Pengantar
Alternative Disputes Resolution (ADR)2 di Indonesia berkembang seiring dengan meningkatnya aktivitas pembangunan yang berbasis Industri [pabrikan]. Kegiatan industri tidak dapat menghindarkan diri dari berbagai konflik yang muncul sebagai dampak dari aktivitas industri itu sendiri. Konflik-konflik yang seringkali melibatkan masyarakat sebagai korban aktivitas industri, sulit untuk diselesaikan karena tidak menggunakan cara yang tepat, memuaskan para pihak dan final. Secara konvensional, proses penyelesaian perkara adalah dengan mengajukannya ke pengadilan untuk mendapatkan putusan dari hakim pemeriksa perkara. Namun, waktu yang terlalu lama, prosedur dan pembuktian yang berbelit-belit, biaya mahal dan tidak memuaskan, menjadi alasan untuk menghindari proses penyelesaian perkara.
Di Canada dan Amerika [sebagai tempat berkembangnya ADR] proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan menjadi pilihan utama para pelaku bisnis dan perusahaan. Pilihan ini didasarkan pada prosedur 2. Abdurrasyid menyebutnya Mekanisme Penyelesaian Sengketa Secara Kooperatif (MPSSK) sebagai
padanan istilah ADR. Lihat lebih lanjut dalam “Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Suatu Pengantar”, Jakarta, PT.Fikahati Aneska – BANI, 2002.
penyelesaian yang sederhana, terjaganya kepentingan dan image perusahaan serta putusan yang dibuat lebih memuaskan kedua belah pihak.
Di Indonesia, secara historis ADR bisa dikaitkan dengan akar budaya musyawarah untuk mencapai mufakat. Budaya musyawarah untuk mufakat ini memiliki tempat berkembang yang subur dalam kehidupan masyarakat yang komunal. Oleh karena itu, seharusnya ADR bisa lebih diterima sebagai mekanisme penyelesai sengketa baik oleh masyarakat/ komunitas maupun pihak-pihak lainnya.
Dalam sistem hukum positif Indonesia, ADR diatur dalam berbagai peraturan perundangan, baik yang bersifat materil (norma-norma abstrak) maupun formil (tata cara pelaksanaan hukum materil). Aturan mediasi yang terkait dengan penyelesaian sengketa Sumber Daya Alam (SDA) terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain:
a. Yang bersifat materil:
• Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa No.30/1999 khususnya Pasal 6 ayat (1).
• Undang-Undang kekuasaan Kehakiman No.4/2004 khususnya Pasal 16 ayat 2 dan penjelasan dari Pasal 3 Ayat (1).
• PP tentang Lembaga penyedia Jasa Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan No.54/2000
• Berbagai UU yang mengatur SDA, seperti UU Kehutanan, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan lain-lain.
b. Yang bersifat formil:
• Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa No.30/1999 khususnya Pasal 6 ayat (2) s.d ayat (9). • Peraturan MA Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Perma
02/2003 direvisi Perma 1/2008).
Di Indonesia, berkembangnya model penyelesaian sengketa di luar pengadilan didasarkan pada beberapa alasan: (Santosa, 1999:2)
a.untuk mengurangi tumpukan kasus di pengadilan.
b.untuk meningkatkan keterlibatan otonomi masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa.
c.untuk memperlancar serta memperluas aspek kekeadilan.
Bagir Manan, mantan Ketua Mahkamah Agung, bahkan menyatakan bahwa penyelesaian secara damai suatu perkara tidak hanya terbatas pada perkara perdata saja tetapi juga perkara pidana. Praktek perdamaian antara pelaku dan korban, diakui juga dalam KUHPidana. Tidak jarang polisi berperan mendamaikan dan berdasarkan perdamaian itu kepolisian akan menghentikan penyidikan. Dan kalaupun dilanjutkan, secara hukum akan menjadi salah satu pertimbangan yang meringankan. Bagir Manan melanjutkan bahwa inilah salah satu kelaziman kehidupan masyarakat Indonesia dari masa ke masa dalam menyelesaikan berbagai perselisihan dengan cara memulihkan persaudaraan, memadukan berbagai luka seolah-olah tidak terjadi perselisihan diantara mereka. Dalam bahasa hukum modern sekarang disebut “win-win solution”3 .
Meskipun ADR sudah berkembang di Indonesia sejak awal tahun 1990-an dengan diprosesnya beberapa kasus sengketa lingkungan melalui mediasi, seperti kasus pencemaran kali tapak di Semarang (1991), Sungai Siak – Riau (1992) dan Kali Sambong di Kabupaten Batang (1993)4, dan mulai dilembagakannya ADR pada akhir tahun 90-an, namun sampai saat ini, masih banyak pihak yang berkeinginan untuk menyelesaian kasus melalui ADR tidak atau belum menguasai teknik-teknik menuangkan kesepakatan mediasi (janji-janji) para pihak ke dalam bentuk kontrak yang tertulis. Hal ini bisa disebabkan karena minimnya pengalaman, maupun pengetahuan akan materi hukum khususnya terkait perjanjian yang banyak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan HIR/RBg (Hukum Acara Perdata). Mengapa demikian? Karena ADR tidak memiliki rumusan baku cara menuangkan kesepakatan mediasi.
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
Di Indonesia dikenal padanan istilah untuk ADR yaitu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. (baca lebih lanjut UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).
Sementara itu, bentuk-bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang lazim dalam praktek antara lain:
a. Konsiliasi, adalah usaha yang dilakukan pihak ketiga yang bersifat netral, untuk berkomunikasi dengan kelompok-kelompok 3. Bagir Manan, “Sambutan Ketua Mahkamah Agung RI”, dalam Abdurrasyid, “Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Suatu Pengantar”, Jakarta, PT. Fikahati Anesta – BANI, 2002
yang bersengketa secara terpisah, dengan tujuan mengurangi ketegangan dan mengusahakan ke arah tercapainya persetujuan untuk berlangsungnya proses penyelesaian sengketa.
b. Fasilitasi, yaitu bantuan pihak ketiga untuk menghasilkan suatu pertemuan atau perundingan yang produktif. Terdapat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam fasilitasi suatu pertemuan, rapat atau perundingan ini. Beberapa diantaranya adalah kapan diperlukan penyelenggaraan pertemuan, bentuk pertemuan, prosedur pengambilan keputusan peran masing-masing peserta dalam pertemuan pencatatan, persiapan-persiapan yang diperlukan dan kesepakatan pengambilan keputusan.
c. Negosiasi, adalah proses yang berlangsung secara sukarela diantara pihak-pihak yang bertatap muka secara langsung untuk memperoleh kesepakatan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak mengenai suatu isu atau masalah tertentu. Negosiasi merupakan salah satu pendekatan yang sering digunakan untuk menyelesaikan persengketaan yang timbul. Negosiasi mensyaratkan adanya para pihak yang mampu untuk mengidentifikasi masalah atau isu yang menjadikan mereka berbeda, saling memahami perbedaan kepentingan dan kebutuhan mereka, mencoba untuk menemukan berbagai pilihan kemungkinan penyelesaian konflik atau sengketa dan saling menawarkan mengenai syarat dan kondisi untuk dapat dicapai persetujuan final.
d. Mediasi, adalah bantuan dari pihak ketiga dalam suatu proses negosiasi, namun pihak ketiga (mediator) tersebut tidak ikut serta mengambil keputusan. Beberapa hal yang terdapat dalam mediasi antara lain adanya proses negosiasi dalam dengan dibantu oleh mediator agar terpenuhinya prosedur negosiasi yang efektif, adanya intervensi dari pihak ketiga yang menjadi mediator. Mediasi yang dilakukan oleh mediator mengandung berbagai kemungkinan yaitu : (1) mediasi diantara para pihak yang setara, sejajar, seimbang (mediator tidak memiliki kekuasaan dan wewenang otoritatif untuk mengambil keputusan); (2) mediasi di antara para pihak yang bersifat vertikal, yang satu lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan yang lainnya (mediator disini juga tidak memiliki kekuasaan atau wewenang otoritatif untuk mengambil keputusan); (3) mediator lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan para pihak yang bersengketa (mediator disini dituntut untuk mengendalikan diri agar tidak menggunakan kekuasaan atau wewenang untuk mengambil keputusan).
f. Koordinasi, adalah upaya yang dilakukan oleh pihak yang memiliki otoritas tertentu untuk menyelesaikan masalah-masalah yang melibatkan banyak pihak agar terhindar dari penanganan yang tumpang tindih5 .
Konflik Sumber Daya Alam (SDA)
Perlu diketahui bahwa konflik SDA memiliki keunikan tersendiri dalam hal objeknya, subjeknya, dan akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya konflik. Pemahaman mengenai konflik SDA menjadi penting karena akan memiliki kaitan dengan siapa saja yang seharusnya terlibat dalam mediasi, apa objek yang disengketakan dan akhirnya akan mempengaruhi bentuk kontrak yang akan disusun.
Untuk memudahkan pemahaman mengenai konflik SDA, pointer di bawah ini akan memudahkan anda untuk memahami, yaitu antara lain:
• Konflik SDA adalah pertentangan dua pihak atau lebih yang memiliki kepentingan yang sama atas suatu sumber daya alam. Pihak-pihak yang berkepentingan sama-sama berkeinginan untuk menguasai dan mengelola SDA yang sama, tetapi berbeda dalam wujud penguasaan maupun pengelolaannya. Sebagai contoh, masyarakat di satu sisi ingin suatu wilayah sumber daya alam menjadi hutan adat sebagai sarana perlindungan alam dan sumber mata pencaharian, disisi lain Perusahaan dan tak jarang Pemerintah ingin agar wilayah tersebut menjadi areal pengusahaan (pembudidayaan) seperti perkebunan skala besar atau usaha kehutanan.
• Konflik SDA selalu berakar pada adanya izin pengelolaan SDA yang diberikan Pemerintah kepada Pengusaha, yang oleh masyarakat (lokal/adat) dianggap bermasalah. Keberadaan izin yang bermasalah tersebut merupakan objek paling konkret dari konflik SDA. Suatu izin dianggap bermasalah biasanya terdapat unsur penetapan sepihak, informasi yang tidak benar (penipuan/kebohongan), ingkar janji, intimidasi, dan lain-lain.
• karena dalam konflik SDA ada faktor izin yang bermasalah maka subjeknya tidak hanya masyarakat (adat/lokal) dan pengusaha penerima izin, tetapi juga pemerintah sebagai pemberi izin.
• Mengapa pemerintah harus terlibat sebagai pihak, karena tidak jarang sengketa SDA bermula dari pemberian izin yang tidak sesuai aturan perundang-undangan dan merugikan masyarakat, oleh karena itu pemerintah harus ikut bertanggung jawab. Selain itu, adanya pemerintah sebagai pihak dalam penyelesaian sengketa adalah untuk memastikan kesepakatan (janji-janji) bisa dieksekusi. Dalam hal misalnya terjadi kesepakatan pengurangan luas areal 5. Hadimulyo. 1997. Mempertimbangkan ADR (Kajian Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar
usaha perkebunan, maka pemerintah (institusi terkait) bisa dengan cepat mengubah isi dari perizinan dimaksud.
Asas-Asas Hukum Kontrak
Sebelum masuk ke dalam pembahasan mengenai asas-asas hukum kontrak, perlu dijelaskan lebih dulu apa pengertian dari persetujuan/ kesepakatan (agreement), perjanjian dan kontrak.
Kusumohamidjoyo, dalam bukunya Panduan untuk Merancang Kontrak (2001:5-6) memberikan penjelasan perbedaan di antara ketiga istilah tersebut. Persetujuan (agreement) adalah suatu perjumpaan nalar yang lebih merupakan perjumpaan pendapat atau ketetapan maksud. Sementara Perjanjian adalah perjumpaan dari dua atau lebih nalar tentang suatu hal yang telah dilakukan atau yang akan dilakukan. Dan, Kontrak adalah suatu perjanjian tertulis diantara dua atau lebih orang (pihak) yang menciptakan hak dan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal khusus. Dengan demikian, suatu kontrak memiliki unsur-unsur yaitu pihak-pihak yang kompeten, pokok yang disetujui, pertimbangan hukum, perjanjian timbal balik, serta hak dan kewajiban timbal balik. Dan, ciri utama dari kontrak adalah bahwa ia merupakan dokumen tertulis.
Dalam ilmu hukum kontrak dikenal asas-asas dari kontrak. Asas-asas ini merupakan konsep umum dan abstrak yang melahirkan ikatan perjanjian yang konkret. Jika asas-asas dalam berkontrak diabaikan, akan berisiko batalnya perjanjian yang dibuat. Asas-asas dalam berkontrak antara lain :6
1) Asas Hukum kontrak bersifat hukum mengatur, artinya bahwa hukum tersebut baru berlaku sepanjang para pihak tidak mengaturnya lain.
2) Asas Kebebasan berkontrak, artinya para pihak bebas membuat kontrak dan mengatur sendiri isi kontrak tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan:
a. Memenuhi syarat sebagai suatu kontrak b. Tidak dilarang oleh UU
c. Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku d. Dilaksanakan dengan itikad baik.
3) Asas Pacta Sunt Servanda, artinya janji itu mengikat, di mana kontrak yang dibuat secara sah mempunyai kekuatan hukum yang penuh. KUH Perdata menganut asas ini dengan melukiskan bahwa suatu kontrak berlaku seperti undang-undang bagi para pihak. (Pasal
4) Asas konsensual, adalah bahwa suatu kontrak sudah sah dan mengikat ketika tercapai suatu kata sepakat, tentunya selama syarat sahnya kontrak lainnya sudah dipenuhi.
5) Asas obligator, adalah bahwa setelah sahnya suatu kontrak maka kontrak tersebut mengikat tetapi baru sebatas menimbulkan hak dan kewajiban para pihak.
Asas-asas ini perlu diperhatikan mengingat tidak jarang kontrak yang telah dibuat justru melanggar asas-asas berkontrak. Pemaksaan satu pihak untuk terlibat dalam suatu kontrak dapat membatalkan keabsahan kontrak.
Anatomi Kontrak
Pada prinsipnya penuangan kesepakatan mediasi dapat mengikuti bentuk atau struktur kontrak pada umumnya. Menurut Salim HS (2006), anatomi kontrak terdiri dari 3 bagian yaitu:
1) Pendahuluan Terdiri dari:
a) pembuka yaitu membuat 3 hal pokok yaitu sebutan nama kontrak, tanggal dari kontrak dan tempat dibuat dan ditandatanganinya kontrak.
b) indentitas para pihak, dimana setiap pihak disebutkan secara jelas, apa kapasitasnya, dan pendefinisian pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.
c) mengapa para pihak mengadakan kontrak. 2) Isi kontrak
Terdiri dari:
a) klausula definisi, yang biasanya adalah pencantuman definisi yang diperlukan khusus untuk kontrak.
b) klausula transaksi, berupa kesepakatan apa yang akan ditransaksikan oleh para pihak.
c) klausula spesifik, mengatur hal yang spesifik dari suatu transaksi, dan
d) klausula ketentuan umum berisi domisili hukum, pilihan hukum, pemberitahuan dan keseluruhan isi kontrak.
3) Penutup Terdiri dari:
a) kata penutup yang umumnya menerangkan bahwa kontrak tersebut dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang memiliki kapasitas untuk itu dan terikat dengan isi kontrak. b) ruang untuk tanda tangan.
Menyusun Isi Kontrak
Dalam menyusun sebuah kontrak mediasi, sangat dianjurkan kepada para pihak untuk memiliki sikap win-win attitude, yaitu suatu sikap yang dilandasi oleh itikad bahwa kontrak itu sedapat mungkin akan menguntungkan para pihak secara timbal balik. Sikap right of wrong my client seperti yang sering dipraktekkan oleh para pengacara yang beracara di pengadilan adalah kurang tetap diterapkan dalam penyusunan kontrak. Sebabnya, melalui sebuah kontrak setiap pihak biasanya hendak mengadakan kerja sama untuk menyelesaikan suatu perselisihan secara damai, dan bukannya mempertajam perbedaan-perbedaan atau memenangkan suatu sengketa. Itulah sebabnya mengapa pangkal tolak dari setiap kontrak adalah itikad baik, sekalipun dalam penyusunan sebuah kontrak boleh saja melibatkan apa yang sering disebut sebagai taktik dan strategi. (Kusumohamidjojo, 2001:3).
Kemampuan merancang sebuah kontrak dalam filsafat Yunani disebut sebagai urusan praxeis, yang mengibaratkan bahwa kemahiran dalam menyusun kontrak dianalogikan dengan kemahiran seorang penerbang. Baik tidaknya kemampuan seseorang menyusun kontrak akan sangat tergantung dari “jam terbang”. Semakin banyak jam terbang, semakin terasah kemampuannya menyusun sebuah kontrak.
Sebelum menyusun sebuah kontrak, anda harus memahami dan mengetahui dulu dengan jelas mengenai hal-hal berikut ini:
- latar belakang terjadinya kontrak mediasi dan kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan
- para pihak yang terlibat, kapasitas dan kecakapan masing-masing pihak
- objek dari kesepakatan-kesepakatan (pokok yang diperjanjikan) yang akan dituangkan dalam kontrak
- hak dan kewajiban dari masing-masing pihak - tatacara pelaksanaan kesepakatan.
Lihat contoh draft kontrak mediasi dalam penyelesaian sengketa SDA di bawah ini.
Judul kontrak PERJANJIAN
PENYELESAIAN SENGKETA PEMILIKAN DAN PENGELOLAAN AREAL …(A)… DI … (nama wilayah) ANTARA MASYARAKAT … DENGAN PERUSAHAAN … DAN KANTOR PERTANAHAN /
Judul kontrak Perjanjian Penyelesaian Sengketa ini dibuat dan ditandatangani
di (nama kota) pada (tanggal+bulan+tahun), oleh dan di
antara: 1)… 2)…
Dengan formula pembuka demikian, biasanya ditutup dengan rumusan penutup:
Judul kontrak Demikian, Perjanjian Sengketa ini dibuat dan ditandatangani
di tempat dan pada tanggal tersebut di muka oleh (wakil-wakil dengan kuasa yang sah dari) para pihak:
Pihak I Pihak II
Nama: Nama: Jabatan: Jabatan:
Atau, jika bersifat sirkular (ditandatangani di tempat dan waktu yang berbeda), maka dibuat rumusan sebagai berikut:
Perjanjian Penyelesaian Sengketa ini dibuat dan ditandatangani oleh dan di antara:
1) … 2) ....
Kemudian pada bagian penutup dirumuskan sebagai berikut:
Demikian, Perjanjian Penyelesaian Sengketa ini dibuat dan ditandatangani oleh para pihak di tempat dan pada tanggal sebagai berikut:
Pihak Pertama Pihak Kedua
Nama: Nama: Jabatan: Jabatan: Tempat: (nama kota) Tempat: Tanggal: (tanggal+bulan+tahun) Tanggal: (tanggal+bulan+tahun)
Komparisi
(identitas untuk pihak dari Perusahaan berbentuk PT)
Tuan (Nama Lengkap), (pekerjaan), dalam hal ini bertindak selaku Direktur dari, dan karena itu untuk dan atas nama PT. (nama PT), sebuah perusahaan perseroan terbatas yang Anggaran Dasarnya terakhir kali dimuat dalam Berita Negara (nomor) dan (tahun), dan berdomisili di (Jalan, Nomor Angka, Nama Kota, Kode Pos) dengan Kartu Tanda Penduduk (nomor lengkap) dan untuk maksud ini telah mendapat persetujuan dari Dewan Komisaris (atau RUPS, tergantung bagaimana anggaran dasar PT tersebut mengatur), selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama.
(identitas untuk pihak dari Pemerintah, jika dikehendaki)
Tuan (Nama Lengkap), (pekerjaan), dalam hal ini bertindak selaku wakil dari, dan karena itu untuk dan atas nama Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten (nama Kabupaten) (atau bisa juga Badan Pertanahan Nasional jika hal izin HGU menjadi wewenang Pemerintah Pusat), dengan surat tugas yang ditandatangani di (nama tempat) pada tanggal (tanggal+bulan+tahun) dengan Kartu Tanda Penduduk (nomor lengkap), selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama.
(identitas untuk pihak dari Masyarakat)
Tuan (Nama Lengkap), (pekerjaan), dalam hal ini bertindak selaku wakil dari, dan karena itu untuk dan atas nama kelompok masyarakat (nama organisasi) dengan surat kuasa khusus yang ditandatangani di (nama tempat) pada tanggal (tanggal+bulan+tahun) dengan Kartu Tanda Penduduk (nomor lengkap), selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua.
Kapasitas para pihak
A. Bahwa Pihak Pertama PT. (nama PT) adalah pemegang HGU No. (sebutkan dengan jelas disertai SK pemberian HGU, tanggal+bulan+tahun) seluas (Ha) yang terletak di (nama wilayah, batas-batasnya) yang diperuntukkan untuk pembudidayaan tanaman (nama tanaman) … (tambahkan informasi memang diperlukan)
B. Bahwa Pihak Pertama Kantor Kepala Pertanahan Kabupaten (nama) / Badan Pertanahan Nasional adalah instansi yang diberi kewenangan untuk menerbitkan HGU dan oleh karena berwenang pula untuk mencabutnya dan atas mengubah sebagian isi dari HGU atas dasar hukum yang berlaku.
C. Bahwa Pihak Kedua Masyarakat (mana Organisasi) adalah pemegang hak ulayat seluas (Ha) atas dasar hukum kebiasaan/adat setempat yang telah turun temurun dijalankan oleh masyarakat … (nama masyarakat).
Maka, karena itu, berdasarkan kesepakatan dan prinsip-prinsip tersebut, para Pihak dengan ini setuju untuk membuat kontrak Penyelesaikan Sengketa Pemilikan dan Penguasaan Areal … antara Masyarakat … dan PT … Kantor Peratanahan Kabupaten … / Badan Pertanahan Nasional … dengan tunduk pada ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat berikut ini (selanjutnya disebut Kontrak)
Definisi
Pasal 1 – DEFINSI
1.1. Dalam Kontrak ini, istilah-istilah berikut akan mempunyai arti sebagai berikut, kecuali jika ditentukan lain:
Hak Guna Usaha: Tanah Ulayat: Aturan Adat:
Peraturan Perundangan : Dll …..
1.2. Judul-judul pasal digunakan untuk kenyamanan semata dan tidak boleh digunakan untuk menafsirkan Kontrak ini.
Pokok kontrak
Pasal 2 – POKOK KONTRAK
Dengan ini Pihak Pertama mengikatkan diri untuk … (menyerahkan sebagian areal yang telah dibebani HGU dengan luas … kepada Masyarakat … (nama masyarakat), dan Pihak Kedua mengikatkan diri untuk menerima sebagian areal yang diserahkan, dengan cara sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Pernyataan dan Jaminan
Pasal 4 – PERNYATAAN DAN JAMINAN
4.1. Para Pihak dengan kapasitas masing-masing memiliki hak dan kewenangan untuk mengikatkan diri pada perjanjian ini.
4.2. Jika suatu ketika diminta menjalankan seluruh isi Kontrak maka para pihak akan menjalankan isi perjanjian secara sukarela.
Hak dan Kewajiban Timbal Balik
Pasal 3 – HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK
(bagian ini diisi sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan yang disetujui dalam proses mediasi. Oleh karena itu penting untuk merujuk kepada seluruh berita acara mediasi)
Keadaan Kahar
Pasal 5 – KEADAAN KAHAR (FORCE MAJEURE)
Jika sebagai akibat dari keadaan kahar, halangan dan keterlambatan yang dialami oleh suatu Pihak untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dari Perjanjian ini berlangsung selama 6 (enam) bulan atau lebih, Perjanjian ini dapat diakhiri dengan suatu perjanjian diantara para Pihak.
Cedera Janji
Pasal 6 – CEDERA JANJI
Dalam hal cedera janji dilakukan oleh salah satu Pihak, maka Pihak yang melakukan cedera janji siap dihadapkan ke pihak berwenang atas suatu tindak kebohongan, kerugian yang diakibatkan oleh cedera janji akan ditanggung oleh Pihak yang melakukan cedera janji.
Perselisihan
Pasal 7 – PERSELISIHAN
Semua sengketa yang timbul sehubungan dengan Kontrak ini pada akhirnya harus diselesaikan berdasarkan Kaidah untuk penyelesaian melalui Pengadilan Negeri … (sesuai objek sengketa) dengan kesediaan para pihak untuk mempertimbangkan aturan – aturan adat / kebiasaan sebagai salah satu pertimbangan hukum dalam memutus perselisihan di pengadilan.
Hukum yang
Pasal 8 - HUKUM YANG BERLAKU
Kontrak ini tunduk pada dan harus ditafsirkan berdasarkan hukum Republik Indonesia dengan mempertimbangkan
Amandemen
Pasal 9 – AMANDEMEN
Kontrak ini dapat diubah dari waktu ke waktu hanya dengan persetujuan tertulis dari para Pihak
Keseluruhan Kontrak
Pasal 10 – KESELURUHAN KONTRAK
Perjanjian ini menetapkan keseluruhan perjanjian dan kesepakatan di antara para Pihak dan mengatasi segala perjanjian atau kesepakatan sebelumnya di antara para Pihak yang berkenaan dengan pokok Perjanjian ini.
Penutup
Demikian, Perjanjian Sengketa ini dibuat dan ditandatangani di tempat dan pada tanggal tersebut di muka oleh (wakil-wakil dengan kuasa yang sah dari) para pihak:
Pihak I Pihak II
Nama: Nama: Jabatan: Jabatan:
Pendaftaran Kesepakatan Mediasi Ke Pengadilan
Menurut Undang-Undang No.30/1999 acara alternatif penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara:
• Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
• Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
• Dalam hal sengketa atau beda pendapat tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.
• Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah