Panduan Pelatihan Mediasi
Konflik Sumber Daya Alam
PANDUAN PELATIHAN
Mediasi Konflik Sumber Daya alam
ISBN : 978-602-98542-2-0 © 2012 SCALE UP
Pekanbaru – Riau – INDONESIA
Tel. : +62-761-4883131
Tel/Fax. : +62-761-39954
E-Mail : [email protected] Website : www.scaleup.or.id IMN (Impartial Mediator Network)
www.imenetwork.org
Penyusun : Asep Yunan Firdaus Gamal Pasya Ahmad Zazali Jomi Suhendri Desain Sampul : Mu’ammar Hamidy
Diterbitkan oleh : Scale Up dan IMN (Impartial Mediator Network) Didukung oleh : Komnas HAM RI dan Ford Foundation
Cetakan Pertama, Oktober 2012 (Isi di luar tanggung jawab percetakan) HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
PENDAHULUAN
BAGIAN KESATU: ORIENTASI PELATIHAN
Sesi-1 Perkenalan
Sesi-2 Kontrak Belajar
BAGIAN KEDUA: WAWASAN
Sesi-3 Cara Pandang Mengenai Konflik SDA
Sesi-4 ADR dan Mediasi
Sesi-5 Analisis Gaya Bersengketa (AGATA)
BAGIAN KETIGA: PENGUASAAN TEKNIK MEDIATOR
Sesi-6 Pengertian dan Tahapan Mediasi
Sesi-7 Praktek Mediasi
Sesi-8 Simulasi Mediasi
Sesi-9 Merancang Kontrak
... iv
... 1
... 9
... 10
... 14
... 19
... 20
... 32
... 40
...
51
... 52
... 61
... 70
... 78
iv
KATA PENGANTAR
Konflik Sumber Daya Alam atau agraria di Indonesia memperlihatkan trend peningkatan yang masif dalam beberapa tahun belakangan ini. Korsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat Sepanjang tahun 2011 terdapat 163 konflik agraria di seluruh Indonesia. Terjadi peningkatan drastis jika dibandingkan dengan tahun 2010 sebanyak 106 konflik. Dari sisi korban, terdapat 22 warga yang meninggal dunia akibat kekerasan. Konflik tersebut terjadi di berbagai sektor yaitu 97 kasus terjadi di sektor perkebunan (60%); 36 kasus di sektor kehutanan (22%); 21 kasus terkait infrastruktur (13%); 8 kasus di sektor tambang (4%); dan 1 kasus terjadi di wilayah tambak/pesisir (1%).
Pada tahun yang sama Scale Up juga mencatat trend konflik tenurial kehutanan di 4 provinsi di Sumatera menunjukkan eskalasi dan intensitas tinggi, di Provinsi Riau (230.492 hektar), diikuti Sumatera Selatan (192.500 hektar), Jambi (176.335 hektar) dan Sumatera Barat (125.924 hektar). Lebih detail Konflik di Riau dalam 4 tahun terakhir terjadi konflik sangat tinggi. Tahun 2007, terjadi 35 kasus konflik sumber daya alam. Tahun 2008, terjadi 96 kasus konflik sumber daya alam. Tahun 2009, terjadi 45 kasus konflik sumber daya alam. Tahun 2010, terjadi 44 kasus konflik sumber daya alam. Untuk kasus Sumatera Barat, selama tahun 1997-2010 teridentifikasi 24 peristiwa konflik sumber daya alam yang melibatkan masyarakat, perusahaan, dan pemerintah. Untuk kasus Jambi, pada sektor perkebunan hingga tahun 2010 mencapai 46 konflik perebutan lahan, 31 konflik kemitraan antara masyarakat dengan perusahaan, dan konflik kehutanan mencapai 30 peristiwa konflik. Konflik tersebut berlangsung antara masyarakat dengan perusahaan HTI maupun konflik langsung antara masyarakat dengan pemerintah. Eskalasi konflik SDA juga terlihat dari luasnya para pihak yang terlibat dalam konflik, yaitu melibatkan masyarakat, perusahaan, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat.
Akar masalah yang menyebabkan lahirnya konflik sumberdaya alam pada 4 propinsi sebagai lokasi penelitian meliputi: (1) Tumpang-tindih kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam. (2) Kegagalan pengaturan tata-ruang untuk memberikan ruang kelola yang adil. (3) Ekspansi penguasaan lahan kawasan hutan untuk pengembangan tanaman industri kehutanan dan perkebunan. (4) Tidak efektifnya program pembangunan ekonomi berbasis masyarakat.
Berbagai sumber atau akar masalah di atas telah melahirkan kekacauan, distorsi, dan buruknya pengelolaan sumber daya yang terlihat dalam bentuk: (1) Tumpang-tindih hak-hak penguasaan sumber daya lahan (antara masyarakat dan perusahaan). (2) Pengabaian hak-hak masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam oleh perusahaan. (3) Perebutan sumber daya lahan antarmasyarakat. (4) Tidak terpenuhi tuntutan kompensasi pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat. (5). Perebutan lahan pasca-HGU perkebunan. (6) Terbatasnya lahan garapan masyarakat. Faktor-faktor tersebut telah menggerakkan dan menjadi alasan yang mendasari terjadinya berbagai konflik/sengketa antarmasyarakat, masyarakat dengan perusahaan, dan masyarakat dengan pemerintah.
Inisiatif-inisiatif penyelesaian konflik sumber daya alam selain mekanisme pengadilan, masih belum banyak berkembang untuk menjawab masalah ini. Pengadilan sebagai tempat untuk menyelesaikan konflik, sering kali justru menyebabkan munculnya konflik baru setelah hakim membuat keputusan.
Scale Up sejak didirikan tahun 2007 telah berupaya keras mengembangkan inisiatif-inisiatif baru penyelesaian konflik melalui mekanisme di luar pengadilan atau ADR (Alternatif Dispute Resolution), khususnya melalui pendekatan Mediasi. Pilihan pendekatan mediasi dipilih karena diyakini bisa mewujudkan penyelesaian yang lebih berkeadilan dan damai serta mengembalikan atau menciptakan hubungan baru yang harmoni setelah para pihak berkonflik menemukan kesepakatan. Hubungan harmoni yang tercipta diharapkan menciptakan hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan.
Panduan atau Modul ini diharapkan bisa memberi kontribusi bagi pihak-pihak yang memiliki pandangan serupa tentang pentingnya inisiatif penyelesaian konflik sumber daya alam yang adil, damai dan harmoni. Lebih luas, Modul ini diharapkan bisa berguna bagi pengaruutamaan penyelesaian konflik sumber daya alam dengan pendekatan ADR di Indonesia.
Akhirnya perlu kami juga sampaikan ribuan terima kasih kepada pihak-pihak yang sudah berkontribusi dalam penyelesaian Modul ini. Terutama pada para mediator anggota Impartial Mediator Network (IMN),
vi
membantu fasilitasi pendanaan, serta pihak-pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu baik yang sudah berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung dalam penyempurnaan modul ini.
Pekanbaru, Oktober 2012
Ahmad Zazali Direktur Eksekutif Scale Up
UCAPAN TERIMA KASIH
Scale up dan para penyusun Modul Panduan Pelatihan Mediasi Konflik Sumber Daya Alam, mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada setiap pihak yang telah mengkontribusikan pendapat, saran dan kritiknya terhadap modul panduan ini. Meskipun tidak dapat menyebutkan satu persatu nama-nama yang telah berkontribusi, kami Scale Up dan Tim Penyusun secara khusus berterima kasih kepada Bapak Iwan Tjitradjaja, Bapak Ridha Saleh (Komisioner Mediasi Komnas HAM RI), Bapak Prudensius Maring, Bapak Hariadi Kartodiharjo (Ketua Presidium DKN), Bapak Andiko (Komisioner Mediasi Konflik DKN/ HuMA), Bapak Martua T. Sirait (Ketua Kamar LSM DKN), Ibu Sandra Moniaga, anggota Impartial Mediator Network (IMN) antara lain Mangara, Aidil, Nora, Romesh, Suryadi, Hotman, M. Nauli, Masrun, Harry Oktavian.
Kontribusi seluruh pihak terhadap laporan ini merupakan sumbangan yang tidak ternilai. Semoga kerja sosial untuk mendorong penyelesaian konflik sumber daya alam melalui penyusunan modul panduan ini menjadi sumbangan positif bagi upaya penyelesain konflik sumber daya alam yang lebih berkeadilan dan berwawasan lingkungan.
PENDAHULUAN
Modul yang ada di tangan anda adalah panduan pelatihan bagi calon mediator konflik sumber daya alam. Modul panduan mediasi penyelesaian konflik sumber daya alam ini hadir di tengah minimnya bahan serupa yang pada saat ini justru sangat dibutuhkan oleh para pihak yang sedang terlibat atau memfasilitasi proses penyelesaian konflik sumber daya alam di luar pengadilan. Pilihan penyelesaian konflik sumber daya alam di luar pengadilan telah menjadi alternatif forum penyelesaian konflik yang banyak dipilih oleh para pihak yang berkonflik. Antusiasme terhadap mekanisme penyelesaian konflik sumber daya alam di luar pengadilan selayaknya diberikan dukungan agar terus berkembang.
Modul panduan ini hadir untuk mendukung pengembangan penyelesaian konflik sumber daya alam agar menjadi sarana yang efektif dan terhindar dari kemungkinan-kemungkinan jalan buntu. Dengan kata lain proses penyelesaian konflik harus menuju suatu perubahan agar tercipta struktur penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang adil. Selain itu, minimnya jumlah mediator yang memiliki pengetahuan mengenai peraturan perundangan dan praktik pengelolaan sumber daya alam juga menjadi alasan mengapa modul panduan ini diterbitkan. Dengan maksud agar calon-calon mediator yang nantinya akan berperan sebagai mediator konflik sumber daya alam memiliki sensitifitas sosial selain penguasaan materi peraturan perundang-undangan dan teknis mediasi.
Untuk itu, di dalam modul ini selain memberikan pengetahuan mengenai mekanisme penyelesaian konflik di luar pengadilan, pengetahuan hukum sumber daya alam, dan keterampilan menjadi mediator, juga akan diberikan materi cara pandang terhadap sumber daya alam dengan pendekatan Hak Asasi Manusia (human rights), Keberagaman Sistem Hukum (pluralisme hukum) dan Keadilan Sosial (sosial justice). Untuk memperkuat penguasaan materi-materi tersebut di atas, dalam modul ini akan diberikan contoh-contoh best practices dan anjuran bagaimana seorang mediator memandu proses mediasi konflik sumber daya alam.
1. Tujuan
Tujuan Umum
ditujukan untuk memberikan dan meningkatkan kemampuan calon mediator agar mampu memediasi konflik sumber daya alam secara efektif dan menyelesaikan.
Tujuan Khusus
Menciptakan dan memperbanyak jumlah mediator penyelesaian konflik sumber daya alam yang dibekali dengan wawasan (pengetahuan) dan keterampilan khususnya kemampuan memediasi penyelesaian konflik sumber daya alam.
2.Asumsi dan Risiko Asumsi-Asumsi
Apabila mediasi dipilih sebagai cara untuk menyelesaikan konflik maka ada 3 asumsi yang perlu diketahui, yaitu:
Pertama, pilihan menggunakan mediasi harus merupakan kesepakatan semua pihak yang bersengketa, bukan hanya kesepakatan beberapa pihak, apalagi hanya kemauan salah satu pihak. Dengan kata lain, mediasi tidak boleh terjadi atas pemaksaan oleh satu atau beberapa pihak.
Kedua, karena mediasi hanya bisa dimulai dan diakhiri dengan kesepakatan para pihak, maka tidak ada faktor lain yang bisa menghentikannya kecuali oleh kesepakatan para pihak. Bencana alam maupun bencana sosial juga tidak bisa dijadikan alasan oleh satu atau beberapa pihak untuk menghentikan proses mediasi secara sepihak. Jika bencana memang mengganggu jalannya proses mediasi dan menyebabkan salah satu atau beberapa pihak tidak bisa mengikuti kelanjutan proses mediasi, maka penghentiannya tetap harus atas persetujuan dari pihak lain.
Ketiga, jika akan melakukan mediasi konflik sumber daya alam, maka mediator harus punya sensitifitas sosial selain penguasaan materi peraturan perundang-undangan dan teknis mediasi. Hal ini menjadi penting jika ingin membangun proses mediasi yang berkeadilan hukum dan sosial sekaligus. Asumsi ini berdasarkan alasan konflik sumber daya alam terjadi tidak semata-mata oleh adanya penerapan peraturan perundang-undangan yang dipaksakan tetapi juga oleh adanya relasi sosial yang timpang antara perusahaan dengan masyarakat setempat.
Risiko-Risiko
Memilih mediasi sebagai cara untuk menyelesaikan konflik sumber daya alam memiliki beberapa risiko. Risiko-risiko akan muncul karena konflik sumber daya alam tidak melibatkan masalah hukum semata tetapi juga masalah sosial. Untuk itu, seorang mediator sangat perlu memahami dinamika konflik yang sedang berlangsung agar mampu menghindari risiko-risiko yang kemungkinan muncul. Risiko-risiko yang mungkin muncul antara lain:
- sebagai salah satu jenis ADR (Alternative Disputes Resolution), penggunaan mediasi berhadapan dengan sejumlah risiko. Salah satu penanggung risikonya adalah masyarakat adat/ lokal yang menjadi salah satu pihak dalam mediasi. Risiko tersebut tidak lepas dari 2 faktor, yakni: Pertama, keterbatasan-keterbatasan yang menempel dalam mediasi; dan Kedua, perbedaan, untuk tidak mengatakannya sebagai kesenjangan, antar para pihak. Mediator konflik sumber daya alam, untuk itu, harus dan perlu dibekali oleh pengetahuan/cara pandang mengenai bagaimana seharusnya sumber daya alam dikelola secara adil. Jika faktor-faktor diatas tidak diantisipasi sejak awal, maka kemungkinan terjadinya risiko-risiko dari proses mediasi akan sungguh-sungguh nyata. Proses mediasi yang berisiko, dapat melanggengkan struktur penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam tetap timpang.
- risiko pada mediasi juga bisa datang dari dipaksakannya penggunaan hukum negara sebagai rujukan kaidah untuk menuntun proses mediasi sekaligus dalam merumuskan kesepakatan. Kekawatiran ini sangat potensial terjadi dalam mediasi konflik SDA. Pihak perusahaan yang keabsahan dan logika kerjanya ditopang oleh rejim hukum positif, berhadapan dengan masyarakat adat/lokal yang mendasarkan pada norma adat/aturan lokal. Untuk itu mediator yang memiliki perspektif penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang adil ditekankan untuk memberikan penjelasan cukup kepada para pihak agar tidak alergi terhadap opsi-opsi ataupun alternative-alternatif dari masing-masing pihak, misalnya tidak alergi terhadap penggunaan hukum adat/lokal termasuk dalam membuat/merancang kesepakatan.
Tips Menghindari Risiko
Sebisa mungkin, hindarilah melakukan hal-hal yang harus dihindari untuk dilakukan. Sebaliknya, jangan lupa untuk melakukan hal-hal yang memang sangat dianjurkan untuk dilakukan. Berikut adalah beberapa contoh tips tersebut:
Hal-hal yang harus dihindari Hal-hal yang dianjurkan
Memulai proses mediasi konflik tanpa kesiapan yang cukup dari para pihak, terutama masyarakat adat/lokal
Memfasilitasi pembicaraan awal dan memastikan bahwa para pihak telah siap untuk masuk ke dalam proses mediasi
Menggunakan hukum positif semata sebagai dasar hukum menjalankan proses mediasi
Mendorong penggunaan berbagai sistem hukum sebagai pondasi membangun kesepakatan,sejauh norma yang dianutnya mengandung nilai keadilan dan kemanusiaan
Minimnya pemahaman
terha-dap konflik sumber daya alam.
Memiliki pemahaman yang cukup terhadap konflik sumber daya alam baik dari sisi akar penyebab, pihak yang paling dikorbankan, dan model penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang adil.
3. Prinsip Penggunaan
Sebagai sebuah modul panduan, buku ini hanyalah merupakan pegangan yang dapat memandu jalan dengan maksud agar pelatihan mencapai hasil-hasil maksimal. Namun, sebagai pegangan yang memandu jalan atau menuntun langkah, modul ini tidak lantas memposisikan dirinya sebagai buku pintar yang serba tahu dan serba lengkap. Lebih dari itu, modul panduan ini tidak memantangkan digunakannya metode, bahan atau langkah-langkah lain untuk melangsungkan program pelatihan, sepanjang berakhir pada tujuan seperti yang dikehendaki oleh modul panduan ini. Dengan kata lain, modul panduan ini boleh dimodifikasi atau bahkan ditukar dengan cara yang lain sepanjang tidak mengubah tujuan akhir yang ingin dicapai.
Tidak tertutup kemungkinan bahwa modul panduan ini bukanlah satu-satunya modul pelatihan calon mediator. Bila demikian halnya, maka modul panduan ini dapat disandingkan dengan modul-modul lain dengan status sebagai pendukung atau rujukan utama. Pengguna modul panduan ini dapat menyelenggarakan pelatihan dengan menggunakan sebuah modul hasil perpaduan antara modul ini dengan modul lainnya. Namun, harus juga diketahui bahwa modul panduan ini tidak selamanya bisa dipadukan dengan modul lain melainkan hanya dengan modul yang memiliki kerangka pikir, orientasi dan tujuan yang sejalan atau sama.
Pilihan untuk menggunakan modul ini dengan atau tanpa menggunakan modul sejenis sebagai pendamping harus dilakukan sesudah membaca keseluruhan isi modul panduan ini. Dengan demikian, pilihan tersebut tidak boleh diambil dengan membaca modul ini secara sepotong-sepotong.
4. Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Pelatihan
Pelatihan ini akan melibatkan sejumlah pihak, mulai dari peserta, fasilitator, dan panitia.
Peserta pelatihan adalah, namun tidak terbatas pada, kalangan aktivis Organisasi Non Pemerintah (Ornop) dan akademisi, individu yang memiliki perhatian dan minat terhadap isu-isu sumber daya alam.
Fasilitator adalah orang yang ditunjuk oleh penyelenggara pelatihan karena dianggap memiliki kemampuan memfasilitasi dan sekaligus kemampuan menjadi narasumber. Selama pelatihan, fasilitator akan mengatur sekaligus mendinamisir lalu lintas jalannya diskusi. Lebih dari itu fasilitator juga harus menyiapkan berbagai fasilitas yang mendukung jalannya pelatihan, seperti bahan, alat dan kerangka pikir atau kerangka analisis.
Panitia adalah pihak yang menyelenggarakan pelatihan. Peran panitia adalah mendukung kelancaran pelatihan dengan memastikannya tersedianya berbagai fasilitas dan hal-hal teknis lainnya.
5. Tahapan Pelatihan
Modul panduan ini terdiri dari 3 bagian yang berisi tahapan-tahapan proses pelatihan. Ketiga bagian tersebut adalah Orientasi Pelatihan (bagian kesatu), Wawasan (bagian kedua) dan Penguasaan Teknik (bagian ketiga). Setiap bagian memiliki tujuan spesifik yang membedakan dari bagian lainnya. Urutan bagian yang ada di dalam modul panduan ini sudah merupakan tahapan yang berurut, artinya fasilitator diharuskan mengikuti tahapan yang sudah ditentukan dengan memulai dari bagian kesatu sampai yang terakhir. Oleh karena itu, sangat tidak dianjurkan untuk mengubah urutan tahapan karena akan mengganggu alur pelatihan yang ditentukan.
Pada bagian pertama (orientasi pelatihan), tujuan yang ingin dicapai adalah terkondisikannya suasana pelatihan yang memberi kenyamanan dan kesiapan peserta, fasilitator dan panitia. Dalam bagian ini fasilitator diminta untuk menjelaskan dengan sederhana mengenai tujuan pelatihan, asumsi dan risiko mediasi yang harus dipahami oleh calon mediator konflik sumber daya alam, tahapan pelatihan dan materi-materi yang akan diberikan sepanjang pelatihan berlangsung.
Pada bagian kedua (wawasan), tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatnya pemahaman peserta mengenai cara pandang terhadap konflik sumber daya alam, pemahaman mengenai apa itu konflik, pengenalan terhadap mekanisme penyelesaian konflik sumber daya alam melalui proses mediasi, dan materi-materi pendukung seperti HAM dan Hukum Positif terkait ADR secara umum dan mediasi khususnya.
Pada bagian ketiga (penguasaan teknik mediator), tujuannya adalah pembekalan kemampuan teknik untuk para peserta calon mediator khususnya dalam penguasaan tahapan mediasi, teknik memediasi konflik sumber daya alam, simulasi peran mediator, dan merumuskan kesepakatan para pihak yang berkonflik.
Pelatihan ini diperhitungkan akan membutuhkan waktu 2.000 menit atau setara 32,5 jam atau 4 hari dengan 8 jam efektif setiap harinya. Perhitungan waktu tersebut di luar agenda persiapan, pembukaan dan penutupan pelatihan serta evaluasi atas jalannya proses pelatihan. Dengan demikian bila ditambahkan dengan waktu persiapan, pembukaan-penutupan dan evaluasi proses pelatihan, maka setidaknya dibutuhkan waktu 5 hari untuk menyelenggarakan pelatihan ini.
BAGIAN KESATU
ORIENTASI PELATIHAN
Dalam bagian pendahuluan telah dijelaskan secara umum mengenai tujuan pelatihan ini dan ditegaskan oleh kategori output pelatihan ini yaitu menciptakan dan memperbanyak jumlah mediator-mediator konflik sumber daya alam yang dibekali dengan wawasan (pengetahuan) dan keterampilan khususnya mediasi.
Pada bagian orientasi pelatihan ini, fasilitator diminta untuk menjelaskan dengan sederhana mengenai tujuan pelatihan, asumsi dan risiko mediasi yang harus dipahami oleh calon mediator konflik sumber daya alam, dan materi-materi yang akan diberikan sepanjang pelatihan berlangsung. Tujuan dari orientasi pelatihan adalah mengkondisikan suasana pelatihan yang memberi kenyamanan dan kesiapan peserta, fasilitator dan panitia. Orientasi pelatihan akan dibagi ke dalam dua sesi yaitu Perkenalan dan Kontrak Belajar. Fasilitator diharapkan mampu menggali peserta pelatihan untuk mampu mengungkapkan harapan dari pelatihan dan bagaimana merealisasikan harapan tersebut ketika pelatihan berakhir.
Sesi -1
PERKENALAN
Sesi ini ditujukan untuk mengajak peserta agar lebih mengenal para pihak yang terlibat dalam pelatihan, yaitu peserta, fasilitator dan panitia. Suatu proses perkenalan yang baik bukan sekedar saling mengenal identitas umum dari pihak yang terlibat dalam pelatihan, seperti nama, alamat, umur dan status, tetapi proses yang dapat menghantarkan peserta, fasilitator dan panitia agar memiliki kesiapan menjalani setiap sesi dalam pelatihan. Kesiapan untuk terlibat secara penuh dan sungguh-sungguh dalam pelatihan calon mediator jadi faktor kunci bagi kelancaran proses pelatihan. Metode perkenalan yang tepat akan membantu para peserta, fasilitator dan panitia memasuki proses pelatihan dengan baik.
Ada beragam metode yang bisa digunakan dalam sesi Perkenalan, mulai dari metode konvensional, yaitu perkenalan secara lisan berurutan, sampai pada metode kreatif misal dengan permainan. Pada sesi ini tentu saja kita akan tinggalkan metode yang konvensional karena sulit untuk bisa menghidupkan suasana pelatihan. Agar perkenalan lebih hidup, kita akan pilih metode permainan dalam menghantarkan sesi perkenalan. Dalam metode yang menggunakan permainan, perkenalan hanyalah bagian kecil dari membangun komunikasi efektif antar sesama peserta pelatihan. Metode permainan juga dapat membantu peserta melewati sesi yang biasa menjadi luar biasa dan mengesankan. Namun yang juga tidak kalah pentingnya adalah bagaimana membuat sesi perkenalan menjadi pintu masuk bagi peserta ke dalam suasana pelatihan yang sesungguhnya.
Tujuan :
Peserta, fasilitator dan panitia saling mengetahui identitas dan memiliki kesiapan untuk masuk ke dalam proses pelatihan.
Metode :
Permainan menyusun puzzle Konflik Masyarakat Adat/ Lokal vs Perusahaan/Negara dan proses penyelesaian konflik.
Diskusi kelompok untuk membuat penjelasan tentang gambar yang telah disusun ulang.
Presentasi masing-masing kelompok dan diminta untuk menyiapkan yel-yel kelompok.
Penugasan “Siapa Dia” (nama yang ditugaskan ditentukan oleh Fasilitator)
Alat bantu :
3-4 Puzzle Konflik Masyarakat Adat vs Perusahaan/Negara dan Proses Penyelesaian konflik.
Flipchart, metaplan berwarna, spidol berwarna, perekat. Gulungan nama-nama peserta.
Waktu :
90 menit
Proses fasilitasi :
Fasilitator memberi penjelasan singkat mengenai sesi yang akan dijalani. Kemudian, fasilitator membagi peserta ke dalam 3 atau 4 kelompok (disesuaikan dengan jumlah peserta dan masing-masing berjumlah 5-6 orang). Masing-masing kelompok diberikan 1 (satu) buah puzzle konflik Masyarakat Adat vs Negara/Perusahaan yang sudah teracak. [5 menit].
Menjelaskan metode pengelompokan yang akan dipakai selama proses pelatihan. (lihat tips) tips dibuat dalam boks yang mudah dilihat.
Instruksikan kepada masing-masing kelompok untuk menyusun kembali puzzle, sehingga menjadi sebuah gambar yang utuh. Dan menyusun kalimat yel-yel kelompok. [10 menit].
Kemudian, setiap kelompok diharuskan memaknai gambar tersebut dan menuliskannya dalam selembar kertas karton disertai dengan pemberian nama kelompok [10 menit].
Fasilitator meminta kepada masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya, kemudian setiap anggota kelompok juga harus mengenalkan Identitas kelompok masing-masing dan hal yang paling berkesan mengenai proses yang barusan dilakukan. [10-15 menit/kelompok].
Sebelum sesi ditutup, fasilitator memberikan tugas kepada setiap peserta untuk melakukan pengamatan “Siapa Dia”. Masing-masing peserta dibagikan nama peserta yang akan dijadikan sebagai target amatan. [5 menit]. (perlu ditulis mengenai apa gunanya metode ini dan akan dimanfaatkan seperti apa)
Yel-yel kelompok
Berikan instruksi kepada masing-masing kelompok untuk membuat yel-yel kelompok yang menjadi ciri dari masing-masing kelompok pada saat presentasi
Siapa Dia
Berikan instruksi kepada masing-masing peserta : • Cari nama yang tercantum pada kertas
• Gali informasi sedalam mungkin ttg dia bukan dari dirinya • Berikan kritik positif di akhir pelatihan
• Carilah cendera mata yang sederhana
SANGAT RAHASIA INSTRUKSI untuk PESERTA
Amati dengan seksama, seseorang bernama :
---secara detail mengenai perilaku, sifat, kebiasaan, ciri-ciri fisik dan sebagainya. Kemudian tulis semua data mengenai nama tersebut di atas.
Game ini sangat rahasia, jangan sampai objek amatan dan atau peserta lain mengetahui jika anda sedang mengamati.
selamat mengamati
Sesi - 2
KONTRAK BELAJAR
Sesi ini ditujukan untuk membangun pemahaman bersama mengenai tujuan dari pelaksanaan Pelatihan Calon Mediator Konflik Sumber Daya Alam. Pemahaman bersama ini penting, supaya setiap komponen pelatihan [fasilitator, peserta dan panitia] memiliki cara yang tepat untuk mencapai tujuan. Sesi ini juga dimaksudkan agar setiap komponen memiliki rasa kepemilikan [sense of ownership] terhadap setiap proses dalam pelatihan, sehingga partisipasi, inisiatif dan kreatifitas dalam pelatihan senantiasa muncul dari peserta maupun fasilitator. Untuk mendapatkan pemahaman yang sama, setiap peserta harus mengungkapkan harapan-harapan dan cara merealisasikannya selama pelatihan. Harapan dan cara merealisasikan harapan pada dasarnya akan menjadi pemandu keberhasilan proses pelatihan [kontrak belajar]. Agar hasil eksplorasi dari harapan dan cara merealisasikan harapan masih dalam koridor pelatihan, maka setiap peserta dipastikan telah membaca dan memahami TOR pelatihan.
Tujuan :
Memperjelas harapan dan cara merealisasikan harapan peserta terhadap pelatihan.
Membangun pemahaman bersama untuk mencapai tujuan pelatihan.
Metode :
Pengisian metaplan berwarna : harapan dan cara merealisasikan harapan.
Curah pendapat.
Alat Bantu :
Kertas karton, Spidol berwarna, Perekat.
Lembar kerja : harapan dan cara merealisasikan harapan.
Waktu :
90 menit
Proses fasilitasi :
Fasilitator menjelaskan secara singkat sesi yang akan dijalani. Kemudian meminta masing-masing peserta untuk menuliskan harapan dan cara mewujudkan di atas
metaplan berwarna [putih dan biru] yang telah dibagikan sebelumnya [15 menit].
Fasilitator meminta setiap peserta untuk menempelkan masing-masing lembaran kertas yang dikelompokkan sesuai dengan warnanya pada papan/tembok ruang pelatihan [10 menit].
Fasilitator selanjutnya memetakan harapan dan cara mewujudkan harapan ke dalam beberapa kategori seperti substansi, fasilitas dan waktu. Kemudian fasilitator menjelaskan bahwa hasil pemetaan harapan dan cara mewujudkan harapan merupakan kesepakatan bersama dalam menjalani setiap proses pelatihan. [30 menit].
Setelah proses pemetaan selesai dan menemukan kategorisasi, fasilitator mengajak peserta untuk menformulasikannya menjadi sebuah panduan bersama yang harus ditaati baik oleh fasilitator maupun peserta [kontrak belajar]. [35 menit]. (memberi penjelasan kepada fasilitator)
Tips Untuk Fasilitator :
Setiap Lembaran kertas “harapan dan cara merealisasikan harapan” harus terus tertem-pel pada tempat yang mudah dilihat selama proses pelatihan.
Lembar Isian
Harapan dan Cara Mewujudkan Harapan
No
Harapan
Cara Mewujudkan Harapan
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
Subtansi*
Fasilitas**
Waktu***
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
Isian Kontrak Belajar
* Yang dimaksud substansi adalah materi-materi pelatihan yang dibutuhkan dan menjadi prioritas bagi peserta pelatihan mediasi
** Yang dimaksud fasilitas adalah alat-alat bantu yang dibutuhkan selama proses pelatihan berlangsung
*** Yang dimaksud waktu adalah waktu yang dibutuhkan untuk membahas materi-materi dan kesepakatan mengenai waktu mulai, istirahat dan berakhirnya pelatihan setiap harinya
BAGIAN KEDUA
W A W A S A N
Materi yang akan diberikan pada bagian wawasan akan meliputi cara pandang terhadap konflik sumber daya alam, pemahaman mengenai apa itu konflik, pengenalan terhadap mekanisme penyelesaian konflik sumber daya alam melalui proses mediasi, dan materi-materi pendukung seperti HAM dan Hukum Positif terkait ADR secara umum dan mediasi khususnya. Fasilitator dapat menggunakan narasumber untuk mengisi setiap sesi pada bagian ini sebagai pemantik diskusi. Oleh karena itu, fasilitator dan panitia pelatihan diharapkan sudah mempersiapan narasumber untuk masing-masing sesi. Makalah tersendiri yang dibawa oleh narasumber dapat dijadian sebagai bahan tambahan, selain materi pendukung yang telah dilampirkan dalam modul ini.
Dalam bagian wawasan ini, terdapat 3 sesi yaitu:
- Cara pandang terhadap konflik sumber daya alam dan pemahaman mengenai apa itu konflik (sesi 3)
- Pengenalan terhadap mekanisme penyelesaian konflik sumber daya alam melalui proses mediasi (sesi 4)
1
Sesi – 3
CARA PANDANG MENGENAI KONFLIK SDA
Konflik adalah hal yang lumrah terjadi dalam kehidupan kita. Sebagai bagian dari proses sosial, konflik bukan untuk dihindari tetapi dihadapi. Namun demikian, untuk bisa menentukan sikap terhadap konflik dan bagaimana caranya kita menghadapinya perlu cara pandang yang benar dalam melihat konflik.
Konflik sumber daya alam bisa merupakan akibat dari ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam. Karakter konflik sumber daya alam memiliki ciri khas yang membedakannya dengan jenis konflik yang lain misalnya lingkungan hidup, dan lain-lain. Oleh karena itu pemahaman dan cara pandang dalam melihat konflik sumber daya alam sangat penting bagi mediator dalam rangka memediasi konflik sumber daya alam.
Tujuan
Agar peserta memiliki pemahaman mengenai pengertian konflik dan konflik sumber daya alam
Agar peserta memahami karakter konflik sumber daya alam.
Metode
Pemaparan oleh narasumber Curah Pendapat
Alat Bantu
Flipchart, kertas plano, spidol berwarna
Makalah narasumber dan bahan bacaan pendukung
Waktu
150 menit
1.Disarankan setiap peserta membaca modul pelatihan Menghadapi dan Menangani Konflik Sumber Daya Alam (Konflik: Bahaya atau Peluang), BSP Kemala 2001. Panitia juga bisa membagikan
photocopy dari beberapa bagian dari buku tersebut kepada peserta pelatihan sebagai bahan
Proses Fasilitasi
Narasumber memaparkan materi mengenai konflik, konflik sumber daya alam, akar konflik, para pihak yang terlibat dalam konflik sumber daya alam dan pilihan-pilihan penyelesaian konflik sumber daya alam (45 menit) Tanya jawab dengan narasumber difasilitasi oleh fasilitator. Peserta dapat mengajukan komentar, sanggahan data atau pertanyaan (75 menit)
Fasilitator mengajak peserta pelatihan merefleksikan materi yang sudah disampaikan oleh narasumber dan membangun pemahaman bersama para peserta mengenai apa itu konflik, konflik sumber daya alam, akar konflik, para pihak dalam konflik dan pilihan penyelesaian konflik sumber daya alam (30 menit).
Bahan bacaan
Point-point kunci
Konflik Sumber Daya Alam (SDA)
Perlu diketahui bahwa konflik SDA memiliki keunikan tersendiri dalam hal objeknya, subjeknya, dan akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya sengketa. Pemahaman mengenai konflik SDA menjadi penting karena akan memiliki kaitan dengan siapa saja yang seharusnya terlibat dalam mediasi, apa objek yang disengketakan dan akhirnya akan mempengaruhi bentuk kontrak penyelesaian konflik antar para pihak yang akan dibuat.
Untuk memudahkan pemahaman mengenai konflik SDA, pointer di bawah ini akan memudahkan anda untuk memahami, yaitu antara lain:
• Konflik SDA adalah pertentangan dua pihak atau lebih yang memiliki kepentingan yang sama atas suatu sumber daya alam. Pihak-pihak yang berkepentingan sama-sama berkeinginan untuk menguasai dan mengelola SDA yang sama, tetapi berbeda dalam wujud penguasaan maupun pengelolaannya. Sebagai contoh, masyarakat di satu sisi ingin suatu wilayah sumber daya alam menjadi hutan adat sebagai sarana perlindungan alam dan sumber mata pencaharian, disisi lain Perusahaan dan tak jarang Pemerintah ingin agar wilayah tersebut menjadi areal pengusahaan (pembudidayaan) seperti perkebunan skala besar atau usaha kehutanan.
• Konflik SDA sering bermula dari terbitnya izin pengelolaan SDA yang diberikan Pemerintah kepada Pengusaha, yang oleh masyarakat (lokal/adat) dianggap bermasalah. Keberadaan izin yang bermasalah tersebut merupakan objek paling konkret dari konflik SDA. Suatu izin dianggap bermasalah biasanya karena terdapat unsur penetapan sepihak, informasi yang tidak benar (penipuan/kebohongan), ingkar janji, intimidasi, dan lain-lain. • karena dalam konflik SDA ada faktor izin yang bermasalah maka
subjeknya tidak hanya masyarakat (adat/lokal) dan pengusaha penerima izin, tetapi juga pemerintah sebagai pemberi izin.
• Mengapa pemerintah dalam beberapa kondisi harus terlibat sebagai pihak, karena tidak jarang sengketa SDA bermula dari pemberian izin yang tidak sesuai aturan perundang-undangan dan merugikan masyarakat, oleh karena itu pemerintah harus ikut bertanggung jawab. Selain itu, adanya pemerintah sebagai
pihak dalam penyelesaian sengketa adalah untuk memastikan kesepakatan (janji-janji) bisa dieksekusi. Dalam hal misalnya terjadi kesepakatan pengurangan luas areal usaha perkebunan, maka pemerintah (institusi terkait) bisa dengan cepat mengubah isi dari perizinan dimaksud.
MEMAHAMI KONFLIK
Pengertian Konflik
Dalam bahasa Inggris terdapat 2 (dua) istilah pengertian konflik, yakni “conflict” dan “dispute” yang keduanya mengandung pengertian
tentang adanya perbedaan kepentingan di antara kedua belah pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Conflict diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia yakni “konflik”, sedangkan “dispute” dapat diterjemahkan dengan arti sengketa. Konflik adalah sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak dapat berkembang dari sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keperihatinannya. Konflik juga sering diidentikkan dengan suasana krisis, dalam istilah Cina “krisis’ (wei chi) mengandung arti bahaya dan peluang. Dua kata kunci penting yang berkaitan dengan batasan konflik: Disagreement (ketidaksetujuan) dan incompatible (bertentangan/tidak cocok dengan/sulit didamaikan).
Konflik hahekatnya dimulai dari pikiran. Pikiran tentang eksistensi diri sendiri maupun dalam konteks ada bersama orang lain atau kelompok. Dalam diri manusia secara pribadi selalu terjadi konflik ketika kita harus mengambil keputusan atau melakukan pilihan tertentu. Konflik yang terjadi dalam diri secara pribadi ditandai dengan kegelisahan atau rasa tidak nyaman ketika harus melakukan sebuah keputusan, sekalipun tidak terkait dengan pihak lain. Dalam konteks yang lebih luas, konflik bisa terjadi antarpribadi, antara pribadi dengan kelompok, dan antar kelompok.
Dalam cara pandang ilmu sosial, konflik selalu mengandung dua pemaknaan, yaitu sebagai sebuah gejala sosial dan sebagai sebuah paradigma. Sebagai sebuah gejala sosial, konflik dijadikan indikator untuk memahami dinamika yang terjadi atau sedang berlangsung dalam suatu kelompok masyarakat. Ada dua kontribusi konflik terhadap dinamika kehidupan masyarakat: (1) Konflik berfungsi memelihara kondisi
yang tidak pernah mengalami konflik, justru dipertanyakan dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat tersebut.
Manifestasi konflik
Konflik yang terjadi dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk atau cara, diantaranya adalah :
1. Perselisihan (dispute): paling mudah terlihat. Dapat berbentuk
protes (grievances), tindakan indisipliner, keluhan (complaints), unjuk rasa ramai-ramai, tindakan pemaksaan (pemblokiran, penyanderaan, dsb.), tuntutan ataupun masih bersifat ancaman atau pemogokan baik antara fihak internal proyek ataupun dengan fihak luar.
2. Persaingan (competition) yang tidak sehat. Persaingan sebenarnya
tidak sama dengan konflik, bila mengikuti aturan main yang jelas dan ketat.
3. Sabotase (sabotage): bentuk produk konflik yang tidak dapat
diduga sebelumnya. Sabotase seringkali digunakan dalam permainan politik, dalam internal organisasi proyek atau dengan pihak eksternal yang dapat menjebak pihak lain.
4. Inefisiensi/Produktivitas Rendah: salah satu fihak dengan
sengaja melakukan tindakan-tindakan yang berakibat menurunkan produktivitas dengan cara memperlambat kerja (slow-down), mengurangi output, melambatkan pengiriman, dll.
5. Penurunan Moril (Low Morale). Penurunan moril dicerminkan dalam
menurunnya gairah kerja, meningkatnya tingkat kemangkiran, sakit (hidden conflict)
6. Menahan/Menyembunyikan Informasi. Informasi adalah salah
satu sumber daya yang sangat penting dan identik dengan kekuasaan (power). Penahanan/penyembunyian informasi adalah identik dengan kemampuan mengendalikan kekuasaan tersebut. Tindakan-tindakan seperti ini menunjukkan adanya konflik tersembunyi dan ketidakpercayaan (distrust)
Memahami Akar Konflik
Dalam memahami akar konflik ini hal yang perlu dilakukan adalah memetakan apa saja objek yang disengketakan dan siapa saja pihak pihak-pihak yang bersengketa. Konflik sumber daya alam selalu berhubungan dengan akar masalah, penyebab langsung konflik, dan obyek konflik yang diperebutkan para pihak.
Dalam hal konteks konflik pengelolaan SDA, konflik yang sering terjadi adalah (1) Tumpang-tindih kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam. (2) Kegagalan pengaturan tata-ruang untuk memberikan ruang kelola yang adil. (3) Ekspansi penguasaan lahan kawasan hutan untuk pengembangan tanaman industri kehutanan dan perkebunan. (4) Tidak efektifnya program pembangunan ekonomi berbasis masyarakat.
Tumpang-tindih kebijakan pemerintah sangat terasa pada pengelolaan kawasan hutan. Banyak perijinan pengusahaan kawasan hutan yang dikeluarkan pemerintah pusat (departemen kehutanan) tidak memperhitungkan realitas lapangan. Lahan-lahan kawasan hutan negara dan kawasan hutan adat (hak ulayat) yang dikuasai masyarakat secara turun-temurun dan sudah memiliki bukti-bukti kegiatan budidaya harus beralih menjadi areal HPH/HTI secara cepat di bawah kuasa perusahaan. Situasi ini melahirkan konflik berkepanjangan antara masyarakat dengan perusahaan.
Kegagalan pengaturan tata-ruang secara adil disertai kuatnya ekspansi penguasaan lahan demi pengembangan tanaman industri dan perkebunan mengakselerasi kerusakan sumber daya alam dan penyingkiran masyarakat secara fisik beserta hak-haknya. Lahan-lahan yang dikelola masyarakat dengan basis hak pengelolaan sebagai transmigran secara sepihak ditumpang-tindihkan menjadi areal HTI dan perkebunan. Situasi ini selain melahirkan konflik langsung antara masyarakat transmigran dengan perusahaan, juga memancing lahirnya konflik horizontal karena masyarakat transmigran berusaha mengokupasi lahan-lahan masyarakat setempat untuk bisa bertahan hidup.
Kekacauan, distorsi, dan buruknya praktik pengelolaan sumber daya alam tersebut menjelma menjadi penyebab langsung lahirnya konflik, yaitu: (1) Tumpang-tindih hak-hak penguasaan sumber daya lahan (antara masyarakat dan perusahaan). (2) Pengabaian hak-hak masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam oleh perusahaan. (3) Perebutan sumber daya lahan antar masyarakat. (4) Tidak terpenuhi tuntutan kompensasi pengelolaan sumber daya alam oleh masysrakat. (5). Perebutan lahan pasca-HGU perkebunan. (6) Terbatasnya lahan garapan masyarakat. Faktor-faktor tersebut telah menggerakkan dan menjadi alasan yang mendasari terjadinya berbagai konflik/sengketa antarmasyarakat, masyarakat dengan perusahaan, dan masyarakat dengan pemerintah.
Tipologi konflik
Beragam konflik kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam. Masing-masing pihak merasa memiliki hak dalam mengelolanya. Para pihak yang terlibat dalam konflik sumber daya alam meliputi masyarakat, perusahaan, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat. Luasnya para pihak yang terlibat dalam konflik mempengaruhi kompleksitas kepentingan para pihak di balik konflik sumber daya alam. Sebagian besar masyarakat yang terlibat dalam konflik menempatkan konflik sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan-tujuan untuk menguasai, mengklaim, dan merebut kembali sumber daya alam dari pihak lain, baik antar masyarakat maupun dari perusahaan dan pemerintah. Sarana untuk mewujudkan tujuan itu terlihat dalam berbagai konflik horizontal dan vertikal yang terjadi dalam penguasaan sumber daya alam. Konflik yang sering terjadi adalah antara masyarakat dengan perusahaan dan masyarakat dengan pemerintah.
Melihat dan Menyikapi konflik
Untuk melihat dan menyikap konflik, hal yang perlu diperhatikan adalah memahami akar dari masalah tersebut. Dan hal yang perlu dilihat atau diamati adalah masalah apa yang disengketakan (objek sengketa), para pihak yang bersengketa (subjek sengketa) dan pendekatan seperti apa yang harus dilakukan dalam penyelesaian konfliknya.
Pada umumnya objek yang dipersengketakan sangat jelas dan dapat diamati, diukur luasan, potensi, dan nilainya; tetapi perkembangan komodifikasi jasa-jasa lingkungan menunjukkan bahwa objek yang dipersengketakan terus berkembang. Jika di masa lalu objek sengketa merupakan sesuatu yang sangat kongkrit dan kasat mata, maka belakangan ini makin banyak objek sengketa yang abstrak dan tidak terlihat langsung. Objek yang dipersengketakan dapat berupa sebidang tanah, tegakan hutannya, dan berbagai sumber daya hutan lainnya.
Kalau subjek sengketa adalah para pihak yang merasa memiliki hak atas tanah, hutan dan sumber daya alam yang ada di suatu wilayah. Pihak-pihak inilah yang perlu kita temukenali dan uraikan siapa saja mereka dan apa yang membuat mereka mengeliminasi kepentingan pihak lain. Tidak boleh ada subjek yang tertinggal, karena jika ini terjadi misalnya salah satu
aktor penting terabaikan dalam percaturan penanganan sengketa maka hal itu dapat melemahkan kesepakatan yang mungkin akan dibangun masa depan. Dengan melihat objek dan subjek sengketa ini akan memudahkan kita untuk menyikapinya dan pilihan yang tepat dalam penyelesaian konfliknya.
KONFLIK STRUKTURAL
Pola perilaku / interaksi destruktif Ketidakseimbangan kontrol, kepemilikan, dan distribusi sumberdaya Ketidakseimbangan kekuatan dan kewenangan Faktor-faktor geografis, fisik, atau lingkungan yang merintangi
kerja sama Keterbatasan waktu
KONFLIK DATA Informasi kurang
Mis-informasi Perbedaan pandang apa yang relevan Perbedaan interpretasi data
Perbedaan prosedur assessment
KONFLIK KEPENTINGAN
Pemahaman/kompetisi nyata atas substansi Prosedural
Psikologis
KONFLIK NILAI
Perbedaan kriteria untuk menilai gagasan /perilaku
Sasaran yang memiliki nilai hakiki eksklusif
Perbedaan jalan hidup, ideologi, atau agama
KONFLIK HUBUNGAN
Emosi yang kuat Mis-persepsi / stereotip Mis-komunikasi / komunikasi
lemah
Perilaku negatif yang berulang
Gambar-1, Moore’s Pizza oleh Christoper Moore, dalam the Mediation Process: Practical Strategies for resolving Conflict, 1996
Bentuk dan Eskalasi Konflik Oleh: Ahmad Zazali
Dalam perkembangan dewasa ini makna konflik tidak hanya karena pertentangan kepentingan, tetapi juga karena sebab struktural, nilai-nilai, hubungan dan konflik data, yang kemudian dipersepsikan oleh aktor-aktor yang terlibat.
Terhadap beragam sumber konflik tersebut, terdapat kecenderungan pilihan strategi intervensi yang memungkinkan untuk dilakukan untuk mencapai suatu kesepakatan, yaitu :
a. konflik struktural
Memperjelas batasan dan peran perubahan; Menggantikan pola-pola perilaku destruktif; Mengalokasikan kembali kepemilikan atau kontrol terhadap sumber daya; Menetapkan proses pembuatan keputusan yang dapat diterima secara adil dan saling menguntungkan; Mengubah proses negosiasi dari tawar-menawar berdasarkan posisi pada berdasarkan kepentingan; Memodifikasi cara-cara mempengaruhi yang digunakan oleh para pihak (mengurangi kekerasan/pemaksaan, lebih persuasif); Mengubah hubungan fisik dan lingkungan para pihak (ketertutupan dan jarak); Memodifikasi tekanan-tekanan eksternal para pihak; Mengubah kendala-kendala waktu.
b. konflik kepentingan
Ini meliputi kegiatan seperti: Memfokuskan pada kepentingan, bukan posisi; Mencari kriteria yang obyektif; Mengembangkan solusi yang integratif yang memenuhi kebutuhan seluruh pihak; Mencari cara memperluas pilihan-pilihan atau sumber daya; Mengembangkan trade-off untuk memuaskan kepentingan yang berbeda secara kuat.
c.konflik nilai
Menghindari pembatasan problem dalam istilah-istilah nilai; Menginzinkan para pihak untuk setuju dan tidak setuju; Menciptakan lingkungan yang mempengaruhi di mana satu perangkat nilai mendominasi; Mencari tujuan yang lebih tinggi yang seluruh pihak dapat berkontribusi.
d.konflik hubungan antara manusia
Kemungkinan ini mencakup: Mengontrol ekspresi emosi melalui prosedur, aturan main bersama, pertemuan-pertemuan kecil dsb; Mengklarifikasi persepsi dan membangun persepsi yang positif; Memperbaiki kualitas dan kuantitas komunikasi; Mencegah perilaku negatif yang berulang-ulang melalui perubahan struktur; Mendorong perilaku penyelesaian masalah secara positif.
e.konflik data
Ini antara lain dapat dilakukan dengan: Mencapai kesepakatan tentang data apa yang penting; Menyetujui tentang proses pengumpulan data; Mengembangkan kriteria bersama untuk menilai data; atau Menggunakan ahli dari pihak ketiga untuk mendapatkan opini dari luar atau memecahkan kemacetan.
Memahami Eskalasi Konflik
Situasi konflik di lapangan seringkali cukup rumit dan akumulasi dari berbagai sumber konflik yang kemudian diekspesikan dengan sikap, tindakan dan perasaan yang tercampur menjadi satu. Derajat eskalasi akan semakin tinggi jika para pihak yang berlawanan saling meningkatkan tekanan dan tentu akan semakin menyulitkan proses untuk menemukan konsensus jika konflik cenderung mengarah pada kondisi yang merusak (destructive).
-Perang
-Pertarungan / Penghindaran
-Perseteruan
-Perbedaan Pendapat
-Masalah untuk dimusyawarahkan
Rendah Tinggi - Perang - Pertarungan / Penghindaran - Perseteruan - Perbedaan Pendapat
- Masalah untuk dimusyawarahkan
Tinggi
Rendah
Jika derajat eskalasinya demikian maka kemungkinan karakteristik para pihak yang berkonflik adalah sebagai berikut :
1. Masalah untuk dimusyawarahkan - Memiliki itikad untuk menyelesaikan - Fokus pada pokok permasalahannya saja - Siap untuk berkompromi
- Keterbukaan informasi 2. Perbedaan Pendapat
- Melindungi diri, menyembunyikan informasi - Berusaha menunjukkan kesalahan pihak lawan
- Meningkatnya tingkat emosional, saling memojokkan 3. Perseteruan
- Semakin bersikeras atas posisinya
- Persepsi terdistorsi (menyimpang) dan asumsi yang salah - Dialog menjadi tidak mudah
- Timbul kelompok dan koalisi 4. Pertarungan / Penghindaran
- Berkeinginan untuk menarik diri atau menyebabkan pihak lain menarik diri
- Saling menjatuhkan
- Pemenuhan hal yang prinsipil lebih penting dari pada penyelesaian masalah
- Mencampuradukkan data faktual dan fiktif 5. Perang
Sesi – 4
ADR DAN MEDIASI
Di Indonesia dikenal istilah yang populer dalam upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, Alternative Disputes Resolution (ADR). ADR adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Sementara itu, bentuk-bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang lazim dalam praktek antara lain rekonsiliasi, fasilitasi, negosiasi, mediasi dan arbitrasi.
Tujuan
Agar peserta memiliki pemahaman mengenai alternatife penyelesaian sengketa sumber daya alam
Agar peserta mengetahui bentuk – bentuk alternatife penyelesaian konflik sumber daya alam.
Metode
Pemaparan oleh narasumber Curah Pendapat
Alat Bantu
Flipchart, kertas plano, spidol berwarna
Makalah narasumber dan bahan bacaan pendukung
Waktu
120 menit
Proses Fasilitasi
Narasumber memaparkan materi mengenai pengertian alternatif penyelesaian sengketa, dan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa (45 menit)
Tanya jawab dengan narasumber difasilitasi oleh fasilitator. Peserta dapat mengajukan komentar, sanggahan data atau pertanyaan (60 menit).
Fasilitator mengajak peserta pelatihan merefleksikan materi yang sudah disampaikan oleh narasumber dan membangun pemahaman bersama para peserta mengenai apa itu alternatif penyelesaian sengketa dan bentuk-bentuknya (15 menit).
Bahan bacaan
Alternatif Penyelesaian Konflik
Oleh: Ahmad Zazali
Pilihan penyelesaian konflik secara musyawarah dan mufakat sebenarnya sudah jadi tradisi budaya bangsa Indonesia sejak lama bahkan ketika penjajahan masih ada di negeri ini. Namun Kemerdekaan dari penjajah telah membawa Indonesia menerapkan hukum positif tertulis yang diadopsi dari dari hukum belanda dan sebagian dari hukum adat.
Dalam praktek hukum positif, pengadilan adalah tempat untuk memutuskan seseorang bersalah atau tidak (menang-kalah) setelah melalui proses persidangan yang mengadu kuat alat bukti yang dimiliki oleh masing-masing pihak yang bersengketa sebagai dasar hakim membuat keputusan. Namun demikian sesungguhnya ada cara alternatif selain pengadilan yang terlupakan dan dilupakan, yaitu penyelesaian di luar pengadilan atau dikenal dengan istilah ADR (Alternative Dispute Resolution) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).
Apa itu ADR atau APS ?
ADR atau Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah suatu prosedur untuk mencapai konsensus, bersifat informal yang digunakan oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa sebagai alternatif dari pendekatan melalui lembaga pengadilan. Beberapa Prosedur yang termasuk dalam pendekatan ini adalah penyelesaian melalui negosiasi, konsiliasi, mediasi, dan Arbitrase.
1. Negosiasi
Adalah suatu proses dua pihak atau lebih di mana para pihak yang berbeda atas isu-isu tertentu berusaha mencapai kesepakatan atau kompromi atas isu-isu tersebut melalui komunikasi. Dapat juga dikatakan bahwa negosiasi adalah suatu proses di mana para pihak yang berpartisipasi di dalamnya melibatkan diri dalam komunikasi bolak-balik dalam usaha menyesuaikan perbedaan menuju titik persamaan (Konsensus).
2 Mediasi
Mediasi adalah proses negosiasi yang dilaksanakan dengan bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga yang biasa disebut mediator ini mempunyai kewenangan yang terbatas atau tidak punya kewenangan dalam membuat keputusan ketika melakukan intervensi dalam proses negosiasi tersebut.
3. Konsiliasi
Konsiliasi melibatkan peran terbatas pihak ketiga dengan cara sederhana pihak ketiga berusaha mendorong terjadinya negosiasi antara para pihak yang bersengketa. Dorongan ini dapat melibatkan pelayanan konsiliator sebagai perantara dalam komunikasi antara para pihak, memberikan tempat untuk bernegosiasi, dan lain-lain. Konsiliasi secara sejati jarang terjadi—artinya tanpa ikut campur pihak lain, karena konsiliator sering diminta nasehatnya tentang penyelesaian sengketa atau mengusahakan sasaran secara spontan. Karena bantuan aktif konsiliator dalam proses komunikasi dan mengusahakan rekomendasi penyelesaian, sering terjadi konsiliator menjadi mediator. Oleh karena itu karena gradasi antara konsiliator dan mediator ini sangat dekat, banyak ahli memperlakukan konsiliasi dan mediasi sebagai taktik yang dapat dipertukarkan.
4. Arbitrase
Suatu proses dengan pihak ketiga netral atau panel, disebut arbitor atau panel arbitrasi, dengan mempertimbangkan fakta dan argumen yang dipresentasikan oleh para pihak yang berkonflik, pihak ketiga ini selanjutnya memberikan suatu keputusan yang bersifat mengikat atau tidak bagi para pihak yang berkonflik.
Karakteristik Pengadilan ADR
Negosiasi Mediasi Arbitrase
Sifat Tidak sukarela Sukarela Sukarela Sukarela
Pemutus Hakim Para pihak Para pihak Arbiter
Mengikat Mengikat dan ada kemungkinan banding Mengikat apabila terjadi kesepakatan sebagai kontrak/ perjanjian Mengikat apabila terjadi kesepakatan sebagai kontrak/ perjanjian Mengikat dan dapat diuji untuk hal yang sangat terbatas
Pihak ketiga Ditetapkan
dan umumnya tidak memiliki keahlian pada objek persengketaan
Tidak ada Dipilih sebagai
mediator dan biasanya memiliki keahlian pada objek persengketaan Dipilih Para pihak dan biasanya memiliki keahlian pada objek persengketaan Aturan
Pembuktian Teknis Tidak ada Tidak ada Informal
Proses
Karakter Masing-masing menyampaikan
bukti argumen Presentasi Per-masalahan dan kepentingan Presentasi Permasalahan dan kepentingan Masing-masing menyampaikan bukti argumen
Apa Perbedaan Pengadilan dan ADR ?
Sebelum menentukan pilihan pendekatan dalam menyelesaikan konflik, maka sebaiknya pahami dulu apa yang membedakan kedua pendekatan tersebut secara rinci, hal ini bisa dilihat dari beberapa hal (karakteristik) yang mendasar di bawah ini.
Alternatif Penyelesaian Sengketa
dalam Peraturan Perundang-Undangan
Dalam sistem hukum atau perundang-undangan di Indonesia, mediasi diakui sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pengakuan formal atas mediasi ini merupakan bagian dari politik hukum negara yang masih mengakui otoritas-otoritas lain di luar pengadilan dalam hal menyelesaikan sengketa. Ini tercermin dalri ketentuan UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Menurut UU ini, hanya negaralah yang berwenang menyelenggarakan institusi peradilan. Dengan kata lain, satu-satunya institusi peradilan yang diakui adalah peradilan negara. Namun, menurut UU ini, ketentuan itu tidak lantas melarang hadirnya institusi yang menyelesaian perkara atau sengketa, di luar peradilan negara. Institusi itu bisa melalui cara perdamaian atau arbitrase (Penjelasan Pasal 3 ayat 1). Tidak bisa dipungkiri bahwa ketentuan UU No. 4/2004, yang menggantikan UU No. 14/1970, telah menjadi dasar hukum pembuatan peraturan perundang-undangan yang lain mengenai mediasi. Misalnya UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Hal yang sama juga mendasari pengakuan mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan untuk bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup. Misalnya pengakuan dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan (Pasal 75 dan Pasal 75), UU No. 7/2004 tentang Sumber daya Air (Pasal 88), UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pasal 30 s/d Pasal 32) dan PP No. 54/2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan.
Menurut berbagai peraturan perundang-undangan di atas, mediasi merupakan salah satu contoh dari Alternatif Penyelesaian Sengketa, selain konsultasi, negosiasi, konsiliasi dan penilaian ahli. Adapun Alternatif Penyelesian Sengketa merupakan jenis dari penyelesaian sengketa di luar pengadilan, selain arbitrase. Alternatif penyelesaian sengketa merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau benda pendapat melalui prosedur penyelesaian yang disepakati oleh para pihak. Sengketa atau beda pendapat yang diselesaikan dalam mediasi hanyalah yang menyangkut aspek keperdataan. Mediasi tidak diperbolehkan untuk menyelesaikan suatu tindak pidana.
Berbeda dengan arbitrase, kesepakatan para pihak untuk menggunakan mediasi, tidak harus didahului oleh suatu perjanjian yang di dalamnya mencantumkan penggunaan mediasi dalam penyelesaian sengketa. Mediasi bisa digunakan oleh para pihak sekalipun sebelumnya tidak ada perjanjian tertulis sepanjang dipilih oleh para pihak secara sukarela. Dalam UU No. 30/1999, penggunaan mediasi dianjurkan setelah terlebih dahulu para pihak menggunakan cara negosiasi atau penilaian ahli. Bila mediasi juga tidak berhasil, maka dianjurkan untuk menggunakan arbitrase. Logika pentahapan semacam ini tidak dianut oleh UU Kehutanan maupun UU Sumber daya Air. Kedua UU ini hanya mengatakan bahwa apabila para pihak tidak mencapai kata sepakat maka penyelesaian sengketa melalui pengadilan dapat dilakukan dengan syarat ada pernyataan tertulis dari satu atau beberapa pihak atau salah satu pihak menyatakan mengundurkan diri.
Dalam PP No. 54/2000 diatur juga mengenai syarat-syarat mediator dan tata cara penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui mediasi. Menurut PP ini, selain disetujui oleh para pihak, persyaratan lain yang harus dipenuhi oleh seorang mediator adalah:
a. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa;
b. tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa;
c. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain terhadap kesepakatan para pihak;
d. tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya.
Pada tata cara penyelesaian antara lain ditentukan permohonan yang harus dilakukan oleh para pihak atau salah satu pihak yang ditujukan kepada lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan, baik yang dibentuk oleh pemerintah maupun masyarakat. Setelah menunjuk mediator, para pihak membuat kesepakatan mengenai proses mediasi. Penunjukkan mediator dapat dinyatakan tidak sah atau batal oleh para pihak sekalipun proses mediasi sedang berlangsung. Setiap saat para pihak diperbolehkan untuk mengundurkan diri sepanjang diberitahukan secara tertulis kepada pihak lain maupun mediator. Kesepakatan yang dihasilkan dari mediasi wajib dibuat dalam bentuk tertulis dan ditulis di atas kertas bermeterai. Menurut PP ini, hasil kesepakatan tertulis tersebut harus didaftarkan oleh mediator ke pengadilan negeri setempat paling lambat 30 hari sejak ditandatangani.
Dalam kasus penyelesaian sengketa lingkungan hidup biaya untuk mediator dapat ditanggung oleh salah satu atau beberapa pihak maupun biaya dari sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Pemerintah juga dapat menjadi penanggung biaya apabila mediatornya berasal dari lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh pemerintah.
Tinggi
Rendah Kooperatif Tinggi
•Kompetitif/ Agitasi • Kolaborasi • Kompromi • Menghindar • Akomodatif
Sesi – 5
ANALISIS GAYA BERSENGKETA (AGATA)
Pengenalan analisis gaya bersengketa para pihak yang sedang berkonflik penting diketahui dan dipahami mediator dengan tujuan untuk menentukan bentuk dukungan apa yang perlu diberikan. Analisa Gaya Bersengketa, yang disingkat AGATA, merupakan suatu Instrumen yang
dirancang oleh Thomas Kilmann (1974) untuk mengukur perilaku/gaya suatu pihak dalam situasi sengketa. Pemahaman gaya sengketa tersebut kelak dapat menjadi dasar pilihan-pilihan ADR apa yang bisa disarankan oleh mediator.
Dalam sengketa, tidak ada dua pihak yang memiliki harapan dan keinginan yang sama persis karena sengketa adalah bagian alami dari interaksi suatu pihak dengan pihak lain. Bagaimana suatu pihak bereaksi atas perbedaannya dipengaruhi oleh kombinasi antara dimensi mementingkan diri sendiri dan dimensi untuk menerima kepentingan pihak lain disebut gaya bersengketa.
Gambar-2 : Model Dua Dimensi Penentu Gaya Sengketa (Sumber: Avruch et al, 1991; Kilmann, 1974)
Gambar di atas mendemonstrasikan bahwa kombinasi antara dominasi salah satu dimensi dan/atau keseimbangan masing-masing dimensi melahirkan lima gaya para pihak dalam menanggapi situasi persengketaan, yaitu:
1) Kompetisi/agitasi adalah tegas dan tidak kooperatif – suatu pihak mengejar kekhawatiran sendiri dengan mengorbankan pihak lain. Ini adalah modus yang berorientasi kekuasaan di mana suatu pihak menggunakan apa pun kekuasaan yang sesuai untuk memenangkan posisinya, termasuk kemampuan untuk berdebat, kekuasaan, atau sanksi ekonomi. Kompetisi/ agitasi berarti “berdiri untuk hak”, membela posisi yang diyakini benar, atau hanya berusaha untuk menang (agitasi) dengan mengeliminasi kepentingan dan bahkan entitas pihak lain. 2) Mengakomodasi adalah tidak asertif dan kooperatif - kebalikan
dari kompetisi. Ketika akomodatif, suatu pihak mengabaikan kepentingannya sendiri untuk memenuhi kepentingan pihak lain; ada unsur pengorbanan diri dalam gaya ini. Mengakomodasi mungkin mengambil bentuk kemurahan hati tanpa pamrih atau berkorban, mematuhi perintah pihak lain ketika ia akan memilih untuk tidak, atau menyerah pada cara pandang pihak lain. 3) Menghindar adalah tidak asertif dan tidak kooperatif - pihak
yang tidak mengejar kepentingan baik untuk diri sendiri maupun kepentingan pihak lainnya. Dengan demikian ia tidak berurusan dengan sengketa. Menghindar mungkin mengambil bentuk diplomatis menghindar dari masalah, menunda masalah sampai waktu yang lebih baik, atau hanya menarik diri dari situasi yang mengancam.
4) Kolaborasi adalah asertif dan kooperatif - kebalikan dari menghindar. Kolaborasi melibatkan upaya untuk bekerja dengan pihak lain untuk menemukan beberapa solusi yang sepenuhnya memenuhi keprihatinan/kepentingan bersama. Ini berarti menggali masalah untuk menentukan kebutuhan dasar dan keinginan dua pihak atau lebih. Kolaborasi antara dua pihak bisa berupa mengambil bentuk menjelajahi ketidaksepakatan guna belajar dari wawasan masing-masing atau mencoba untuk menemukan solusi kreatif untuk masalah antar-pihak.
solusi, bijaksana dapat diterima bersama yang “sebagian” memuaskan kedua belah pihak. Jatuh di tengah antara kompetisi dan akomodatif. Dalam beberapa situasi, mungkin berarti mengorbankan pemisahan perbedaan antara dua posisi, bertukar konsesi, atau mencari solusi tengah secara cepat. Di dalam keadaan nyata, suatu pihak bisa memiliki kombinasi gaya sengketa tergantung berbagai macam situasi perbedaan kepentingan yang terjadi.
Tujuan
Agar peserta memiliki pengetahuan dan pemahaman metode Analisis Gaya Bersengketa
Agar peserta mampu menggunakan metode ini dalam melihat seluruh aspek dalam konflik sumber daya alam.
Metode
Pemaparan oleh narasumber Curah Pendapat
Simulasi
Alat Bantu
Flipchart, kertas plano, spidol berwarna
Makalah narasumber dan bahan bacaan pendukung Kerja kelompok
Waktu
240 menit
Proses Fasilitasi
Narasumber memaparkan materi mengenai pengertian alternatif penyelesaian sengketa, dan bentuk-bentuk altenatif penyelesaian sengketa (45 menit)
Tanya jawab dengan narasumber difasilitasi oleh fasilitator. Peserta dapat mengajukan komentar, sanggahan data atau pertanyaan (60 menit).
Kerja kelompok untuk menganalis kasus yang real terjadi menggunakan metode AGATA dan mempresentasikannya di hadapan forum pelatihan (135 menit).
(catatan: panitia diharuskan menyediakan contoh-contoh kasus)
materi yang sudah disampaikan oleh narasumber dan proses kerja kelompok membangun pemahaman bersama para peserta mengenai apa itu alternatif penyelesaian sengketa dan bentuk-bentuknya (15 menit).
Langkah Analisis
Mencermati kondisi sengketa yang sedang terjadi, apakah ia bersifat konstruktif (membangun) ataukah destruktif (menghancurkan). AGATA sebaiknya dilaksanakan pada saat situasi konflik konstruktif.
Memetakan siapa saja para pihak pesengketa yang saling berbeda kepentingan. Pihak disini bisa individu, kelompok, atau sebuah lembaga .
Memetakan apa saja yang menjadi objek/akar sengketa antar pihak.
Melakukan analisa gaya bersengketa dengan menggunakan Daftar Pertanyaan analisa gaya bersengketa/berkonflik (Instrumen Thomas Kilman, Lampiran-A). Daftar pertanyaan ini ditujukan untuk mengukur gaya pihak dalam bersengketa, apakah mengarah kepada saling menghindar, akomodatif, kompromistis, kompetitif, atau kolaborasi. Terdapat 25 pertanyaan yang didesain untuk mengukur kelima gaya tersebut, masing-masing sekor kemudian dimasukkan ke dalam Tabel, lalu dijumlahkan totalnya. Sekor yang tertinggi menunjukkan gaya bersengketa yang paling dominan dimanifestasikan oleh pihak yang sedang dianalisa. Untuk mempermudah penghitungan data analisis, penulis telah mengembangkan instrumen Thomas Kilman tersebut ke dalam bentuk tabulasi statistik sederhana berbasis piranti lunak Microsoft Excel (Lampiran-B).
Setelah diperoleh perhitungan sekor AGATA, pemanfaatan hasil analisis terhadap pilihan-pilihan ADR yang bisa ditawarkan oleh mediator dapat dilihat pada Lampiran C.
Lampiran-A
Analisis Gaya Pihak Berkonflik (The Thomas - Kilman Instrument)
Instrumen Thomas Kilman (Rahim dan Mager, 1995), adalah alat sederhana untuk menganalisa gaya mengelola konflik dari seseorang/pihak tertentu. Alat ini dipergunakan ketika ada dua pihak yang berbeda sikapnya terhadap satu atau beberapa isu konflik, ketidaksepahaman, perdebatan, atau kekecewaan terhadap pihak lain. Lalu, berdasarkan skala berikut, frekuensi sikap/gaya masing-masing disekor, yaitu:
Sekor: 1 = Tidak pernah, 2 = Jarang, 3 = Kadang-kadang, 4 = Sering, dan
5 = Selalu.
Masing-masing pertanyaan, akan memiliki 2 sekor. Misalnya, untuk pertanyaan ke-1, pensekoran akan nampak seperti 1: 2/4.
Sekarang cobalah isi berikut ini: Tulis isu/akar konfliknya:
_______________________________________ Tulis dua nama/pihak yang sedang berkonflik.
Pihak/pesengketa A ________________________________ Pihak/pesengketa B ________________________________ Pihak A | Pihak B
1. ___|___ Pesengketa menghindari berada di tengah konflik; Pesengketa menyimpan konflik ke dalam dirinya saja. 2. ___|___ Pesengketa menggunakan pengaruhnya agar
kepentingannya dapat diterima
3. ___|___ Pesengketa mencoba memecahkan perbedaan untuk menyelesaikan konflik
4. ___|___ Pesengketa mencoba memuaskan kebutuhan pihak lain. 5. ___|___ Pesengketa mencoba menginvestigasi akar konflik untuk menemukan solusi yang dapat diterima oleh semua pihak. 6. ___|___ Pesengketa menghindari diskusi terbuka tentang
8. ___|___ Pesengketa mencoba menemukan jalan tengah untuk memecahkan jalan buntu.
9. ___|___ Pesengketa akomodatif/”mengalah” terhadap harapan pihak lain.
10. ___|___ Pesengketa mencoba memadukan idenya dengan ide pihak lain untuk mencapai tujuan bersama.
11. ___|___ Pesengketa mencoba menjauhi ketidaksepakatan dengan pihak lain.
12. ___|___ Pesengketa menggunakan keahliannya untuk membuat keputusan yang menyenangkan pihak/dirinya.
13. ___|___ Pesengketa mengusulkan jalan tengah untuk memecahkan
kebuntuan.
14. ___|___ Pesengketa memberikan sesuatu untuk memenuhi harapan pihak lain.
15. ___|___ Pesengketa mencoba bekerja dengan pihak lain untuk menemukan solusi yang memuaskan keinginan
kedua pihak.
16. ___|___ Pesengketa mencoba menyimpan ketidaksepakatannya untuk menghindari perasaan sakit/bersalah.
17. ___|___ Pesengketa mengejar keinginannya terpenuhi dalam konflik yang ada.
18. ___|___ Pesengketa berunding dengan pihak lain untuk mencapai
kompromi.
19. ___|___ Pesengketa mau bertindak atas saran pihak lain.
20. ___|___ Pesengketa bertukar informasi akurat dengan pihak lain sehingga para pihak dapat memecahkan masalah bersama. 21. ___|___ Pesengketa mencoba menghindari saling merasa tidak
nyaman dengan pihak lain.
22. ___|___ Pesengketa menggunakan kekuatannya untuk memenangkan alasan/argumentasinya.
23. ___|___ Pesengketa menggunakan “memberi dan menerima” sehingga kompromi dapat dicapai.
24. ___|___ Pesengketa mencoba memuaskan kehendak pihak lain. 25. ___|___ Pesengketa mencoba membawa kekhawatiran semua
pihak secara terbuka sehingga semua isu dapat ditanggulangi.
Masuk
an sek
or tersebut k
e dalam tabel berik
ut. No A B No A B No A B No A B No A B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Menghindar Agitasi K ompr omi Ak omodasi K olabor asi Total Sekor SEK OR Menghindar : Agitasi : K ompr omi : Ak omodasi : K olabor asi :