• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Hukum Pelanggaran Kontrak Secara Material

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aspek Hukum Pelanggaran Kontrak Secara Material"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERJANJIAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

A. Sistem Hukum Perjanjian di Indonesia

1. Pengertian dan Unsur-Unsur Perjanjian

Berdasarkan pasal 1313 KUH Perdata, “Suatu perjanjian adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang lain atau lebih.”38

Menurut Ahmadi Miru, pengertian perjanjian yang dikemukakan diatas

sebenarnya kurang tepat karena pengertian tersebut hanya mencakup perjanjian

sepihak (satu orang mengikatkan dirinya kepada satu orang lain atau lebih).

Sedangkan perjanjian pada umumnya adalah perjanjian yang membebani

kewajiban bagi kedua belah pihak atau yang sering disebut perjanjian dua pihak.

Oleh karena itu, seharusnya pengertian perjanjian mengakomodasi perjanjian

sepihak maupun perjanjian dua pihak.39

Secara garis besar perjanjian dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:40

a. Perjanjian dalam arti luas, adalah setiap perjanjian yang menimbulkan

akibat hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak,

misalnya perjanjian tidak bernama atau perjanjian jenis baru;

38

Indonesia (Burgelijk Wetboek), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Staatsblaad Nomor 23 Tahun 1847, Pasal 1313.

39

Ahmadi Miru (1), Hukum Perdata Materiil dan Formil, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 274.

40

(2)

b. Perjanjian dalam arti sempit, adalah hubungan-hubungan hukum dalam

lapangan harta kekayaan seperti yang dimaksudkan dalam buku III

KUH Perdata. Misalnya, perjanjian bernama.

R. Subekti mendefinisikan perjanjian sebagai suatu peristiwa dimana

seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji

untuk melakukan sesuatu dari peristiwa ini timbul hubungan perikatan.41

Sebenarnya, sebuah perjanjian adalah suatu kontrak, yang mana melalui

kontrak tersebut para pihak hendak mencapai tujuannya masing-masing melalui

suatu skema pertukaran pelaksanaan hak dan kewajiban: “Kontrak-kontrak

merupakan cara untuk memasuki suatu kesepakatan sehingga kedua belah pihak

memperoleh apa yang mereka kehendaki.”42

Perjanjian juga dapat didefinisikan sebagai sebuah pertemuan antara dua

atau lebih pikiran yang datang bersama-sama di penyampaian sebuah pendapat

dalam proporsi yang berbeda antara pihaknya.43

Sementara pengertian kontrak atau dalam Bahasa Inggris dikenal dengan

contract, adalah “suatu kesepakatan di antara dua orang atau lebih orang yang menciptakan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal khusus.

Suatu tulisan yang mengandung kesepakatan dari para pihak, dengan

ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku didalamnya, berfungsi sebagai bukti dari

kewajiban itu.” Jadi, kontrak adalah suatu perjanjian tertulis di antara dua pihak

41

H. U. Adil, op. cit., hlm. 18.

42 Jacob D. Lynch, “Reasons to End or Terminate Contract”, diakses dari

http://contracts.lawyers.com/contracts-basics/reasons-to-end-or-terminate-contracts.html, pada tanggal 4 Maret 2017, pukul 17:42 WIB.

43

(3)

atau lebih pihak yang menciptakan hak dan kewajiban (timbal-balik) untuk

melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal khusus.44

Berdasarkan pengertian perjanjian yang sangat luas yang terdapat dalam

pasal 1313 KUH Perdata, maka kontrak dapat juga menjadi bagian dari perjanjian.

Yang menjadi pembeda antara kontrak dengan perjanjian adalah dari sisi sifat dan

bentuknya, dimana kontrak lebih bersifat untuk bisnis dan berbentuk tertulis. Di

dalam kontrak, para pihak memiliki sebuah hubungan hukum yang lebih

mengikat, maksudnya adalah antara para pihak yang satu dengan yang lainnya

saling mengikatkan dirinya dalam kontrak tersebut, pihak yang satu dapat

menuntut sesuatu kepada pihak yang lain, dan pihak yang dituntut berkewajiban

untuk memenuhi tuntutan tersebut.45

Dalam perjanjian juga terdapat unsur-unsur yang membangun perjanjian

tersebut. Unsur dalam sebuah perjanjian dibutuhkan untuk mengetahui apakah

yang dihadapi adalah sebuah perjanjian atau bukan serta memiliki akibat hukum

atau tidak. Menurut Asser dalam perjanjian terdiri dari bagian inti (essensialia)

dan bagian bukan inti (naturalia dan accidentalia).46

Unsur essensialia adalah unsur yang mutlak harus ada. Unsur ini sangat

erat berkaitan dengan syarat sahnya perjanjian (pasal 1320 KUH Perdata) dan

unsur ini digunakan untuk mengetahui ada/tidaknya perjanjian serta untuk

mengetahui jenis perjanjiannya.47 Di sisi lain, unsur essensialia juga menjadi

44

Budiono Kusumohamidjojo, Perbandingan Hukum Kontrak (Comparative Contract Law), (Bandung: CV. Mandar Maju, 2015), hlm. 8.

45

H. U. Adil, op. cit., hlm. 18.

46

Handri Raharjo, op. cit., hlm. 46.

47

(4)

bagian pokok dalam suatu perjanjian, sebab apabila perjanjian tidak memiliki

bagian pokok, perjanjian tersebut dapat dinyatakan tidak memenuhi syarat.48

Kemudian, unsur naturalia adalah unsur yang oleh undang-undang

ditentukan sebagai peraturan yang bersifat mengatur.49 Bagian ini lazimnya ada

atau dapat disebut sebagai sifaat bawaan perjanjian, sehingga secara diam-diam

melekat pada perjanjian.50 Misalnya, dalam perjanjian jual beli, unsur

naturalianya terletak pada kewajiban penjual untuk menjamin adanya cacat

tersembunyi.

Sedangkan unsur accidentalia adalah bagian tambahan dalam sebuah

perjanjian, yang mana tambahan tersebut dinyatakan atau ditetapkan sebagai

peraturan yang mengikat para pihak atau sebagai undang-undang yang harus

dilaksanakan karena bagian tambahan tersebut tidak diatur dalam

undang-undang.51 Unsur accidentalia ini dalam sebuah perjanjian harus tegas

diperjanjikan.52 Misalnya, pemilihan tempat kedudukan.

Menurut Abdulkadir Muhammad, unsur-unsur perjanjian juga dapat

diuraikan sebagai berikut:53

a. Adanya pihak-pihak

Pihak yang dimaksud adalah subjek perjanjian yang paling sedikit

terdiri dari dua orang atau badan hukum dan mempunyai wewenang

atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan

undang-undang.

(5)

b. Adanya persetujuan

Persetujuan yang dimaksud adalah persetujuan yang dilakukan antara

pihak-pihak yang bersifat tetap dan bukan suatu perundingan.

c. Adanya tujuan

Dalam sebuah perjanjian, hendaknya terdapat sebuah tujuan yang jelas

dari adanya sebuah perjanjian. Dalam hal ini, tujuan yang dimaksud

adalah tujuan dari pihak-pihak yang tidak bertentangan dengan

ketertiban umum, kesusilaan dan perundang-undangan yang berlaku.

d. Adanya prestasi

Dalam hal ini, perjanjian harus memuat sebuah persetujuan bahwa

harus ada sesuatu yang dilakukan (prestasi) yang harus dilakukan oleh

pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah perjanjian.

e. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan

Perjanjian dapat berbentuk lisan atau tertulis. Hal ini sesuai dengan

ketentuan undang-undang yang menyebutkan bahwa hanya dengan

bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan

bukti yang kuat.

f. Ada syarat-syarat tertentu

Perjanjian harus memenuhi syarat menurut undang-undang, agar suatu

(6)

Sementara menurut Salim H. S. unsur-unsur yang tercantum dalam

perjanjian dapat dikemukakan sebagai berikut:54

a. Adanya kaidah hukum

Kaidah dalam hukum perjanjian dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu

tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah

kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan

perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum

perjanjian tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul,

tumbuh, dan hidup dalam masyarakat.

b. Adanya subjek hukum

Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban dalam sebuah

peristiwa hukum. Yang menjadi subjek hukum dalam sebuah perjanjian

adalah kreditur dan debitur.

c. Adanya prestasi

Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur.

Prestasi dapat berbentuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan

tidak berbuat sesuatu.

d. Adanya kata sepakat

Di dalam pasal 1320 KUH Perdata ditentukan empat syarat sahnya

perjanjian, yang salah satunya adalah kata sepakat (konsensus).

Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara para

pihak.

54

(7)

e. Adanya akibat hukum

Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat

hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban dari para

pihak yang mengikatkan dirinya pada sebuah perjanjian.

2. Sumber Hukum Perjanjian di Indonesia

Hukum perjanjian sudah lama sekali ada di Indonesia. Paling tidak sumber

hukum yang tertulis sudah ada dalam KUH Dagang dan KUH Perdata, yang mulai

diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1848 berdasarkan asas konkordansi.

Bahkan sumber-sumber hukum perjanjian yang sangat tradisional sudah terlebih

dahulu ada, baik dalam hukum adat (seperti hukum kontrak/perjanjian adat), atau

hukum jual beli dagang secara sederhana yang mengatur interaksi jual beli rakyat

Indonesia dengan para saudagar asing kala itu, seperti saudagar-saudagar dari

Portugis, Belanda, Arab, Hindustan, dan lain-lain.55

Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu

sumber hukum materiil dan sumber hukum formal. Sumber hukum materiil ialah

tempat dari mana materi hukum itu diambil, yang merupakan faktor yang

membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan sosial, kekuatan politik,

situasi sosial ekonomi, tradisi, hasil penelitian ilmiah, perkembangan nasional dan

keadaan geografis. Sedangkan sumber hukum formal adalah tempat diperolehnya

kekuatan hukum tersebut, hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang

menyebabkan peraturan hukum formal tersebut berlaku. Yang diakui umum

55

(8)

sebagai sumber hukum formal adalah undang-undang, perjanjian internasional,

yurisprudensi dan kebiasaan.56

Dalam skala nasional, dasar-dasar dari hukum perjanjian terdapat dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Karena itu, Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata merupakan sumber utama dari suatu perjanjian.57 Dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian diatur dalam Bab II dan Bab V

sampai dengan Bab XVIII Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.58

Namun, terdapat beberapa sumber hukum lain yang dapat digunakan sebagai

sumber hukum perjanjian, yaitu:59

a. Peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur khusus untuk

jenis perjanjian tertentu atau mengatur aspek tertentu dari sebuah

perjanjian.

b. Yurisprudensi, yakni putusan-putusan hakim yang memutuskan perkara

yang berkenaan dengan perjanjian.

c. Perjanjian internasional, baik bersifat bilateral atau multilateral, yang

mengatur tentang aspek bisnis internasional.

d. Kebiasaan-kebiasaan bisnis yang berlaku dalam praktek sehari-hari.

e. Doktrin atau pendapat ahli yang telah dianut secara meluas.

f. Hukum adat di daerah tertentu sepanjang yang menyangkut dengan

perjanjian-perjanjian tradisional bagi masyarakat pedesaan.

56

Salim H. S., op. cit., hlm. 14.

57

Ibid., hlm. 10.

58

Handri Raharjo, op. cit., hlm. 51

59

(9)

3. Perjanjian Sebagai Bagian Dari Hukum Perikatan

Hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang mana hukum

perikatan merupakan bagian dari hukum harta kekayaan (vermogensrecht) yang

memiliki sistem terbuka dan bagian yang lain dari hukum harta kekayaan adalah

hukum benda yang mempunyai sistem tertutup.Sistem terbuka memiliki

pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan sebuah perjanjian untuk

memiliki perikatan dengan pihak lain.60

Perikatan itu sendiri memiliki arti sebagai suatu perhubungan hukum

antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu hendak

menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban

untuk menuntut tuntutan itu.61

Sementara suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji

kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara

dua orang tersebut yang dinamakan sebagai perikatan.62

Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa

perjanjian itu menerbitkan perikatan. Dapat dikatakan seperti itu, karena dalam

sebuah peristiwa hukum yang terjadi dalam pembuatan perjanjian, timbullah suatu

hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu

menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam

bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung

janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perjanjian merupakan

60

Firman Floranta Adonara, op. cit., hlm. 1.

61

Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1987), hlm. 1.

62

(10)

sumber utama dari lahirnya sebuah perikatan, namun terdapat juga

sumber-sumber lain yang dapat melahirkan sebuah perikatan, yaitu undang-undang.63

Perikatan adalah suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah

suatu hal yang kongkrit atau suatu peristiwa yang nyata. Perikatan yang lahir dari

perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang

membuatnya. Dengan kata lain, apabila dua orang mengadakan suatu perjanjian,

maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perikatan hukum.

Yang mana sungguh-sungguh mereka itu terikat satu sama lain karena janji yang

telah mereka lakukan, dan tali perikatan ini putus apabila janji-janji tersebut telah

dipenuhi.64

4. Perjanjian Bernama dan Tidak Bernama

Sebuah perjanjian dapat juga digolongkan berdasarkan namanya.

Penggolongan perjanjian berdasarkan namanya tercantum dalam pasal 1319 KUH

Perdata dam artikel 1355 NBW. Dalam pasal 1319 KUH Perdata dan artikel 1355

NBW, penggolongan perjanjian berdasarkan namanya hanya dibedakan menjadi 2

(dua) macam, yaitu perjanjian nominaat (bernama) dan perjanjian innominaat

(tidak bernama).65

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri,

perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang

berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari.66 Perjanjian bernama

adalah perjanjian yang memiliki nama dan diatur dalam KUH Perdata.67 Contoh

Mariam Darus Badrulzaman (1), Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: PT. Alumni, 2011) hlm. 19

67

(11)

perjanjian bernama adalah perjanjian-perjanjian yang terdapat dalam buku III Bab

V-XVIII KUH Perdata, seperti perjanjian jual-beli, perjanjian tukar-menukar,

perjanjian sewa-menyewa, perjanjian persekutuan, perjanjian pemberian kuasa,

perjanjian untung-untungan, dan lain-lain.

Sementara diluar perjanjian bernama tumbuh perjanjian tidak bernama,

yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi terdapat

di masyarakat.68 Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang timbul, tumbuh

dan hidup dalam masyarakat karena adanya asas kebebasan berkontrak dan

perjanjian jenis ini belum dikenal pada saat KUH Perdata diundangkan.69

Dari definisi perjanjian tidak bernama, dapat dilihat ada beberapa

unsur-unsur yang terdapat dalam perjanjian tidak bernama, yaitu:70

a. Perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata.

b. Perjanjian yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

c. Perjanjian yang timbul berdasarkan asas kebebasan berkontrak.

Karena perjanjian tidak bernama didasarkan pada asas kebebasan

berkontrak, maka sistem pengaturan hukum perjanjian tidak bernama adalah

dengan menggunakan sistem terbuka/open system. Jika dilihat dari aspek

pengaturannya, maka perjanjian tidak bernama digolongkan menjadi 3 jenis,

yaitu:71

68

Mariam Darus Badrulzaman (1), op. cit.

69

Salim H. S., op. cit.

70

Handri Raharjo, op. cit.

71

(12)

a. Perjanjian tidak bernama yang diatur secara khusus dan dituangkan

dalam bentuk undang-undang atau telah diatur dalam pasal-pasal

tersendiri. Misalnya, kontrak production sharing yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

b. Perjanjian tidak bernama yang diatur dalam peraturan pemerintah.

Misalnya, kontrak tentang waralaba/franchise yang diatur dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.

c. Perjanjian tidak bernama yang belum diatur atau belum ada

undang-undangnya di Indonesia. Misalnya, kontrak rahim atau surrogate

mother.

Namun, Vollmar mengemukakan perjanjian jenis ketiga yang terletak

antara perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian

campuran. Perjanjian campuran adalah perjanjian yang tidak hanya diliputi oleh

ajaran umum (tentang perjanjian) sebagaimana yang terdapat dalam titel I, II, dan

IV, karena kekhilafan, titel yang terakhir ini (titel IV) tidak disebut khusus oleh

pasal 1335 NBW, tetapi terdapat hal mana juga ada ketentuan-ketentuan khusus

untuk sebagian menyimpang dari ketentuan umum. Contoh perjanjian campuran

adalah pengusaha sewa rumah penginapan menyewakan kamar-kamar

(sewa-menyewa), tetapi juga menyediakan makanan (jual-beli), dan menyediakan

pelayanan (perjanjian untuk melakukan jasa-jasa).72

Di sisi lain, perbedaan dari perjanjian nominaat dan perjanjian innominaat

dapat dilihat dari sifatnya, yaitu bahwa perjanjian nominaat bersifat umum,

sedangkan perjanjian innominaat bersifat khusus sebagaimana tercantum dalam

72

(13)

peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga disini asas lex specialis

derogate legi generale berlaku.73

B. Asas-Asas Hukum Perjanjian di Indonesia

1. Pengertian dan Fungsi Asas Dalam Hukum

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dapat ditemukan tiga

pengertian asas, yang diuraikan sebagai berikut:74

a. Dasar, alas, pedoman: misalnya, batu yang baik untuk alas rumah.

b. Suatu kebenaran yang menjadi pokok atau tumpuan berpikir

(berpendapat dan sebagainya; misalnya: bertentangan dengan asas-asas

hukum pidana; pada asasnya saya setuju dengan usul saudara).

c. Cita-cita yang menjadi dasar (perkumpulan, negara dan sebagainya;

misalnya, membicarakan asas dan tujuan).

Sementara menurut Sudarsono dalam bukunya yang berjudul Kamus

Hukum, asas dapat diartikan sebagai sebuah hukum dasar, atau dasar (sesuatu

yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat), atau sebagai sebuah dasar

cita-cita (perkumpulan atau organisasi).75Asas hukum yang dimaksudkan disini ialah

asas yang dalam bahasa Belanda disebut dengan rechtbeginselen. Asas-asas

hukum tersebut membentuk isi kaidah hukum yang dibentuk atau dirumuskan

73

Handri Raharjo, op. cit., hlm. 63.

74

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.kemdikbud.go.id/.

75

(14)

oleh pihak-pihak yang berwenang melakukan kegiatan tersebut. Tanpa adanya

asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum akan kehilangan kekuatan mengikatnya.76

Tentang batasan pengertian asas hukum, ada berbagai pendapat yang

dikemukakan oleh beberapa ahli seperti berikut:77

a. Menurut Bellefroid, asas hukum adalah norma yang dijabarkan dari

hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari

aturan-aturan yang lebih umum tersebut. Asas hukum umum itu lebih

kepada pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat.

b. Menurut P. Scholten, asas hukum ialah kecenderungan-kecenderungan

yang diisyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum

merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya, sebagai

pembawaan yang umum akan tetapi yang tidak boleh tidak harus ada.

c. Menurut Eikema Hommes, asas hukum bukanlah norma-norma hukum

konkrit, tetapi ia adalah sebagai dasar-dasar pikiran umum atau

petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Asas hukum adalah

dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.

d. Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum adalah unsur yang penting dan

pokok dari peraturan hukum. Asas hukum adalah jantungnya peraturan

hukum karena ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya

perautran hukum atau ia adalah sebagai ratio legisnya peraturan hukum.

Satjipto Rahardjo selanjutnya mengatakan bahwa pada akhirnya

76

M. L. Tobing, Sekitar Pengantar Hukum, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 18.

77

(15)

peraturan-peraturan hukum itu harus dapat dikembalikan kepada

asas-asas tersebut.

Menurut GBHN (TAP MPR No. II/1993) pembaharuan hukum harus

berorientasi pada sebuah sistem hukum, yang merupakan keseluruhan tata tertib

hukum yang didukung oleh sejumlah asas. Asas-asas tersebut satu sama lain

berfungsi sebagai pendukung bagunan hukum, menciptakan harmonisasi,

keseimbangan, mencegah adanya tumpang tindih dan yang terpenting adalah

untuk menciptakan kepastian hukum di dalam keseluruhan tata tertib hukum

tersebut.78

Penggunaan asas hukum sangatlah penting bagi seluruh elemen subjek

hukum, khususnya bagi:79

a. Pengundang-undang, karena asas bertugas memberi garis-garis besar

dalam pembentukan hukum.

b. Hakim, karena asas memberi bahan yang amat berguna dalam

penafsiran undang-undang secara analogis.

c. Ilmu hukum, sebab asas-asas hukum merupakan hasil peningkata

berbagai peraturan-peraturan hukum dari tingkatan-tingkatan yang

rendah.

Dan sama halnya dengan asas hukum pada umumnya, asas dalam hukum

perjanjian maknanya hanya dapat ditentukan setelah kita memahami posisinya

78

Mariam Darus Badrulzaman (1), op. cit., hlm. 2.

79

(16)

dalam kaitan yang terpadu dengan asas-asas hukum perjanjian, yang secara

menyeluruh asas-asas ini merupakan pilar, tiang, fondasi dari hukum perjanjian.80

2. Asas-Asas Hukum Perjanjian di Indonesia

Di dalam hukum perjanjian ada di kenal lima asas penting, yaitu asas

kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sun servanda (asas

kepastian hukum), asas itikad baik, dan asas kepribadian.81 Kelima asas itu

disajikan berikut ini.

Bagan I: Asas Hukum Perjanjian Indonesia

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang mengajarkan bahwa

para pihak dalam suatu kontrak pada prinsipnya bebas untuk membuat

atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasannya untuk

mengatur sendiri isi kontrak tersebut.82 Ada beberapa hal yang

dijaminkan oleh adanya asas kebebasan berkontrak ini yang meliputi,

seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian, bebas mengenai apa

80

Ibid.

81

Salim H. S., op. cit., hlm. 9.

82

Munir Fuady (1), op. cit., hlm. 12.

Asas Hukum Perjanjian Indonesia

Kebebasan

Berkontrak Konsensualisme

Pacta Sun

(17)

yang akan diperjanjikan, dan bebas pula menentukan bentuk

perjanjiannya.83

Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya

paham individualisme yang secara embryonal lahir dalam zaman

Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat

dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de

Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke, dan Rosseau. Menurut paham

individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang

dikehendakinya, yang dalam hukum perjanjian diwujudkan dengan asas

kebebasan berkontrak.84

Dalam perkembangannya asas ini tidak lagi bersifat mutlak, melainkan

sudah bersifat relatif (kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab),

dan asas ini jugalah yang belakangan menyebabkan hukum perjanjian

bersistem terbuka. Yang dimaksud dengan kebebasan berkontrak yang

bertanggung jawab adalah bahwa setiap perjanjian harus dibuat dengan

tanpa melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.85

Dan melalui cara ini, terjadi yang namanya pemasyarakatan

(vermastchappelijking) hukum perjanjian.86

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat

penting dalam hukum perjanjian, karena asas kebebasan berkontrak

merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam

83

Abdul Rasyid Saliman, op. cit., hlm. 50.

84

Salim H. S., op. cit., hlm. 9.

85

Handri Raharjo, op. cit., hlm. 44.

86

(18)

menentukan perjanjian. Ada beberapa hal yang berkaitan dengan

perjanjian yang dijaminkan oleh asas kebebasan berkontrak, yang

pertama adalah bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian

atau tidak, yang kedua adalah bebas menentukan dengan siapa ia akan

melakukan perjanjian, yang ketiga adalah bebas menentukan isi atau

klausul perjanjian, yang keempat adalah bebas menentukan isi

perjanjian, dan yang kelima adalah para pihak memiliki

kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan.87

b. Asas Konsensualisme

Perjanjian lahir atau terjadi dengan adanya kata sepakat (Pasal 1320

KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH Perdata).88 Dengan kata lain, asas

konsensualisme adalah asas yang mengajarkan bahwa perjanjian itu

telah terjadi jika telah ada konsensus (kesepakatan) antara pihak-pihak

yang mengadakan kontrak.89 Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya

kesepakatan oleh para pihak, maka akan melahirkan hak dan kewajiban

bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah

bersifat obligatoir, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk

memenuhi perjanjian tersebut.90

Pada dasarnya, asas konsensualisme berlaku bukan hanya pada

perjanjian tertulis, karena lazimnya perjanjian itu sudah sah dalam arti

87

Ahmadi Miru (2), Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2017), hlm. 4.

88

Handri Raharjo, op. cit., hlm. 44.

89

Abdul Rasyid Saliman, op. cit.

90

(19)

sudah mengikat, apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal

pokok dari perjanjian. Namun, terhadap beberapa jenis perjanjian ada

pengecualian bahwa harus perjanjian yang tertulis yang bersifat sah dan

mengikat atau yang biasa dikenal dengan istilah perjanjian formal,

contohnya yaitu untuk perjanjian penghibahan jika mengenai benda tak

bergerak harus dilakukan dengan akta notaris, perjanjian perdamaian

harus diadakan secara tertulis, dan lain sebagainya.91

Asas konsensualisme muncul diilhami oleh hukum Romawi dan hukum

Jerman. Namun, dalam hukum Jerman asas konsensualisme tidak

dikenal secara langsung, tetapi yang dikenal adalah perjanjian riil

(perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata) dan perjanjian

formal (perjanjian yagn telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis).

Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan

contractusinnominat, yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila

memenuhi bentuk yang telah ditetapkan.92

c. Asas Pacta Sun Servanda

Istilah “pacta sun servanda” memiliki arti “janji itu mengikat”.93 Setiap orang yang membuat perjanjian, dia terikat untuk memenuhi perjajian

tersebut karena perjanjian tersebut mengandung janji-janji yang harus

dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana

mengikatnya undang-undang.94 Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338

91

Subekti, op. cit., hlm. 15-16.

92

Salim H. S., op. cit., hlm. 10.

93

Munir Fuady (1), op. cit., hlm. 12.

94

(20)

ayat (1) KUH Perdata yang menentukan bahwa semua perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya.95

Asas pacta sun servanda pada mulanya dikenal dalam hukum gereja,

dimana dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu

perjanjian apabila ada kesepakatan kedua belah pihak dan dikuatkan

dengan sumpah, yang bermakna setiap perjanjian yang diadakan oleh

kedua pihak merupakan perbuatan yang sacral dan dikaitkan dengan

unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangannya asas pacta sun

servanda diberi arti pactum, yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan

dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya, yang membuat

perjanjian menjadi bersifat nudus pactum, yaitu sudah cukup dengan

sepakat saja.96

d. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH

Perdata bahwa para pihak, yaitu debitur dan kreditur harus

melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau

keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.97 Sementara

itu, Arrest H. R. di negeri Belanda memberikan peranan tertinggi

terhadap itikad baik dalam tahap praperjanjian, begitu pentingnya itikad

baik tersebut sehingga dalam perundingan-perundingan atau perjanjian

antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu

95

Ahmadi Miru, op. cit., hlm. 5.

96

Salim H. S., op. cit., hlm. 10.

97

(21)

hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan

khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu

harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar

dari pihak lain.98

Asas itikad baik sendiri dibagi menjadi dua macam, yaitu itikad baik

nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad baik nisbi, orang

memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek.

Sementara dalam itikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal

sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan

(penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.99

e. Asas Kepribadian

Asas kepribadian atau personalitas adalah sebuah asas yang

mengajarkan bahwa tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian

kecuali untuk dirinya sendiri, seperti yang dikatakan dalam Pasal 1315

KUH Perdata dan Pasal 1340 KUH Perdata. Sementara terdapat

pengecualian dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang mengatakan bahwa

perjanjian dapat dibuat untuk kepentingan pihak ketiga.100 Pasal 1317

KUH Perdata tersebut mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat

mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan suatu

syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUH Perdata,

tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk

kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh

98

Ahmadi Miru, op. cit., hlm. 5.

99

Salim H. S., op. cit., hlm. 11.

100

(22)

hak dari padanya. Perbedaan keduanya adalah bahwa Pasal 1317 KUH

Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318

KUH Perdata, ruang lingkupnya yang luas.101

Di samping kelima asas itu, di dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang

diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional pada tanggal 17-19

Desember 1985, telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan

nasional, yaitu:102

a. Asas kepercayaan, yaitu asas yang mengadung pengertian bahwa setiap

orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi

yang diadakan di antara mereka di belakang hari.

b. Asas persamaan hukum, yaitu asas yang mengajarkan bahwa subjek

hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak, dan

kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak dibeda-bedakan

antara satu sama lain, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit,

agama ataupun ras.

c. Asas keseimbangan, yaitu asas yang menghendaki kedua belah pihak

memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan

untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan

prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula

kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.

d. Asas kepastian hukum, yakni asas yang menjamin bahwa perjanjian

sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum, yang

101

Salim H. S., op. cit., hlm. 11

102

(23)

terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai

undang-undang bagi yang membuatnya.

e. Asas moral, yakni asas yang terikat dalam perjanjian wajar, yaitu suatu

perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntu hak baginya

untuk menggugat prestasi dari pihak debitur, yang mana perbuatan

hukum yang dilakukan pada sebuah perikatan menurut asas ini adalah

didasarkan pada moral sebagai panggilan hati nuraninya.

f. Asas kepatutan, yakni asas yang tertuang dalam Pasal 1339 KUH

perdata, yang berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.

g. Asas kebiasaan, yaitu asas yang mengajarkan bahwa suatu perjanjian

tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi

juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.

h. Asas perlindungan (protection), mengandung pengertian bahwa antara

debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum.

C. Perjanjian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

1. Syarat Sahnya Perjanjian

Pasal 1320 KUH Perdata berbunyi:103

“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. suatu pokok persoalan tertentu;

103

(24)

4. suatu sebab yang tidak terlarang.”

Mengenai syarat sahnya sebuah perjanjian dalam pasal 1320 KUH Perdata,

Subekti mengatakan bahwa syarat pertama dan syarat kedua, dinamakan syarat

subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan

perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat dinamakan syarat-syarat objektif,

karena mengenai perjanjiannya sendiri oleh objek dari perbuatan hukum yang

dilakukan itu.104

Syarat yang pertama terdapat pada pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata yang

menyatakan bahwa sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau konsensus

para pihak. Kesepakatan yang dimaksud adalah persesuaian pernyataan kehendak

antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.105 Jadi, kesepakatan itu penting

diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjian. Ada beberapa unsur-unsur

kesepakatan, yaituofferte (penawaran) yang merupakan pernyataan penawaran

dari pihak yang menawarkan, dan acceptasi (penerimaan) yang merupakan

pernyataan dari pihak yang menerima penawaran.106

Dengan kata lain, syarat kesepakatan yang memuat adanya kesesuaian

pendapat antara para pihak mengenai hal-hal yang diatur dalam perjanjian

diharuskan dalam sebuah perjanjian agar perjanjian tersebut dianggap sah di mata

hukum.107 Dalam melihat kapan terjadinya sebuah kesepakatan, terdapat beberapa

teori mengenai hal tersebut, yaitu:108

104

Subekti, op. cit., hlm. 17.

105

Salim H. S., op. cit., hlm. 33.

106

Handri Raharjo, op. cit., hlm. 47.

107

Munir Fuady (1), op. cit., hlm. 15.

108

(25)

a. Teori pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak

pihak yang menerima tawaran menyatakan ahwa ia menerima

penawaran itu.

b. Teori pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada saat

kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima

tawaran.

c. Teori pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan

seharusnya mengetahui bahwa tawarannya sudah diterima.

d. Teori penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak

yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

Kesepakatan merupakan penentu terjadi atau lahirnya sebuah perjanjian.

Akan tetapi, walaupun telah terjadi kesepakatan antara para pihak yang

melahirkan perjanjian, masih terdapat kemungkinan bahwa kesepakatan yang

telah dicapai tersebut mengalami kecacatan atau yang disebut dengan cacat

kehendak sehingga memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan

oleh pihak yang merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut.109

Syarat yang kedua adalah orang yang membuat perjanjian haruslah cakap

bertindak didalam hukum. Artinya orang tersebut memiliki kewenangan untuk

melakukan suatu perbuatan hukum, baik untuk kepentingannya sendiri, maupun

untuk orang lain yang diwakilinya. Pada asasnya setiap subjek hukum cakapuntuk

109

(26)

melakukan perbuatan hukum, kecuali mereka yang belum dewasa dan di bawah

pengampuan.110

Dalam hal ini harus dibedakan kecakapan antara ketidakcakapan karena

belum dewasa dan dibawah pengampuan, dengan orang-orang yang karena

jabatannya didiskualifikasikan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu.

Misalnya seorang hakim dilarang untuk melakukan jual beli atas barang yang

sedang dalam sengketa di pengadilan, di mana dia bertindak sebagai hakim. Jika

diskualifikasi itu dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, bukan

dapat dibatalkan. Demikian pula kecakapan dalam pasal 1330 KUH Perdata harus

dibedakan dengan kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang

bersifat kepemilikan.111

Kecakapan bertindak adalah kecakapa atau kemampuan untuk melakukan

perbuatan hukum. Sementara perbuatan hukum itu sendiri adalah perbuatan yang

akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian

haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan

perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Orang yang

cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang

sudah dewasa, ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun dan atau sudah

kawin. Orang yang tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum

memiliki klasifikasi sebagai berikut:112

a. anak di bawah umur (minderjarigheid),

110

Ahmadi Miru (1), op. cit., hlm. 293.

111

Ibid.

112

(27)

b. orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan

c. istri (pasal 1330 KUH Perdata). Akan tetapi dalam perkembangannya

istri dapat melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur

dalam pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA No. 3 Tahun 1963.

Syarat ketiga yang terdapat dalam pasal 1320 ayat (3) KUH Perdata adalah

adanya suatu pokok persoalan tertentu. Dalam suatu perjanjian, objek perjanjian

haruslah jelas dan ditentukan oleh para pihak, objek perjanjian tersebut dapat

berupa barang maupun jasa, namun dapat juga berupa tidak berbuat sesuatu. Hal

tertentu ini dalam perjanjian disebut prestasi yang dapat berwujud barang,

keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu.113

Suatu objek perjanjian dalam KUH Perdata dimuat dalam pasal 1332

sampai dengan pasal 1334. Objek perjanjian dalam pasal tersebut dapat

dikategorikan menjadi:114

a. Objek yang akan ada (kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis

dan dapat dihitung.

b. Objek yang dapat diperdagangkan, namun untuk barang-barang yang

dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek

perjanjian.

Dalam hal menentukan barang yang menjadi objek perjanjian, dapat

dipergunakan berbagai cara seperti menghitung, menimbang, mengukur, atau

menakar. Sementara itu, untuk menentukan jasa, harus ditentukan dengan jelas

113

Ahmadi Miru (2), op. cit., hlm. 30.

114

(28)

apa yang harus dilakukan oleh salah satu pihak. Sama halnya dengan untuk

menentukan tentang hal tidak melakukan sesuatu, juga harus ditentukan dengan

jelas dalam perjanjian.115

Syarat keempat untuk memenuhi sahnya sebuah perjanjian adalah suatu

sebab yang tidak terlarang atau suatu sebab yang halal. Sebab yang dimaksud

adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian

(pasal 1337 KUH Perdata). Halal adalah tidak bertentangan dengan

undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Yang mana apabila syarat ini tidak

dipenuhi, maka suatu perjanjian dapat dikatakan batal demi hukum.116

Menurut Sudikno Mertokusumo, dengan melakukan penafsiran secara a

contrario, maka pengertian sebab yang halal adalah sebab yang tidak

bertentangan atau sesuai dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban

umum. Sementara definisi causa atau sebab dari Wirjono Prodjodikoro mencakup

pengertian sebab yang halal dan sebab yang palsu dalam pasal 1335 KUH

Perdata. Karena suatu perjanjian yang isinya halal mungkin saja tujuannya adalah

untuk menghindari suatu ketentuan undang-undang.117

2. Prestasi dan Wanprestasi

Berdasarkan pasal 1234 KUH Perdata yang mengatakan “Tiap-tiap

perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak

berbuat sesuatu.” Dengan demikian, suatu perikatan melahirkan kewajiban yang

harus dilakukan oleh si berutang dan melahirkan hak kepada si berpiutang untuk

115

Ahmadi Miru (2), op. cit., hlm. 30.

116

Handri Raharjo, op. cit., hlm. 57-58.

117

(29)

menuntut pelaksanaan kewajiban tersebut. Kewajiban yang dilakukan oleh si

berutang inilah yang disebut dengan prestasi. Prestasi dalam perjanjian yang

bersifat sepihak mengakibatkan prestasi yang merupakan kewajiban yang hanya

ada pada satu pihak tanpa diperlukan kewajiban pihak yang lainnya. Dalam

perjanjian yang bersifat timbal balik, maka prestasi merupakan kewajiban yang

harus saling dipenuhi oleh para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut

kepada satu pihak lainnya.118

Dengan kata lain, prestasi merupakan kewajiban yang perlu dipenuhi para

pihak dalam suatu perjanjian. Dan prestasi sebagai bentuk pelaksanaan dari

sebuah perjanjian dapat berbentuk benda, tenaga atau keahlian dan tidak berbuat

sesuatu. Prestasi berupa benda harus diserahkan kepada pihak lainnya.

Penyerahan tersebut dapat berupa penyerahan hak milik atau penyerahan

kenikmatannya saja, sedangkan prestasi yang berupa tenaga atau keahlian harus

dilakukan oleh pihak-pihak yang “menjual” tenaga atau keahliannya. Adapun prestasi yang tidak berbuat seuatu adalah menuntut sikap pasif salah satu pihak

atau para pihak karena dia tidak dibolehkan melakukan sesuatu sebagaimana yang

diperjanjikan.119

Walaupun pada umumnya prestasi para pihak secara tegas ditentukan

dalam perjanjian, prestasi tersebut juga dapat lahir karena diharuskan oleh

kebiasaan, kepatutan, atau undang-undang. Oleh karena itu, prestasi yang harus

dilakukan oleh para pihak telah ditentukan dalam perjanjian atau diharuskan oleh

118

Ibid., hlm. 303.

119

(30)

kebiasaan, kepatutan, atau undang-undang, tidak dilakukannya prestasi tersebut

berarti telah terjadi ingkar janji atau disebut wanprestasi.120

Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi

buruk. Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitor dapat berupa empat

macam, yaitu tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya,

melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikan,

melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlampat, dan melakukan sesuatu yang

menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.121

Akibat dari wanprestasi itu biasanya dapat dikenalan sanksi berupa ganti

rugi, pembatalan perjanjian, peralihak risiko, maupun membayar biaya perkara.

Sebagai contoh seorang debitor dituduh melakukan perbuatan melawan hukum,

lalai atau secara sengaja tidak melaksanakan prestasi sesuai yang telah disepakati

dalam perjanjian. Jika terbukti, maka debitor harus mengganti kerugian yang

meliputi ganti rugi, bunga dan biaya perkaranya. Namun, debitor bisa saja

membela diri dengan alasan keadaan memaksa (overmacht/force majeure),

kelalaian kreditor sendiri atau kreditor telah melepaskan haknya untuk menuntut

ganti rugi. Untuk hal yang demikian debitor tidak harus mengganti kerugian. Oleh

karena itu, sebaiknya dalam setiap perjanjian harus dicantumkan dengan jelas

mengenai risiko, wanprestasi dan keadaan memaksa.122

120

Ibid., hlm. 70.

121

Subekti, op. cit., hlm. 45.

122

(31)

3. Penafsiran Perjanjian

Penafsiran perjanjian diatur di dalam pasal 1342 KUH Perdata sampai

dengan pasal 1351 KUH Perdata. Penafsiran perjanjian merupakan salah satu

metode penemuan hukum (cara untuk menemukan hukumnya). Penafsiran

perjanjian diperlukan karena dalam sebuah perjanjian sering ditemui kata-kata

yang tidak jelas atau perjanjian yang hanya mengatur mengenai pokok-pokok

permasalahannya saja, sehingga diperlukan suatu bentuk penafsiran untuk

mengetahui maksud yang ingin dicapai oleh semua pihak dalam membuat

perjanjian.123

Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa isi perjanjian dibedakan

menjadi dua macam, yaitu kata-katanya jelas dan kata-katanya tidak jelas,

sehingga menimbulkan bermacam-macam penafsiran. Di dalam pasal 1342 KUH

Perdata disebutkan bahwa apabila kata-kata dalam suatu perjanjian tidak jelas,

tidak diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran. Ini

berarti bahwa para pihak haruslah melaksanakan isi perjanjian tersebut dengan

itikad baik. Apabila kata-katanya tidak jelas, maka dapat dilakukan penafsiran

terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang memperhatikan beberapa

aspek berikut ini:124

a. Jika kata-kata yang terdapat dalam perjanjian memberikan berbagai

penafsiran maka harus diselidiki maksud para pihak yang membuat

perjanjian (pasal 1343 KUH Perdata).

123

Handri Raharjo, op. cit., hlm. 59.

124

(32)

b. Jika suatu janji memberikan berbagai penafsiran maka harus diselidiki

pengertian yang memungkinkan perjanjian itu dapat dilaksanakan

(pasal 1344 KUH Perdata).

c. Jika kata-kata dalam perjanjian diberikan dua macam pengertian maka

harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian

(pasal 1345 KUH Perdata). Apabila terjadi keragu-raguan, maka harus

ditafsirkan menurut kebiasaan dalam negeri atau di tempat dibuatnya

perjanjian tersebut (pasal 1346 KUH Perdata).

d. Jika ada keragu-raguan, perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang

yang meminta diperjanjikan sesuatu hal, dan untuk keuntungan orang

yang mengikatkan dirinya untuk itu (pasal 1349 KUH Perdata).

Berdasarkan hal tersebut, penafsiran perjanjian dalam hukum kontrak

memiliki tempat yang sangat penting untuk diperhatikan.Adapun cara penafsiran

perjanjian menurut Ahmadi Miru adalah sebagai berikut:125

a. Penafsiran atas rumusan perjanjian tersebut disesuaikan dengan maksud

para pihak, jadi walaupun kalimat dalam perjanjian tersebut dirumuskan

tidak begitu jelasm namun maksud dari para pihak ketika merumuskan

perjanjian yang dijadikan landasan dalam penafsiran kontrak tersebut.

b. Penafsiran perjanjian tersebut diarahkan kepada kemungkinan dapat

terlaksananya perjanjian tersebut. Jadi kalau suatu perjanjian bermakna

ganda, maka harus ditafsirkan kea rah bagaimana perjanjian itu dapat

125

(33)

terlaksana daripada kalau ditafsirkan kepada kemungkinan penafsiran

lainnya yang menyebabkan kontrak tersebut tidak dapat dilaksanakan.

c. Penafsiran perjanjian tersebut kearah yang paling selaras dengan sifat

perjanjian.

d. Penafsiran perjanjian diarahkan kepada kebiasaan setempat. Jadi kalau

suatu kalimat yang tidak jelas bahkan tidak diatur secara tegas, harus

ditafsirkan sesuai dengan kebiasaan setempat.

e. Penafsiran diarahkan pada hal-hal yang selamanya dicantumkan dalam

perjanjian, walaupun hal itu tidak secara tegas diperjanjikan.

f. Penafsiran diarahkan kepada suatu kesatuan perjanjian atau setiap

klausul perjanjian harus ditafsirkan dalam rangka kontrak seluruhnya.

Maksudnya, dalam suatu perjanjian tidak dapat dibagi-bagi cara

penafsiran antara satu kata dengan kata lainnya, melainkan harus

ditafsirkan secara keseluruhan dalam suatu keutuhan perjanjian.

g. Penafsiran diarahkan kepada kerugian bagi orang yang meminta

ditetapkannya suatu hak dan atas keuntungan orang yang mengikatkan

dirinya. Maksudnya, kalau dalam perjanjian itu terdapat keragu-raguan

tentang maksud perjanjian, perjanjian itu diarahkan untuk mengurangi

hak pihak yang satu yang berarti pula mengurangi kewajiban pihak

lainnya.

h. Penafsiran diarahkan untuk membatasi suatu kontrak hanya terhadap

(34)

membuat perjanjian, walaupun kata-kata dalam perjanjian tersebut

cakupannya lebih luas dari maksud para pihak tersebut.

4. Berakhirnya Perjanjian

Berakhirnya perjanjian merupakan selesai atau hapusnya sebuah kontrak

yang dibuat antara dua pihak, yaitu pihak debitur dan kreditur tentang sesuatu hal.

Sesuatu hal disini bisa berarti segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh kedua

pihak, bisa jual beli, utang piutang, sewa-menyewa, dan lain-lain.126

Dalam KUH Perdata tidak diatur secara khusus tentang berakhirnya suatu

perjanjian, tetapi yang diatur dalam bab IV buku III KUH Perdata hanya hapusnya

perikatan-perikatan. walaupun demikian, ketentuan tentang hapusnya perikatan

tersebut juga merupakan ketentuan tentang hapusnya perjanjian karena perikatan

yang dimaksud dalam bab IV buku III KUH Perdata tersebut adalah perikatan

pada umumnya.127

Mengenai hapusnya sebuah perjanjian, dalam KUH Perdata diatur dalam

pasal 1381, yang meliputi:

a. Pembayaran

Mengenai pembayaran diatur dalam pasal 1382 KUH Perdata sampai

dengan pasal 1403 KUH Perdata. Pembayaran yang dimaksud disini

adalah pelunasan utang (uang, jasa, barang) atau tindakan pemenuhan

prestasi oleh debitor kepada kreditor.128 Pembayaran yang terjadi disini

haruslah pembayaran yang dilakukan secara sukarela, dalam arti bahwa

126

Salim H. S., op. cit., hlm. 163.

127

Ahmadi Miru (2), op. cit., hlm. 87.

128

(35)

pembayaran bukan saja dengan bentuk pembeli yang membayar harga

pembelian, tetapi pihak penjual pun dikatakan “membayar” jika ia menyerahkan atau “melever” barang yang dijualnya secara sukarela.129

Namun, bila dilihat ke dalam lingkup yang lebih sempit, pembayaran

yang dimaksudkan dalam hal ini bukanlah pembayaran yang

dipergunakan dalam percakapan sehari-hari yang harus dilakukan

dengan uang. Pembayaran yang dimaksudkan disini adalah segala

bentuk pemenuhan prestasi oleh salah satu pihak yang terikat dalam

perjanjian.130

b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan/penitipan

(konsinyasi)

Yang disebut dengan berakhirnya sebuah perjanjian karena konsinyasi

adalah apabila seorang kreditor menolak pembayaran yang dilakukan

oleh debitor namun ditolak, dan setelah itu debitor tetap mencoba untuk

melakukan penawaran untuk membayar utangnya secara tunai namun

tetap ditolak oleh kreditor, maka debitor dapat menitipkan uang atau

barangnya di pengadilan. 131 Penawaran pembayaran yang diikuti

dengan penitipan uang atau barang di pengadilan, membebaskan debitor

dan berlaku baginya sebagai pembayaran asal penawaran itu dilakukan

berdasarkan undang-undang, dan apa yang dititipkan itu merupakan

129

Subekti, op. cit., hlm. 64.

130

Ahmadi Miru (2), op. cit., hlm.88.

131

(36)

atas tanggungan si kreditor. Dan mengenai konsinyasi ini dalam KUH

Perdata diatur dalam pasal 1404 sampai dengan pasal 1412.132

c. Pembaharuan utang (Novasi)

Pembaharuan utang atau novasi diatur dalam pasal 1413 KUH Perdata

sampai dengan pasal 1424 KUH Perdata. Pembaharuan utang atau

novasi adalah perjanjian antara debitor dengan kreditor dimana

perjanjian yang sudah ada dihapuskan dan kemudian dibuat suatu

perjanjian yang baru.133 Menurut pasal 1413 KUH Perdata, ada 3 (tiga)

macam cara untuk melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi,

yaitu: pertama, apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan

utang baru guna orang yang menghutangkannya, yang menggantikan

utang yang lama yang dihapuskan karenanya. Kedua, apabila seorang

berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang

oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya. Ketiga, apabila

sebagai akibat dari suatu perjanjian baru, seorang kreditor baru ditunjuk

untuk menggantikan kreditor lama, terhadap siapa si berutang

dibebaskan dari perikatannya. Novasi yang pertama biasa disebut

dengan novasi objektif, dan novasi kedua biasa disebut sebagai novasi

subjektif pasif, sedangkan novasi ketiga biasa dikenal dengan novasi

subjektif aktif.134

132

Ahmadi Miru (2), op. cit., hlm. 96.

133

Handri Raharjo, op. cit., hlm. 97.

134

(37)

d. Perjumpaan utang (Kompensasi)

Perjumpaan utang atau kompensasi diatur dalam pasal 1425 KUH

Perdata sampai dengan pasal 1435 KUH Perdata. Perjumpaan utang

atau kompensasi ini terjadi jika antara dua pihak saling berutang antara

satu dan yang lain sehingga apabila utang tersebut masing-masing

diperhitungkan dan sama nilainya, kedua belah pihak akan bebas dari

utangnya. Perjumpaan utang ini terjadi secara hukum walaupun hal itu

tidak diketahui oleh si debitor.135 Untuk dapat mengakhiri sebuah

perjanjian dengan cara ini, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi

sebagai syarat terjadinya kompensasi, yakni kedua-duanya berpokok

pada sejumpah uang atau berpokok pada jumlah barang yang dapat

dihabiskan dari jenis yang sama atau kedua-duanya dapat ditetapkan

dan ditagih seketika.136 Mengenai tujuan utama dilakukannya

kompensasi sebagai bentuk pengakhiran suatu perjanjian adalah agar

terdapat penyederhanaan pembayaran yang simpang siur antara pihak

kreditor dan debitor, untuk memungkinkan terjadinya pembayaran

utang secara sebagian, atau untuk memberikan kepastian pembayaran

dalam keadaan pailit.137

e. Pencampuran utang (Konfisio)

Berakhirnya suatu perjanjian karena pencampuran utang terjadi apabila

kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditor) dan orang berutang

(debitor) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum

135

Ahmadi Miru (2), op. cit., hlm. 101.

136

Handri Raharjo, op. cit., hlm. 98.

137

(38)

suatu pencampuran utang dengan mana utang-piutang itu

dihapuskan.138 Ada dua cara terjadinya pencampuran utang, yaitu

dengan jalan penerusan hak dengan alas hak umum atau dengan jalan

penerusan hak di bawah alas hak khusus. Pencampuran utang ini diatur

dalam pasal 1436 KUH Perdata sampai dengan pasal 1437 KUH

Perdata.139

f. Pembebasan utang

Pembebasan utang adalah pernyataan sepihak dari kreditor kepada

debitor bahwa debitor telah dibebaskan dari perutangan.140 Ada du

acara terjadinya pembebasan utang, yaitu dengan cara cuma-cuma atau

dengan adanya prestasi dari pihak debitor. Pembebasan utang secara

cuma-cuma harus dipandang sebagai penghadiahan, sedangkan dengan

adanya prestasi dari pihak debitor artinya sebuah prestasi lain, selain

prestasi yang terutang. Pembebasan ini diatur dalam pasal 1438 KUH

Perdata sampai dengan pasal 1443 KUH Perdata.141

g. Musnahnya barang yang terutang

Jika barang tertentu yang menjadi objek perjanjian musnah, tak lai

dapat diperdagangkan, atau hilang hingga sama sekali tidak diketahui

apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang

tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia

lalai untuk menyerahkan atau mengembalikannya. Mengenai hal ini,

138

Subekti, op. cit., hlm. 73.

139

Salim H. S., op. cit., hlm. 172.

140

Handri Raharjo, op. cit., hlm. 99.

141

(39)

diatur dalam pasal 1444 KUH Perdata sampai dengan pasal 1445 KUH

Perdata.142 Namun untuk dapat mengakhiri sebuah perjanjian dengan

cara seperti ini, kejadian-kejadian tidak terduga yang menyebabkan

debitor tidak dapat menyerahkan objek perjanjian tersebut harus

dibuktikan oleh debitor atau dengan kata lain pembuktian dibebankan

kepada debitor. sementara itu, jika barang tersebut hilang, musnah, atau

tidak dapat diperdagangkan bukan karena kesalahan debitor, sedangkan

terhadap barang-barang tersebut terdapat hak tagih atau tuntutan ganti

rugi dari debitor, hak tagih atau tuntutan ganti rugi tersebut diserahkan

kepada kreditor.143

h. Kebatalan dan pembatalan perjanjian

Kebatalan kontrak diatur dalam pasal 1446 KUH Perdata sampai

dengan pasal 1456 KUH Perdata. Ada tiga penyebab timbulnya

pembatalan kontrak, yaitu adanya perjanjian yang dibuat oleh

orang-orang yang belum dewasa dan di bawah pengampuan, perjanjian

tersebut tidak mengindahkan bentuk perjanjian yang disyaratkan dalam

undang-undang, atau dengan adanya cacat kehendak.144 Dalam pasal

1446 KUH Perdata yang diatur dengan jelas adalah pembatalan

perjanjian-perjanjian yang dapat dimintakan (vernietigbaar atau

voidable). Meminta pembatalan perjanjian yang dianggap tidak

memenuhi syarat sahnya perjanjian dapat dilakukan dengan dua cara,

yaitu dengan secara aktif menuntut pembatalan perjanjian yang

142

Subekti, op. cit., hlm. 74.

143

Ahmadi Miru (2), op. cit., hlm. 107.

144

(40)

demikian di depan hakim (pengadilan), atau dengan cara pembelaan,

yaitu, menunggu sampai digugat didepan hakim untuk memenuhi

perjanjian dan disanalah baru mengajukan keberatan atas syarat sahnya

perjanjian yang telah dilanggar dalam perjanjian tersebut.145

i. Berlakunya syarat batal

Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan

pada suatu peristiwa yang masih akan datang atau masih belum tentu

akan terjadi, baik secara mengangguhkan lahirnya perikatan atau secara

membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidaknya peristiwa

tersebut.146 Perikatan bersyarat merupakan sumber berlakunya syarat

batal sebagai salah satu penyebab berakhirnya perjanjian, atau dengan

kata lain berlakunya syarat batal ini diatur dalam perikatan-perikatan

bersyarat.147 Sementara berlakunya syarat batal sendiri bila diartikan

memiliki makna sebagai suatu syarat yang bila dipenuhi akan

menghapuskan perjanjian dan dmembawa segala sesuatu pada keadaan

semula, yaitu seolah-olah tidak ada suatu perjanjian.148

j. Lewat waktu atau kadaluwarsa

Menurut pasal 1946 KUH Perdata, yang dimaksud dengan lewat waktu

atau daluwarsa adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau

untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu

145

Subekti, op. cit., hlm. 76.

146

Ibid.

147

Handri Raharjo, op. cit., hlm. 99-100.

148

(41)

tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentunkan oleh undang-undang.149

Pada umumnya, setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak baik

perjanjian yang dibuat melalui akta di bawah tangan maupun yang

dibuat oleh atau di muka pejabat yang berwenang telah ditentukan

secara tegas jangka waktu dan tanggal berakhirnya perjanjian tersebut.

penentuan jangka waktu dan tanggal berakhirnya perjanjian

dimaksudkan agar salah satu pihak tidak perlu memberitahukan tentang

berakhirnya kontrak tersebut, namun para pihak telah mengetahuinya

masing-masing. Penentuan jangka waktu berakhirnya suatu perjanjian

adalah didasarkan pada kemauan dan kesepakatan para pihak.150 Lewat

waktu atau daluwarsa itu sendiri dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu

acquisitive verjaring dan extinctieve verjaring. Acquisitive verjaring

yaitu kadaluwarsa untuk memperoleh sesuatu hak, yang diatr dalam

pasal 1936 KUH Perdata, namun setelah berlakunya Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria,

kadaluwarsa jenis ini tidak berlaku lagi. Jenis yang kedua adalah

extinctieve verjaring, yaitu kadaluwarsa untuk dibebaskan dari sebuah

kewajiban, yang diatur dalam pasal 1967 KUH Perdata.151

5. Penyelesaian Sengketa Perjanjian

Pada dasarnya setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus dapat

dilaksanakan dengan sukarela atau itikad baik, namun dalam kenyataannya

perjanjian yang dibuatnya seringkali dilanggar. Dalam menyelesaikan

149

Subekti, op. cit., hlm. 77.

150

Salim H. S., op. cit., hlm. 175.

151

(42)

pelanggaran terhadap isi sebuah perjanjian, terdapat dua cara populer yang sering

kali digunakan dalam upaya penyelesaian sengketa, yaitu dengan cara melalui

pengadilan atau dengan cara menggunakan alternatif penyelesaian sengketa.152

Namun dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan, terdapat

beberapa kekurangan yang mengakibatkan para pihak lebih dominan untuk

memilih penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Kekurangan yang dimaksud

yaitu, proses penyelesaian sengketa yang sangat lambat, biaya perkara yang

mahal, pengadilan yang pada umumnya bersifat tidak responsif, putusan

pengadilan yang tidak menyelesaikan masalah, dan kemampuan para hakim yang

bersifat generalis.153

Berdasarkan berbagai kekurangan penyelesaian sengketa melalui

pengadilan itulah sehingga dalam dunia bisnis pihak yang bersengketa dapat lebih

memilih menyelesaikan sengketa yang dilakukan diluar pengadilan.154 Namun

dalam beberapa kesempatan, ada juga dikenal dua pola penyelesaian sengketa

yaitu, the binding adjudicative procedure dan the nonbinding adjudicative

procedure.155

The binding adjudicative procedure adalah suatu prosedur penyelesaian

sengketa yang di dalam memutuskan perkara hakim mengikat para pihak. Yang

termasuk dalam the binding adjudicative procedure yakni:

152

Salim H. S., op. cit., hlm. 140.

153

Ahmadi Miru (2), op. cit., hlm. 111.

154

ibid., hlm. 112-113.

155

(43)

a. Litigasi, yaitu proses gugatan, suatu sengketa diritualisasikan yang

menggantikan sengketa sesungguhnya, yaitu para pihak dengan

memberikan kepada seorang pengambil keputusan dua pilihan yang

bertentangan.156

b. Arbitrase, yaitu penyelesaian sengketa perdata diluar pengadilan umum

yang berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis

oleh pihak yang bersengketa.157

c. Mediasi-Arbitrase, yaitu salah satu variasi dari mediasi yang merupakan

suatu prosedur di mana sengketa pertama kali diselesaikan dengan

mediasi dan berikutnya bilamana perlu terhadap isu-isu yang tidak

terselesaikan dengan mediasi, maka akan ditempuh cara arbitrase.158

d. Hakim partikelir, yaitu adalah proses penyelesaian sengketa dengan

meminta hakim partikelir, wasit atau magister yang ditunjuk dengan

kesepakatan kedua belah pihak untuk memeriksa isu-isu tertentu atau

keseluruhan sengketa.159

Sedangkan the nonbinding adjudicative procedure adalah suatu proses

penyelesaian sengketa yang di dalam memutuskan perkara hakim atau orang yang

ditunjuk tidak mengikat para pihak. Penyelesaian sengketa dengan cara ini dibagi

menjadi 6 (enam) cara, yaitu:

a. Konsiliasi, yaitu salah satu alternative penyelesaian sengketa yang

dapat ditempuh di luar pengadilan yang diartikan sebagai adanya

156

ibid.

157

Ahmadi Miru (2), op. cit., hlm. 114.

158

Salim H.S., op. cit., hlm. 154.

159

(44)

seorang yang independen yang membawa para pihak yang bersengketa

untuk duduk bersama dan mencari sebuah jalan keluar bersama dengan

memfasilitasi komunikasi yang baik antara para pihak.160

b. Mediasi, yaitu sebuah proses penyelesaian sengketa dengan

menggunakan jasa seorang pihak yang netral (mediator) yang ditunjuk

berdasarkan kesepakatan pihak yang bersengketa menjadi seorang

penengah untuk memudahkan negosiasi antara para pihak.161

c. Mini-Trial atau bisa disebut dengan istilah persidangan/pemeriksaan

mini, yaitu merupakan suatu negosiasi terstruktur yang biasanya

berbentuk suatu pertukaran informasi yang tidak mengikat. Hal ini

dilakukan di hadapan suatu panel yang terdiri dari paa pihak dan

kadang-kadang oleh penasihat netral.162

d. Summary Jury Trial, yaitu suatu persidagan jury secara summir yang

terdiri dari presentasi singkat dari pengacara tentang suatu kasus

perdata. Ini merupakan kombinasi dari argumentasi pembukaan dan

penutupan dengan suatu ulasan tentang pembuktian persidangan yang

diharapkan.163

e. Neutral Expert Fact-Finding, yaitu penunjukan seorang ahli yang netral

oleh para pihak yang bersengketa untuk membuat suatu penemuan

160

Ahmadi Miru (2), op. cit., hlm. 117.

161

ibid., hlm. 118-119.

162

Salim H.S., op. cit., hlm. 161

163

Referensi

Dokumen terkait

Pustakawan dan Guru Pustakawan Perpustakaan Sekolah harus dapat memahami secara baik apa yang menjadi tujuan umum dan tujuan khusus pendidikan pada Sekolah Dasar, Sekolah

(1) Yang  dimaksud  dengan  Surat  Perjanjian  Kerja  Sama  ini  adalah  perjanjian  dimana  PIHAK  KESATU  mengikat  PIHAK  KEDUA    sebagaimana  pula  PIHAK 

teregang. Hal ini disebabkan karena cairan irigasi yang menetes terus menurus, sedangkan aliran dibawah urine bag tidak lancar kita curigai adanya clots yang

Dengan adanya Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM) Bidang PU Cipta Karya diharapkan Kabupaten dapat menggerakkan semua sumber daya yang ada untuk

Hasil studi pendahuluan di Rumah Sakit Paru Jember, menunjukkan bahwa pada tahun 2017 kasus TB Paru sebanyak 662 orang yang positif TB baik dari kasus baru

Hasil prediksi prestasi peserta didik menggunakan jaringan syaraf tiruan backpropagation didapatkan arsitektur optimal dengan fungsi aktivasi lapisan input ke lapisan tersembunyi

PENGUMPULAN DATA