BAB II
TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAN HUKUM PERSAINGAN USAHA A. Tinjauan Umum Perjanjian
1. Pengertian perjanjan dan syarat-syarat sahnya perjanjian
Istilah perjanjian sering diikuti oleh beberapa istilah lainnya seperti
perikatan, persetujuan dan bahkan kontrak. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata36, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.37 Dari pengertian ini dapat dilihat salah satu unsur perjanjian yaitu “mengikatkan diri.” Sejalan dengan
pengertian tersebut dalam Pasal 1233 KUH Perdata38 disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang.
Menurut Subekti, suatu perjanjian juga dinamakan suatu persetujuan, karena dua
pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu.39
Terkait dengan Hukum Persaingan Usaha, definisi Perjanjian menurut
Pasal 1 angka 7 UU No. 5 Tahun 1999 adalah suatu perbuatan satu atau lebih
pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain Dengan demikian, hubungan antara
perikatan dan perjanjian/persetujuan adalah jelas bahwa perjanjian menerbitkan
perikatan antara dua orang/pihak yang membuatnya.
36
Buku Ketiga tentang Perikatan, Bab Kedua tentang Perikatan-Perikatang yang Dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian, Bagian Kesatu tentang Ketentuan-Ketentuan Umum
37
Bandingkan dengan kontrak adalah suatu perjanjian (tertulis) antara dua orang atau lebih orang (pihak) yang menciptakan hak dan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal tertentu dalam buku. Johannes Ibrahim, op.cit, hlm. 42; kontrak adalah di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis dalam buku Abdul R. Saliman, et.al, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 41
38
Buku Ketiga tentang Perikatan, Bab Kesatu tentang Perikatan-Perikatan Umumnya, Bagian Kesatu tentang Ketentuan-Ketentuan Umum
39
dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Selain dari pengertian
yang diberikan KUH Perdata dan Undang-Undang tersebut, dapat dilihat juga
pengertian lain dari istilah perjanjian.
Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang
lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.40 Maka dari peristiwa itulah timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang
dinamakan perikatan.41
Ada juga yang mengartikan lain dari istilah perjanjian tersebut, Yahya
Harahap mengartikan Perjanjian sebagai suatu hubungan hukum kekayaan atau
harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu
pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pihak lain untuk
menunaikan prestasi.42 Dari pengertian tersebut, dapat ditarik unsur-unsur perjanjian antara lain, hubungan hukum (rechtbetrekking) yang menyangkut
hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberi hak kepada satu
pihak dan kewajiban pada pihak lainnya tentang suatu prestasi.43
R. Setiawan dalam bukunya lebih condong memakai istilah perikatan
sebagai terjemahan dari verbintenis, karena dari segi terminologis sendiri
verbintenis berasal dari kata kerja verbinden yang artinya mengikat.
44
40Ibid
41
Ibid
42
M. Yahya harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 6
43Ibid 44
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta, 1987), hlm. 1 Perikatan
mengandung pengertian suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas
subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya
yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.45 Menurut Pitlo, Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau
lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak dan pihak lain berkewajiban atas
suatu prestasi.46
Menurut Subekti, perikatan memilki arti yang lebih luas dari kata
“Perjanjian”, sebab dalam buku III KUH Perdata juga diatur masalah perikatan
yang timbul dari perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan
pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan atau
perjanjian (zaakwaarneming).47 Dapat dilihat juga bahwa perikatan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari ialah perikatan yang
bersumber dari perjanjian, bukan yang bersumber dari undang-undang. Sedangkan
kontrak memiliki arti yang lebih sempit, karena ditujukan kepada perjanjian atau
persetujuan yang tertulis.48
Syarat-syarat sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal
1320 KUH Perdata yang berbunyi:
49
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal.”
45 Ibid
, hlm.2, diterjemahkan dari buku L.C. Hofmann, Het Nederlands Verbintenissenrecht, eerste gedeelte Wolters-Noordhoff
46 Ibid
, diterjemahkan dari buku A. Pitlo, Het Verbintenissenrecht naar he Nederlands Burgerlijk Wetboek
47
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2003), hlm. 122
48
Subekti, Hukum Perjanjian,loc.cit
49
Dua syarat pertama dinamakan syarat-syarat subjektif karena mengenai
orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua
syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai
perjanjiannya sendiri oleh objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.50 Kata sepakat disini harus diberikan secara bebas oleh kedua pihak,
51
sehingga tercapai persesuaian/persetujuan. Ada lima cara terjadinya persesuaian
kehendak, yaitu:52
1. Bahasa yang sempurna dan tertulis
2. Bahasa yang sempurna secara lisan
3. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan
4. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya
5. Diam atau membisu, tetapi asal bisa dipahami atau diterima oleh pihak lawan.
Orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada
asasnya, setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannnya, adalah cakap
menurut hukum.53
1. Orang-orang yang belum dewasa
Di dalam Pasal 1330 KUH Perdata disebutkan orang-orang
yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
50
Subekti, Hukum Perjanjian ,op. cit, hlm. 17
51
A Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Beserta Perkembangannya, (Yogyakarta: Liberty, 1985), hlm. 10
52
Salim, H.S, Hukum Kontrak; Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hlm. 33
53
3. Orang perempuan dalam hal-hal yag ditetapkan oleh undang-undang dan
semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
Suatu perjanjian harus memliki objek tertentu. Setidaknya dapat
ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan
nanti aka nada. Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan, barang yang
dipergunakan untuk kepentingan umum antara lain jalan umum, pelabuhan umum,
gedung-gedung umum, dll, tidaklah dapat dijadikan objek perjanjian, barang
tersebut juga harus dapat ditentukan jenisnya.
Akhirnya oleh Pasal 1320 KUH Perdata ditetapkan syarat kempat untuk
suatu perjanjian yang sah adalah suatu sebab yang halal. Yang dimaksudkan
dengan sebab yang halal itu ialah isi dari perjanjian itu sendiri.54
2. Jenis-Jenis Perjanjian secara Umum
Selain itu, yang
tidak hala maksudnya yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum.
Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut
adalah sebagai berikut:55 1. Perjanjian timbal balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok
bagi kedua pihak. Misalnya perjanjian jual beli.
2. Perjanjian Cuma-Cuma
54Ibid,
hlm. 20
55
Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan
bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah.
3. Perjanjian atas beban
Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak
yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari piahk yang lain, dan antara kedua
prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
4. Perjanjian bernama
Perjanjian ini termasuk perjanjian khusus karena ia memiliki nama sendiri.
Maksudnya ialah perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk
undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-sehari.
5. Perjanjian tidak bernama
Di luar perjanjian bernama, tumbuh pula pernjain tidak bernama, yaitu
perjanjian-perjanjian yang tidak terdapat dalam KUH Perdata, tetapi terdapat
dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang
disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti
perjanjian kerjasama, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaan. Lahirnya
perjanjian ini pada prakteknya didasarkan pada asas kebebasan berkontrak.
6. Perjanjian obligatoir
Perjanjian obligatoir merupakan perjanjian dimana pihak-pihak sepakat
mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain.
7. Perjanjian kebendaan
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan
pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain. Penyerahan itu
sendiri merupakan penyerahan kebendaan.
8. Perjanjian konsensual
Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana di antara kedua belah pihak
telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut
pasal 1338 KUH Perdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat.
9. Perjanjian riil
Dalam KUH Perdata ada juga perjanjian-perjanjian yang sudah berlau sesudah
terajadi penyerahan barang misalnya perjanjian penitipan barang, perjanjian
pinjam pakai.
10. Perjanjian liberatoir
Perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada,
misalnya pembebasan utang.
11. Perjanjian pembuktian
Perjanjian pembuktian merupakan perjanjian dimana para pihak menentukan
pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.
12. Perjanjian keuntung-untungan
Perjanjian ini merupakan perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian,
misalnya perjanjian keasuransian.
13. Perjanjian publik
Perjanjian ini merupakan perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai
oleh hukum public, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah,
atasan-bawahan, jadi tidak berada dalam kedudukan yang setara, kisalnya perjanjian
ikatan dinas.
14. Perjanjian campuran
Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung beberapa unsur
perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa-menyewa)
tapi pula menyajikan makanan (jual-beli) dan juga memberikan pelayanan.
B. Tinjauan Umum Hukum Persaingan Usaha di Indonesia
1. Latar belakang Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (UU No. 5 Tahun 1999)
Sejarah lahirnya UU No.5 Tahun 1999 tidak dapat dipisahkan dari
fenomena keterkaitan yang erat antara hukum dan ekonomi baik yang berlangsung
dari negara lain di dunia maupun yang dari dalam negeri; di mana sejak tahun
1930-an orang baru memulai menggunakan kacamata hukum ekonomi atau Droit
Economique yang pada waktu itu baru mencakup peraturan-peraturan administrasi
negara. Tumbuhnya hukum ekonomi ini berpangkal pada konsepsi negara
kesejahteraan, yang mewajibkan negara secara aktif menyelenggarakan
kepentingan umum dan tidak hanya menyerahkan kepada warga negara sendiri
saja untuk memenuhi segala kebutuhan (sebagaimana pendirian paham liberal).
Untuk itu Prancislah yang pertama mengusahakan keseimbangan antara
negaranya.56 Keterkaitan yang erat antara hukum dan ekonomi ini menjadikannya suatu bidang yang berhubungan langsung dengan kebijakan ketahanan nasional
dan politik negara.57
Demikian juga halnya dengan sejarah hukum ekonomi di Indonesia yang
telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Landasan hukum bagi struktur
ekonomi Indonesia yang dualistis tercantum dalam Pasal 131dan 163 Indische
Staatregeling (Stb. 1854:2 dan Stb. 1855:2). Pasal-pasal tersebut merupakan
kaidah yang sesungguhnya menunjang kebijaksanaan ekonomi yang dualistis,
karena memberi peran yang dominan kepada golongan Eropa dalam sektor bisnis
internasional, industri dan perbankan. Golongan Bumiputera dalam sektor agraris
atau penghasil bahan mentah dan Golongan Timur Asing sebagai pedagang
perantara bagi kedua golongan tersebut.
58
Kebijaksanaan yang dualistis ini menyebabkan terjadinya kesenjangan
pada tata kehidupan ekonomi, sehingga peluang-peluang usaha yang tercipta
dalam kenyataanya belum dapat membuat masyarakat mampu dan dapat
berpartisipasi dalam pembangunan di sektor ekonomi.59 Meskipun Indonesia menunjukkan kemajuan yang pesat dalam bidang perekonomian saat era booming
minyak berlalu dan dimulainya era investasi asing di Indonesia sekitar tahun
1970-an.60
56
Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm. 21
57
Sumantoro, Hukum Ekonomi, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 277
58
Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, op.cit, hlm. 22
59
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 186
60
Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha yang tidak
didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan ketahanan ekonomi Indonesia sangat rapuh dan tidak mau
bersaing.61 Fakta menyebutkan bahwa reformasi dipicu oleh gejolak akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan yang merupakan kesalahan manajemen ekonomi
pemerintahan Orde Baru, meskipun tuntutan agar Indonesia mempunyai suatu
undang-undang antimonopoli sudah muncul pada tahun 1990-an namun tidak
didukung oleh political will dari pemerintah saat itu.62 Krisis terjadi karena rusaknya pilar ekonomi dalam segi perbankan, kebijakan moneter dan pinjaman
utang luar negeri yang tinggi.63
Dalam upaya mempercepat berakhirnya krisis ekonomi, maka pada bulan
Januari 1998 Indonesia menandatangani Letter of Intent sebagai bagian dari
program bantuan International Monetary Fund (IMF). Dari 50 butir memorandum
maka serangkaian kebijakan deregulasi segera dilakukan pemerintah pada waktu
itu, beberapa diantaranya yang bersinggungan dengan persaingan usaha adalah:
64
a. Butir (31) bulan November, pemerintah menyusun strategi ambisius
untuk reformasi structural yang bertujuan untuk membawa ekonomi kembali
ke arah pertumbuhan yang cepat dengan mengubah ekonomi berbiaya tinggi
ke ekonomi yang lebih terbuka, efisien dan kompetitif. Untuk itu strategi yang
ditujukan untuk liberalisasi perdagangan dan investasi asing, deregulasi
61
Hermansyah, op.cit, hlm. 11
62Ibid
, hlm. 10
63
Ayudha D. Prayoga, et.al, op.cit, hlm.23
64
kegiatan domestic dan mempercepat program swastanisasi sekaligus
mempertimbangkan langkah menghadapi kemiskinan.
b. Butir (32) pemerintah sudah menyiapkan strategi ekonomi yang lebih
terbuka dan meningkatkan daya saing dengan mencabut monopoli Bulog
untuk program gandum, kedelai, bawang putih. Importer diperkenankan
menjual seluruh produk ini di pasar dalam negeri, kecuali gandum.
c. Butir (33) Harga Patokan Sementara (HPS) semen dihapus serta
penurunan harga bahan-bahan konstruksi pada bulan November. Tariff produk
kimia akan diturunkan menjadi 5% mulai 1 Januari 1999. Dengan demikian
tariff maksimum produk-produk ini ditargetkan mencapai 10% pada tahun
2003.
d. Butir (41) terhitung sejak 1 Februari 1998 para pedagang produk
pertanian seperti cengkeh, jeruk dan vanilla akan memiliki kebebasan menjual
dan membeli komoditinya tanpa ada batasan wilayah. BPPC akan dibubarkan
pada bulan Juni 1998.
e. Butir (43) monopoli Bulog aqkan dibatasi pada beras. Efektif sejak 1
Februari 1998, semua pedaganag akan diizinkan untuk mengimpor gula dan
memasarkannya pada pasar domestic, dan petani akan dibebaskan dari
ketentuan formal dan informal untuk menanam tebu.
Salah satu yang diatur dalam Letter of Intent tersebut adalah untuk
menjamin adanya iklim persaingan usaha yang sehat diantara para pelaku usaha
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.65
2. Prinsip per se dan rule of reason dalam UU No. 5 Tahun 1999
Adapun istilah monopoli
dalam undang-undang tersebut dipakai merupakan refleksi akibat yang terjadi di
Indonesia seperti telah disebutkan sebelumya adanya pihak-pihak tertentu yang
menguasai atau memonopoli bidang-bidang tertentu sama halnya dengan di
beberapa negara seperti Amerika Serikat yang menggunakan Antitrust Law yang
merupakan ketidaksetujuan terhadap gabungan (trust) dari beberapa perusahaan
besar yang mengakibatkan persaingan terganggu.
Terdapat perbedaan yang sangat jelas antara kedua prinsip ini. Di mana
dalam prinsip per se illegal (per se violation atau per se rule) dinyatakan setiap
perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai illegal tanpa pembuktian lebih
lanjut atas dampak yang ditimbulkan perjanjian atau kegiatan usaha tersebut.
Sedangkan prinsip rule of reason merupakan pendekatan yang digunakan oleh
lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evalusi mengenai akibat
perjanjian atau kegiatan usaha tertentu guna menentukan apakah suatu perjanjian
atau kegiatan bersifat menghambat atau mendorong persaingan.66
Kedua prinsip ini terdapat dalam UU No.5 Tahun 1999, hal ini dapat
dilihat dari ketentuan pasal-pasalnya yang berbunyi “yang dapat mengakibatkan”
dan atau “patut diduga” di mana kata-kata tersebut menyiratkan perlunya
penelitian lebih lanjut. Selain itu klausul yang menggambarkan prinsip per se
65
Ibid, hlm. 9-10
66
illegal juga terdapat yaitu adanya istilah “dilarang”, tanpa anak kalimat “yang
dapat mengakibatkan”.67
Walaupun terdapat perbedaan yang jelas dari kedua prinsip tersebut tetapi
sebenarnya kedua prinsip ini saling melengkapi dan tidak merupakan
inkonsistensi.
68
Karena per se illegal di satu sisi mempunyai manfaat besar dalam
penerapannya yaitu kemudahan dan kejelasannya dalam proses admnistratif,
selain itu juga pendekatan ini memiliki daya mengikat yang lebih luas daripada
larangan-larangan yang tergantung pada evaluasi mengenai kondisi pasar yang
kompleks, yang menyelidiki situasi serta karakteristik pasar.69 Namun di sisi lain, dalam menghadapi kasus-kasus perjanjian, terutama perjanjian yang tidak
tertulis/lisan, terdapat kesusahan dalam hal pembuktian bahwa telah terjadinya
perjanjian yang merusak persaingan. Seperti contoh pada kasus Barber Shop
Association, tidak terdapat bukti langsung bahwa asosiasi tersebut menetapkan
suatu “harga standar” kepada para anggotanya. Namun, asosiasi melakukan
tekanan kepada para anggotanya untuk mengatur harga senilai 300 yen dengan
cara mengumumkan hasil penelitian kuesioner yang telah dijawab oleh para
anggota.70
Sedangkan konsep rule of reason memilki keunggulan dengan
digunakannya analisi ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui dengan
67
Ibid
68 Ibid
, hlm.117, di mana Hakim Burger telah mengantisipasi untuk mengakhiri perdebatan tentang perbedaan yang jelas antara analisis per se illegal dan rule of reason dalam
dissenting opinion-nya pada kasus Topco, dengan menyatakan bahwa “per se rules... are complimentary to, and no way incossistent with, ...”
69Ibid
, hlm. 106
70
Kegiatan ini dievaluasi sebagai bukti tidak langsung sebagai bentuk penetapan harga.
pasti apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi terhadap
persaingan.71 Dan di sisi lain, seperti telah disebutkan di atas, bahwa konsep ini juga terdapat kelemahan, yaitu bahwa rule of reason yang digunakan para hakim
(atau juri) mensyaratkan pengetahuan tentang ekonomi yang kompleks, di mana
mereka belum tentu memilki kemampuan yang cukup untuk memahaminya guna
mendapat keputusan yang rasional.72
Oleh karena itu, dalam kasus-kasus persaingan usaha dalam kenyataannya
tidak mudah diterapkan prinsip mana yang harus diberlakukan, karena tidak
semua orang memiliki persepsi yang sama tentang pengertian yang menyatakan
suatu tindakan dinyatakan mutlak melanggar ataupun dapat diputuskan setelah
melihat argumentasi dan alasan rasional tindakannya (reasonableness).73 Terdapat beberapa cara atau analisis dalam membuktikan prinsip atau konsep mana yang
harus diberlakukan atau untuk memisahkan secara tegas kedua prinsip ini, antara
lainnya74
a. Bright line test (per se rules); dengan mengevaluasi tujuan dan akibat dari
tindakannya dalam suatu pasar atau proses persaingan. :
b. Dichotomy model; cara ini menerapkan pembatasan terhadap tindakan yang
dilakukan dengan batasan yang jelas antara per se atau rule of reason dan
hasilnya dianalisis dengan memperbandingkan alasan dan konsekuensi yang
ditimbulkannya.
71Ibid,
hlm. 111
72
Ibid, hlm. 111-112
73
Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hlm. 102
74Ibid,
c. Truncated analysis of rule of reason (quick look theory); pendekatan ini lebih
melihat pada sisi hambatan yang sifatnya terlihat anti persaingan. Dalam hal
ini pihak yang diduga melakukan pelanggaran akan diminta untuk
membuktikan bahwa hambatan yang dilakukan tidaklah bersifat anti
persaingan, dan bila alasan pembenaran ini diterima, maka kemudian akan
dilanjutkan dengan menggunakan analisis rule of reason.
d. Model Tradisional 6 Sel; mekanisme ini utnuk menentukan kasus persaingan
untuk melihat dulu hubungan ekonomi antara kedua pihak, misalnya
horizontal atau vertical dan juga berdasarkan bentuk pembatasannya, misalnya
hambatan dalam bentuk harga, non harga atau boikot.
e. Rule of reason versi Hakim Old White-Brandies; dengan pendekatan
konsekuensi yang menyatakan bahwa setiap hambatan harus mendapat
evaluasi untuk setiap pertimbangan yang diberikan dengan melihat
keseluruhan biaya sosial yang ditimbulkannya. Dengan melihat perbandingan
biaya dan keuntungan, maka pengadilan dapat mengukur beralasankah
tindakan yang telah dilakukan.
f. Direct-Indirect versi Hakim Peckham; ia menetapkan suatu standar bahwa bila
hambatan itu bersifat mutlak atau langsung berakibat pada proses persaingan,
maka dinyatakan dengan per se illegal. Bila sifatnya tambahan atau tidak
langsung karena dilakukan untuk kerjasama atau transaksi yang melibatkan
para pihak, maka harus dinyatakan legal walaupun hambatannya bersifat
g. Rule of reason versi Hakim Taft; beliau menyarankan pendekatan Hakim
Peckham tetapi dengan menegaskan bahwa hambatan yang bersifat tambahan
harus tetap dievaluasi. Pendekatan ini mempertanyakan apakah semua
hambatan memiliki hambatan terhadap fungsinya. Hakim Taft menggunakan
pendekatan keduanya sekaligus tanpa membedakan formatnya yang vertikal
atau horizontal.
h. Presumptive (Kemungkinan); analisis ini berasal dari melihat deskripsi fakta
berdasarkan fungsi ekonomi dari hambatan, keberadaan hambatan yang
sifatnya internal atau eksternal, kedudukan para pihak yang relative
independen, dependen yang berhubungan dengan subjek hambatan dan bila
memang sifatnya mutlak, apakah ada pengecualian yang dibolehkan
undang-undang.
3. Asas dan tujuan UU No. 5 tahun 1999
Tujuan pembentukan UU No. 5 Tahun 1999 terdapat dalam Pasal 3 dan
konsiderans secara implisit. Pada bagian konsiderans, dapat ditarik tiga tujuan
umum yang hendak dicapai dalam penyusunan undang-undang ini. Pertama, di
dalam konsiderans tercantum tujuan yang sangat umum dan klise bahwa
undang-undang ini ditujukan untuk mengarahkan pembangunan ekonomi pada
terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD RI Tahun
1945.75
75
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, op.cit, hlm. 187
Kedua, di dalam konsiderans juga disebutkan bahwa undang-undang ini
disusun untuk mewujudkan demokrasi ekonomi yang menghendaki adanya
produksi dan pemasaran barang atau jasa dalam iklim usaha yang sehat dan
kondusif bagi pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya mekanisme ekonomi pasar
secara wajar. Ketiga, secara tersirat juga dinyatakan bahwa undang-undang ini
dimaksudkan untuk mencegah pemusatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu.
Secara lebih tegas, tujuan UU No. 5 Tahun 1999 ini dicantumkan dalam Pasal 3
yang bersama-sama dengan Pasal 2 berada di bawah bab tentang asas dan
tujuan.76
Tujuan UU No.5 Tahun 1999 sebagaimana tercantum dalam Pasal 3
adalah:
77
1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional
sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Mewujudkan iklim usaha kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang
sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama
bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
3. Mencegah praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha
4. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Asas UU No. 5 Tahun 1999 secara tegas dicantmkan dalam Pasal 2.
Menurut pasal tersebut, asas kegiatan usaha di Indonesia adalah, “demokrasi
ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara pelaku usaha dan
kepentingan umum.”
4. Subjek hukum dalam UU No. 5 tahun 1999 76
Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 75-76
77
Pembawa hak, yaitu sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban disebut
subjek hukum sesuai dengan yang dimaksud dengan kata “orang” dalam
KUHPerdata Buku I Bab I.78 Jadi, dapat dikatakan bahwa tiap manusia baik warga negara maupun orang asing dengan tidak memandang agama atau
kebudayaanya adalah subjek hukum. Di samping manusia pribadi sebagai
pembawa hak, terdapat badan-badan (kumpulan manusia) yang oleh hukum diberi
status “persoon” yang mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia yang
disebut Badan Hukum.79
Dikaitkan dengan UU No.5 Tahun 1999 sebagai landasan kebijakan dari
Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, maka yang dapat dikatakan subjek hukum
adalah pelaku usaha
Subjek hukum ini dapat mengadakan hubungan hukum
yang akan menimbulkan hak dan kewajibannya dalam lalu lintas hukum.
80
Definisi pelaku usaha tersebut tidak membedakan antara perusahaan
terbuka dan perusahaan tertutup. Sepanjang pelaku usaha itu melakukan kegiatan
ekonomi di wilayah Repulik Indonesia, Undang-Undang Antimonopoli dapat , di mana menurut Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999
merupakan setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai
kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
78
R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 139
79
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 227
80
diterapkan jika pelaku usaha melanggar ketentuannya.81 Selain itu, pelaku usaha ini melakukan kegiatannya dalam pasar yang pada terminologi ekonominya dapat
disamakan dengan pelaku dalam pasar. Produsen (perusahaan) adalah pemegang
peranan kunci dalam memproduksi barang yang akan dijual di pasar untuk para
konsumen. Dimana pelaku dalam pasar atau ekonomi ini akan berupaya mencapai
keuntungan yang maksimal dari transaksi yang dilakukannya dengan
mempertimbangkan variabel biaya atau cost yang harus dikeluarkan.82
5. Penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia
Dalam pembahasan mengenai pengawasan atau penegakan hukum
persaingan usaha di Indonesia maka tidak terlepas dari lembaga independen83 atau non-struktural84 yang diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).85 Dalam menangani dugaan pelanggaran dan upaya penegakan hukum, KPPU dapat
memperoleh sumber-sumber informasi atau bukti-bukti, baik dari luar, misalnya
laporan dari pihak ketiga, maupun yang dilakukan dari dalam yang berdasarkan
inisiatif anggota KKPU sendiri.86
Apabila informasi adanya pelanggaran itu diperoleh dari pihak luar, maka
KPPU berkewajiban memprosesnya untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan
dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari dan ia diwajibkan pula
81Ibid,
hlm.280
82
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia,op.cit, hlm. 50-51
83
Pasal 30 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999: “Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekeuasaan pemerintah serta pihak lain ”
84
Pasal 1 ayat (2) Keputusan Presiden Republik Indonesia No.75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha: “Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan lembaga non-struktural yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain.”
85
Pasal 30 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999
86
menjaga kerahasiaan pihak yang melaporkannya.87 Inisiatif pemeriksaan tentang dugaan adanya pelanggaran undang-undang ini juga dapat dilakukan oleh KPPU
meskipun tidak didahului adanya laporan dari siapapun.88
Jika terjadi pelanggaran, maka pihak yang diduga melakukannya itu
berkewajiban memenuhi panggilan KPPU, termasuk pula menyerahkan
bukti-bukti yang diperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksaan, apabila KPPU
menganggap alat bukti itu merupakan dokumen yang penting dan dapat
membuktikan terjadinya atau tidak terjadinya pelanggaran. Dan bagi pihak yang
menolak bekerjasama maka akan dikenakan sanksi.89
1. Pemeriksaan Pendahuluan
Tahapan-tahapan pemeriksaan di KPPU dapat dibagi menjadi dua tahap
pemeriksaan, yaitu:
Pengertian pemeriksaan pendahuluan dapat ditemukan dalam Pasal 1 ayat
(14) Peraturan Komisi No. 1/200690
2. Pemeriksaan Lanjutan
, yang berbunyi sebagai berikut:
“pemeriksaaan pendahuluan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
Tim Pemeriksa Pendahuluan terhadap laporan dugaan pelanggaran untuk
menyimpulkan perlu atau tidak perlu dilakukan Pemeriksaan Lanjutan.”
Pemeriksaan lanjutan pertama kali disebutkan di dalam ketentuan Pasal 39
ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999, dan dijelaskan secara detail dalam Pasal 1 ayat
(15) yang berbunyi sebagai berikut: “serangkaian kegiatan yang dilakukan
87
Pasal 39 UU No. 5 Tahun 1999
88
Pasal 40 UU No.5 Tahun 1999
89
Pasal 41 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999
90
oleh Tim Pemeriksa Lanjutan terhadap adanya dugaan pelanggaran untuk
menyimpulkan ada atau tidak adanya bukti pelanggaran.” Pemeriksaan
lanjutan biasanya dilakukan apabila KPPU telah menemukan indikasi adanya
praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat, atau apabila KPPU
memerlukan waktu yang lebih lama untuk melakukan penyelidikan dan
pemeriksaan secara lebih mendalam mengenai kasus yang ada.91
Setelah KPPU menyelesaikan pemeeriksaan lanjutan, KPPU diwajibkan
untuk memutuskan telah terjadi atau tidak pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun
1999 dalam tenggang waktu 30 hari terhitung sejak selesainya pemeriksaan
lanjutan.
92
Adapun putusan tersebut harus dibacakan dalam persidangan yang
terbuka untuk umum, yang juga harus diberitahukan kepada pelaku usaha terkait.
Apabila terbukti bersalah dan pelaku usaha tersebut tidak menerima putusan
tersebut, maka dapat diajukan upaya keberatan selambat-lambatnya 14 hari
setelah menerima pemberitahuan putusan dari KPPU.93
91
Destivano Wibowo & Harjon Sinaga, Hukum Acara Persaingan Usaha, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 19
92
Pasal 43 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999
93