• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kalender Kegiatan llmiah

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

SALINAN

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 796/KMK.04/1993

TENTANG

PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN ATAS RUMAH SAKIT SWASTA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa sejalan dengan perkembangan sosial-ekonomi rumah sakit swasta dalam melakukan fungsi sosial sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan pelayanan dan jasa-jasa kesehatan telah berkembang sebagai institusi yang juga bersifat ekonomis dengan menitik-beratkan pada upaya mencari keuntungan; b. bahwa walaupun terdapat pergeseran status dan fungsi rumah

sakit swasta dimaksud, fungsi sosial rumah sakit swasta tetap melekat sebagai institusi yang memberikan jasa pelayanan kesehatan, sehingga turus menunjang program kesehatan nasional;

c. bahwa sehubungan dengan butir a dan b, atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki/dikuasai/dimanfaatkan oleh Rumah Sakit Swasta tersebut dapat dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada junlah tertentu atas pajak terutang dengan memperhatikan fungsi sosial rumah sakit tersebut; d. bahwa pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan dimaksud atas

Rumah Sakit Swasta tersebut perlu diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia;

Mengingat 1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembagaran Negara Nomor 3262); 2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3312);

3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100);

4. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 158/ KMK.04/1991 tanggal 13 Pebruari 1991 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan;

MEMUTUSKAN

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN ATAS RUMAH SAKIT.

Pasal 1

(1) Yang dimaksud dengan Rumah Sakit Swasta dalam keputusan ini adalah Rumah Sakit Swasta IPSM (Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat) yang: a. 25% dari jumlah tempat tidur digunakan untuk pasien yang tidak mampu; b. Sisa Hasil Usaha (SHU) digunakan untuk reinvestasi Rumah Sakit dalam

rangka pengembangan Rumah Sakit dan tidak digunakan untuk Investasi di luar Rumah Sakit.

(2) Atas bumi dan/atau bangunagan yang dikuasai/dimiliki/dimanfaatkan oleh Rumah Sakit Swasta IPSM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 50% dari jumlah Pajak Bumi dan Bangunan yang seharusnya terhutang.

Pasal 2

Runah Sakit Swasta Pemodal yang bukan merupakan Rumah Sakit Swasta IPSM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan didirikan oleh suatu badan yang berbentuk Perseroan Terbatas, dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 3

Atas Bumi dan/atau bangunan yang dikuasai/dimiliki/dimanfaatkan oleh Rumah Sakit Swasta tetapi secara nyata tidak dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan secara langsung yang terletak di luar lingkungan Rumah Sakit, tetap dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 4

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan, sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan nomor 158/ KMK.04/1991 tanggal 13 Februari 1991 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Pasal 5

Pelaksanaan teknis keputusan ini diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 6

Keputusan ini mulai berlaku untuk tahun pajak 1993

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman keputusan ini dalam berita negara Republik Indonesia.

SALINAN sesuai dengan aslinya KEPALA BIRO UMUM

u.b.

KEPALA BAGIAN T.U. DEPARTEMEN ttd.

Ny. HERTATI MULATSIH NIP. 110016245

Ditetapkan di :JAKARTA Pada tanggal : 20 Agustus 1993 MENTERI KEUANGAN

ttd

MAR'IE MUHAMMAD

NOMOR : SE-19/PJ.23/1989 SIFAT

LAMPIRAN :

PERIHAL : Pemotongan PPh Pasal 21 atas honorarium dokter yang praktek di rumah sakit.

(SERI PPh Pasal 21-38)

Jakarta, 3 April 1989 Kepada Yth.

1. Para Kepala Kantor Wilayah DJP.

2. Para Kepala Inspeksi Pajak di

SELURUH INDONESIA Berdasarkan data yang diperoleh dari pemeriksaan rumah sakit sebagai pemotong pajak PPh Pasal 21 di seluruh Indonesia dan hasil pembicaraan antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) serta Pengurus Pusat Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), bersama ini diberikan penegasan mengenai pedoman pemotongan PPh Pasal 21 atas honorarium dokter yang praktek di rumah sakit sebagai berikut:

1. Di rumah sakit pada umumnya terdapat tenaga dokter yang berdasarkan status hubungan kerjanya dapat dibagi dalam 4 golongan, yakni:

a. Dokter yang menjabat sebagai pengurus atau pimpinan rumah sakit.

b. Dokter sebagai pegawai tetap atau pegawai honorer rumah sakit.

c. Dokter tamu, yakni dokter yang merawat atau menitip- kan pasiennya untuk di rawat di rumah sakit.

d. Dokter yang menyewa ruangan di rumah sakit sebagai tempat prakteknya .

2. Penghasilan para dokter sebagaimana tersebut pada butir 1 adalah sebagai berikut:

a. Dokter yang menjabat sebagaimana pengurus atau pim- pinan rumah sakit menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari rumah sakit tersebut berupa gaji, tunjangan-tunjangan, honorarium, serta imbalan lain. b. Dokter sebagai pegawai tetap atau pegawai honorer dari

rumah sakit menerima atau memperoleh penghasilan berupa gaji, tunjangan-tunjangan honorarium, serta imbalan lain.

c. Dokter tamu menerima atau memperoleh penghasilan berupa honorarium dari rumah sakit sebagai imbalan atas jasa yang diberikannya, yang berasal dari pasien dan dibayarkan melalui rumah sakit.

d. Dokter yang menyewa ruangan di rumah sakit sebagai tempat prakteknva menerima atau memoerolehpenghasilan

sebagai imbalan atas jasa dokter yang dibayar oleh pasien, baik yang diterima secara langsung maupun melalui kas rumah sakit.

3. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 UU No. 7 Tahun 1983 Jo. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : Kep-41/PJ/1988 tanggal 28 April 1988 (Buku Petunjuk), maka pelaksanaan

pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan dokter pada butir 1 adalah sebagai berikut:

a. Atas penghasilan dokter yang menjabat sebagai pengurus atau pimpinan rumah sakit, dipotong PPh Pasal 21 oleh rumah sakit tersebut sesuai dengan ketentuan pemotongan PPh Pasal 21 untuk penghasilan pegawai tetap dengan diterapkan tarip Pasal 17 atas Penghasilan Kena Pajak (PKP). Penghasilan bruto diperoleh dengan cara men- jumlahkan seluruh penghasilan, baik berupa gaji, tunjangan maupun honorarium serta imbalan lain yang dibayar oleh rumah sakit kepada dokter tersebut.

b. Atas penghasilan dokter sebagai pegawai tetap dari rumah sakit dipotong PPh Pasal 21 oleh rumah sakit ter- sebut sesuai dengan ketentuan pada butir 3.a. Sedangkan apabila dokter tersebut statusnya masih pegawai honorer, maka ia hanya berhak memperoleh potongan PTKP tetapi tidak berhak mendapat potongan biaya jabatan dan kepadanya diterapkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Buku Petunjuk.

c. Atas penghasilan berupa honorarium yang diterima dokter tamu, dipotong PPh Pasal 21 oleh pihak rumah sakit sebesar:

15% x 40% x Penghasilan bruto berupa honorarium.

Yang dimaksud dengan penghasilan bruto berupa hono- rarium adalah jumlah imbalan jasa dokter dari pasien yang dirawatnya di rumah sakit tersebut, sebelum dipotong atau dikurangi dengan potongan-potongan oleh rumah sakit.

Untuk lebih jelasnya bersama ini diberikan contoh pe- rincian biaya perawatan dari rumah sakit sebagai berikut:

Jenis biaya Sebesar

1. Biaya perawatan (sewa kamar) Rp. 630.000,- 2. Radiologi Rp. 21.000,- 3. Laboratorium Rp. 19.700,- 4. Anesthesi Rp. 15.980,- 5. Biaya obat Rp. 24.025,- 6. Telepon/lnterlokal Rp. 1.700; 7. Jasa dokter Rp. 150.000,- 8. Biaya administrasi Rp. 14.620,- Jumlah biaya Rp. 877.025,- Dari jumlah jasa dokter sebesar Rp. 150.000,- tersebut, rumah sakit akan memotong pungutan rumah sakit (bagian rumah sakit) sebesar 15% s/d 20%, tergantung persetujuan antara dokter dengan rumah sakit tersebut. PPh Pasal 21 atas honorarium dokter yang harus dipotong oleh rumah sakit adalah sebagai berikut:

15% x 40% x Rp 150.000,- = Rp. 9.000,-

Dalam hubungan ini berdasrkan kesempatan antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Pengurus Pusat Persi, jasa dokter wajib dibayarkan melalui rumah sakit.

d. Atas penghasilan berupa imbalan jasa dokter dari pasien yang diterima langsung oleh dokter yang menyewa

ruangan di rumah sakit untuk tempat prakteknya rumah sakit tidak wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21. Namun dalam hal pasien membayar jasa dokter melalui kas rumah sakit dan rumah sakit tersebut memotong pungutan rumah sakit, maka atas imbalan jasa Dokter yang dibayarkan kepada dokter tersebut berlaku ketentuan

sebagaimana tersebut pada butir 3.c.

4. Perlu ditegaskan bahwa rumah sakit dan Yayasan Pengelola Rumah sakit wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan para dokter sebagaimana tersebut pada butir 2 sesuai ketentuan sebagaimana tersebut pada butir 3. Fihak rumah sakit bertanggung jawab sepenuhnya atas pelaksanaan pemotongan tersebut.

5. Pengisian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi (Formulir 1770) dari dokter dilaksanakan sebagai berikut: a. Penghasilan bruto berupa honorarium dari rumah sakit

(dalam contoh pada butir 4c. sebesar Rp. 150.000,-) di- gabungkan atau dijumlahkan dengan penerimaan bruto dari pekerjaan bebas, yakni penerimaan bruto dari praktek dirumah atau ditempat praktek lainnya.

b. Apabila hasil penjumlahan sebagaimana tersebut pada butir 5.a, yakni jumlah seluruh penerimaan bruto dari pekerjaan bebas, berjumlah kurang dari Rp. 120.000,- se- tahun, maka dokter tersebut berhak dan boleh memilih menggunakan Norma Penghitungan penghasilan netto. Besarnya Norma Penghitungan penghasilan netto untuk dokter adalah 40% penghasilan bruto. Untuk maksud ini dokter tersebut diwajibkan memberitahukan kepada KIP selambat-lambatnya pada akhir bulan Maret dari tahun pajak yang bersangkutan.

c. Apabila hasil penjumlahan sebagaimana tersebut pada butir 5.a, yakni jumlah seluruh penerimaan bruto dari pekerjaan bebas telah mencapai jumlah Rp. 120.000.000,- atau lebih setahun, maka dokter tersebut tidak diperkenan- kan untuk menggunakan Norma. Berdasarkan ketentuan Pasal 13 UU No. 7 Tahun 1983, ia diwajibkan me- nyelenggarakan pembukuan, penghitungan penghasilannya didasarkan pada keadaan yang sebenarnya sesuai dengan pembukuan yang diselenggarakannya.

d. Dalam hal dokter tersebut belum memiliki NPWP, maka kepadanya supaya segera diberikan NPWP agar ia segera mengisi SPT Tahunan.

6. Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini maka dengan ini kami nyatakan bahwa Surat Edaran terdahulu yang mengatur mengenai hal yang sama yang tidak sesuai dengan Surat Edaran ini dinyatakan tidak berlaku lagi. Ketentuan pe- motongan PPh Pasal 21 atas honorarium dokter yang praktek di rumah sakit ini berlaku sejak tanggal dikeluarkannya Surat

Edaran ini.

Demikian, untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Tembusan : Kepada Yth. DIREKTUR JENDERAL PAJAK 1. Bapak Menteri Muda Keuangan RI 3. Sdr. Ketua Umum IDI.

(sebagai laporan) 4. Sdr. Ketua Umum PERSI. Drs. MAR'IE MUHAMMAD 2. Sdr. Sekretaris DJP/Para Direktur/ 5. Arsip. NIP. 060031307

Bintek/Staf Ahli DJP

NOMOR : SE .03/PJ .431/1990 Jakarta, 9 Pebruari 1990 SIFAT

LAMPIRAN : Kepada Yth.: PERIHAL : Pemotongan PPh Pasal 21 dan 1. Sdr. Para Kepala Kantor

Pasal 26 atas Honorarium Dokter dan Dosen Perguruan Tinggi Swasta.

2.

Pelayanan Pajak Sdr. Para Kepala Unit Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak

di

Seluruh Indonesia Berdasarkan data yang dilaporkan oleh beberapa Kantor Pelayanan Pajak, ternyata bahwa belum semua Bendaharawan Rumah Sakit yang membayar honorarium kepada para dokter dan Bendaharawan Perguruan Tinggi Swasta yang membayar hono- rarium kepada para dosen/pengajar/penceramah memotong dan menyetor PPh Pasal 21 dan 26 sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ini kami tegaskan kembali bahwa pemotongan PPh. Pasal 21 dan Pasal 26 atas pem- bayaran honorarium kepada dokter dan dosen/pengajar/penceramah adalah dilakukan sebagai berikut:

1. Pembayaran honorarium dokter yang praktek di Rumah Sakit dipotong PPh Pasal 21 sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-19/ PJ.23/1989 tanggal 3 April 1989.

2. Pembayaran honorarium kepada dokter dan dosen/pengajar/ penceramah sebagai pegawai tetap atau tenaga lepas (dalam arti bekerja lebih 26 hari atau honorarium dibayar secara bulanan) dipotong PPh. Pasal 21 menurut tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 dari Penghasilan Kena Pajak, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Buku Petunjuk Pemotongan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 tahun• 1988 dan selanjutnya. 3. Pembayaran honorarium dokter sebagai tenaga ahli dimaksud

dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e ke 1 Buku Petunjuk Pemotongan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 tahun 1988 dan selanjutnya, di- potong PPh Pasal 21 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan netto (40% dari penghasilan bruto) atau penghasilan netto (dalam hal honorarium diterima bersih) sesuai dengan ke- tentuan Pasal 11 ayat (3) Buku Petunjuk Pemotongan tersebut. 4. Pembayaran honorarium oleh Yayasan Perguruan Tinggi Swasta kepada Dosen selaku pengajar, penceramah dan sebagainya yang bukan merupakan pegawai tetap dari Yayasan Perguruan Tinggi Swasta yang bersangkutan wajib dipotong PPh Pasal 21 menurut tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 dari penghasilan bruto, sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (4) Buku Petunjuk Pemotongan PPh Pasal 21 danPasal 26

tahun 1988 dan selanjutnya.

5. Apabila dokter dan dosen/pengajar/penceramah yang menerima honorarium tersebut di atas merupakan Wajib Pajak Per- seorangan Luar Negeri maka dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 20% dari penghasilan bruto sesuai dengan ketentuan Pasal 14

Buku Petunjuk pemotongan PPh Pasal 21 dan PasaI 26 tahun 1988 dan selanjutnya, atau dalam hal ada tax-treaty maka sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Demikian untuk diketahui dan kepada Saudara diminta untuk melakukan pengawasan agar pemotongan PPh Pasal 212 dan Pasal 26 atas pembayaran honorarium dokter oleh Rumah Sakit dan pembayaran honorarium dosen/pengajar/penceramah oleh Perguruan Tinggi Swasta dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku tersebut di atas.

Tembusan kepada Yth. DIREKTUR JENDERAL PAJAK 1. Bapak Direktur Jenderal Pajak DITREKTUR PAJAK PENGHASILAN

(sebagai laporan)

2. Sdr. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;

3. Para Direktur/Kepala Pusat Direktorat Jenderal Pajak;

4. Para Kanwil DJP di seluruh Indonesia; Drs. WAHONO 5. Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen Keuangan. NIP. 060008997