstitusi | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Majalah Konstitusi | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Editorial

5

Catatan

Perkara

42

Konstitusi Maya

6

Opini

7

Suara

Pembaca

9

Laporan

Utama

10

Pengadilan Tinggi Wajib

Mengambil Sumpah Calon

Advokat

Laporan Khusus

13

Ruang

Sidang

21

Menggagas Constitutional Question

di Indonesia

Contoh Constitutional Question di

Kanada

Pesan MK untuk Para Hakim

Daftar Isi

Mengawal Demokrasi

Menegakkan Keadilan

Substantif

Releksi Kinerja MK 2009 dan Proyeksi 2010

Meminta Landasan

Hukum E-Voting Kepada

MK

HAKIM KONSTITUSI

Dr. H. Muhammad

Alim, S.H., M.Hum.

MENJADI HAKIM

KONSTITUSI UNTUK

BERAMAL SALEH

M

ahkamah Konstitusi (MK) memutuskan dalam amar putusannya supaya Pengadilan Tinggi melaksanakan ke-wajibannya mengambil sumpah atau janji calon Advokat. Perihal kewajiban atributif itu tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyelenggarakan pengambilan sumpah atau janji bagi calon Advokat.

Profil

44

(3)

Aksi

47

Pustaka

61

Cakrawala

59

MK Jerman Puji Prestasi

Mahkamah Konstitusi RI

P

erkembangan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) ternyata tidak hanya menarik masyarakat Indonesia saja. Masyarakat internasional dan bahkan lembaga penegak hukum di Jerman pun selalu mengikuti perkembangan putusan-putusan MKRI.

Mahkamah Konstitusi

Bosnia-Herzegovina

P

endidikan Hukum Klinik (Clinical Legal Education) dimulai di Amerika Serikat sejak 1960-an. Komponen praktik hukum merupakan kewajiban di dalam kurikulum pendidikan hukum Amerika Serikat. Walau demikian muncul pemikiran atas kebutuhan tambahan pengabdian kepada masyarakat. Fungsi penting MK Bosnia adalah adanya perlindungan HAM, mulai hak untuk hidup, hak untuk tidak mengalami penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan martabat atau hukuman, hak tidak boleh diperbudak atau kerja paksa, hak untuk kebebasan dan keamanan pribadi, hak memperoleh keadilan secara perdata dan pidana dan apapun yang berkaitan dengan proses perdata dan pidana, dst.

Editorial

...

5

Konstitusi Maya

...

6

Opini

...

7

Suara Pembaca

...

9

Laporan Utama

...

10

Laporan Khusus

...

13

Ruang Sidang

...

21

Catatan Perkara

...

42

Profil

...

44

Aksi

...

47

Cakrawala

...

59

Pustaka

...

61

Ragam Tokoh

...

64

Konstitusiana

...

66

Kamus Hukum

...

68

(4)

Dewan Pengarah:

Moh. Mahfud MD. Abdul Mukthie Fadjar Achmad Sodiki Harjono Maria Farida Indrati Maruarar Siahaan M. Akil Mocthar Muhammad Alim M. Arsyad Sanusi

Penanggung Jawab:

Janedjri M. Gafar

Pemimpin Redaksi:

Tito Sujitno

Wakil Pemimpin Redaksi:

Heru Setiawan

Redaktur Pelaksana:

Roiqul-Umam Ahmad

Redaktur:

Miftakhul Huda Feri Amsari WS. Koentjoro Nur Rosihin Ana Nano Tresna Arfana

Reporter:

Abdullah Yazid RNB Aji Lulu Anjarsari P

Fotografer:

Prana Patrayoga Adiputra Denny Feishal Yogi Djatnika Andhini Sayu Fauzia Kencana Suluh Hikmah Annisa Lestari

Kontributor:

Wiwik Budi Wasito Ardli Nuryadi Fadzlun Budi Ganie Rendi Jo Khusnul

Desain Visual:

Herman To Rudi Syawaludin Nur Budiman

Distribusi:

Nur Tamymy

S

alam Redaksi

T

ak terasa, kita sudah sampai di penghujung 2009. Begitu banyak kejadian yang melanda negeri ini. Pileg dan Pilpres 2009 menjadi salah satu berita hangat dan berpengaruh besar pada negeri ini. Lainnya, berbagai ujian dan cobaan terus mendera bangsa kita. Banjir terjadi di mana-mana, gempa melanda sejumlah pelosok negeri, hingga mencuatnya kasus ‘cicak vs buaya’ yang menghebohkan dan menyedot perhatian publik.

Laporan Utama Majalah Konstitusi Edisi Desember 2009 menampilkan berita dikabulkannya sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang dimohonkan oleh H. F. Abraham Amos, Djamhur, dan Rizki Hendra Yoserizal, pada Rabu (30/12). Dalam amar putusannya, Majelis Hakim Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 secara bersyarat.

Dalam edisi ini kami menyuguhkan laporan khusus berkenaan dengan “Releksi Kinerja MK 2009 dan Proyeksi 2010”. Bagaimana pelaksanaan tugas dan wewenang MK selama satu tahun kami sajikan di rubrik ini. Selain itu peran MK mewujudkan visi dan misinya kami kemukakan dengan bahasa yang ringan dan menarik. Selama satu tahun itulah MK berperan mengawal demokrasi dan menegakkan paradigma keadilan substantif.

Majalah Konstitusi tetap menampilkan rubrik-rubrik khas. Rubrik “Proil” misalnya, menampilkan kisah hidup Hakim Konstitusi Muhammad Alim yang menarik disimak, ditelusuri suka dukanya meniti karier mulai masa kecil hingga ia beranjak dewasa. Disamping itu masih ada Rubrik “Aksi” yang memuat berita-berita momen penting yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk pula berita para tamu yang datang bersilaturahim ke MK.

Selain itu, kami tetap menghadirkan Rubrik “Catatan Perkara”, “Cakrawala”, “Ragam Tokoh” dan sebagainya. Tak ketinggalan ada Rubrik “Konstitusiana” dengan cerita-ceritanya yang unik dan kadang mengundang tawa. Misalnya saja, dalam rubrik tersebut ada kisah menarik Prof. Jimly Asshiddiqie saat merintis pembangunan gedung MK.

Lainnya, seperti biasa dan yang menjadi daya tarik tersendiri, adanya Rubrik “Rubrik Pustaka” yang menyajikan buku-buku terbaru yang diterbitkan MK, maupun buku berasal dari penulis luar MK.

Semoga segala hal yang terjadi pada tahun ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya bagi kita semua. Selain itu, dapat menjadi bahan evaluasi, koreksi, dan pembenahan untuk tahun-tahun mendatang. Salam dari kami, Tim Majalah KONSTITUSI. “SELAMAT TAHUN BARU 2010”.

Alamat Redaksi:

Gedung MK

Jl. Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta Pusat

Telp. (021) 2352 9000 Fax. 3520 177

(5)

“Satu-Satunya Wadah Profesi Advokat”

P

ermasalahan yang mendera Per-himpunan Advokat Indonesia (PERADI) dengan Kongres Advokat Indonesia (KAI) akhirnya menyebabkan para calon advokat yang lulus ujian dari kedua organisasi tersebut belum dapat mengucapkan sumpah atau janji pada sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisilinya. Para calon advokat tersebut merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan mem persoalkan konstitusionalitas norma Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, karena berpotensi me nimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan baginya.

Adapun pasal 4 ayat (1) UU Advokat berbunyi: “Sebelum men jalankan profesi-nya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”. Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengadili per mohonan tersebut mengabulkan permohonan para calon advokat. Ketentuan norma yang diuji tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa” di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”. MK juga menyatakan apabila setelah jangka waktu dua tahun Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi Advokat yang sah diselesaikan melalui Peradilan Umum.

MK berpendapat hak untuk bekerja telah dijamin oleh konstitusi apapun bidang pekerjaan atau profesinya, termasuk Advokat agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya yang layak bagi kemanusiaan. Sedangkan mengenai sumpah atau janji sebelum menjalankan pekerjaannya adalah sebuah kelaziman. MK berpendapat pengambilan sumpah atau janji di sidang terbuka Pengadilan Tinggi adalah kelanjutan ketentuan terdahulu

sebelum terbentuknya UU Advokat yang me nentukan pengangkatannya dilakukan Menteri Kehakiman/Hukum dan HAM. Mahkamah berpendirian profesi advokat diposisikan sebagai penegak hukum dan dalam rangka melindungi klien dari kemungkinan penyalahgunaan, maka aturan “penyumpahan atau janji” tersebut adalah konstitusional.

MK menganggap telah: “….terjadinya hambatan yang dialami oleh para Pemohon untuk bekerja dalam profesi Advokat pada dasarnya bukan karena adanya norma hukum yang dipersoalkan, akan tetapi adanya Surat Mahkamah Agung yang melarang Pengadilan Tinggi mengambil sumpah para calon Advokat sebelum organisasi advokat bersatu.” Selain kewajiban atributif Pengadilan Tinggi mengambil sumpah, Pasal 28 ayat (1) mengamanatkan adanya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga para Advokat dan organisasi-organisasi Advokat yang saat ini secara de facto ada, yaitu Peradi dan KAI, harus mengupayakan terwujudnya Organisasi Advokat sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat.

Untuk mendorong terbentuknya Organisasi Advokat sebagai satu-satunya wadah organisasi advokat, maka kewajiban mengambil sumpah tanpa memerhatikan Organisasi Advokat yang secara de facto

ada yang hanya bersifat sementara untuk jangka waktu 2 tahun sampai terbentuknya Organisasi Advokat sesuai UU melalui kongres para advokat yang

diselenggarakan bersama oleh organisasi yang ada tersebut. Sedangkan jika selama dua tahun tersebut belum terbentuk, maka perselisihan organisasi advokat yang sah diselesaikan oleh Peradilan Umum.

Putusan ini meski berkenaan dengan konstitusionalitas norma UU, namun sekali lagi MK membuat terobosan penting dalam menyelesaikan ketidakpastian hukum dua organisasi yang mengklaim keabsahannya. Ketidakpastian hukum ini berakibat pada para calon advokat yang lulus seleksi dan tinggal melakukan penyumpahan tidak dapat dilangsungkan. Betapa peran negara penting dalam hal pengaturan, termasuk soal penyumpahan yang lazim bagi profesi, agar terdapat jaminan dan perlindungan klien advokat atas jasa advokat. Di sejumlah negara campur tangan terbatas negara dimungkinkan semata-mata memperkuat Organisasi Profesi, melindungi klien dan masyarakat luas.

Sesuai UU Advokat, terwujudnya satu-satunya organisasi Advokat merupakan semangat yang ingin diwujudkan. Namun, sebagaimana menjadi masalah lembaga penegak hukum pada umumnya, ada persoalan yang lebih penting, yakni profesi advokat tidak kering dari tudingan kurang mendukung pemberantasan korupsi. Ada ungkapan “noblesse oblige”, kalau mau dihormati, maka perlu juga perilaku terhormat. Artinya profesi dihormati bukan karena jabatan, pangkat, dan kedudukannya, akan tetapi perbuatannya. Mendengung-dengungkan profesi ter-hormat (oicium nobile) mestinya disertai perilaku yang layak dihormati, dengan peran Organisasi Advokat menggunakan sistem seleksi berdasar kompetensi, bersih dan bebas KKN. Kemudian keberadaan organisasi menjamin perilaku anggotanya tidak merusak kepercayaan masyarakat dengan sanksi tegas pelanggaran hukum dan kode etik. Organisasi Advokat baik secara kelembagaan maupun anggotanya punya tanggung jawab juga memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat miskin sebagai Hak Asasi Manusia. Komitmen Organisasi Advokat memberantas korupsi menentukan nasib bangsa ini. Penyumpahan mestinya disertai komitmen dan mewujudkannya dalam perilaku yang nyata. ***

“Untuk mendorong terbentuknya Organisasi Advokat sebagai satu-satunya wadah organisasi advokat, maka kewajiban mengambil sumpah

tanpa memerhatikan Organisasi Advokat yang secara de facto

ada yang hanya bersifat sementara untuk jangka waktu 2 tahun sampai

terbentuknya Organisasi Advokat sesuai UU melalui kongres para

advokat yang diselenggarakan bersama oleh organisasi yang ada

(6)

www.bclaws.ca

Contoh

Constitutional Question

di Kanada

B

ila anda membutuhkan informasi tentang constitutional question

(pertanyaan seputar konstitusi) dan kasus-kasus yang dimungkinkan terjadi di dalamnya, cobalah buka situs ini. Situs akan mengarahkan pembaca setidak-tidaknya pada upaya pemahaman awal tentang

constitutional question.

Sejak membuka daftar isinya, anda akan tahu bahwa Kanada menjadi negara percontohan untuk melakukan pengaturan terhadap perkara yang terkategori constitutional question. Hal-hal penting seperti court to certify opinion

(pengesahan pendapat oleh Mahkamah), notice to Attorney General of Canada

(pemberitahuan kepada Jaksa Agung Kanada), notice of reference (referensi),

notice to persons interested (pemberitahuan terhadap masyarakat yang berminat), hingga notice of questions of validity or applicability (pertanyaan-pertanyaan yang memiliki legalitas dan relevansi) diulas di sini.

Semisal, pada notice of questions of validity or applicability, anda diinformasikan pengertian constitutional remedy (koreksi konstitusi) dalam perundang-undangan yang ada. Syaratnya, pertanyaan-pertanyaan yang

muncul masih harus dalam kerangka pertanyaan hukum, adanya hak atau kebebasan yang secara nyata telah dilanggar, hingga syarat constitutional question harus diumumkan sekurang-kurangnya 14 hari sebelum disidangkan.

Informasi utama situs ini sebenarnya mengetengahkan hukum-hukum di British Columbia (BC), namun anda dapat juga mengeksplorasi constitutional question sebagai referensi penting terkait perkembangan perkara yang belakangan juga beberapa kali kita temukan di Indonesia (Yazid).

S

iapa saja yang merasa bahwa hak-hak dasarnya dilanggar oleh undang-undang yang dibuat penguasa, bisa mengajukan

constitutional complaint (pengaduan konstitusional). Pengaduan tersebut terutama yang berhubungan dengan UU sebuah lembaga atau badan negara terkait. Constitutional complaint

yang diajukan, memang ditujukan untuk menggugat vonis mahkamah dalam keputusan-keputusan hukumnya.

Kalimat paragraf di atas termaktub dalam situs Mahkamah Konstitusi Federal Jerman. Ya, MK Federal Jerman telah jauh-jauh hari mengatur salah satu kasus yang sering muncul di masyarakat, yakni

constitutional complaint. Disebutkan, sebuah pengaduan konstitusional membutuhkan pengakuan atas sebuah keputusan.

The Federal Constitutional Court alias MK Jerman sendiri harus memutuskan apakah prasyarat pengakuan tersebut harus dipenuhi terlebih dulu sebelum memutuskan mengajukan constitutional complaint.

Sebagai sebuah peraturan umum, constitutional complaint hanya dapat diakui setelah si pengadu menemukan bahwa pengadilan dianggap kurang kompeten menjalankan kewenangannya. Pengaduan konstitusional ini harus disetujui oleh Mahkamah dan kemudian diajukan secara tertulis dengan alasan-alasan yang jelas. Tidak ada kewajiban agar constitutional complaint diwakilkan pada seorang pengacara. Artinya, tanpa pengacara pun setiap warga negara dapat mengajukannya. Berkas perkara yang diajukan tidak dipungut biaya.

MK Jerman sendiri hanya akan me-review aneka pengaduan yang masuk sesuai dengan asas hak-hak dasar warga negara. Yang jelas, MK memiliki kewenangan untuk memutuskan pengaduan konstitusional tersebut.

Bandingkan dengan MKRI yang belakangan ini, faktanya juga menerima perkara-perkara yang masuk ranah constitutional complaint, namun MKRI belum memiliki kewenangan untuk memutuskan perkara constitutional complaint, kecuali empat kewenangan dan satu kewajiban yang dipunyainya selama ini (Yazid).

Konstitusi Maya

http://www.bundesverfassunggericht.de

(7)

(Ketua Pusat Studi HAM dan Demokrasi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang)

Oleh: Dr. Muchammad

Ali Safa’at

C

onstitutional Question adalah mekanisme review atau pengujian suatu aturan hukum yang diajukan oleh hakim yang sedang mengadili suatu perkara, dan dalam proses peradilan itu muncul pertanyaan tentang konstitusionalitas ketentuan aturan hukum yang akan digunakan dalam menilai dan mengambil putusan. Mekanisme constitutional question diperlukan sebagai bagian dari upaya untuk menjamin tegaknya supremasi konstitusi dan perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara. Dengan adanya mekanisme tersebut, (1) dapat dihindari adanya putusan hakim yang bertentangan dengan konstitusi dan melanggar hak konstitusional warga negara; (2) ruang pengujian terhadap peraturan perundang-undangan semakin luas, apalagi hakim pengadilan adalah profesi yang mempunyai kapasitas lebih untuk mengetahui adanya kemungkinan pertentangan norma; dan (3) dapat dihindari adanya pelanggaran hak konstitusional yang tidak diperlukan karena pengajuan judicial review harus menunggu adanya putusan pengadilan atau proses pengadilan dihentikan sementara.

Banyak negara yang telah menerapkan mekanisme constitutional question, terutama negara-negara yang menganut pengujian konstitusionalitas aturan hukum melalui pengadilan (MK). Mekanisme constitutional question di beberapa negara dapat dipahami sebagai salah satu mekanisme pengajuan judicial review. Constitutional question merupakan pemberian hak kepada pengadilan untuk mengajukan pertanyaan konstitusional kepada MK. Hal itu dapat dilihat di Kroasia yang mengatur mekanisme constitutional question dalam Section IV “Review of the Constitutionality of Laws and the Constitutionality and Legality of Other Regulations Constitutional Act Kroasia. Article 35 paragraf (1) menyatakan bahwa pada saat pengadilan menemukan bahwa aturan hukum yang diterapkan tidak sesuai dengan konstitusi, perkara harus

dibekukan dan diajukan pertanyaan ke MK (When the court of justice in its proceedings determines that the law to be applied is not accordance with the Constitution, it shall stop the proceedings and requaire the Supreme Court to present to the Constitutional Court a request for review of the constitutionality of the law). Bahkan dalam konstituti Korea Selatan disebutkan secara eksklusif bahwa salah satu wewenang MK Korea Selatan adalah memutus konstitusionalitas suatu aturan hukum atas permintaan pengadilan (Article 111 Constitution of Korea; The Constitutional Court shall have jurisdiction over the following matters: 1. The constitutionality of a law upon the request of the courts; ...).

Dari sisi tempat pengaturan wewenang memutus constitutional question, terdapat dua model. Pertama, ada negara-negara yang memberikan wewenang dimaksud dalam konstitusinya, antara lain di Angola, Austria, Bosnia, Korea Selatan, Malta, Russia, dan Spanyol. Dari ketentuan konstitusi di 7 negara tersebut, ada juga yang menentukan constitutional question sebagai kewenangan yang terpisah dari judicial review. Konstitusi Angola misalnya menentukan bahwa salah satu wewenang MK adalah “consider appeals in respect of the constitutional nature of all decisions of other courts that refuse to apply any rule on the grounds that it is unconstitutional” [Article 134 (d)]. Namun ada pula yang mengatur sebagai satu kesatuan dengan wewenang judicial review, pengadilan disebutkan sebagai salah satu yang dapat mengajukan permohonan, seperti di Bosnia-Herzegovina. Kedua, terdapat negara-negara yang menentukan mekanisme constitutional question dalam UU MK dan merupakan derivasi dari wewenang memutus konstitusionalitas aturan hukum yang diberikan konstitusi. Negara-negara tersebut antara lain adalah Belarus, Kroasia, Georgia, Jerman, Latvia, Lithuania, dan Slovenia.

Paling tidak terdapat dua jenis mekanisme pengajuan constitutional question. Pertama, dapat diajukan langsung oleh pengadilan di semua tingkat yang sedang memeriksa suatu perkara, yaitu Angola, Austria, Jerman, Korea Selatan, Latvia, Lithuania, Malta, Slovenia, dan Spanyol. Kedua, ditentukan bahwa pengajuan constitutional question dilakukan melalui MA, yaitu di Belarus, Kroasia, Georgia, dan Russia.

Dari sisi praktik pengujian UU yang pernah dilakukan oleh MK, ada alasan yang cukup kuat untuk menerapkan Constitutional Question. Terdapat banyak perkara pengujian UU dengan alasan kerugian konstitusional yang diderita oleh pemohon karena sudah diadili dan bahkan dihukum berdasarkan ketentuan UU yang diragukan konstitusionalitasnya. Hal itu misalnya adalah dalam perkara pengujian pasal-pasal KUHP yaitu Perkara Nomor 013-022/PUU-IV/2006, yang diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis, Perkara Nomor 6/PUU-V/2007 yang diajukan oleh Panji Utomo, Perkara Nomor 7/PUU-VII/2009 yang diajukan oleh Rizal Ramly, dan Perkara Nomor 14/PUU-VI/2008 yang diajukan oleh Risang Bima Wijaya dan Bersihar Lubis. Semua pemohon dalam perkara-perkara dimaksud

Menggagas

Constitutional

(8)

telah diadili dan divonnis bahkan telah menjalani hukuman sebelum mengajukan permohonan ke MK.

Dalam Putusan perkara 013-022/PUU-IV/2006, permohonan dikabulkan dan Pasal 134, Pasal 136 bis, serta Pasal 137 KUHP tentang penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam Perkara Nomor 6/PUU-V/2007, MK mengabulkan permohonan terhadap Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP mengenai tindak pidana menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan di muka umum terhadap Pemerintah Republik Indonesia. MK berpendapat bahwa rumusan delik pada kedua pasal tersebut adalah delik formal sehingga menimbulkan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan karena secara mudah dapat ditafsirkan menurut selera penguasa. Dalam perkara Nomor 7/PUU-VII/2009, MK menyatakan bahwa dalam pasal 160 KUHP harus ditafsirkan sebagai delik materiil dan bukan sebagai delik formil. Oleh karena itu MK menyatakan Pasal 160 KUHP konstitusional bersyarat, yaitu harus diberlakukan sebagai delik materiil sehingga harus ada tindak pidana yang disebabkan oleh penghasutan dimaksud.

Walaupun MK mengabulkan ketentuan-ketentuan di atas atau menyatakan konstitusional bersyarat, namun putusan MK tidak berlaku surut. Artinya, terhadap vonnis yang telah dijatuhkan pengadilan tetap harus dijalani pemohon, apalagi kalau pemohon sudah menjalani hukuman maka tidak ada pemulihan yang dapat dilakukan.

Mekanisme constitutional question disinggung dalam perkara Nomor 14/PUU-VI/2008, yang mengajukan pengujian terhadap Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 311 ayat (1), Pasal 316, dan Pasal 207. MK berpendapat bahwa apa yang dialami oleh pemohon bukan merupakan persoalan norma, melainkan penerapan hukum yang sesungguhnya dapat diwadahi dalam mekanisme constitutional question atau constitutional complaint yang saat ini tidak dimiliki oleh MK.

Di sisi lain, mekanisme pengujian undang-undang saat ini hanya dapat diajukan oleh perseorangan warga negara,

lembaga negara, badan hukum, atau kesatuan masyarakat hukum adat yang hak atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh ketentuan dalam suatu undang-undang. Pengajuan permohonan pengujian undang-undang ke MK tentu didasari oleh pengetahuan dan kesadaran atas hak konstitusional yang dijamin dalam UUD 1945. Selain itu juga diperlukan penguasaan atas konsep-konsep yang abstrak yang menghubungan peristiwa yang dialami atau potensial dialami karena adanya ketentuan dalam suatu undang-undang yang merugikan hak konstitusional yang dimiliki. Kondisi lain yang diperlukan adalah adanya pengetahuan dan akses ke lembaga peradilan, khususnya MK. Tidak banyak warga negara yang memiliki kemampuan tersebut sehingga walaupun pengujian undang-undang merupakan perkara yang paling banyak ditangani oleh MK, masih lebih banyak lagi undang-undang yang belum pernah diajukan ke MK terutama undang-undang yang dibuat sebelum adanya Perubahan UUD 1945. Masih banyak undang-undang yang berpotensi bertentangan dengan UUD 1945, namun tetap berlaku dan digunakan sebagai dasar tindakan aparat negara termasuk dijadikan oleh hakim sebagai dasar memutus suatu perkara.

Untuk menerapkan mekanisme constitutional question tidak perlu dilakukan dengan Perubahan UUD 1945 guna menambahkan wewenang tersebut pada MK. Constitutional question sangat mungkin ditempatkan sebagai bagian dari wewenang MK menguji undang-undang terhadap UUD. Seorang hakim tentu dirugikan kewenangan konstitusionalnya untuk menegakkan hukum dan keadilan jika harus menerapkan suatu ketentuan undang-undang yang diragukan konstitusionalitasnya. Melalui mekanisme constitutional question dapat dihindarkan terjadinya ketidakadilan karena menjamin putusan hakim tidak melanggar hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 dan mencegah terjadinya ketidakpastian hukum karena adanya putusan hakim yang ternyata di kemudian hari ketentuan yang dijadikan dasar dibatalkan oleh MK. ***

Opini

Redaksi Majalah Konstitusi (yang diterbitkan Mahkamah Konstitusi RI) mengundang pakar, intelektual dan warga masyarakat untuk menyumbangkan tulisan dalam rubrik“Opini”, “Suara Pembaca ” dan “Pustaka”.

Rubrik “Opini”, merupakan rubrik yang berisikan pendapat-pendapat berbentuk opini yang mendalam terhadap kajian Konstitusi dan Hukum Tata Negara. Panjang tulisan maksimal 6000 karakter.

Rubrik “Suara Pembaca” merupakan rubrik yang berisikan komentar-komentar tentang Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Panjang tulisan maksimal 2000 karakter.

Rubrik “Pustaka” merupakan rubrik yang berisikan resensi buku-buku baru hukum dan Konstitusi. Panjang tulisan maksimal 6000 karakter. Selain itu ada rubrik “Pustaka Klasik”.

Mengundang Anda

Kami

Tulisan dapat dikirimkan dengan menyer-takan data diri, alamat yang jelas, dan foto melalui pos/fax/email ke Redaksi Majalah Konstitusi:

1. Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jalan Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta Pusat

Telp. (021) 23529000 ext. 18242; 2. Fax. (021) 3520177; atau

3. E-mail : bmk@mahkamahkonstitusi.go.id

(9)

PeSAN MK UNTUK PArA HAKIM

Jika saat ini dilaksanakan jajak pendapat tentang kredibilitas institusi penegak hukum, saya yakin dan percaya Mahkamah Konstitusi (MK) yang paling kredibel di antara semua. Tanpa menaikan celah-celah kecil kelemahan yang masih ada, keberhasilan MK meletakkan prinsip-prinsip peradilan yang baik dan modern patut diapresiasi. Apa yang sudah dilakukan MK dalam mengawal konstitusi dan penegakan hukum jauh melampaui apa yang sudah dilakukan peradilan umum. MK mampu keluar dari mainstream berikir ala mayoritas ahli hukum Indonesia yang konservatif. MK begitu progresif, sehingga tak jarang kebanyakan putusannya tidak dapat diduga sebelumnya.

Dalam PHPU misalnya, MK dengan berani mengeluarkan putusan dengan amar memerintahkan pemungutan suara ulang dan mengesahkan proses pemilihan secara adat yang dilakukan penduduk Yahukimo. Jika berpikir secara positivistik, tentunya pemilihan secara adat tidak akan pernah dapat diterima karena bertentangan dengan ketentuan undang-undang pemilu. Begitu juga dengan putusan pemungutan suara ulang. Tidak sedikit putusan MK yang memerintahkan pemungutan

TerIMA KASIH ATAS PelAyANAN MK

Di saat masih banyak lembaga negara dan pemerintah yang mendapat persepsi buruk di mata masyarakat dalam hal pelayanan publik, Mahkamah Konstitusi (MK) tampil beda. Sebab, dalam pelayanan risalah dan putusan sidang, MK sungguh mengamalkan ketentuan Pasal 14 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi , yang menyatakan bahwa “masyarakat mempunyai akses untuk mendapatkan putusan MK “. Bahkan Putusan MK itu diberikan secara gratis.

Pada saat saya mengerjakan skripsi, MK, khususnya bagian risalah dan putusan sangat membantu saya. Setiap surat saya mendapat balasan dan saya mudah mendapatkan risalah sidang dan putusan yang dibutuhkan dengan gratis. Hal ini sangat luar biasa karena tidak ada institusi lain yang seperti itu.

Akhirnya semoga MK dapat mempertahankan pelayanannya selama ini. Dan semoga seluruh Hakim MK dan Pegawai Mk dapat menghayati dan mengamalkan kata-kata Rabindranath Tagore, salah seorang pujangga dunia yang berkata, “Hidup itu adalah ceria dan pengabdian adalah keceriaan”. Terima kasih, MK!

MK MeNegAKKAN HAK KONSTITUSIONAl

Kehadiran Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi terasa semakin lengkap dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan oleh MK dalam putusan dengan melakukan berbagai terobosan guna menegakkan keadilan substantif. Ketika terdapat warga negara yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar atas berlakunya undang-undang, maka pihak tersebut dapat mengajukan constitutional review. Apabila ternyata warga negara telah terbukti dilanggar hak konstitusionalnya, maka MK dapat membatalkan pasal yang diujikan berdasarkan UUD 1945. Hal ini tidak akan bisa dijumpai sebelum adanya MK. Sehingga dalam hal ini MK menjadi lembaga untuk menegakkan hukum dan demokrasi dalam upaya melindungi hak konstitusional warga negara Indonesia. Untuk ke depan diharapkan MK tidak terbatas berwenang menguji undang-undang terhadap UUD saja, namun juga berwenang menguji segala peraturan perundang-undangan terhadap UUD. Hal ini sebagai upaya untuk sistematisasi pengujian peraturan perundang-undangan, yang mana selama ini segala peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang menjadi kewenangan MA. Dengan demikian, segala peraturan perundang-undangan diuji berdasarkan UUD sehingga lebih menjamin hak konstitusional warga negara dan menjamin adanya kepastian hukum (rechtsonzekerkheid).

DADy ArHANDy, S.H.

Alumni Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

KHAIrUl FAHMI

Ketua Badan Pengurus Wilayah Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indo-nesia (PBHI) Sumatera Barat

suara ulang, baik dalam PHPU legislatif maupun dalam PHPU Kepala Daerah. Ketika penyelesaian sengketa Pemilu Kepala Daerah masih menjadi kewenangan MA, kita tidak bisa berharap keluarnya putusan yang memerintahkan penghitungan ulang, apalagi pemungutan suara ulang. Sekalipun nyata telah terjadi banyak kecurangan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah.

Agaknya pesan yang hendak disampaikan MK dengan langkah-langkah progresifnya adalah agar supaya hakim di seluruh peradilan yang ada membenahi paradigma berpikirnya. Berhentilah “membunuh” hukum dengan hanya sekadar melaksanakan formalitas peradilan, tapi hidupkanlah hukum dengan mengeluarkan putusan-putusan yang dapat menumbuhkan harapan masyarakat pada hukum.

MUHAMMAD BAHrUl UlUM

(10)

Laporan

Utama

M

ahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) yang dimohonkan oleh H.F. Abraham Amos, Djamhur, dan Rizki Hendra Yoserizal, Rabu (30/12), di Ruang Sidang Pleno MK. Ketentuan yang dikabulkan tersebut dinyatakan oleh MK bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yang dibacakan oleh 9 hakim konstitusi MK.

“Mengadili menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” tegas Ketua MK, Moh. Mahfud MD dalam pembacaan putusan.

Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan.”

“Apabila setelah jangka waktu dua tahun Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi Advokat yang sah diselesaikan melalui Peradilan Umum,” ujar Mahfud MD.

Pengadilan Tinggi Wajib Mengambil

Sumpah Calon Advokat

Abraham Amos (ketiga dari kiri) saat menyampaikan permohonan pengujian UU Advokat pada sidang di MK.

“Mengadili

menyatakan

mengabulkan

permohonan para

Pemohon untuk

sebagian,” tegas

Ketua MK, Moh.

Mahfud MD dalam

pembacaan putusan.

F

o

to

:

H

u

m

a

s

MK

/A

rd

(11)

Hak Calon Advokat Tertutup

Pada sidang sebelumnya, Pemohon menceritakan awal mula kronologi permasalahan calon advokat. Konlik antara Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI) merugikan para calon advokat yang hendak bersidang di pengadilan. Banyak yang diusir dari pengadilan ketika hendak beracara karena permasalahan seorang advokat belum dilantik dan diambil sumpahnya oleh Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.

“Konlik semua ini merupakan egosentrisme dan pertikaian senior. Kami tidak lagi diperjuangkan dan semua ini bukan teladan. Kami merasa kepentingan keduanya adalah hasutan, agitasi dan telah menginjak-injak kode etik advokat yang berpengaruh negatif,” ungkap Abraham Amos sebagai wakil dari Forum Komunitas Calon Advokat Indonesia dalam persidangan (14/7).

Pemohon juga merasa haknya tertutup secara hukum dan kecil kemungkinannya bagi para Kandidat Advokat (termasuk para Pemohon) untuk diangkat/disumpah sebagai advokat atau dengan perkataan lain nasibnya menjadi terkatung-katung dan tidak jelas, terlebih-lebih dengan terbitnya Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 052/KMA/V/2009 bertangal 1 Mei 2009.

Inti dari surat edaran tersebut adalah memerintahkan kepada Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia

untuk menunda pengambilan sumpah bagi para kandidat advokat, hal tersebut menurut para Pemohon dianggap telah mencampuri terlampau jauh kewenangan organisasi advokat.

Pemohon menguji materi tiga pasal UU tersebut kepada MK yakni Pasal 2 ayat (3) yang berbunyi “Salinan Surat Keputusan Pengangkatan Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri,” kemudian Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi “Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya,” dan Pasal 4 ayat (3) yang berbunyi “Salinan berita acara sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung, Menteri, dan Organisasi Advokat.”

Kewajiban Atributif Pengambilan Sumpah

Putusan Mahkamah yang berkaitan dengan profesi Advokat tersebut pada dasarnya bukan terhadap norma hukum yang terkandung dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat, melainkan disebabkan oleh penerapan norma dimaksud sebagai akibat adanya Surat Mahkamah Agung yang melarang Pengadilan Tinggi mengambil sumpah para calon Advokat sebelum organisasi advokat bersatu.

Ketua Majelis Hakim Moh. Mahfud MD sedang memperhatikan keterangan yang disampaikan oleh Ahli dari Pemohon Jhon Pieris dalam sidang uji UU Advokat, Rabu (21/10), di ruang sidang pleno MK.

F

o

to

:

H

u

m

a

s

MK

/W

iw

(12)

Setelah melihat dan mempertimbangkan dalil-dalil Pemohon, alat bukti dalam persidangan, keterangan Pemerintah dan kesimpulan para pihak yang berperkara, Mahkamah berpendapat bahwa isu hukum utama permohonan para Pemohon adalah apakah norma hukum yang terkandung dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat bertentangan dengan UUD 1945, dan dari isu hukum utama tersebut melahirkan dua pertanyaan hukum, yaitu 1) apakah keharusan para Advokat mengambil sumpah sebelum menjalankan profesinya konstitusional; dan 2) apakah keharusan bersumpah di depan sidang Pengadilan Tinggi konstitusional.

“Sebelum mempertimbangkan isu hukum yang kemudian diderivasi menjadi dua pertanyaan hukum tersebut di atas, Mahkamah lebih dahulu akan mengemukakan tiga hal. Pertama, UUD 1945 sebagai hukum tertinggi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia telah memberikan jaminan dan perlindungan bagi setiap warga negara hak untuk bekerja dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan [Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 28D ayat (2)]; hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28A); hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya [Pasal 28C ayat (1)]; serta hak atas perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil [Pasal 28D ayat (1)],” tutur Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar dalam persidangan.

Oleh karena itu, tidak boleh ada ketentuan hukum yang berada di bawah UUD 1945 yang langsung atau tidak langsung menegasi hak untuk bekerja yang dijamin oleh Konstitusi tersebut atau memuat hambatan bagi seseorang untuk bekerja, apa pun bidang pekerjaan dan/atau profesi pekerjaannya, agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya yang layak bagi kemanusiaan.

Kedua, Pasal 1 angka 1 UU Advokat menyatakan, “Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum,

baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini”. Selanjutnya Pasal 3 ayat (1) UU Advokat menentukan 9 (sembilan) persyaratan untuk dapat diangkat menjadi Advokat, sedangkan Pasal 3 ayat (2) menyatakan, “Advokat yang telah diangkat berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan”. Pasal 5 ayat (1) UU Advokat memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.

Ketiga, dengan demikian, seseorang yang menjadi Advokat pada dasarnya adalah untuk memenuhi haknya sebagai warga negara untuk bekerja dan memenuhi kehidupan yang layak bagi kemanusiaan, serta yang bersangkutan sudah dapat menjalankan profesi pekerjaannya setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 3 ayat (1) UU Advokat (Pasal 3 ayat (2) UU Advokat).

Pasal 28 ayat (1) UU Advokat juga mengamanatkan adanya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga para Advokat dan organisasi Advokat yang saat ini secara de facto ada, yaitu Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI), harus mengupayakan terwujudnya Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat.

“Penyelenggaran sidang terbuka Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat merupakan kewajiban atributif yang diperintahkan oleh Undang-Undang, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyelenggarakannya,” kata Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar. (RNB Aji)

F

o

to

:

H

u

m

a

s

MK

/

G

a

n

ie

Kiri ke kanan, Moh. Mahfud MD, Maruarar Siahaan, dan Achmad Sodiki, sedang menyimak putusan perkara uji UU Advokat yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar (tidak tampak), Rabu (30/12), di ruang sidang pleno MK.

(13)

Mengawal Demokrasi

Menegakkan Keadilan Substantif

Releksi Kinerja MK 2009 dan Proyeksi 2010

A. MeNgAWAl DeMOKrASI MeNegAKKAN KeADIlAN SUBSTATIF

Pada 2009, MK menegaskan dirinya sebagai pengawal demokrasi (the guardian of the democracy) dengan mengacu kepada prinsip menegakkan keadilan substantif. MK telah menjalankan fungsi menguji konstitusionalitas undang-undang. MK menilai dan menguji norma UU apakah berlawanan dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi (fundamental law). MK juga berperan memutus perselisihan hasil Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebanyak 12 perkara. Selain itu, MK juga menyelesaikan Perkara Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif sebanyak 69 perkara (650 kasus) dan Perkara Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan oleh Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto yang dilaksanakan pada 2009.

Pasal 24 Ayat 1 UUD 1945 menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan ”hukum” dan ”keadilan”. Kekuasaan kehakiman itu bertugas menegakkan hukum dan keadilan yang ditempatkan dalam posisi sama yang satu tidak lebih diutamakan dari yang lain. Selain itu, Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945 juga menegaskan, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan ”kepastian hukum yang adil”.

Kepastian hukum tidak jarang mengalahkan pencari keadilan di sebuah lembaga peradilan yang seharusnya memberikan keadilan. UU sendiri meski ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR dengan cara demokratis, akan tetapi belum tentu hasilnya mencerminkan nilai-nilai dari cita hukum dan nilai-nilai konstitusi. Pengalaman masa lalu membuktikan sebuah undang-undang tidak serta merta mencerminkan karaktek yang responsif dan sesuai kepentingan rakyat dan menjadi cerminan nilai yang terkandung dalam cita-cita negara hukum yang demokratis. Prinsip penegakan keadilan dalam proses peradilan itulah yang saat ini digali sedalam-dalamnya untuk merasakan keadilan substantif (substantive justice) di masyarakat dan tidak terbelenggu dengan apa yang ditetapkan undang-undang (procedural justice).

Putusan MK dan Perkembangan Demokrasi serta Keadilan

Beberapa putusan penting yang diputus selama 2009 perlu dikemukakan yang menegaskan fungsi MK mengawal demokrasi menegakkan keadilan substantif dan membawa perubahan besar bagi sistem ketatanegararaan, demokrasi, politik dan sangat terkait erat dengan kepentingan masyarakat luas (public interest) :

1. Putusan JK-WIN dan Mega-Prabowo (Perkara No.108-109/PHPU.B-VII/2008)

Dalil adanya penambahan perolehan suara SBY-Boediono dan adanya pengurangan suara Capres JK-WIN dan Mega-Prabowo tidak terbukti secara hukum. Jumlah perolehan suara baik oleh Capres JK-WIN dan Mega-Prabowo juga tidak beralasan hukum. MK juga memberikan rekomendasi lebih baiknya pemilu-pemilu akan datang diperlukan langkah-langkah profesional baik dalam pembentukan UU maupun pelaksanaan tugas-tugas KPU

2. Penegasan Putusan Final Pemilukada Jatim (Perkara No. 41/PHPU.D-VI/2008)

MK di awal tahun juga menetapkan tidak meregistrasi keberatan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur Hj. Khoifah Indar Parawansa dan Mudjiono berkenaan Keputusan KPU Jatim mengenai Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilukada Jawa Timur Tahun 2009 sebagai pelaksanaan Putusan MK. MK berpendapat putusannya merupakan putusan bersifat inal dan mengikat. KPU Jawa Timur juga telah melaksanakan putusan MK dengan hasil sebagaimana dituangkan dalam Keputusan KPU.

3. Pemilukada Bengkulu Selatan Batal Demi Hukum (Perkara No. 57/PHPU.D-VII/2008)

Mahkamah berpendapat Pasangan Calon Nomor Urut 7 khususnya H. Dirwan Mahmud, telah menyembunyikan perbuatan pidana yang pernah dilakukannya. H. Dirwan Mahmud mengetahui bahwa untuk menjadi kepala daerah

MK menegaskan dirinya sebagai pengawal demokrasi dengan mengacu prinsip menegakkan Keadilan Substantif. Berikut ini Majalah Konstitusi menyajikan Laporan Khusus yang berisi ringkasan laporan akhir tahun MK kepada publik. Berikut ini kinerja selama satu tahun MK melaksakan tugas

(14)

harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 58 huruf f UU 32 Tahun 2004 (sebelum putusan MK mengenai jabatan yang dipilih). Selaku peserta Pemilukada Kabupaten Bengkulu Selatan, H. Dirwan Mahmud, S.H., secara sengaja dan dengan niat menutupi perbuatan pidana yang dilakukannya. Hal tersebut jelas melanggar asas-asas Pemilu yang jujur, bebas, rahasia dan demokratis.

4. Pemungutan Suara Ulang Nias Selatan (perkara No. 28-65-70-82-84-89/PHPU.C-VII/2009)

MK berpendapat penyelenggaraan Pemilu di Kabupaten Nias Selatan tidak dilaksanakan sesuai prosedur dan prinsip-prinsip Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. sesuai Pasal 219 ayat (2) huruf a UU 10 Tahun 2008, penyelenggaraan Pemilu yang tidak sesuai dengan syarat-syarat hukum sebagaimana disebutkan di atas, menurut hukum harus dilakukan pemungutan suara ulang untuk seluruh Kabupaten Nias Selatan. MK memutus berdasarkan terbukti secara sah dan meyakinkan adanya penyimpangan-penyimpangan secara terstruktur dan masif serta berjenjang dalam pelaksanaan Pemilu di Kabupaten Nias Selatan.

5. Pemilu Sesuai Budaya Setempat di yahukimo

MK menjatuhkan putusan sela memerintahkan KPU Kabupaten Yahukimo melaksanakan pemungutan suara ulang Pemilu Anggota DPD pada 37 distrik di Kabupaten Yahukimo dan penghitungan suara ulang pada 14 distrik di Kabupaten tersebut. Pelaksanaan pemilihan umum di Kabupaten Yahukimo umumnya tidak dilaksanakan dengan pencontrengan pada surat suara, akan tetapi penentuan suara hanya dilakukan dengan “kesepakatan warga” atau “aklamasi”. Namun MK berpendapat pemilihan umum dengan “kesepakatan warga” atau “aklamasi” tersebut merupakan model pemilihan yang sesuai dengan budaya dan adat setempat yang harus dipahami dan dihormati.

Pada 37 distrik di Kabupaten Yahukimo tidak diselenggarakan pemilihan umum untuk pemilihan calon anggota DPD, sedangkan di 14 distrik di kabupaten tersebut terjadi perbedaan rekapitulasi penghitungan hasil pemilihan umum pada distrik-distrik untuk pemilihan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah.

6. Putusan Sela di Berbagai Daerah

MK mengganggap terdapat pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur dan massif atau pelanggaran signiikan, sehingga MK tidak dapat membiarkan pelanggaran yang terjadi dengan merujuk kepada UUD 1945 dan prinsip-prinsip yang tidak tertulis. MK memerintahkan pemungutan suara ulang antara lain di :

Dapil Dapil Rokan Hulu 2 Kab. Rokan Hulu. a.

Prov. Papua b.

Dapil Nias Selatan 1 Kab. Nias Selatan c.

Dapil Nias Selatan 2 Kab. Nias Selatan d.

Dapil Nias Selatan 3 Kab. Nias Selatan e.

Dapil Nias Selatan 4 Kab. Nias Selatan f.

Kemudian penghitungan suara ulang antara lain: Dapil Kepulauan Riau Prov. Kepulauan Riau a.

Dapil Minahasa 3 Kab. Minahasa b.

Dapil Lampung II Prov. Lampung c.

Dapil Pariaman 3 Kota Pariaman d.

Dapil Musi Rawas 4 Kab. Musi Rawas. e.

7. Putusan Akhir Pelaksanaan Putusan MK

Terhadap putusan sela sebelumnya, KPU telah melaksanakan putusan MK di beberapa daerah tersebut. MK pada 1 September 2009 telah menjatuhkan putusan akhir untuk 12 permohonan yang diputus sela dalam perkara PHPU 2009 dengan menetapkan perolehan suara yang benar.

8. Tafsir Penghitungan Tahap Ketiga (Perkara No.74-94-80-59-67/PHPU.C-VII/2009)

Pada saat pemeriksaan Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif, MK memutuskan cara penerapan yang benar atas penerapan penghitungan kursi tahap ketiga dalam Pasal 205 ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) UU 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD pada 10 Juni 2009 yang intinya penarikan sisa suara untuk penghitungan tahap ketiga di tingkat provinsi haruslah meliputi semua Dapil yang ada di provinsi yang bersangkutan. Putusan ini bersifat erga omnes, artinya penerapan pasal ini berlaku tidak hanya kepada para Pemohon saja tetapi harus diterapkan untuk semua penghitungan tahap ketiga tentang penetapan perolehan sisa kursi DPR bagi partai politik peserta Pemilihan Umum 2009, di semua provinsi yang harus melakukan penghitungan tahap tiga.

9. Penghitungan Tahap Kedua Konstitusional Ber syarat

MK menafsirkan frasa “suara” pada penghitungan perolehan kursi tahap kedua harus sesuai dengan konsep demokrasi. Kedudukan dan suara minoritas harus tetap dihargai. Perolehan suara partai tetap diperhitungkan untuk memperoleh kursi pada tahap kedua dengan merujuk sistem pemilu proporsional yang terkandung pada original intent keberadaan Pasal 205 ayat (4) UU 10 Tahun 2008. Mahkamah juga berpendapat frasa “sisa suara” pada Pasal 211 ayat (3) dan Pasal 212 ayat (3) bukan hanya sisa suara dari perolehan suara parpol setelah dikonversikan menjadi kursi berdasar BPP. Perolehan tersebut juga mecakup perolehan suara parpol yang tidak memenuhi BPP dan belum digunakan dalam penghitungan kursi tahap sebelumnya.

10. Konstitusionalitas Parliamentary Threshold 2,5%, Presidential Threshold 20% dan Pemisahan Jadwal Pemilu (Perkara No.3/PUU-VII/2009)

(15)

MK berpendapat lembaga legislatif berhak menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi partai politik baik berbentuk PT maupun electoral threshold (ET). Namun MK melihat pembentuk UU tidak konsisten dengan kebijakan-kebijakannya terkait dengan pemilu dan terkesan selalu bereksperimen dan belum memiliki desain yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan kepartaian sederhana yang hendak diciptakan, sehingga setiap menjelang pemilu selalu disusun UU baru di bidang politik. Dengan pertimbangan yang hampir sama pada 18 Februari 2009, MK juga menyatakan kebijakan presidential threshold 20% dan pemisahan jadwal pemilu tidak bertentangan dengan konstitusi.

11. Terpidana Dapat Menjadi Caleg (Perkara No.04/ PUU-VII/2009)

MK memeriksa dan permohonan Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU Nomor 10 Tahun 2008 (UU Pemilu Legislatif) serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (UU Pemerintah Daerah) yang dimohonkan oleh Robertus Robert (mantan narapidana). Pasal-pasal tersebut melarang seseorang untuk dapat mencalonkan diri sebagai kandidat caleg pada tingkat nasional maupun daerah serta sebagai calon kepala daerah apabila pernah dijatuhi pidana yang ancaman pidananya adalah penjara 5 tahun atau lebih.

MK menyatakan ketentuan tersebut bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat-syarat: (i) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected oicial); (ii) terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan narapidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan narapidana; (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang. Dengan putusan MK ini membuka jalan bagi para narapidana yang berkeinginan maju mewakili para konstituennya dengan syarat-syarat di atas. Putusan ini juga memperkenalkan putusan conditionally unconstitutional yang belum dikenal dalam UU.

12. Tafsir Pasal “Penyebaran Kebencian” KUHP (Perkara No. 7/PUU-VII/2009)

Permohonan untuk menguji pasal karet yang berkaitan dengan “penyebaran kebencian” (haatzai artikelen) yang diatur dalam Pasal 160 KUHP yang sering digunakan untuk menjerat para aktivis kontra pemerintahan diajukan oleh Rizal Ramli. MK dalam putusannya menolak permohonan. MK berpendapat pasal tersebut diperlukan untuk melindungi ketertiban umum dan stabilitas kehidupan bernegara. Namun MK kemudian menafsirkan pasal tersebut, bahwa perbuatan menghasut harus terjadi di muka umum, sehingga jelas bahwa kehendak (kesengajaan) merupakan unsur perbuatan pidana yang terdapat di dalam normanya. Dengan cara penafsiran demikian, kesengajaan

yang terkandung dalam istilah “menghasut” harus meliputi unsur-unsur di dalam normanya, yaitu menghasut supaya orang lain melakukan perbuatan pidana/delik, menghasut orang supaya melakukan kekerasan terhadap penguasa umum, atau tidak menuruti perintah Undang-Undang atau perintah jabatan.

MK menyimpulkan bahwa Pasal 160 KUHP adalah konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dalam arti konstitusional sepanjang ditafsirkan sebagai delik materiil.

13. larangan Publikasi Quick Count Inkonstitusional (Perkara No.9/PUU-VII/2009)

MK berpendapat quick count hasil Pemilu Legislatif merupakan kegiatan berbasis ilmiah yang harus dilindungi dengan prinsip kebebasan mimbar akademik ilmiah. Hal ini dilindungi oleh Pasal 31 ayat (1), ayat (3) dan ayat (5), serta Pasal 28F UUD 1945. MK memutuskan menerima permohonan Pemohon untuk sebagian. Artinya, pengumuman hasil survei tersebut tidak inkonstitusional sepanjang tidak berkaitan dengan rekam jejak atau bentuk lain yang dapat menguntungkan atau merugikan salah satu peserta Pemilu yang sudah diatur dalam Pasal 47 ayat (5) UU 42 Tahun 2008.

14. KTP dan Paspor sebagai Identitas Pemilih (Perkara No. 102/PUU-VII/2009)

MK berpendapat hak memilih dan dipilih adalah hak yang dijamin konstitusi, undang-undang, dan konvensi internasional. Mahkamah menimbang bahwa hak tersebut, merupakan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara. Bahwa DPT adalah prosedur administratif yang tidak boleh menegasikan hak substansif warga negara untuk memilih dalam pemilihan umum (right to vote) dan dipilih (right to be candidate). Karena itu, MK berkesimpulan permohonan Pemohon terhadap Pasal 28 dan Pasal 111 ayat (1) UU 42 Tahun 2008 beralasan hukum. Namun Mahkamah menilai bahwa permohonan para Pemohon adalah konstitusioanal bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang tidak menghilangkan hak pilih warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

15. Anggota DPD berhak menjadi Ketua MPr (Perkara No.117/PP-VII/2009)

Perkara nomor 117/PP-VII/2009 yang dimohonkan oleh 5 (lima) orang anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ini menggugat Pasal 14 ayat (1) UUD 1945. Pasal tersebut mengatur mengenai syarat menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat.

(16)

16. Kasus Bibit-Chandra (Perkara No.133/PUU-VII/2009)

MK dalam putusan uji materi Pasal 32 ayat (1) huruf c UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK mengabulkan permohonan Pemohon sebagian terhadap ketentuan tersebut selama sesuai dengan kondisi konstitusional yang ditafsirkan MK, yaitu pimpinan KPK hanya dapat diberhentikan apabila telah dijatuhi putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

registrasi Perkara

Pada 2009 permohonan yang memenuhi syarat kelengkapan sehingga diregistrasi oleh MK sebanyak 152 perkara, sedangkan yang tidak diregistrasi sebanyak 25 permohonan. Dari permohonan tidak diregistrasi umumnya dikarenakan kewenangan MK dan permohonan melewati tenggat waktu yang ditentukan UU. Pada 2009 terjadi peningkatan jumlah perkara yang diregistrasi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya sejak 2003.

Dari sebanyak 152 perkara diregistrasi pada 2009 tersebut terdiri atas:

78 perkara pengujian UU. a.

1 perkara sengketa kewenangan lembaga negara. b.

3 perkara Sengketa Pemilukada. c.

71 perkara perselisihan hasil pemilu. d.

Perkara yang paling banyak diregistrasi pada 2009 berdasarkan jenis perkara adalah perkara pengujian UU yang masih menempati jumlah tertinggi, yakni 78 di bandingkan perkara lain.

Amar Putusan

Selama 2009, MK telah menangani 90 perkara pengujian Undang Undang terdiri dari 78 perkara yang diregistrasi 2009 dan 12 perkara yang diregistrasi pada 2008. Dari 90 perkara tersebut MK telah memutus 44 perkara yang amarnya terdiri 14 perkara dikabulkan, 14 perkara ditolak, 9 tidak dapat diterima, dan 7 ditarik kembali. Sehingga perkara pengujian UU tahun ini sisa sebanyak 46 perkara. Sisa perkara yang belum diputus ini dikarenakan setiap permohonan harus melewati proses panjang pemeriksaan dalam persidangan.

Dalam perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, MK hanya menangani 1 perkara yang diregistrasi pada 2008. MK telah menjatuhkan putusan tidak dapat diterima. Sehingga perkara ini telah diselesaikan pada tahun ini.

Untuk perkara Sengketa Pemilukada dari 3 perkara yang diregistrasi 2009 dan 9 perkara yang diregistrasi pada 2008, MK telah menjatuhkan putusan yang amar putusannya sebagai berikut: 1 perkara dikabulkan, 10 perkara ditolak, dan 1 perkara tidak dapat diterima.

Dalam perkara Perselisihan Hasil pemilu 2009 dari 71 perkara yang diregistrasi, MK telah menjatuhkan putusan yang amarnya sebagai berikut: 25 perkara dikabulkan, 38 perkara ditolak, 8 perkara tidak dapat diterima. Dalam perkara ini MK sebelum menyatakan putusan akhir juga menetapkan putusan sela dan memutuskan putusan terkait

dengan Pasal 205 UU No.10 Tahun 2008 terhadap 13 kasus.

Sedangkan dari 71 perkara tersebut jika dihitung perkasus, keseluruhan berjumlah 656 kasus. MK telah menjatuhkan putusan berdasarkan kasus tersebut yang amar putusannya sebagai berikut: 71 dikabulkan, 416 ditolak, 114 tidak diterima, 24 ditarik kembali, 18 putusan sela, dan 13 putusan terkait Pasal 205 UU No.10 Tahun 2008.

Penyelesaian Perkara

Sepanjang 2009, dalam pengujian UU dan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, jangka waktu penyelesaian perkara paling cepat kurang dari 1 bulan sebanyak 8 perkara, sedangkan jumlah terbanyak yaitu 13 perkara diselesaikan dalam jangka waktu kurang dari 3 bulan.

Untuk perkara perselisihan Hasil Pemilu Legislatif 2009, sebagian besar perkara mampu diselesaikan kurang dari 30 hari kerja yaitu sebesar 59 perkara dari 69 perkara yang diputus. Adapun untuk perkara perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan Sengketa Pemilukada mampu diselesaikan kurang dari 14 hari kerja sebanyak 5 perkara, sedangkan tepat 14 hari kerja, sebanyak 9 perkara.

B. INDePeNDeNSI, TrANSPArANSI, DAN AKUN TA-BIlITAS leMBAgA PerADIlAN

Dalam menjalankan kewenangan dan kewajibannya seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945, MK sebagai lembaga peradilan berusaha menanamkan kesadaran pentingnya keterbukaan dan transparansi (openness & transparency) dan akuntabilitas kepada publik. Hal ini semata-mata agar kepercayaan publik terhadap MK yang telah tercipta dapat terjalin dengan baik dan kesepahaman semua lembaga negara meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Secara organisasi, MK dikelola dengan senantiasa mengupayakan penerapan prinsip good governance, yaitu kemandirian (independence), transparansi (transparency), dan akuntabilitas (accountability).

Dalam melaksanakan transparansi dan akuntabilitas, MK telah memanfaatkan sistem teknologi infomasi dan komunikasi (information and communication technology system/ICT). Penyelenggaraan tugas dan kewenangan berbasis teknologi ini menjadi bagian dari reformasi birokrasi di lingkungan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK. Pemanfaatan teknologi bisa menekan semaksimal mungkin interaksi yang bermuara pada jual beli perkara atau putusan. Selain itu, pemanfaatan ICT adalah perwujudan transparansi dan akuntabilitas MK sebagai lembaga peradilan yang senantiasa berupaya membuka access to justice seluas-luasnya.

(17)

pekerjaan dilaksanakan dan diselesaikan oleh Sumber Daya Manusia (SDM) dengan kemampuan dan keahlian yang tepat sehingga hasil yang diperoleh maksimal. MK selalu berusaha mewujudkan SDM yang profesional berbasis kompetensi dan berintegritas tinggi. Berbagai strategi kebijakan peningkatan SDM dilakukan MK, di antaranya penyusunan analisis kebutuhan SDM, rekrutmen pegawai sesuai kebutuhan organisasi dengan mekanisme yang adil, jujur, dan transparan yang dilengkapi dan didasarkan pada analisis jabatan yang komprehensif serta penegakkan kode etik pegawai.

Sejalan dengan pembangunan internal di MK, juga dibangun kerjasama antara MK dengan masyarakat luas, kerjasama antar lembaga negara, serta insan pers untuk mewujudkan keselarasan penegakan hukum seluas-luasnya. Pada 2009 MK telah mengembangkan kerjasama mulai dari antarlembaga negara, pemerintah daerah, dan organisasi masyarakat. Pengembangan kerjasama MK dengan berbagai pihak ini diharapkan semakin dikenalnya MK sebagai lembaga negara yang relatif baru dibandingkan dengan lembaga negara yang lain. Selain itu kerjasama dibutuhkan untuk memperkuat dan menyatukan visi dan misi untuk mewujudkan tujuan negara, dan terkait dengan tugas dan wewenang MK turut membangun budaya sadar berkonstitusi terwujud di semua kalangan.

Selanjutnya, MK tidak lupa menyadari arti penting sebuah kerjasama dengan insan pers terutama media massa cetak dan elektronik. Selama ini, MK terus menjalin hubungan baik dengan media massa sebagai mitra kerjasama. Pers memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan serta kontrol sosial yang juga dapat digunakan untuk pemenuhan hak masyarakat dalam mengetahui dan menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi. Pers juga dapat mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia. Oleh sebab itu, MK senantiasa berkomunikasi dan menjaga hubungan baik dengan insan pers yang ada di negeri ini.

Dengan demikian, MK turut mewujudkan pelayanan kepada publik secara konsisten dan berkesinambungan sebagai lembaga peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman di negara Indonesia ini. Dalam menjunjung tinggi prinsip independensi, transparansi dan akuntabiltas lembaga peradilan, MK tidak pernah memungut biaya bagi masyarakat yang mendambakan keadilan dan penegakan hukum. Semua ini dijunjung tinggi oleh MK Sebagai lembaga peradilan yang juga memiliki peran untuk senantiasa melayani masyarakat.

laporan Keuangan

a. Opini Wajar Tanpa Pengecualian dan Komitmen Anti Korupsi

Saat ini tuntutan reformasi birokrasi bukan lagi hal baru. Salah satu wujudnya berupa akuntabilitas dan transparansi lembaga-lembaga negara kepada publik. Akuntabilitas

dan transparansi dapat diartikan sebagai bentuk kewajiban organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan, melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik, tidak terkecuali untuk akuntabilitas dan transparansi keuangan.

MK sebagai lembaga negara, di samping senantiasa berupaya memberikan pelayanan kepada segenap masyarakat tentunya juga harus menunaikan kewajiban dalam hal mewujudkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan. Sejak 2007 sampai dengan 2009, tercatat untuk ketiga kalinya MK kembali meraih predikat Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), yaitu masing-masing untuk laporan keuangan Tahun Anggaran 2006, Tahun Anggaran 2007, dan Tahun Anggaran 2008 dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). Hal ini merupakan wujud dari upaya yang terus menerus dipertahankan oleh MK dalam rangka akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan negara kepada publik. Selanjutnya, MK juga terus meneguhkan komitmen dalam melawan korupsi melalui penegakan kode etik pegawai.

b. realisasi Anggaran

Pada 2009, MK mendapatkan anggaran sebesar Rp. 193.173.425.000,-. Sampai Desember 2009, alokasi anggaran tersebut diperkirakan dapat direalisasikan sebesar 157.755.805.459,- atau sebesar 81,67 %. Secara umum realisasi anggaran tersebut dipergunakan untuk mendukung pelaksanaan kewenangan MK seperti penanganan perkara PHPU Pemilu Legislatif, Pilpres, peningkatan kesadaran berkonstitusi serta peningkatan dan pengembangan dukungan administrasi MK.

C. PrOyeKSI 2010

Memasuki 2010, MK juga telah melakukan proyeksi terhadap beberapa hal dan agenda penting yang akan dilakukan terkait dengan kewenangan, tugas dan fungsi MK.

1. Antisipasi Sengketa Pemilukada

Dari data terbaru yang telah diolah, sepanjang tahun 2010 diperkirakan akan berlangsung sekitar 244 pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) yang terdiri dari 7 daerah tingkat provinsi dan 237 tingkat kabupaten/kota. Berdasarkan pengalaman MK menangani sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) selama ini, maka diprediksi sekitar 30-50% dari Pemilukada 2010 masih berpotensi menjadi sengketa yang akan dimohonkan kepada MK. Dengan asumsi demikian, maka sejumlah kurang lebih 73 s.d. 122 Pemilukada berpeluang masuk menjadi perkara di MK.

2. Tuan rumah Konferensi MK se-Asia

(18)

secara aktif dalam 6th Conference of Asian Constitutional Court Judges yang diselenggarakan di Mongolia pada September 2009 yang lalu, MK secara aklamasi didaulat untuk menjadi tuan rumah konferensi selanjutnya pada 2010. Alasan penunjukan tersebut didasari atas kiprah MK Indonesia yang selama ini dianggap membawa terobosan baru di mata dunia internasional khususnya bagi negara-negara di Asia dan Eropa dalam proses dan manajemen penanganan perkara yang modern. Pada konferensi yang rencananya akan diselenggarakan pada Juli 2010 juga akan dilakukan penandatanganan pembentukan “Asosiasi Mahkamah Konstitusi se-Asia”.

3. Constitutional Complaint dan Constitutional Question

Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawal konstitusi (guardian of constitution) dalam kenyataannya terdapat pula permohonan yang berkaitan dengan Constitutional Complaint dan Constitutional Question. MK memproyeksikan bahwa wacana dan diskursus mengenai constitutional complaint dan constitutional question akan terus bergulir seiring dengan pengalaman MK pada 2009 yang menerima banyaknya perkara dengan potensi karakteristik layaknya constitutional complaint.

4. Pengawasan Hakim Konstitusi

MK menyadari bahwa hakim konstitusi hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, sehingga selain diperlukan pengawasan. Pada dasarnya dibutuhkan

suatu lembaga yang mengawasi para hakim konstitusi agar dapat optimal menjalankan tugas dan kewajibannya dengan menjaga etika dan moralitasnya.

5. rencana Strategis MK 2010-2014

Berdasarkan evaluasi secara mendalam dan berjenjang selama ini, MK masih menemukan berbagai hal yang harus disempurnakan guna memperkuat pondasi dan landasan pacu dalam pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan konstitusionalnya.

Penyempurnaan struktur pada Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan merupakan salah satu agenda utama dalam pencapaian target reformasi birokrasi di tubuh MK. Selain itu, penguatan supporting unit bagi para Hakim Konstitusi akan dilakukan guna mengantisipasi adanya peningkatan beban perkara secara kuantitas sekaligus dalam upaya meningkatkan selalu kualitas putusan-putusannya.

Tidak kalah pentingnya, dalam lima tahun ke depan MK telah mempersiapkan suatu sistem terintergrasi selaku lembaga peradilan yang profesional, modern, dan terpercaya yang sedikit-banyak akan sejalan dengan apa yang telah dituangkan dalam International Framework of Court Excellent. Begitu pula dengan layanan publik yang akan semakin ditingkatkan dengan mengedapankan prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparan. Dengan demikian, memasuki tahun ketujuh ini MK akan melaksanakan segala tugas dan fungsi dengan penuh profesionalitas.

Laporan Khusus

(19)
(20)
(21)

P

enggunaan metode e-voting (pemilihan melalui alat elektronik) dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) di Kabupaten Jembrana merupakan salah satu cara untuk menghemat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sehingga akan lebih murah dan efektif. Melalui e-voting, hasil perolehan suara maupun partai dapat diperoleh lebih cepat. Untuk itu diperlukan landasan hukum yang jelas supaya metode ini dapat diterapkan.

Demikian yang dikatakan Andi M. Asrun, Kuasa Hukum I Gede Winasa, yang menjadi Pemohon dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), di ruang sidang panel MK, Selasa (1/12).

“Metode e-voting juga semakin menjamin terselenggaranya kepastian hukum terkait hak pilih warga negara. Jadi pengakuan hak bagi pemilih bisa terakomodasi tanpa harus mengalami kesulitan. Metode ini juga bisa lebih menjamin kejujuran tanpa bisa menghilangkan hak pilih dan suara yang bisa digandakan,” tutur Asrun dalam uji materi perkara Nomor 147/ PUU-VII/2009 ini.

Selain itu, dana yang begitu besar hingga mencapai Rp. 11 milyar dari APBD, menurut Asrun, bisa ditekan melalui metode e-voting. “Metode ini telah diuji coba dalam empat kali pemilihan kepala dusun di Jembrana. Dari pelaksanaan tersebut diperoleh kesimpulan bahwa selain mengirit biaya karena tidak menggunakan kertas, juga menghemat waktu. Calon pemilih dengan hanya menggunakan KTP yang sudah dilengkapi chip penyimpan data untuk mendaftar kemudian menuju bilik suara dan menyentuh gambar calon

Alat e-voting dihadirkan dalam sidang uji UU Pemda di ruang sidang panel MK, Selasa (1/12).

yang tertera pada layar monitor untuk dipilih,” ujarnya.

Dalam petitumnya, Pemohon menginginkan MK menyatakan Pasal 88 UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 secara besyarat (conditionally unconstitutional). Selanjut nya pasal tersebut juga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang berkenaan dengan penerapan metode e-voting dalam Pemilihan Kepala Daerah/Wakil kepala Daerah Kabupaten Jembrana tahun 2010.

Menanggapi permohonan ter-sebut, Hakim Konstitusi Achmad Sodiki memberikan nasehat kepada Pemohon menyangkut implikasi permohonan apabila dikabulkan. “Ketika dibatalkan oleh MK, apakah daerah yang lainnya juga telah siap. Mungkin pemakaian metode e-voting hanyalah masalah teknis di antara pilihan lain yakni mencontreng dan mencoblos. Apakah (metode ini) juga telah dikonsolidasikan dengan KPU setempat?” tanyanya kepada Pemohon.

Menjawab pertanyaan Hakim, Andi mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan seminar dengan KPU tentang penerapan metode ini. Hasilnya, memang metode ini lebih eisien dan hemat. “Terkait pelaksanaan pemilukada dengan penerapan metode e-voting di Jembrana, maka KPU dan pihak kami menginginkan adanya landasan hukum yang jelas,” tegasnya.

“Kami juga berharap dengan penerapan metode ini bisa menjadi contoh untuk daerah lainnya ke depan. Hal yang baru dan memiliki manfaat luas harus kita mulai,” sambung Asrun. Sebelum persidangan selesai, Hakim Konstitusi Ahmad Sodiki memberikan masukan bahwa, “mungkin, dalam petitum, Pemohon bisa meminta Pasal 88 tetap konstitusional meskipun menggunakan metode e-voting, pen contrengan, dan pencoblosan mengingat daerah yang lain tidak semua memiliki dan menggunakan metode tersebut,” katanya. (RNB Aji)

Meminta Landasan Hukum

E

-

voting

Kepada MK

Pengujian UU Pemda

F

o

to

:

H

u

m

a

s

MK

/

A

n

n

is

(22)

Ruang Sidang

P

engisian jabatan Pim pinan DPRD yang diatur Pasal 354 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) jelas-jelas memberikan keistimewaa

Referensi

Dokumen terkait

Satu-satunya pendekatan terhadap perempuan dalam pembangunan yang melihat semua aspek kehidupan perempuan dan semua kerja yang dilakukan perempuan kerja

Grafik rerata skor panelis terhadap kecepatan larut tablet effervescent wortel Hasil uji Friedman menujukkan bahwa perlakuan penambahan natrium bikarbonat dan asam sitrat

Bagian terbawah umbi rambut adalah matriks rambut, yaitu daerah yang terdiri dari sel-sel yang membelah dengan cepat dan berperan dalam pembentukan batang rambut.. Dasar umbi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara makro, hanya faktor ekonomi (prosentase penduduk miskin) yang secara nyata mempengaruhi minat dan kemampuan orang

Pada diagram use case terdapat 2 actor yang digambarkan, yaitu : user dan admin dimana pada actor pertama yaitu user dapat mengakses website secara online dan

Berdasarkan hasil analisis petrografi dari conto sayatan tipis (thin section), maka litologi penyusun batuan sumur SR-1 terdiri dari lava berjenis Andesit dan Tufa yang

NO PROGRAM AKUN URAIAN PAGU

Pemeriksaan rongga hidung, ingus di meatus medius. Pada pemeriksaan di kamar gelap, dengan meletakkan lampu di sudut mata bagian dalam, akan tampak bentuk sinus frontal di dahi